Tuesday, December 26, 2006

2006 Christmas Reflection

Why on earth was the Baby laid in a MANGER?I believe it’s more than a message of simplicity.

Echoing the prophet Isaiah,
“The ox knows His master, the donkey his owner’s MANGER,
but Israel does not know, my people do not understand” (1.3);
Now, the curse is being put away. The true Israel has found her food,
The people of God find their source of life.
Since, the Son of God, the Messiah Jesus, was THERE!

My dear Pals,
I’m reserved to say “Merry Christmas,”
yet I’m zealous to shout aloud:
“Lift up your heart, ye people of God!
For your LEADER, your KING,
Your MASTER, your LORD,
draws you to His MANGER.”
Laus Deus!God be praised!

December 25, 2006

Student of the Church Fathers

Friday, December 22, 2006

Respons 3

Dan kawanku yang nun jauh di ujung Timur Indonesia pun merespons, tadi pagi:

Lha memang kelahiran Kristus adalah berita kontroversial dan provokatif, kan?
Bagi istana Herodes dan Bait Allahnya Hanas dan Kayafas?

Wah di Papua situasinya lebih parah.
Aku hanya berpikir bahwa cara satu-satunya menghancurkan masalah ini
Adalah dengan kita mengambil bagian dalam penanggalan eksistensi
seperti yang dilakukan dan diperintahkan Tuhan (Mat. 16.26).
Harga pemuridan harus dibayar lunas oleh Hamba-hamba Tuhan!


(Hehe, favorit Anda Bonhoeffer, ya Mas? Sudah baca Paul Tillich, The Courage to Be? Anda akan makin diteguhkan dengan posisi itu.)

Respons 2

Kawanku yang lain, yang menjadi guru di Malang, pun berespons:

Aku juga ngerasa ada yang hilang. Natal jadi sangat komersil,
baik di mal atau di gereja. Thanks for sharing your insights.

Kalau memang untuk kebenaran, gak pa-pa sekali-sekali provokatif dan konfrontatif asal dengan wisdom and grace :)

Respons 1

Seorang kawanku yang di Surabaya tengah malam itu langsung menjawab:



Saya setuju dengan Anda, Sobat!
Saya merasa komersialisasi kekristenan dan natal tambah gila sehingga pohon natal dibuat dengan harga milyaran rupiah!
Saya baru mengritik penggunaan ornamen yang tidak disertai kesadaran tentang makna di baliknya, tidak heran Muslim melihat Kristen seperti sedang pamer kekuatan ekonominya saat natal.
Saya belajar satu hal natal ini—berbagi kasih pada orang yang membutuhkan.
Aspek sosial dari Injil.
Saya juga senang karena tahu bahwa uang tidak jadi raja atas hidupku.

Kilasan Natal

Tadi malam, tiba-tiba saya tergerak untuk ambil HP dan menuliskan layanan pesan singkat tentang Natal kepada rekan-rekanku, yang kira-kira begini:



Sobat, saya makin merasa, di tengah hingar bingarnya Natal tahun ini,
ada satu kehampaan:
Natal tanpa Yesus yang hadir di dalam sejarah.
Yang kusaksikan adalah religiositas narsistis:
Christmas is all about prize and the Prize!Hadiah buatKU! Biar AKU nyaman! Biar AKU tenang!
Biar AKU senang!

Saya pun makin menyadari bahwa Yohanes Calvin benar:
Merenungkan tentang Kristus kita harus kembali kepada munus triplex:
Nabi, Imam, Raja.

Yang kusimpulkan adalah:
Christus contra nobis!
Christus pro nobis!
Christus supra nos!

Kekristenan narsistis hanya berhenti pada Christus pro nobis,
tapi bukan itu menurut Alkitab.
Kristus pun siap mengonfrontir kita!
Saya makin bersembah sujud kepada Yesus Sejarah
yang dibangkitkan Allah itu, Sobat.

Dan saya merasa Allah kian memikat hatiku untuk mengenal
Yesus Sejarah itu.

Yesaya 52.10, Sobatku!



Saya melanjutkan pesan singkat itu:


Aku lagi muak dengan retorika-retorika gereja yang banter,
penuh syukur tetapi kalah dengan kuasa kapitalis!
Oh, sesungguhnya kita tidak sedang merayakan Natal.

Kita sedang merayakan pesta penikahan yang mahaakbar!
Pengantinya adalah:

YESUS KRISTUS

dan

MAMON

Namun aku pun sadar:
Aduh, ndak tahu neech,
mosok situasi bahagia penuh rahmat dan damai
kok permenunganku provokatif banget!?!

Thursday, December 7, 2006

Perjanjian Perbuatan

PERJANJIAN PERBUATAN
Kejadian 2.16–17


Di dalam Perjanjian Penebusan, Allah Tritunggal telah bermufakat jauh sebelum dunia ini dijadikan untuk mengutus Allah Putra, Tuhan Yesus Kristus, menjadi Kepala atas kaum pilihan Allah, supaya umat ini dipersatukan di dalam Kristus dan mendapatkan jaminan mulia. Perjanjian Penebusan merupakan perjanjian antar-Pribadi Allah! Melaluinya kita dapat belajar mengenai hakikat Keluarga Kudus; dan model keluarga yang sejati kita temukan di dalam Persekutuan Agung Bapa, Putra dan Roh Kudus. Marilah kita sekarang belajar mengenai perjanjian yang Allah ikatkan kepada manusia.

Allah, setelah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (di dalam kekudusan, kebenaran dan keadilan), mengikatkan suatu perjanjian kepada Adam, yaitu suatu perjanjian yang mensyaratkan suatu kepatuhan yang sempurna dan total. Allah melarangnya untuk memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat. Kepatuhan Adam akan membawa kehidupan bagi dia dan seluruh keturunannya. Ketidakpatuhannya akan membuahkan kematian! Inilah yang disebut Perjanjian Perbuatan atau Perjanjian Kehidupan.

Dari mana istilah “perjanjian” itu diperoleh? Memang, kita tidak menemukan kata “perjanjian” di Kejadian 2.16-17. Dalam pada itu, ada indikasi yang diberikan oleh firman Tuhan sendiri yakni dalam Hosea 6.7, “Tetapi mereka telah melangkahi perjanjian di Adam, di sana mereka telah berkhianat terhadap Aku.” Secara harfiah kata depan “di” pada “di Adam” dapat diterjemahkan “seperti.” Sesuai konteksnya berarti, Israel telah mengingkari perjanjian seperti Adam. Jadi, dalam Kejadian 2.16-17 ini jelas terdapat indikasi adanya sebuah perjanjian.

Kalau begitu, kita menjumpai suatu amanat yang Allah tetapkan kepada Adam, selaku wakil dari seluruh umat manusia. Adam dituntut untuk mematuhi amanat Allah itu. Suatu pemerkosaan atas kebebasan manusia? Sama sekali bukan! Allah dan manusia bukanlah dua partai yang seimbang, yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama. Allah harus kita tempatkan sebagai Penguasa yang berdaulat penuh. Dia adalah Pemilik segala sesuatu. Karena itu, Allah berhak mengikatkan perjanjian tanpa harus meminta persetujuan manusia. Allah berhak pula menetapkan syarat-syarat atas perjanjian itu apabila manusia menginginkan hidup dalam persekutuan dengan Allah dan menikmati segala berkat dari Allah. Di sinilah kita menemukan kewajiban manusia kepada Penciptanya. Kewajiban ini bersumber dari natur manusia sebagai makhluk berakal dan bermoral yang berada di bawah tuntutan untuk mematuhi kehendak Allah, serta hidup bagi kemuliaan Allah.

Siapa saja yang terlibat dalam Perjanjian Perbuatan? Yaitu Allah dan Adam sebagai wakil semua keturunannya. Allah selaku Pencipta dan Permilik alam berhadapan dengan Adam yang mewakili seluruh umat manusia. Sesungguhnya, apa yang Allah janjikan kepada Adam dijanjikan pula kepada semua keturunannya. Anugerah kepada Adam juga diberikan kepada seluruh keturunannya. Allah tidak memberikan bumi ini secara eksklusif kepada Adam saja. Kepada keturunannya juga bumi ini diberikan sebagai milik pusaka.

Janji apa yang terkandung di dalam Perjanjian Perbuatan? Tuhan berfirman, “Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati!” Berarti, bila Adam tidak memakan, ia tidak akan mati. Ia akan beroleh hidup dan hidup dalam persekutuan yang kekal bersama Allah. Hal yang sama berkali-kali ditegaskan dalam Alkitab, “Lakukan ini, maka engkau akan hidup”; “Seseorang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan hukum Taurat akan hidup olehnya.” Kehidupan yang dijanjikan oleh Allah adalah suatu kehidupan yang penuh sukacita, kudus dan takkan mengalami kematian (fisik ataupun rohani). Bahkan, di dalam janji ini termaktub suatu jaminan dienyahkannya segala kecacatan dan kehendak untuk melanggar ketetapan Allah menuju suatu hidup yang sempurna. Prinsip Perjanjian Perbuatan yaitu: manusia yang melakukannya akan mendapat hidup! Maka, disebut “Perjanjian Perbuatan” oleh karena perbuatan patuh dari moyang pertama kita ditegaskan di sini. Atau, sering pula disebut sebagai “Perjanjian Kehidupan” oleh sebab kehidupan kekal bagi Adam dan keturunannya merupakan jaminan dari kepatuhan Adam. (Bdk. Mat. 19.16,17; Gal. 3.12; Im. 18:5; Neh. 9:29.)

Syarat apa yang perlu dipenuhi dalam Perjanjian Perbuatan? Yaitu ketaatan yang mutlak! Sebab Allahlah yang memberi perintah dan tidak mungkin perintah ini dapat dikurangi kadarnya. Larangan untuk memakan buah merupakan batu uji bagi manusia tentang seberapa jauh kepatuhannya kepada Allah. Bukan sekadar menuruti perintah atau tidak! Sikap yang manusia ambil terhadap perintah tersebut menunjukkan apakah ia bersedia untuk bergantung secara mutlak kepada Allah dalam segala hal. Alkitab dengan jelas bersaksi, bahwa kecacatan terhadap satu hukum merupakan pelanggaran terhadap seluruh isi hukum tersebut. Yakobus 2.10 menyatakan, “Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian daripadanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.” Allah yang sempurna dan kudus menghendaki kepatuhan total manusia!

Hukuman apa yang dijatuhkan terhadap pelanggaran Perjanjian Perbuatan? Sedemikian terang di ay. 17, kematian adalah hukumannya. Upah dosa adalah maut! (Rm. 6.23) Kematian merupakan lawan dari kehidupan sempurna yang dijanjikan (sukacita, kekudusan dan kekekalan), dan oleh sebab itu kematian bukan sekadar semua derita yang kita alami ataupun terpisahnya jiwa dari badan, tetapi juga kematian spiritual dan kekal. Allah tidak menciptakan manusia untuk suatu akhir yang bernama kematian. Kematian menyusup ke dalam dunia sebagai buah dari dosa. Bahkan Allah sendiri adalah sumber kehidupan dari jiwa manusia. Jika Allah menarik kembali sumber kehidupan jiwa manusia, maka manusia akan mengalami kematian, yakni musnahnya kehidupan spiritual dan tiada habisnya manusia berkanjang dalam dosa dan penderitaan. (Bdk. Why. 3:1; Ef. 2:1-5; 5:14; Yoh. 5:24.)

Apa yang dapat kita katakan tentang semua ini?

Pertama, identitas yang sejati manusia adalah kebergantungan total kepada Allah dan kepatuhan mutlak kepada Allah. Kita perlu mengakui bahwa kita takkan mungkin hidup tanpa Allah. Manakala manusia tidak patuh kepada Allah, sesungguhnya manusia telah menjadi Allah untuk dirinya sendiri. Mengabaikan hukum-hukum Allah berarti manusia dengan congkaknya melucuti kedaulatan Allah atas dirinya!

Kedua, kita tahu akhir kisah dari moyang kita Adam. Ia memberontak kepada Allah. Itu berarti kita pun memberontak kepada Allah. Lho, tindakan Adam kan bukan salah kita? Kita tidak memilih Adam sebagai nenek moyang kita! Seandainya kita berada di posisi Adam, belum tentu kita tidak patuh kepada Allah. O ... o ... o, justru ini telah membuktikan dosa Adam sudah mendarah daging di dalam kita! Dengan menolak dan menyalahkan Adam, kita telah membuktikan diri sebagai keturunan Adam! Bukankah tatkala moyang kita bersalah, mereka saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab?

Ketiga, puji nama Tuhan! Sebab Allah tidak membiarkan kegagalan Adam menjadi kutuk untuk semua manusia. Tak ada yang sanggup memenuhi tuntutan kudus Allah di dalam Perjanjian Perbuatan itu. Namun dalam kemurahan dan maksud baik-Nya, Allah berkenan mengutus Tuhan Yesus Kristus yang tampil sebagai Adam Kedua, menundukkan diri kepada Allah, bahkan sampai menyerahkan diri-Nya sampai ke atas kayu salib, dan dibangkitkan dari antara orang mati. Kristuslah yang taat dan patuh secara total kepada Perjanjian Perbuatan. Oleh karena Dialah, kematian sebagai hukuman atas pelanggaran Perjanjian Perbuatan dikalahkan. Allah ganti menganugerahkan kehidupan bagi umat yang dipimpin oleh Kristus. Ya, kematian fisik masih akan kita alami. Tetapi jaminan kehidupan itu menjadi milik kita selamanya!

Panduan untuk refleksi dan diskusi:

1. Mengapa Kejadian 2.16-17 dapat disebut sebagai “Perjanjian Perbuatan”? Apa inti dari Perjanjian Perbuatan?
2. Apakah perintah Allah dalam ayat ini merupakan pemerkosaan terhadap kebebasan manusia? Terangkan.
3. Apa yang Allah janjikan kepada manusia bila mematuhi perjanjian ini? Apa pula hukuman atas ketidakpatuhan manusia?
4. Moyang Pertama kita, Adam, gagal mematuhi perjanjian ini. Adakah jalan keluar yang Allah sediakan? Terangkan.
5. Apa pentingnya pemahaman mengenai Perjanjian Perbuatan untuk kehidupan Anda, dalam bisnis dan pekerjaan, dalam pelayanan dan bermasyarakat?


TERPUJILAH ALLAH!

Tuesday, December 5, 2006

GOD’S GRANDEUR

GOD’S GRANDEUR


The world is charged with the grandeur of God,
It will flame out, like shining from shook foil;
It gathers to a greatness, like the ooze of oil
Crushed. Why do men then now not reck his rod?
Generations have trod, have trod, have trod;
And all is seared with trade; bleared, smeared with toil;
And wears man’s smudge and shares man’s smell: the soil
Is bare now, nor can foot feel, being shod.


And for all this, nature is never spent;
There lives the dearest freshness deep down things;
And though the last lights off the black West went
Oh, morning, at the brown brink eastward, springs—
Because the Holy Ghost over the bent
World broods with warm breast and with ah! bright wings.


(Gerard Manley Hopkins)

Taken from Untermeyer, L., ed. A Concise Treasury of Great Poems: English and American. New York: Permabooks, c.u. 1960 [1942]. p. 377.

NOTHING GOLD CAN STAY

NOTHING GOLD CAN STAY

Nature’s first green is gold,
Her hardest hue to hold.
Her early leaf’s a flower;
But only so an hour.
Then leaf subsides to leaf.
So Eden sank to grief,
So dawn goes down to day.
Nothing gold can stay.

(Robert Frost)


Taken from Untermeyer, L., ed. The Pocket Book of Robert Frost’s Poems. New York: Pocket, 1946. p. 227.

THE PRAISE OF DUST

THE PRAISE OF DUST

‘ What of vile dust ? ’ the preacher said.
Methought of the whole world woke,
The dead stone lived beneath my foot,
And my whole body spoke.

‘ You, that play tyrant to the dust,
And stamp its wrinkled face,
This patient star flings you not
Far into homeless space,

‘ Come down out of your dusty shrine
The living dust to see,
The flowers that at your sermon’s end
Stand blazing silently.

‘ Rich white and blood-red blossom ; stones,
Lichens like fire encrust ;
A gleam of blue, a glare of gold,
The vision of the dust.

‘ Pass them all by : till, as you come
Where, at a city’s edge,
Under a tree—I know it well—
Under a lattice hedge,

‘ The sunshine falls on the brown head.
You, too, O cold of clay,
Eater of stones, may haply hear
The trumpets of that day

‘ When God to all His paladins
By His own splendour swore
To make a faiere face than heaven,
Of dust and nothing more.’

(G. K. Chesterton)

Taken from Church, R. and M. Bozman, ed. Poems of Our Time (1900—). London: J. M. Dent & Sons, 1950. p. 49.

Jatung Hati Proklamasi

JANTUNG HATI PROKLAMASI:
SEBUAH TEOLOGI PEWARTAAN FIRMAN


PENDAHULUAN

Apakah yang membedakan ibadah Gereja Kristus (yang saya maksud bukan sebuah institusi gereja) dengan semua lembaga agama yang ada di dunia ini? Satu saja, yakni dalam ibadah: Firman Allah dan ketetapan-ketetapan Allah diberitakan di dalam ibadah. Pernahkah Anda memikirkan hal itu? Pemberitaan atau memproklamirkan firman adalah panggilan (vokasi) Gereja Tuhan di sepanjang sejarah.
[1] Di mana saja umat berkumpul untuk beribadah, mereka sedang bersekutu di sekeliling Firman. Dengan demikian, Firman menjadi pusat ibadah, dan umat selalu merindukan firman yang diberitakan.[2] Oleh sebab itu, Gereja dan pemberitaan firman tak mungkin diceraikan. Gereja tanpa khotbah,[3] dengan sendirinya, bukanlah Gereja milik Kristus. Gereja yang salah berkhotbah, atau mengkhotbahkan berita yang lain, adalah bidat!

Menyadari sentralitas firman dalam kehidupan kaum beriman, maka dalam esai ini penulis akan menggali jantung hati khotbah.
[4] Tujuan esai ini adalah agar kita semakin memahami hakikat, dasar, tujuan bentuk dan cara memproklamirkan firman dengan benar.

Tunggu dulu. Benar menurut siapa? Bukankah begitu banyak gereja yang berbeda pahamnya? Kita menjawab, benar menurut prinsip-prinsip Kitab Suci dan pengajaran yang kita pegang selaku pewaris-pewaris tradisi Reformasi. Dengan berpikir seperti ini, kita akan terhindar dari sikap pragmatis: “Yang penting, khotbah ini menghibur saya,” dan sejenis itu. Sebelumnya, kita perlu menganalisis secara kritis gaya khotbah yang banyak terjadi di gereja-gereja dewasa ini.


LIMA GAYA KHOTBAH KONTEMPORER

Pernahkah Anda bertanya kepada seseorang, atau mungkin diri sendiri, khotbah apa yang Anda senangi? Saya menemukan beberapa tipe berkhotbah kontemporer.

Gaya Ayatisme

Sebagian jemaat gemar dengan khotbah yang mengutip banyak ayat, yang menjajar beragam ayat dari Alkitab, PL dan PB. Semakin banyak ayat yang dikutip oleh pengkhotbah, maka khotbah itu dianggap semakin alkitabiah. Kata orang-orang golongan ini, sang pengkhotbah tidak mengkhotbahkan pikirannya, atau doktrinnya sendiri, tetapi benar-benar dari kebenaran firman Tuhan. Poin-poin dalam khotbah didasarkan pada ayat-ayat di sana sini. Mungkin dari Kejadian sampai Wahyu! Bahkan, tiap-tiap kalimatnya merupakan sambungan dari ayat satu ke ayat yang lain.

Sekilas memang nampak alkitabiah. Tetapi membedah lebih jauh, justru khotbah seperti ini sangat membahayakan pertumbuhan iman jemaat. Pertama, khotbah akan dianggap benar “asal ada ayatnya.” Tak peduli apakah ayat yang dikutip benar-benar bermakna seperti yang dikhotbahkan atau tidak, tetapi akhirnya toh jadi dianggap benar karena ada buktinya dari Alkitab. Kedua, dasar apa yang dipakai sang pengkhotbah dalam menjajar ayat? Ia juga memakai “doktrin” atau “pikiran” yang tersembunyi di balik khotbahnya, dan memakai ayat-ayat itu sekadar untuk membenarkan pikiran pribadi. Hati-hati, pola ayatisme ini telah melahirkan banyak bidat dalam sejarah iman Kristen.

Gaya Pengalamanisme

Khotbah dipenuhi dengan kisah-kisah nyata yang dialami oleh pengkhotbah atau orang Kristen yang lain. Khotbah seperti ini sangat menyentuh emosi dan perasaan pendengar. Dari yang lucu hingga yang mengharubirukan hati. Bukan teori doank, katanya, tetapi pengalaman nyata yang menjadi bagian hidup orang percaya di era modern yang serba sulit. “Hidup itu sudah sulit, jadi khotbah mbok jangan sulit-sulit.” Ayat Alkitab memang menjadi pembuka dan penutup khotbah, tetapi sepanjang khotbah dipenuhi dengan anekdot. Pengkhotbah tenggelam dalam menuturkan kisah-kisah a la Chicken Soup yang menjadi tulang dan daging khotbahnya. Permainan emosi ini yang membuat kita tidak perlu heran, bila di akhir khotbah ada panggilan altar, maka banyak orang yang maju, karena ingin mendapatkan pengalaman yang sama.

Membangunkah gaya khotbah seperti ini? Justru sebaliknya, hal ini membuat banyak orang Kristen menjadi frustrasi! Orang memang senang mendengar kisah-kisah yang membangkitkan perasaan, perasaannya dipompa agar meluap keluar, seolah-olah ia ditarik masuk ke hutan rimba nan mencekam pengalaman orang lain, dan kemudian ingin mendapatkan hal yang sama dengan yang diceritakan itu. Tetapi pada akhirnya kecewa berat, sebab itu adalah pengalaman orang lain, dan bukan pengalaman hidupnya secara pribadi. Katakanlah seandainya “saya” mengalami apa yang ia alami, misalnya kedukaan yang memilukan, belum tentu keputusan yang ia sudah ambil cocok untuk situasi “saya.” Jelaslah kini, gaya khotbah ini bukan khotbah yang alkitabiah.

Gaya Moralisme

Khotbah dengan titik tolak nilai-nilai moral dan norma-norma iman. Gaya ini biasanya mengangkat satu tokoh Alkitab sebagai dasar, lalu merefleksikan kehidupan si tokoh untuk masa kini. mereka menjadi teladan moral kehidupan orang percaya masa kini. Bisa saja yang diambil adalah kisah hidup bapa leluhur iman (Abraham, Ishak, dsb.), para nabi dan sahabatnya (Elia, Elisa, Barukh, dsb.), serta terutama adalah hidup dan keteladanan Tuhan Yesus.
[5] Biasanya dikemukakan bagaimana sang tokoh bergulat dengan iman, dengan keputusan-keputusan berat yang seharusnya ia ambil, dengan konteks zaman yang berat pada waktu itu.

Selain hal di atas, gaya khotbah seperti ini senang dengan mengemukakan kutipan ajaran-ajaran Yesus sebagai yang normatif. Apa yang Yesus perintahkan, dan apa yang Yesus larang untuk dilakukan. Lakukan ini dan jangan itu, itulah inti khotbah.

Bagaimana sikap kita? Pertama, Alkitab dipandang tak ubahnya seperti kumpulan biografi tokoh ternama tempo doeloe yang kebetulan masuk orang beriman yang patut diteladani langkah-langkah hidupnya. Tetapi cobalah membaca buku biografi orang terkenal lainnya, baik Kristen ataupun bukan, kita pun akan menemui liku-liku hidup yang sangat berat. Gaya khotbah naratif yang marak pada akhir-akhir ini cenderung menjurus kepada naratif-tokoh sehingga ujung-ujungnya adalah keteladanan moral.

Kedua, di sisi lain Alkitab menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Perdata. Isinya adalah serentetan aturan ini dan itu dengan pahala ini dan itu. kekristenan akan kehilangan jantungnya sebagai iman yang berpijak pada ductum “anugerah semata-mata” dan digantikan dengan agama yang “legal-formal.” Padahal, kita mengikut Yesus Kristus bukan karena Ia adalah Guru moral yang agung, tetapi oleh sebab pengakuan iman yang bersumber dari Roh Kudus bahwa Yesus adalah Tuhan, dan bahwa Ia adalah satu-satunya Juruselamat dunia.

Gaya Ilhamisme

Dalam gaya ini, karena khotbah merupakan ilham Roh dan bukan karya manusia, maka pengkhotbah tinggal menunggu apa yang mau disampaikan kepada jemaat-jemaat. Ia tak perlu mempersiapkan khotbahnya baik-baik. Sebaliknya, ia perlu banyak berdoa, supaya Roh Kudus sendiri berbicara secara langsung kepadanya. Bahkan dalam keyakinannya, teks Alkitab sudah dipersiapkan oleh Roh Kudus dan akan ditunjukkan Roh Kudus ketika akan naik mimbar. Pengkhotbah tinggal meminta, Roh Kudus akan memberi tahu.

Jika pemahaman ini benar, maka: Pertama, gereja tak membutuhkan lagi sekolah teologi. Apalagi kita percaya bahwa Alkitab itu sudah jelas dan mampu dipelajari dalam bimbingan Roh Kudus (perspecuity). Sekolah teologi terlalu banyak mengajarkan teori dan itu berarti untuk sebagian orang dianggap para calon hamba Tuhan diajar untuk mengandalkan kekuatan manusia. Kedua, jemaat tidak pernah belajar memahami Alkitab secara utuh lewat khotbah yang ekspositori, sebab khotbah ini sangat memeras waktu dan pikiran untuk mempersiapkannya baik-baik. Ketiga dan yang paling berbahaya: Jemaat diajar bahwa pada hari ini Allah masih memberikan “inspirasi” baru, yang langsung dan dapat didengarkan, sehingga wahyu Allah di dalam Alkitab masih belum cukup.
[6]

Gaya Plusisme

Khotbah saja belum cukup. Perlu plus-plus, yaitu tambahan-tambaha extravaganza yang serba wah! dan hah! sehingga jemaat semakin tertarik untuk menikmati suasana ibadah. Ibadah plus bintang tamu ibu kota. Ibadah plus hiburan yang menyegarkan hati-hati yang sedang penat. Ibadah plus permohonan janji-janji berkat. Ibadah plus demonstrasi karunia-karunia istimewa dari Roh (mukjizat, kesembuhan, bahasa asing, tertawa dalam roh, dsb.). Ibadah plus doorprize. Ibadah plus suasana cafe di dalam gedung gereja. Apanya yang salah? Buktinya toh ada: Pengunjung gereja bertambah, persembahan naik, jemaat puas dan bertambah semangat melayani. Jadi, tanpa plus-plus di atas, tak mungkin gereja menjadi berkembang.

Benarkah pemahaman ini? Dasar pemikiran yang melahirkan gaya ini adalah pola marketing dan pragmatisme. Mentalitas di balik itu adalah “yang penting kelihatan hasilnya” dan “yang penting saya mendapatkan sesuatu di gereja” atau “yang penting gereja tidak monoton.” Bahaya sekali. Sebab, tidak ada kebenaran yang melandasi pemikiran tersebut. Padahal, ada banyak penipuan yang fundamental. Pertama, umat tidak berkumpul di sekeliling Firman, dan mendengar Sabda yang murni diberitakan, tetapi firman plus entertainmen. Kedua, ibadah dan khotbah telah menjadi sama saja dengan hiburan akhir pekan setelah seminggu kerja berat. Ketiga, gereja telah sama seperti perusahaan yang memakai strategi pemasaran untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya. Sebenarnya di sini jemaat tidak lagi berharap kepada suara Allah melalui firman-Nya!


PREACHING SEEKING UNDERSTANDING
[7]

Atau, “khotbah mencari pengertian.” Dalam bagian ini, kita akan mencoba menelusuri hakikat khotbah, atau jantung hati khotbah. Di sini, kita juga akan melihat kaitan yang erat antara doktrin dan khotbah. Bagaimana menempatkan khotbah dalam kerangka iman yang utuh?

Khotbah sebagai Bagian Sejarah Suci

“Sejarah Suci” (Jerman Heilsgeschichte) dalam Alkitab mengikuti suatu pola pembabakan yang jelas sekali, yaitu: Penciptaan, Dosa, Anugerah, Hukum, Panggilan sebagai Terang dan Konsumasi (akhir zaman). Dalam Kitab Yesaya terdapat pola Dosa, Anugerah dan Pembaruan Panggilan. Surat Roma pun mengikuti pola yang sama: Dosa, Anugerah dan Persembahan Diri. Gereja-gereja Reformasi juga mengikuti patron yang sama, tercermin dengan gamblang dalam Katekismus Heidelberg (1563): Guilt, Grace, Gratitude. Pola Sejarah Suci ini melambari tata ibadah Gereja Reformasi.

Penciptaan --> Dosa --> Anugerah --> Hukum --> Panggilan --> Konsumasi

Pujian kpd Allah --> Pengakuan dosa --> Berita Anugerah --> Petunjuk Hidup Baru --> Respons --> Doksologi (pemuliaan)

Di manakah tempat pemberitaan firman? Yaitu pada Hukum. Dengan perkataan lain, khotbah adalah pemberian Hukum dan Tata Kehidupan bagi umat Allah yang telah menerima anugerah. Dalam hal isi, maka suatu khotbah harus memberikan petunjuk bagaimana jemaat hidup sebagai ciptaan baru di dalam Kristus, dan menuntun jemaat untuk mengambil respons secara pribadi maupun korporat untuk melayani Allah. Beberapa Gereja dalam tradisi Reformasi bahkan masih menekankan bentuk khotbah yang ketat, dengan mengikuti patron dasar dari Kitab Yesaya dan Surat Roma:

Teguran Dosa --> Anugerah --> Persembahan Diri

Dalam yang pribadi yang mengampu tugas mulia pemberitaan firman, maka pengkhotbah sedang berdiri sebagai wakil Allah untuk menyampaikan ketetapan dan peraturan hidup umat Allah, Israel yang baru. Ia menjadi juru bicara atas nama Allah Tritunggal. Kewibawaan yang diterima seorang pengkhotbah bukan berasal dari Majelis Jemaat atau sejumlah jemaat yang kaya raya, bukan bula cara pandang dan sambutan massa terhadap isi khotbahnya, tetapi dari Allah yang telah memberikan firman-Nya. Sehingga, tanggung jawab seorang pengkhotbah ialah harus menyampaikan firman sebagai petunjuk hidup baru dengan semurni-murninya. Singkatnya, proklamasi firman pada dasarnya adalah bagian dari peristiwa-keselamatan Sejarah Suci itu sendiri.
[8]

Khotbah sebagai Partisipasi Umat dalam Kehidupan Trinitas

Bersekutu dengan Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah inti keselamatan. Hal ini jelas ditegaskan dalam Efesus 1.3-14, bahwa Allah memilih kita untuk menjadi kudus dan tak bercarcat, serta menjadi anak-anak-Nya (1.4-5); Yesus Kristus menebus dan menganugerahkan pengampunan dosa bagi kaum pilihan (1.7); dan Roh Kudus menerapkannya. Selain itu, dalam Matius 28.19 juga dikemukakan bahwa seseorang dibaptis “dalam” nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Secara harfiah adalah “ke dalam,” (Yunani eis), yang berarti seseorang yang menerima baptis diisapkan ke dalam persekutuan Allah yang kekal. Bapa adalah Allah di atas kita. Putra adalah Allah bersama kita. Roh Kudus adalah Allah di dalam kita. Maka, kehidupan Kristen yang benar adalah meninggikan Allah Bapa, berpusatkan Kristus, dan dihidupkan serta diberdayakan oleh Roh Kudus.

Bagaimana khotbah membawa orang percaya ke dalam persekutuan dengan Allah? Yaitu bahwa melalui pemberitaan firman:

Allah Bapa ditinggikan dan dimuliakan di dalam proklamasi firman;

Yesus Kristus, Sang Putra Tunggal dan Juruselamat, menjadi pusat proklamasi firman;

Roh Kudus mengangkat hati orang percaya untuk menyambut proklamasi firman.

Perhatikan kebenaran ini. Allah berada di tempat yang jauh tinggi, dan Ia akan semakin ditinggikan di dalam pemberitaan firman. Tetapi kita yang rendah, yang hina dina, yang penuh dosa, dengan memandang kepada kurbah Kristus yang sempurna sebagai pusat proklamasi, diantar untuk masuk menghadap tahta Allah yang suci dalam kuasa Roh Kudus.

Implikasinya, khotbah bukan semata-mata paparan ilustrasi kehidupan orang percaya. Ukuran khotbah bukan manusia, tetapi Allah. Betapa serius pemahaman bahwa di dalam proklamasi firman ketiga Pribadi Trinitas berkarya secara aktif!

Khotbah sebagai Sarana Anugerah

Khotbah bukanlah pekerjaan yang dengan perantaraannya seseorang diselamatkan. Kita menolak pandangan bahwa berkhotbah dengan sendirinya mendatangkan keselamatan (Latin ex opere operato), juga bukan tindakan imam atau pendeta dalam berkhotbah itu pasti mendatangkan nikmat surgawi (ex opere operantis). Sebab itu, Gereja-gereja Reformasi tidak memuja khotbah ataupun pengkhotbahnya sebagai pihak yang memiliki urapan yang lebih tinggi daripada orang lain.

Sebaliknya kita percaya, bahwa melalui khotbah, maka Allah di dalam Kristus membuat efektif rencana agung keselamatan (Latin ex praedicare Deus in Christo operato).
[9] Allah memilih, dan pemilihan itu menjadi efektif ketika Allah memanggil kaum pilihan-Nya melalui khotbah. Sebab di dalam pemberitaan firmanlah, seseorang—dengan pertolongan Roh Kudus—menyadari kedalaman rencana Allah yang telah memberikan Kristus sebagai Juruselamat dunia. Di dalam khotbahlah seseorang berjumpa dengan Kristus Sang Penebus dosa yang menggenapkan janji Allah Bapa sejak kekekalan. Hal ini segera menyiratkan dengan serius bahwa doktrin pemilihan bertolak belakang dengan doktrin takdir di dalam Islam. Allah yang telah memilih kaum-Nya, menjadi Pengantar mereka untuk bersembah sujud kepada Kristus. Allah yang sama yang mengantar kita untuk bertumbuh di dalam anugerah dan pengudusan yang sebenarnya.

Sebab itu, dalam pemberitaan firman, beban dan tanggung jawab tidak dikenakan ke atas pundak pengkhotbah semata-mata. Tugas pemberitaan ini juga menjadi tanggung jawab setiap pendengar dan jemaat secara keseluruhan. Baik yang berkhotbah maupunyang mendengar memiliki beban yang sama. Jemaat yang mendengarkan khotbah seharusnya berpartisipasi dalam proklamasi firman itu dengan: (1) semakin mengenal Yesus Kristus; (2) menerima anugerah yang Ia tawarkan; (3) menanggapi panggilan-Nya dengan ketaatan dan kepatuhan yang mutlak.
[10] Ketiga hal ini dapat terjadi hanya melalui topangan dan dorongan yang kuat, bahkan irresistible (tak dapat ditolak) dari Roh Kudus.

Khotbah sebagai Proklamasi Iman

Khotbah yang sejati akan memproklamirkan bahwa kita ini adalah milik Kristus dan bukan milik dunia. Secara pribadi kita dikuasai oleh Kristus. Secara korporat, setiap gerak dan langkah kita berpusatkan Kristus. Berarti, tidak ada sesuatu yang lain yang dapat memiliki kita selain Kristus. Dalam ucapan Abraham Kuyper, “Tidak ada satu area dalam kehidupan ini di mana Kristus tidak berseru, ‘Ini milik-Ku!’” Berarti, tidak ada sesuatu yang lain yang dapat memiliki kita selain Kristus. Inilah hakikat menjadi ciptaan baru, yang dicipta dalam Kristus (Ef. 2.10).

Khotbah harus mengundang jemaat untuk mengambil komitmen dan/atau memperbarui komitmen kepada Tuhan Yesus Kristus. Serta, proklamasi firman membuka undangan bagi setiap warga jemaat untuk masuk dalam persekutuan umat kovenan (artinya: yang diikat oleh perjanjian Allah yang kekal), yaitu tubuh Kristus, Gereja yang sejati.

Komitmen seperti ini serta merta merupakan pengakuan di hadapan dunia bahwa kita telah menerima anugerah Allah di dalam Kristus dan sekarang giliran kita untuk mempersembahkan diri kepada Allah dengan wujud nyata: (1) hidup baru dalam kemuridan yang radikal; (2) hubungan baru dengan sesama; (3) kepekaan baru terhadap karunia Allah di dalam diri, serta karunia orang lain, yang akan melengkapkan pelayanan; (4) keterlibatan baru dan aktif dalam kegiatan penebusan Kristus di dalam dunia, dengan siap menjadi penatalayan yang bertanggung jawab kepada Allah yang empunya langit dan bumi.


KESIMPULAN

Akhir kata, sebagai Gereja Kristus kita harus menancap di atas Batu Karang yang kokoh! Dasar khotbah adalah Alkitab sebagai kesaksian bagi Firman Allah yang hidup dan benar, Yesus Kristus. Sebagai kesaksian Firman, Alkitab tidak mungkin khilaf atau salah dalam mengajarkan kebenaran-kebenaran iman Kristen kepada jemaat. Setiap pengajarna dari Alkitab adalah benar dan memiliki dampak yang besar bagi kehidupan pribadi-pribadi yang dimiliki oleh Kristus (bdk. 2Tim. 3.16, 17).

Pengakuan terhadap Alkitab sebagai kesaksian Firman Allah yang hidup tidak berarti bahwa pengkhotbah memiliki kebebasan untuk mengutip ayat dengan sembarangan. Seorang pengkhotbah harus berhati-hati dalam hal ini! Setiap ayat yang dikutip harus disertai dengan keyakinan bahwa ayat itu memang bermakna sama seperti maksud pengkhotbah. Mentalitas “asal ada ayatnya” bukan cara yang benar untuk memahami Kitab Suci.

Atas pemahaman ini, kita tahu bahwa berkhotbah berbeda dengan berpidato. Dalam berpidato, pembicara boleh dengan bebas merangkai pikiran hingga menawan dan memikat hati pendengar. Sebaliknya, seorang pewarta firman terikat mutlak dan harus tunduk kepada teks suci. Ia harus mempertangungjawabkan teks yang menjadi dasar pemberitaan. Pertanggungjawaban terhadap teks diwujudkan dengan mempelajari teks itu dengan hati-hati, saksama, mempersiapkan naskah khotbah dan berdoa untuk tugas yang mulia itu. ia dilarang keras untuk memasukkan pikiran-pikiran subjektif dan naif yang tidak dibingkai oleh pengajaran yang bertanggung jawab pula. Mewartakan Kitab Suci perlu disertai keyakinan bahwa melalui Roh-Nya Tuhan Yesus Kristus hadir di dalam perkumpulan jemaat, mengundang mereka untuk menerima anugerah-Nya serta memanggil mereka untuk patuh kepada-Nya.

Atas dasar ini pula, kita mendapatkan tujuan pewartaan firman. Tujuan pewartaan adalah menguraikan firman sejelas-jelasnya dan semurni-murninya sehingga jemaat berjumpa secara pribadi dengan Sang Firman. Pada akhirnya, jemaat yang mendengar pewartaan ini akan mengambil repons secara pribadi. Pengkhotbah adalah pelayan firman Allah, dan oleh karena itu firman harus diuraikan dengan bahasa yang sederhana dan gamblang, yaitu bahasa yang dimengerti oleh jemaat.

Dari dasar dan tujuan di atas, kita dapat menentukan bentuk pewartaan firman yang alkitabiah, yaitu menguraikan Alkitab dengan setia, yang kita kenal sebagai “khotbah ekspositosi.” Indikasi paling jelas dari khotbah ekspositori terdapat dalam Nehemia 8.4, 8.

[Ezra] membacakan beberapa bagian daripada kitab [Taurat] itu di halaman depan pintu gerbang Air dari pagi sampai tengah hari di hadapan laki-laki dan perempuan dan semua orang yang dapat mengerti. Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu.

Bagian-bagian daripada kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga pembacaan dimengerti.

Bagaimana dengan cara mewartakan firman? Hendaknya setiap orang Kristen mawas dan sadar bahwa cara dan gaya membawakan khotbah tidak boleh menawan pikiran orang hingga terkagum-kagum kepada sosok kharismatis serta pembawaan diri dari sang pengkhotbah. Sekali lagi, pewarta firman adalah pelayan firman. Ia tunduk kepada otoritas firman Allah, dan ia hanya diperbolehkan menyampaikan pesan Allah kepada jemaat: teguran, pengampunan, penghiburan, pengajaran, dsb. Bukan berarti bahwa seorang pewarta firman tidak boleh belajar teknik-teknik retorika dan sastra serta pembawaan diri yang baik. Perlu memang, tetapi bukan itu prioritas utama! Tugas utama seorang pewarta adalah menjelaskan dengan seterang-terangnya pengajaran Kitab Suci, sehingga oleh kuat kuasa Roh Kudus, hati jemaat diangkat untuk memandang kemuliaan Allah dan Kristus yang meraja atas segenap alam raya. Ia akan menjadi pewarta yang baik jika berdiri atas nama Allah dan hidup dalam integritas di hadapan Allah dan manusia.


PENUTUP

Kita telah melihat bahwa pewartaan firman bergandengan tangan dengan pengajaran yang kuat. Hakikat khotbah adalah menjadi bagian yang integral dari peristiwa-keselamatan, sebagai partisipasi dalam kodrat Trinitas, sebagai sarana anugerah, dan sebagai proklamasi iman. Hakikat ini mensyaratkan bahwa khotbah berdiri di atas dasar yang kuat, yakni Alkitab sebagai kesaksian Firman Allah. Sebagai kesimpulan, kita perlu menelisik perkataan Heinrich Ott, seorang teolog dogmatika Reformed terkemuka dari Jerman. Dalam buku Dogmatik und Verkündigung ia menulis sebagai berikut,

Harus diakui bahwa dogmatik merupakan nurani dari khotbah dan bahwa khotbah, sekali lagi, adalah jatung hati dan jiwa dari dogmatika. Agar dapat berkhotbah dengan baik, sang pengkhotbah harus terlibat dalam refleksi dogmatik; sedangkan teolog dogmatika, supaya dapat mengajarkan dogmatika dengan baik dan lurus, harus menyadari bahwa ia bekerja dengan maksud seperti halnya berkhotbah dan perlu menghayati misi khotbah, meskipun ia tidak naik mimbar setiap Minggu. Jikalau seorang pengkhotbah begitu saja menyerahkan pemikiran dogmatika kepada pakarnya, ia akan menjadi pengkhotbah yang butuk, seorang pengkhotbah tanpa hati dan nurani. Juga, seorang teolog dogmatika yang membiarkan pengkhotbah dengan tugas-tugas praktisnya di gereja, ia akan menjadi pengajar yang buruk; sekali lagi ia akan menjadi seorang pakar dogmatika yang tak berhati dan tak bernurani.
[11]

Singkat kata, seorang pewarta firman harus juga pecinta doktrin dan pengajaran yang benar. Sebaliknya, seorang pecinta doktrin ataupun pengajar doktrin harus suka dengan pemberitaan firman dari atas mimbar gereja. Bila hal ini terwujud, akan berkembang suatu hubungan timbal-balik yang harmonis. Seorang pengkhotbah juga seorang dogmatikus. Dari hubungan ini akan bersemi dua penekanan yang harus dipertahankan dalam berkhotbah: Pertama, khotbah harus selalu setia kepada Pewahyuan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus, dan kedua, khotbah Kristen harus dapat dimengerti dan dicerna oleh jemaat, serta bersentuhan dengan problematika hidup pendengarnya. Intinya, khotbah merupakan pembahasaan ulang kebenaran-kebenaran kuno untuk masa kini dan di sini.

TERPUJILAH ALLAH!


Ditulis ulang berdasarkan makalah yang disampaikan dalam Semi-Lokakarya Pengkhotbah Awam
“Khotbahkanlah Firman!” pada hari Minggu, 18 September 2005
di GKMI Kudus



[1]Sejak berdirinya, Gereja Kristen menempatkan proklamasi (kata benda Yunani kērugma) dalam posisi sentral. Berdasarkan tindakan memproklamirkan (kata benda kērussen), yang dipercayakan kepada seorang proklamator (kata benda kērux), maka proklamasi dapat dipahami dalam artian “tindakan memproklamirkan,” ataupun “isi proklamasi.” Tentang apa? Yaitu bahwa Allah di dalam Kristus telah menjadi manusia, dan Allah telah mengkomunikasikan Kehadiran Agung ini dengan bahasa manusia, kata-kata yang dipahami oleh manusia. Jadi, gereja-gereja pada zaman sekarang juga perlu untuk memperhatikan baik isi maupun cara berkhotbah. Lih. Maria Harris, Fashion Me a People: Curriculum in the Church (Louisville: Westminster John Knox, 1989), 127.
[2]Dalam Pedoman Ibadah Gereja Presbiterian (PCUSA), dinyatakan dengan tepat bahwa Gereja mengakui Alkitab sebagai Firman Allah yang tertulis, yang memberikan kesaksian kepada Pewahyuan-Diri Allah. Di mana firman itu dibaca dan diberitakan, Yesus Sang Firman Hidup hadir melalui kesaksian Roh Kudus dalam diri orang percaya. Oleh sebab alasan inilah maka membaca, mendengarkan, mengkhotbahkan dan menghormati Firman menjadi pusat ibadah Kristen. (Lih. “Centrality of Scripture,” dalam Book of Order 2004-2005 [t.k.: The Office of General Assembly, 2004], W-2.2001).
[3]Dalam makalah ini, penulis memakai “khotbah” dan “pewartaan firman” saling menggantikan.
[4]Istilah “teologi” bukan merupakan konsumsi kaum elitis yang bergelar S. Th. atau yang di atasnya. Teologi yang benar dan lurut justru memberi alasan prinsipal atau pijakan fundamental Kristiani mengapa kita melakukan “hal ini” dan bukan “hal itu.” Teologi, yang boleh dipahami sebagai suatu kajian atau studi (logia) tentang Allah (Theos), bukan sekadar sederetan wacana pemikiran abstrak. Teologi akan selalu mencari kaitan yang erat antara apa yang kita pahami dengan dunia tempat hidup kita, yakni dunia yang real. Teologi erat kaitannya dengan spiritualitas dan kedewasaan rohani. Sebab itu, semua orang Kristen pasti berteologi. Atau, semua orang Kristen adalah teolog! Baik pendeta maupun jemaat. Klerus maupun awam. Oleh sebab itu, semua yang kita lakukan seharusnya memiliki pijakan yang jelas berdasarkan apa yang kita percayai. Teologi sesederhana itu.
[5]Perhatikanlah ketika gereja memasuki masa raya Natal atau Paskah. Khotbah-khotbah mimbar hampir selalu dipenuhi teladan Keluarga Kudus (Yusuf, Maria dan Bayi Yesus) dan orang-orang di sekitarnya; dan bagaimana penderitaan berat yang telah dialami Yesus diekspos sehingga mampu membangkitkan emosi yang berbelas kasihan kepada Yesus yang menderita.
[6]Gereja yang bernaung dalam tradisi Reformasi percaya bahwa inspirasi—Allah mengilhami orang-orang percaya dengan kebenaran-kebenaran hakiki—telah lengkap saat kanon Alkitab (PL dan PB) ditutup. Setelah itu, tidak ada lagi wahyu baru! Allah tidak lagi membukakan diri-Nya dengan cara yang sama sekali baru selain yang telah tercantum dalam Alkitab. Yang terjadi kemudian yaitu bahwa melalui Roh Kudus, Allah menerapkan kata-kata dalam Kitab Suci ke dalam hidup orang percaya supaya semakin hari semakin serupa dengan Kristus. Maka, kita menolak ajaran bahwa wahyu masih terus diberikan hingga hari ini.
[7]Anselmus dari Canterbury, Inggris, yang hidup kira-kira tahun 1033-1109, pernah mencetuskan kalimat yang terkenal hingga sekarang, yaitu fides quaerens intellectum, “iman yang mencari pengertian.” Dengan dictum ini, Anselmus hendak menegaskan bahwa kehidupan Kristiani juga mengedepankan praksis intelektual. Iman harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Iman yang berani tampil di hadapan publik! Meminjam kalimat tersebut, kita juga perlu menelusur bahwa khotbah pun perlu memiliki landasan pertanggungjawaban yang kokoh, dan pengkhotbah tahu alasan mengapa pemberitaan firman harus bersifat umum.
[8]Hal ini ditekankan oleh Otto Webber, Foundations of Dogmatics, tr. Darrel L. Guder (2 vol.; Grand Rapids: Eerdmans, 1983), 2.585.
[9]Bdk. Weber, Foundations, 2.584.
[10]“Hearing the Word,” dalam Book of Order W-2.2010.
[11]Dikutip dalam Geoffrey Wainwright, Doxology—The Worship of God in Worship, Doctrine and Life: A Systematic Theology (New York: Oxford University Press, 1980), 177.