Wednesday, November 29, 2006

Verbatim

Kunci untuk memahami sebuah bacaan adalah memberikan penghargaan kepada sang penulis.

Tuesday, November 28, 2006

Panca Norma Gereja Sukses

Panca Norma Gereja Sukses:

1. Gedung Ibadah indah, berfasilitas lengkap dan nyaman

2. Angka pengunjung kebaktian naik

3. Persembahan meningkat

4. Antusiasme anggota untuk terlibat kegiatan-kegiatan gereja

5. Jumlah cabang/ Pos PI/ satelit bertambah


Bagaimana dengan gereja Anda?

Friday, November 24, 2006

Menilik Paham Kehendak Bebas

MENILIK KEMBALI PAHAM KEHENDAK BEBAS


Lihat, Betapa Indahnya!

Allah menciptakan alam dan manusia sebagai mahkota ciptaan dengan sempurna! Kesempurnaan sebagai ciptaan tidaklah berarti bahwa kita sama seperti Allah. Tetapi sebagaimana yang Allah lihat di paripurna penciptaan, “sungguh amat baik” (Kej. 1.31). Kesempurnaan itu dalam hal: (1) tata harmoni yang terjalin antara Allah-alam, Allah-manusia, manusia-manusia dan manusia-alam; (2) kebergantungan ciptaan kepada Allah, dan hidup dalam ketaatan secara total kepada Dia saja.

Allah menyerahkan tugas dan tanggung jawab pengelolaan alam kepada manusia, yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Allah, Sang Pemilik dan Pengusaha taman, berkenan menempatkan manusia di dalam taman untuk mengusahakan dan memeliharanya (2.15). Ketaatan manusia kepada Allah akan menjaga tata harmoni tersebut. Pemberontakan manusia akan merusaknya. Sebagaimana ditekankan minggu-minggu lalu, manusia dituntut untuk berlaku taat kepada Sang Raja yang berdaulat.

Keruntuhan Itu . . . .

Namun demikian, tuntutan Allah supaya manusia mematuhi “perjanjian perbuatan” dilanggar. Manusia merasa dapat memutuskan bagi dirinya sendiri apa yang seharusnya diputuskan oleh Allah. Belum sampai memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, bahkan perempuan itu telah “melihat bahwa buah itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya” (3.6). Bukankah hanya Allah yang sebelumnya memutuskan sesuatu itu baik atau tidak? Lihatlah, sekarang manusia telah memposisikan dirinya sebagai Allah!

Semua ini sebab manusia memiliki “kehendak bebas”? Tunggu dulu, apakah Allah memperbolehkan moyang pertama kita untuk memilih dengan kehendaknya antara yang baik dan yang jahat? Ini menyangkut keputusan moral. Bukan seperti pilihan-pilihan di saat perut terasa lapar, kita melihat di atas meja tersedia tempe, tahu, bakwan dan petai goreng, lalu kita memilih mengambil tempe untuk sekadar mengisi perut; ataupun seorang anak yang diperhadapkan pada pilihan antara bekerja, melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi (universitas), atau menikah setelah lulus SMA. Dalam hal-hal yang baru saja disebut, memang seseorang bebas menjatuhkan pilihan, tetapi pilihan-pilihan itu bukan pilihan moral yang menakar tindakan baik atau jahat. Terhadap kehendak bebas, kita perlu menyingkapnya seterang-terangnya dan secara jujur terbuka terhadap Kitab Suci sendiri.

(I) Allah memberi satu amanat yang jelas kepada Adam, yaitu untuk mengasihi, mematuhi serta percaya hanya kepada Allah dengan melarang memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat (2.17). Kata Ibrani yang diikuti oleh kata kerja bentuk imperfect berarti “suatu larangan yang tetap berlaku untuk seterusnya.” Bandingkan dengan Sepuluh Hukum “Jangan membunuh,” dst. Ketetapan Tuhan mengenai moral tetap selamanya, yaitu bahwa Allah saja yang mengambil keputusan, dan manusia sama sekali tidak memiliki hak otonomi untuk memutuskan standar moral. Jadi, apakah manusia bebas untuk memilihnya? Apakah manusia berhak memutuskan moralitas bagi dirinya sendiri?

(II) Kalau benar bahwa Allah memberikan manusia "kehendak bebas," berarti sejak semula Allah sendiri telah memaksa manusia menerima kehendak bebas tertanam dalam dirinya, dengan tujuan supaya manusia dapat memutuskan moralitas bagi dirinya sendiri. Ya, ini serius. Berarti ada satu masa ketika manusia tidak punya pilihan, yaitu ketika Allah memasukkan kehendak bebas di luar kesadarannya. Jika manusia berkehendak bebas, mengapa manusia tidak menolak pemberian Allah yang berupa kehendak bebas itu? Apakah karena kehendak bebas itu tertanam di dalam manusia sejak diciptakan sehingga manusia tak mungkin dapat menolaknya? Justru di sinilah nyata kontradiksi-kontradiksi paham kehendak bebas:

(i) Paham kehendak bebas justru merendahkan kedaulatan Allah. Kian terbuktilah bahwa Allah memaksakan kehendak bebas kepada manusia. Oh, kehendak bebas itu netral dan baik pada dirinya sendiri? Bukan masalah netralitas kehendak bebas, tetapi bahwa Allah menanamkan kehendak bebas di dalam manusia pada waktu ia diciptakan itu sudah merupakan fakta bahwa manusia tidak bebas.

(ii) Paham kehendak bebas justru menempatkan Allah sebagai biang dosa. Paham ini menjadi hipotesis kerja bahwa Allah bukan pembuat dosa. Tujuannya mulia, yaitu membela dan menjauhkan Allah dari tanggung jawab menyusupnya dosa ke dalam dunia. Namun, oleh karena adanya kehendak bebas itu sendiri merupakan fakta ketidakbebasan manusia untuk dapat memilih sehingga ia memiliki kehendak bebas atau tidak memilikinya, maka jelaslah bahwa sumber dosa secara ultimat dituduhkan kepada Allah. Mengapa Allah memaksakan kehendak bebas yang—Ia sudah ketahui sebelumnya—justru akan menjerumuskan manusia ke dalam dosa?

(iii) Paham kehendak bebas justru menggugat balik murka Allah. Mengapa Allah marah, sampai-sampai mengutuk alam bahkan mengusir Adam-Hawa kalau Ia adalah seorang yang “demokratis”?[1] Jikalau Ia memberikan kehendak bebas dalam diri manusia—yang ternyata manusia tidak punya pilihan untuk menerima atau menolak kehendak bebas itu—dan memberi pilihan: “Silakan putuskan sendiri: taat atau tidak kepada-Ku” atau “Mau taat ya syukur, kalau tidak ya Aku hukum,” maka Allah sama sekali tidak punya alasan untuk murka. Analoginya seperti ini, andai di tangan saya ada dua buah permen—permen jahe di tangan kanan dan permen kopi di tangan kiri—lalu saya berkata, “Ayo kamu pilih, mau yang mana: permen jahe atau kopi?” Ternyata adik saya memilih permen jahe . . . tiba-tiba meledaklah amarah saya, terus memukuli adik. Apa yang adik saya akan pikirkan? “Kakakku gila! Mengapa ia tadi memberi pilihan?” Bagaimana dengan Allah bila kita percaya Ia memberi kita kehendak bebas untuk memilih?

(iv) Paham kehendak bebas justru membuktikan bahwa manusia itu robot. Ironis! Tapi benar demikian. Sebab, bagaimana mungkin manusia memiliki kehendak bebas? Ya karena Allah memberinya kehendak bebas. Tetapi oleh karena pemberian kehendak bebas itu sendiri menganulir kebebasan manusia—sebab di luar kesadaran manusia—berarti kehendak bebas itu layaknya batu baterai atau akumulator yang dipasang di dalam manusia, sehingga manusia dapat bergerak dan membuat keputusan-keputusan moral berdasarkan kehendak bebasnya. Implikasi secara teologis, bahwa manusia yang diciptakan mulia lagi terhormat dengan kehendak bebas menyatu di dalam dirinya itu tak lebih merupakan hasil rekayasa dari Satu Khalik yang lalim lagi arbitrer.

(v) Paham kehendak bebas bertentangan dengan Kitab Suci. Di manakah di dalam Alkitab dinyatakan bahwa kehormatan dan martabat manusia terletak pada kemampuannya untuk memilih secara bebas? Kejadian 2 atau 3? Bukan. Martabat manusia sebagai mahkota ciptaan terletak pada penciptaannya sebagai gambar Allah yang memiliki tanggung jawab untuk mengasihi dan taat secara total kepada Allah. Kehendak bebas merupakan inferensi dari logika yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya bahkan sangat berbahaya bagi pertumbuhan iman kita.

(III) Jika kita tetap ingin mempertahankan “kehendak bebas,” satu-satunya manusia yang memilikinya adalah moyang kita yang pertama, sebab mereka diciptakan dalam keadaan bisa tidak berdosa. Adam bisa tidak berdosa ketika ia memilih untuk taat secara total dan mempersilakan Allah memutuskan ketetapan-ketetapan-Nya atas hidupnya. Adam ternyata mengambil langkah lain: memberontak kepada Allah. Kesaksian Alkitab jelas. Ketetapan yang dilanggar. Perjanjian Perbuatan antara Allah yang berdaulat dan manusia sebagai mitra kerja yang mengusahakan dan memelihara taman (2.15) dikhianati.[2] Akibatnya, semua keturunan Adam berada di bawah penghukuman Allah. Pernahkah kita berefleksi, apakah kehendak kita sebagai keturunan Adam setara dan tetap sama dengan keadaan kehendak moyang pertama kita itu?

(IV) Apakah kita ini sekadar wayang di tangan ki dhalang? Sama sekali bukan! Hanya Adam yang dikaruniai kemampuan bisa tidak berdosa. Setelah Adam jatuh, semua manusia tidak mampu untuk tidak berdosa. Mari kita berefleksi. Apakah kita sungguh-sungguh memiliki kebebasan untuk memilih? Tetapi kebebasan serupa ini niscaya ada bila manusia berada di dalam sama sekali tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan yang ada di dalam hatinya. Memiliki satu atau dua saja kecenderungan, maka sesungguhnya manusia itu tidak lagi bebas. Faktanya, bukankah kita didorong dan dikendalikan oleh rupa-rupa kecemasan, ketakutan, keragu-raguan, iri hati, kedengkian, curiga, pertikaian, pemberontakan dan penindasan? Pernahkah kita dalam sehari saja bebas dari perasaan-perasaan di atas? Bukankah dalam mengambil keputusan moral, segala gagasan jahat terselip di benak kita? Jadi, masih benar-benar bebaskah seseorang ketika mengambil keputusan?

Kita sepatutnya merendahkan diri di hadapan Allah, bahwa di dalam tubuh yang penuh kecemaran ini kekuasaan dosa sedemikian mencengkeram kita. Ya, kita bukan robot dan Allah bukan pembuat robot. Kita bukan wayang dan Allah bukan ki dhalang. Tetapi telah terpampang dengan gamblang, manusia dikontrol, dikendalikan dan dikuasai oleh kecenderungan-kecenderungan hati yang penuh kelicikan (Kej. 6.5; 8.21; bdk. Mrk. 7.20-23). Ooh . . . ungkapan bahwa manusia itu seperti robot atau wayang, tak lebih dari sekadar cetusan klise saja.

(V) Sesungguhnya, mengatakan manusia memiliki kehendak bebas berarti kita tanpa sadar telah menempatkan manusia sebagai yang sama, yang setara dengan Allah yang berdaulat. Sebab paham ini berkata bahwa sejak semula manusia mempunyai hak untuk memutuskan bagi dirinya sendiri. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih masalah moral. Padahal hanya Allahlah satu-satunya penentu sesuatu itu baik atau tidak. Pemikiran bahwa manusia diberi kebebasan oleh Allah itu terbukti melawan kesaksian firman Tuhan.

Kesimpulannya, setelah ditinjau dari berbagai aspek teologis-biblika, paham kehendak bebas terbukti keliru dan sebenarnya merupakan inferensi pragmatis dari data Alkitab bahwa moyang kita memberontak kepada Allah. Alkitab sendiri tidak berkata apa-apa mengenai kehendak bebas. Pemberontakan Adam itu sesungguhnya dilakukan secara sukarela, bukan karena Allah memberinya kehendak bebas, tetapi karena Adam ingin menjadi seperti Allah, dengan melanggar perjanjian Allah. Paham ini bertujuan membela Allah dari tanggung jawab adanya dosa dan dari gambaran seorang monarkh yang lalim, tetapi kenyataannya justru berkebalikan. Paham ini mendiskreditkan kedaulatan Allah habis-habisan dan Allah didudukkan di kursi pesakitan di ruang pengadilan (kata C. S. Lewis).

Tata Harmoni yang Sungsang

Pola narator menuturkan dampak kejatuhan sangat menarik. Urutan interogasi demikian: Allah berbicara kepada laki-laki lalu perempuan. Allah tidak menanyai ular. Sedangkan urutan hukuman itu adalah ular, perempuan dan kemudian laki-laki. Perhatikan akibat yang ditimbulkan oleh dosa:

Pertama, manusia terasing dari Allah: problem teologis. Allah bertanya, “Di manakah engkau?” Bukan karena Allah tidak tahu. Inilah pertanyaan retorik yang biasa dipakai dalam puisi (mis. Yes. 36.19; Mzm. 42.4, 11). Sang Hakim alam semesta memanggil manusia dan menuntut pertanggungjawaban tindakannya. Narator mencoba memotret Adam dan Hawa yang kucing-kucingan dan bertingkah kekanak-kanakan dengan mengajak Allah bermain petak umpet. Sama seperti orangtua yang bertanya, “Di mana kamu, Nak?” kepada anaknya ketika bermain, Allah pun betindak sama. Jawaban Adam kepada Allah menunjukkan bahwa mereka mengerti pertanyaan tersebut merupakan undangan untuk menampakkan diri dan menjelaskan kelakuan mereka.

Adam berucap, tetapi tidak menjawab pertanyaan Allah. Ia malahan mengalihkan ke topik lain. “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada di dalam taman . . . .” Frase “aku mendengar” dalam ungkapan bahasa Ibrani berarti “patuh kepada Allah.” Di sini, frase ini justru menelanjangi pelanggaran moyang kita. Sebab mereka mengucapkannya dengan bersembunyi, dan mengelak dari tanggung jawab. Adam tidak patuh kepada Allah, itulah kegagalannya. Maka manusia pun terputus hubungannya dengan Allah.

Kedua, manusia terasing dari sesamanya: problem sosiologis. Adam berusaha membenarkan diri sendiri dan menyalahkan istrinya. Inilah titik fatal dosa. Bukan hanya terpisah dari Penciptanya, manusia melawan kekasihnya. Bukankah daftar kecemaran di atas selalu diarahkan kepada sesama kita? Perhatikan juga hukuman atas Hawa, “Engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (ay. 16). “Birahi” ternyata bukan hanya berarti berhasrat seksual, tetapi juga berhasrat untuk memisahkan diri, atau godaan menjadi rival dan menyingkirkan sesama. Perhatikan juga 4.7, di mana dosa “menggoda” Kain untuk membunuh Habel. “Berkuasa” di sini menunjukkan arti tindakan perendahan yang eksploitatif, bahkan tak jarang perempuan pun menyerahkan diri untuk diperlakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh laki-laki. Bila pada zaman ini kita melihat begitu banyak orang yang melakukan penghisapan, penindasan, penyingkiran, pemusnahan terhadap sesamanya, hal ini semata-mata menelanjangi kengerian yang ditimbulkan oleh dosa.

Ketiga, manusia terasing dari alam dan makhluk lain: problem ekologis. Hawa pun mengelak dari tanggung jawab, dan menyalahkan ular. Kedamaian antara manusia dan makhluk pun terkoyak. Bahkan terjadi peperangan antara manusia dan alam. Binatang yang diberi nama oleh Adam, kini berbalik melawannya. Tanah yang darinya Adam hidup (2.5, 7) dan mengusahakan taman (2.15) dikutuk oleh Allah. Dengan berpeluh Adam, sebagai kepala keluarga, menghidupi keluarga seumur hidupnya, bahkan hasil kerjanya mengecewakan, penuh dengan “semak duri dan rumput duri.” Manusia yang menjadi musuh ekosistem dan sebaliknya, ekosistem tidak mendukung perikehidupan manusia merupakan perwujudan yang jelas dari penghukuman tersebut.

Keempat, manusia terasing dari dirinya sendiri: problem psikologis. Adam berkata, “Aku takut sebab aku telanjang, sebab itu aku bersembunyi.” Masalahnya adalah, mengapa ketelanjangan kini membuat mereka harus bersembunyi, padahal di 2.15 baik laki-laki dan perempuan itu telanjang? Suatu pengenalan terhadap konsep diri yang independen dari Allah justru membuat manusia bersembunyi. Tak perlu kita heran bahwa banyak ahli psikologi dari berbagai mazhab dan aliran yang akhir hidupnya justru sangat tragis: bunuh diri atau tidak waras lagi.

Betapa ngeri akibat dosa! Benih dosa—yaitu ingin menjadi seperti Allah—telah mencampakkan manusia jauh dari semua yang ada di sekitarnya. Tetapi tunggu dulu, bukankah hingga detik ini manusia terus berupaya untuk memperbaiki kehidupan, mengembangkan ilmu-ilmu alam maupun sosial yang canggih? Semua cabang keilmuan berkembang luar biasa. Bermunculan pula klab-klab pecinta alam semacam Green Peace yang berjuang untuk melestarikan ciptaan dan mempromosikan perbaikan ekosistem. Kita melihat titik-titik perbaikan wajah bumi kita, dan banyak orang yang menggelutinya bukan orang Kristen. Ya, sungguh benar! kita tidak boleh naif. Dari sudut pandang Alkitab, inilah bukti nyata bahwa Allah dalam karya penyelenggaraan ilahi-Nya meredam penyebaran dosa dan perusakan alam melalui “anugerah bersama” (common grace), sehingga kerusakan total pada diri manusia jangan sampai dipahami bahwa manusia telah menjadi bobrok sejadi-jadinya. Puji Tuhan!

Bila demikian, pasca-kejatuhan menyibakkan kebenaran yang melawan paham kehendak bebas manusia berdosa. Ternyata, kehendak manusia yang cemar dan terbelenggu tersebut tetap dalam pengawasan Allah juga. Sekali lagi, manusia tidak bebas di hadapan Allah! Kalau benar manusia tetap menepuk dada dengan mengaku mempunyai hak atau kebebasan, maka yang terjadi adalah pemusnahan bumi.

Waspadalah! Waspadalah!

Berapa jarak waktu antara penciptaan dan kejatuhan? Dalam literatur Rabinik Yahudi tertulis, “Adam yang diciptakan dalam kemuliaan, tidak tahan tinggal semalam saja.” Berarti, moyang kita pertama sesungguhnya tak pernah menghabiskan satu malam pun di Firdaus. Dalam statusnya yang terhormat, Adam dan Hawa dengan cepat merenggut jubah ketidakberdosaan serta mengoyakkan kemuliaan Firdaus. Bila kejatuhan itu menimpa Adam yang dicipta dalam keadaan mampu tidak berdosa, lebih-lebih rentan kita, anak-cucu Adam, yang mewarisi lagak-lagu-nya Adam-Hawa dan yang hidup dalam natur tidak dapat tidak berbuat dosa. Sungguh ngerilah dampak kejatuhan itu. Manusia mau menjadi seperti Allah, ternyata dihinakan oleh Allah!

Berhasrat bebas adalah kunci kejatuhan. Adam dan Hawa jatuh karena berusaha bebas dari Allah. Sadarilah, betapa berbahayanya mengajarkan kehendak bebas kepada jemaat. Sebab tak satu pun di antara manusia berdosa yang memiliki kehendak bebas. Tidak ada seorang pun yang memiliki kehendak netral. Kehendak manusia telah berkiblat kepada dosa. Kehendaknya telah dipenjara oleh kecenderungan-kecenderungan untuk selalu memberontak kepada Allah sejak dari kecil. Maka, Allah haruslah Allah yang berdaulat mutlak dan manusia menundukkan diri di bawah pemerintahan Allah, atau . . . Dia itu bukan Allah sama sekali! Adakah alternatif ketiga?

Pertanyaan-pertanyaan refleksi dan diskusi:

1. Benarkah Allah memberikan pilihan-pilihan kepada Adam? Apakah kejatuhan manusia dikarenakan kehendak bebas untuk memilih satu dari sekian banyak pilihan?
2. Sebagai keturunan Adam-Hawa, apakah kita memiliki kehendak bebas yang netral untuk membuat keputusan tanpa kecenderungan apa pun?
3. Apakah pemerintahan Allah bersifat demokratis, yang dapat disejajarkan dengan presiden Republik Indonesia yang memerintah sebuah negara yang demokratis?
4. Renungkan: dalam hal-hal konkret yang Anda amati di lingkungan sekitar, apa saja bukti retaknya hubungan antara manusia dan Allah? Apa pula bukti retaknya hubungan antara manusia dan sesamanya? Kemukakan juga bukti retaknya hubungan antara manusia dan alam/makhluk.
5. Menyadari dahsyatnya dosa terhadap hidup manusia, apa tekad Anda saat ini?

TERPUJILAH ALLAH!



[1]Keliru! Sebab “demokrasi” itu berarti pemerintahan oleh rakyat. Apakah keputusan dan ketetapan Allah sebagai Raja semesta ditentukan oleh suara rakyat?
[2]Ingat, perjanjian itu bukan permufakatan antara dua pihak setara yang teken kontrak! Allah tidak meminta persetujuan manusia untuk mengikatkan diri-Nya dalam sebuah perjanjian kerja. Bukan hanya penetapan larangan bagi manusia untuk memakan buah (2.7), tetapi kalau kita perhatikan sejak semula, Allah langsung menempatkan manusia di dalam taman (2.15). Allah tidak membuat manusia memilih, bukan? Tersirat pun tidak. Perhatikan 3 masculine singular imperfect qal “mengambil” dan 3 masculine singular imperfect hiphil “menempatkan atau mengistirahatkan.” Tindakan Allah ini, bila hendak ditinjau oleh para pemeluk paham kehendak bebas secara konsisten, seharusnya merupakan pemerkosaan terhadap kebebasan manusia pula. Allah tidak “demokratis”!

Wednesday, November 22, 2006

KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN (3)

Penghiburan Besar!

Banyak orang akan menganggap ajaran penebusan seperti ini asing sekali, dan menghambat penginjilan. Benarkah demikian? Asumsi tersebut sama sekali tidak benar. Sebab, doktrin penebusan Kristus bagi kaum pilihan selaras dengan prinsip-prinsip penafsiran yang bertanggung jawab, dan harmonis dengan doktrin-doktrin yang lain. Dengan memahami doktrin ini, kita justru melihat keselamatan sebagai gambar utuh dari rencana agung keselamatan, bukan penggalan-penggalan ajaran yang dibangun “asal ada ayatnya.”

Sedangkan terhadap penginjilan, Gereja Tuhan di sepanjang zaman meyakini bahwa penginjilan itu niscaya dilakukan! Panggilan untuk memuridkan segala bangsa tetap berlaku (Mat. 28.19–20). Tetapi kita perlu cermat dan berhati-hati! Apakah dibenarkan, demi orang bertobat, kemudian kita mengaburkan pengajaran Kitab Suci yang benar? Tujuan sama sekali tidak menghalalkan segala cara.

Pada tahun-tahun terakhir, begitu maraknya KKR yang dibumbui oleh pernak-pernik humanistis yang sebenarnya melawan kesaksian firman: manipulasi psikologis dengan membangun suasana-suasana mistik, musik-musik syahdu dan menyentuh hati, serta kata-kata yang terus diulang-ulang, “Bayangkan kasih Tuhan kepadamu. Akankah engkau menyia-nyiakan kasih-Nya yang besar? Rasakan kasih-Nya!” Akhirnya, orang-orang pun tergerak untuk maju dan mengambil keputusan, karena perasaannya tersentuh! Semua itu bukan Injil yang sejati. Sebaliknya, justru musuh Injil!

Rasul Paulus mempercayai doktrin penebusan terbatas, tetapi ia pun penginjil yang efektif. Seorang pengkhotbah meyakini penebusan Kristus bagi umat pilihan, ia tidak akan gegabah berkata, “Kristus rela mati untuk setiap orang di gereja ini, bahkan untuk setiap manusia!” atau seorang penginjil kepada orang yang diinjili, “Kristus mati bagi kamu, langkah selanjutnya ada di tanganmu sendiri.” Sebab, bagaimana ia yakin Kristus benar-benar mati untuk orang tersebut? Tidak ada juga preseden penginjilan seperti itu di Alkitab. Para pengkhotbah KKR sekaliber Charles H. Spurgeon (abad ke-19) atau Jonathan Edwards (abad ke-18) tidak pernah mengucapkan kalimat seperti itu dalam khotbah-khotbah mereka!

Lalu, bagaimana seharusnya pengkhotbah KKR memimpin altar call? Hendaklah ia menghindarkan diri dari godaan berapa jumlah hadirin yang mengangkat tangan! Sebagai pelayan firman Allah, ia dilarang untuk memanipulasi pendengar dengan kharisma atau suasana! Hendaklah altar call tidak dilakukan dengan mengulang-ulang panggilan, seolah-olah Allah merengek-rengek supaya orang-orang berdosa bertobat dan menyerahkan diri. Ia cukup berkata, “Kristus datang untuk menebus orang-orang berdosa!” Ya, ini benar! Kristus datang untuk kaum pilihan Allah, dan mereka ini manusia berdosa!

Sesungguhnya, mempercayai penebusan Kristus bagi kaum pilihan Allah justru mendorong penginjilan. Sebutkanlah penginjil-penginjil terbaik dunia, kebanyakan mereka adalah pemeluk ajaran ini (C. H. Spurgeon, G. Whitefield, G. Muller, J. Edwards). Oh, bila semua manusia ternyata telah rusak total—namun jauh sebelum itu Allah sudah berkenan menetapkan siapa saja yang menjadi umat-Nya—maka penginjilan pastilah berhasil! Keselamatan tidak bergantung pada kehendak manusia, tetapi karya Allah dari awal sampai akhir! Bila Allah memiliki rancangan agung, maka Ia tidak pernah gagal. Pekabaran Injil berarti undangan Allah bagi kita untuk mengumpulkan segenap kaum pilihan Allah yang baginya Kristus telah datang dan menyempurnakan karya keselamatan dengan kematian-Nya. Tidak ada lagi panggilan yang lebih mulia!


TERPUJILAH ALLAH!

KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN (2)

Memeriksa Kembali Berita Alkitab

Setelah mengkaji pandangan penebusan dari opsi kedua, kita telah menemukan kesulitan-kesulitan yang sangat fundamental, bahkan kontradiksi-kontradiksi yang tidak terjawab. Adakah opsi ketiga? Ya, ada!

Berita yang konsisten di dalam Alkitab adalah penebusan setiap orang yang ada dalam hitungan kaum pilihan. Kristus menebus tiap-tiap pribadi yang telah dipilih oleh Allah sejak kekekalan untuk menjadi umat-Nya! Pandangan penebusan seperti ini selaras dengan karya Allah Trinitas, dan memandang keselamatan sebagai unit yang utuh. Keselamatan itu dari awal sampai akhir dikerjakan oleh Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.

Injil Yohanes. Injil ini mengaitkan karya Allah Bapa dan Putra. Relasi yang sangat harmonis! Bapa memilih dan menganugerahkan iman kepada sejumlah manusia dan mengantarnya kepada Kristus untuk diselamatkan. Tuhan Yesus berkata, “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan kubuang” (6.37, bdk. 65). Lebih lanjut, “. . . dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman” (ay. 39, bdk. 44). Makin jelas lagi objek sasaran penebusan Kristus di dalam 10.11, “Gembala yang baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya,” dan perhatikan juga ayat 15, “Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.” Kesimpulannya, Tuhan Yesuslah Gembala yang baik dan Dia memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya.

Bagaimana dengan ayat 16? “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain . . . itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” Ada sejumlah orang yang belum percaya dan belum mengenal persekutuan Kristen, tetapi mereka akan dituntun (!) untuk mendengar-kan firman Kristus, sehingga menjadi satu kawanan dengan domba-domba Kristus. Dalam 10.26, 27 ada golongan orang yang tidak percaya oleh karena “tidak termasuk domba-domba-Ku.” Yang termasuk domba Kristus akan percaya! Yang tidak termasuk takkan percaya! Penebusan Kristus mendahului iman! Justru inilah dasar mengapa penginjilan niscaya dilakukan! Penginjilan itu berarti mencari dan mengumpulkan domba-domba yang dituntun oleh Kristus, yang sementara ini belum menjadi satu dengan persekutuan orang percaya, namun yang bagi mereka Kristus juga telah menyerahkan diri-Nya.

Kisah Para Rasul 20.28. Kepada para penatua di Efesus, rasul Paulus berkata, “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.” Rasul Paulus menegaskan apa itu gereja, yaitu kepunyaan Allah yang diperoleh dengan darah Anak-Nya, dengan perkataan lain, umat Allah ditebus melalui kematian Kristus.

Surat-surat Paulus. Rasul Paulus juga jelas berkata, kaum yang dipilih oleh Allah, itulah yang ditebus oleh Kristus. “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya, kita [yang dipilih dan ditentukan untuk menjadi anak-anak-Nya] beroleh penebusan” (Ef. 1.7). Konteks dari perikop 1.3–14 menegaskan harmoni karya Trinitaris yang demikian agung! Allah Bapa memilih, Allah Putra menebus, dan pada gilirannya di ayat 13–14, Allah Roh Kudus memeteraikan umat Allah dan menjadi jaminan kaum beriman. Senada dengan ini, Roma 8.30 menyatakan, “Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.”

Menarik juga untuk mengkaji Efesus 5.25–26, “Hai, suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikan-nya dengan air dan firman.” Perhatikan, umat yang bagi mereka Kristus telah mati, mereka juga yang dikuduskan dan dibasuh. Sebaliknya, karena dunia nyata-nyata tidak dikuduskan dan dibasuh, maka jelaslah bahwa Kristus tidak mati bagi semua isi dunia tanpa terkecuali.

Bila betul Kristus mengasihi seluruh isi dunia dengan kasih yang sejajar, dan memberikan hidup-Nya untuk dunia, maka paralel di dalam ayat ini runtuh. Ayat ini berbicara tentang relasi suami-istri, diparalelkan dengan relasi Kristus-Gereja. Seorang suami ya juga harus mengasihi dan memberikan dirinya untuk perempuan lain selain istrinya, kan sama seperti Kristus juga memberikan hidup-Nya untuk orang-orang di luar Gereja-Nya, yang adalah mempelai perempuan-Nya!

Surat Ibrani. Kutipan dari Yesaya 8.18 di Ibrani 2.13 ini menyatakan solidaritas Sang Putra terhadap anak-anak Allah yang lainnya. Tujuan dikutipnya ayat ini ialah supaya tiap-tiap orang percaya meyakini status mereka yang terhormat sebagai saudara-saudara Kristus dan anak-anak Allah. Kehormatan ini didapatkan karena keterhubungan mereka dengan Kristus (1.1–14 dan 2.5–9). Lebih-lebih dalam 2.14–15, kita melihat bahwa Kristus memusnahkan Iblis dan membebaskan kaum-Nya dari perhambaan Iblis. Bahkan pada pasal-pasal berikutnya di dalam Ibrani, Kristus merupakan Imam Besar yang mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban untuk menanggung dosa banyak orang (9.28). Siapakah banyak orang itu? Tak lain adalah “anak-anak yang diberikan Allah kepada-Ku,” kata Tuhan Yesus.

Kesimpulan. PB telah sedemikian jelas bersaksi tentang harmoni karya Trinitas dan siapa saja yang ditebus melalui kematian Kristus. Mereka ini kaum pilihan yang diserahkan Allah Bapa kepada Tuhan Yesus:

Umat-Nya Matius 1.21
Domba-bomba-Nya Yohanes 10.11, 14
Jemaat-Nya Kisah Para Rasul 20.28; Efesus 5.25
Orang-orang pilihan Roma 8.32–34; Efesus 1.7
Anak-anak-Nya Ibrani 2.13

Lantas, bagaimana kita harus memahami ayat-ayat yang “universalis” seperti di bawah ini?

Yehezkiel 33.11. Siapa yang disebut orang fasik? Konteksnya jelas, yaitu orang Israel. Dengan demikian, ayat ini tidak berbicara tentang hasrat Allah untuk memanggil kembali segenap manusia tanpa ada yang tertinggal. Bila dalam 2 Petrus 3.9 nada yang sama digemakan, jangan lupa anak kalimat sebelumnya, “Ia sabar terhadap kamu,” yang jelas-jelas merujuk kepada penerima Surat 2 Petrus ini. Jadi, ayat-ayat ini ditujukan untuk umat Allah sendiri.

2 Korintus 5.14–15. Ada kata yang sama, yaitu “semua.” Semua orang telah mati dalam Adam, dan “Kristus telah mati untuk semua orang.” Baca juga 1 Korintus 15.22, “karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” Bila kata “semua” ini berarti setiap manusia tanpa terkecuali, maka neraka sudah purna tugas. Sebab semua orang yang mati di dalam Adam, yakni setiap manusia yang menjadi keturunan Adam, telah dihidupkan dengan kematian Kristus. Setujukah Anda?

Apa arti “semua”? Ketika Alkitab memakai kata ini, tak selalu artinya “setiap.” Misalnya, ketika Tuhan Yesus ditinggikan dari bumi, Ia akan “menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh. 12.32), apakah setiap orang datang kepada Kristus? Pontius Pilatus, Hanas, Kayafas nyatanya tidak. Bahkan jutaan orang di seluruh dunia tidak mendengar Kristus, bagaimana mungkin mereka datang kepada Kristus? (Bdk. juga “semua orang di seluruh dunia” di Luk. 2.1.) Semua ternyata tidak berarti setiap. Yang dapat kita simpulkan dari kata “semua” adalah: kaum pilihan Allah yang berasal dari segala suku dan bangsa atau pangkat dan derajat, tanpa diberi preferensi-preferensi khusus (bdk. Why. 5.9–10; 7.9).

2 Korintus 5.14–15 harus ditempatkan dalam konteks yang tepat. Yang dimaksud dengan “semua” diterangkan oleh ay. 18, “Kristus telah mendamaikan kita,” dan ay. 21 “Dia . . . menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” Siapa yang dimaksud “kita”? Paulus dan tim PI-nya beserta segenap jemaat Korintus, yang telah percaya kepada Tuhan Yesus dan diperdamaikan dengan Allah melalui darah Putra-Nya. Kita dapat menyimpulkan, Kristus mati untuk umat-Nya.

Yohanes 4.42. Sebelum menjawab masalah, periksalah kembali kajian Injil Yohanes di atas. Gembala yang baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya.” Jadi, Kristus mati dan bangkit untuk menebus umat-Nya. Lantas, apa artinya “dunia” di ayat ini (mis. juga 3.16)? Bukan tiap-tiap individu, tetapi sama seperti di atas, yaitu segala suku dan bangsa, dari segala derajat dan pangkat dan jenis kelamin.

1 Timotius. Di 1.15 dituliskan kata “dunia” dan “orang berdosa.” Tetapi, perhatikan tuturan sang rasul selanjutnya, “dan di antara mereka akulah yang paling berdosa.” Siapakah “mereka” itu? Di ayat 16, mereka ini adalah orang-orang “yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal.” Paulus menyebut dirinya adalah yang paling berdosa bila dibandingkan dengan semua orang berdosa yang kemudian mendapat hidup yang kekal, yaitu orang-orang Kristen. Jadi, yang dimaksud “orang berdosa” bukanlah semua orang tanpa terkecuali, tetapi para pengikut Kristus.

Ayat 2.3, “semua [setiap] orang diselamatkan . . .” dan ayat 6 “yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua [pantōn]” seolah-olah menyiratkan keselamatan universal. Baiklah, memang bisa diterjemahkan “semua manusia.” Tetapi perhatikan konteks-nya. (1) Rasul mengimbau jemaat untuk mendoakan semua orang, termasuk raja-raja dan para pembesar—orang-orang dari berbagai tingkat sosial (ay. 1–2); (2) Rasul sendiri mengatakan dirinya sebagai pemberita Injil dan rasul untuk orang-orang bukan Yahudi—orang-orang dari etnis yang berbeda (ay. 7). Jelaslah kini maksud rasul. Bukan penebusan untuk setiap manusia tanpa terkecuali, tetapi jangkauan keanggotaan Gereja Kristus, yang meruntuhkan tembok-tembok perbedaan yang tidak mungkin dapat diubah. Visi Gereja sebagai pelopor Kerajaan Allah seharusnya bermisikan persaudaraan, kesetaraan dan egalitarian.

1 Yohanes 2.2. Hal ini menggarisbawahi pemulihan dunia yang dimulai dari pemulihan umat Allah. Bahasa penulis 1 Yohanes sangatlah Yahudi. Karena Israel telah dipulihkan—ditandai dengan kehadiran Gereja di dalam dunia—maka prinsip dunia baru yang dipimpin oleh Kristus pun telah hadir di atas bumi. Perhatikan 4.10, “Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah meng-utus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” “Kita” di sini adalah orang-orang yang dosa-dosanya sudah diampuni (2.12), yang telah mengalah-kan yang jahat (2.13), dan yang menanti-nantikan Kristus (3.2).

KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN (1)

KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN ALLAH



Pertimbangan Awal

Kita percaya bahwa Tuhan Yesus Kristus menebus orang-orang berdosa dan memberikan jaminan keselamatan. “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa” (1Tim. 1.15). Tetapi, siapa sajakah orang-orang berdosa yang ditebus oleh Tuhan Yesus itu? Jawaban yang sering kita dengar adalah “setiap manusia tanpa terkecuali.” Beberapa data Alkitab yang tersebar di sana-sini untuk mendukung pandangan ini adalah sebagai berikut:

Yehezkiel 33.11, “. . . Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya . . . .”
Yohanes 4.42, “. . . Dialah benar-benar Juruselamat dunia.”

2 Korintus 5.14–15, “. . . bahwa satu orang sudah mati untuk semua orang maka mereka semua sudah mati . . . Kristus telah mati untuk semua orang.”

1 Timotius 2.3–6, “. . . Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan . . . yaitu manusia Yesus Kristus yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia . . . .”

2 Petrus 3.9, “. . . Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”

1 Yohanes 2.2, “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia.”

Banyak orang segera menyimpulkan penebusan Kristus itu universal sifatnya, bagi tiap-tiap pribadi. Namun demikian, data di atas masih menyimpan dua macam opsi yang harus kita pecahkan.

Opsi pertama. Apakah Kristus mati untuk setiap manusia tanpa terkecuali sehingga setiap manusia pasti diselamatkan? Penebusan Kristus itu universal dan karena itu tidak ada seorang pun yang tidak selamat. Pandangan ini sebenarnya konsisten dalam kaidah bernalar:

Semua orang ditebus oleh kematian Kristus,
Kematian Kristus memberi keselamatan,
Maka, semua orang menerima keselamatan.

Hanya saja, apa ajaran ini benar? Alkitab terlampau blak-blakan tatkala membahas realitas neraka dan penghuni-penghuninya. Mempercayai pengajaran seperti ini akan berisiko menerjang pengajaran Alkitab mengenai dosa dan adanya orang-orang yang dimurkai oleh Allah. Pandangan “universalisme” ini biasanya dianut oleh kaum liberal.

Opsi kedua. Apakah Kristus mati untuk setiap manusia tanpa terkecuali tetapi tidak semua mendapatkan keselamatan karena tidak mau percaya Allah? Keselamatan Kristus itu universal, tetapi hanya beberapa orang—yang mau merespons karya penebusan Kristus dengan kehendak pribadinya—yang diselamatkan, yang lain akan dihukum. Pandangan kedua ini diikuti oleh mayoritas orang Kristen, paling tidak di Indonesia.

Sepintas lalu, opsi yang kedua itu nampak alkitabiah, sebab mencantumkan banyak ayat. Namun marilah mengamati konsistensi logika pandangan ini:

Semua orang ditebus oleh kematian Kristus,
Kematian Kristus memberi keselamatan,
Maka, hanya sebagian orang menerima keselamatan.

Logika yang aneh! Pertanyaan penting yang perlu diajukan selanjutnya adalah, apakah Kristus juga menebus orang-orang yang hingga matinya menolak Kristus? Karena itu, marilah kita sekarang meneliti kekonsistenan opsi kedua itu dengan lebih cermat.


Menakar Konsistensi Ajaran

1. Penebusan Kristus dan Rencana Agung Allah (Telaah Filosofis)

a. Jika kita percaya bahwa Allah pirsa saderengipun winarah, bahkan ketetapan-Nya sabda pandhita ratu, tentu kita sepakat bahwa Allah sudah mengetahui siapa yang akan menjadi milik-Nya. Bahkan Alkitab sendiri bersaksi bahwa Allah, dalam kedaulatan-Nya, telah memilih sejumlah manusia untuk menjadi umat-Nya sejak kekekalan (Ef. 1.4–5). Betapa inkonsisten bila Allah—yang sudah paham siapa saja yang menjadi milik-Nya—kemudian mengutus Kristus untuk menebus semua manusia tanpa terkecuali, termasuk orang-orang yang bukan kaum pilihan-Nya. Lebih-lebih kalau kita mau jujur, tidak ada satu ayat pun yang berkata secara langsung bahwa “Kristus mati untuk setiap manusia.”

b. Pengajaran opsi kedua ini akan konsisten hanya jika kita percaya bahwa Allah tidak memiliki rancangan keselamatan, serta tidak tahu ujung sejarah ciptaan. Kristus datang untuk menebus setiap manusia tanpa terkecuali, tetapi ada sejumlah kecil orang yang kemudian mau menerima-Nya, sehingga ndilalah jumlah umat Allah bertambah “di luar ketetapan Allah,” oleh sebab kehendak untuk memilih Kristus dan karya-Nya.[1]


c. Opsi kedua berniat untuk “meluputkan Allah” dari tanggung jawab bila manusia menolak karya Kristus. Tetapi sebaliknya, risiko berat yang harus dihadapi oleh pengajaran ini adalah: Allah sendiri tidak memiliki jaminan pasti siapa-siapa saja yang akan percaya kepada-Nya! Kalaupun Allah tahu, Ia tak berdaya, karena semua berdasarkan kehendak manusia!

Bagaimana dengan jaminan keselamatan? O memang betul, para pen-dahulu kita setia dalam iman hingga akhir hidup mereka! Tapi, bagaimana dengan orang-orang yang hidup sekarang? Bagaimana dengan keselamatan kita? Bukankah ada kemungkinan kita pada akhirnya menolak karya Kristus? Sejangka waktu, di hadapan orang banyak, memang kita bisa tampak percaya, aktif, menjadi pengurus komisi bahkan majelis, tetapi siapa yang menjamin kalau seminggu, sebulan, atau setahun mendatang kita semua akan tetap setia? Bahkan Tuhan pun tidak! Bila demikian, maka pengajaran ini sesungguhnya mendiskreditkan Allah.

2. Penebusan Kristus dan Jaminan (Telaah Teologis)

a. Apakah arti Kristus sebagai “Juruselamat”? Yaitu keselamatan hanya tersedia di dalam Tuhan Yesus. Sekarang, pertanyaan balik yang perlu diajukan yakni, apakah keselamatan sebagai buah penebusan Kristus itu suatu kemungkinan ataukah kepastian? Yang dimaksud dengan kemungkinan berarti, “penebusan Kristus hendak mengerjakan keselamatan orang berdosa, tergantung seseorang mau atau tidak diselamatkan; Tuhan tidak dapat memaksanya.” Sedangkan kepastian berarti, “penebusan Kristus pasti mengerjakan keselamatan untuk manusia berdosa.” Kita tentu percaya bahwa penebusan itu efektif dan pasti. Perhatikan selanjutnya.

b. Setiap orang Kristen percaya bahwa hakikat kematian Kristus adalah “substitusi,” (penggantian) kurban bagi penebusan dosa. Kristus menggantikan kita, orang-orang berdosa, dari murka Allah yang menyala-nyala, sehingga kita diampuni oleh Allah:

“Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor. 5.21).

“Substitusi” ini meliputi empat aspek:

(i) “propisiasi,” meredakan atau meredam murka Allah yang kudus (Ibr. 2.17; 1Yoh. 2.2);
(ii) “expiasi,” menghapuskan dosa (Rm. 3.25);
(iii) “rekonsiliasi,” pendamaian manusia dan Allah (Rm. 5.10; 2Kor. 5.20);
(iv) “redempsi,” penebusan dari kutuk Hukum Taurat (Gal. 3.13; Kol. 1.14).

c. Jika Kristus benar-benar datang untuk menebus setiap orang tanpa terkecuali, dan penebusan Kristus itu efektif, berarti Kristus pasti menggantikan setiap orang tanpa terke-cuali. Bila ini benar, maka seharusnya setiap orang tidak lagi menanggung murka dan kutuk Allah, sebab Kristus telah menanggung murka Allah itu sebagai ganti setiap manusia tanpa terkecuali. Maka, setiap manusia pastilah diselamatkan oleh Allah, atau penebusan Kristus tidak memiliki daya apa-apa atas manusia yang dikuasai oleh dosa. (Awas!! Ingat bahaya opsi pertama di depan!) Tetapi kenyataannya, ada orang-orang yang menerima penghukuman dari Allah! Kalau Kristus menebus semua orang, mengapa mereka ini masih dihukum oleh Allah?

d. Marilah kita juga merenung: Apakah Kristus datang untuk menggantikan penghukuman orang yang menolak Kristus sehingga ia tak lagi berada di bawah murka Allah? Apakah Kristus menebus dan meredam murka Allah demi orang yang menolak Dia? Apakah Tuhan Yesus mati menghapuskan dosa-dosa orang yang menolak-Nya? Apakah Tuhan Yesus mendamaikan orang yang menolak Kristus dengan Allah sehingga tak ada lagi perseteruan antara orang itu dengan Allah?

e. Semoga kita tidak melakukan lompatan logika, dengan berkata, “Sebenarnya Yesus [mau] mati untuk orang itu, tetapi dia sendiri yang menolak Kristus!” Sebab kita akan terbentur kembali dengan kesimpulan, bahwa kematian Kristus tidak memberi kepastian, tetapi sekadar kemungkinan: Insyaallah, bila orang itu mau percaya! Sungguh posisi yang tidak konsisten!

3. Penebusan Kristus dan Sejarah Penebusan (Telaah Biblis)

a. Sesungguhnya, Alkitab jelas-jelas bersaksi bahwa Kristus menebus kaum pilihan Allah. Suatu karya penebusan terhadap sejumlah umat yang definitif.

b. Bila Kekristenan konsisten dengan berita Perjanjian Lama (PL), maka penebusan Kristus harus ditempatkan dalam matra “sejarah penebusan” dan berita eskatologis PL. PL berbicara mengenai pengharapan kosmos, alam raya ciptaan Allah, dan hal ini baru dapat terlaksana bila umat Allah dipulihkan. Tatkala Mesias hadir, Ia datang untuk memulihkan Israel, umat Allah, dan pemulihan umat Allah inilah yang akan meretas jalan pemulihan kosmos (Yes. 55).

c. Kalau demikian, Yesus dari Nasaret layak disebut Mesias bila Ia memenuhi tugas panggilan-Nya sebagai pemulih Israel. Ternyata berita yang disampaikan kepada Yusuf mengenai Anak yang akan dilahirkan oleh Maria yakni, “Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1.21). Aha! Bukan menyelamatkan semua manusia tanpa terkecuali! Tetapi berita mengenai “penebusan terbatas”! Mindset (pola pikir) penulis Injil sangat dipengaruhi oleh berita PL, bahwa keselamatan atas bangsa-bangsa bisa terlaksana hanya bila Mesias yang sejati datang dan menebus umat Allah dan menancapkan prinsip Kerajaan Allah di atas dunia. Jelaslah kini, bahwa penebusan Kristus untuk setiap orang tanpa terkecuali menghadapi kendala terasing dari kesinambungan berita penebusan di PL.

4. Penebusan Kristus dan Pekabaran Injil (Telaah Praktis)

a. Banyak orang Kristen beranggapan, penebusan bagi semua orang tanpa terkecuali akan mendorong semangat penginjilan. Sebab, bagaimana mungkin kita akan menginjili orang yang tidak percaya bila Kristus tidak datang dan menebusnya? Maka, Kristus haruslah terlebih dahulu menebus setiap manusia ketika ia masih ada di dalam dosa. Sehingga, kita mengajukan tantangan dengan berkata, “Tuhan Yesus mati untuk kamu,” oleh kehendak bebas pribadi ia akan menanggapi karya Kristus secara positif, menerima, atau negatif, menolak Kristus dan karya-Nya.

b. Tetapi marilah kita menimbang dengan serius. Kalau Kristus mati untuk semua orang, dan iman itu berdasarkan pilihan bebas dari manusia—dan orang beranggapan hal ini akan melancarkan penginjilan—adakah jaminan kelak Tuhan Yesus akan menjumpai seseorang beriman di dalam dunia ketika Ia datang kembali? Keselamatan berdasarkan kehendak bebas tidak memberi jaminan yang pasti! Jangan-jangan semua orang yang sekarang ini berkobar-kobar dalam melayani Tuhan, menjadi majelis dan aktivis, ternyata kemudian berbalik dan melawan Tuhan!

c. Cobalah merenung. Kita menggebu-gebu dalam melayani banyak orang supaya mereka bertobat, dan kita berhasil memenangkan mereka! Tetapi suatu saat kita menjumpai semua orang yang kita layani berbalik dan tidak percaya lagi kepada Tuhan, apa yang kita ungkapkan? “Yaah, saya serahkan sajalah kepada Tuhan!” Bukankah ini kontradiktif? Lho, lho, lho, katanya kepercayaan itu berdasarkan pilihan bebas, tetapi ketika orang-orang hasil dari penginjilan kita murtad, maka tanggung jawabnya kok dilemparkan kepada Tuhan? Harus diakui, ajaran penebusan bagi semua orang tanpa terkecuali malah membuat pesimis penginjilan!


[1]Di sinilah beberapa teolog open theism, “teisme terbuka,” seperti William Hasker dan Clark Pinnock menganjurkan ide middle knowledge, “pengetahuan tengah,” yaitu bahwa Allah hanya merancang penebusan dan keselamatan manusia seluruhnya, tetapi ada peristiwa lain yang menyusup dan terjadi, yakni dosa yang mengakibatkan “pergeseran” rencana Allah itu. Kristus datang menebus semua orang tanpa terkecuali, tetapi ada sebagian orang yang mau “menerima” rencana Allah dengan kehendaknya, tetapi ada juga yang menolak. Penolakan dan penerimaan ini pun termasuk kejadian yang menyusup. Jadi, Allah menerima suatu “kejutan baru.”

Tuesday, November 21, 2006

Transklusivisme, Alternatif bagi Pluralitas?

TRANSCLUSIVISM:
SEBUAH ALTERNATIF BAGI WACANA THEOLOGIA RELIGIONUM?



OBSERVASI AWAL

Dalam pengamatan saya, perbincangan mengenai theologia religionum, “teologi mengenai agama-agama,” telah mencapai titik jenuh. Betapa tidak, wacana ini selalu berputar-putar pada perdebatan siapa yang menjadi pusat: Sang Real, Allah, atau Kristus, yang ditipekan sebagai pluralisme, inklusivisme dan partikularisme/eksklusivisme. Yang jelas, dari tipologi tersebut berkembang cabang dan ranting pemahaman mengenai teologi agama-agama, entah “partikularisme terbuka” atau “singularisme” dsb. Dari masalah tersebut, kemudian ditarik implikasi mengenai siapa yang diselamatkan, dan apakah ada kebenaran dalam agama-agama lain, bagaimana dengan dictum Ciprian extra ecclesiam nulla salus—di luar gereja tidak ada keselamatan.

Namun, berhasilkah semuanya itu? Tergantung siapa yang berbicara. Masing-masing pasti mengemukakan posisinya sebagai yang paling tepat. Namun ketika penulis menarik diri dan melihat “dari luar” perdebatan, toh pada akhirnya semua pihak dan tokoh yang berdiri di baliknya kokoh dengan pandangan masing-masing. Sebutlah, bagi seorang partikularis, nama John Hick tak pernah absen untuk menjadi sasaran tembak. Namun patutlah diakui, hal ini tidak menyelesaikan masalah.

Lebih lanjut, apakah yang telah dihasilkan dari perdebatan mengenai siapa yang diselamatkan, apa yang menjadi pusat, dan adakah kebenaran dalam agama-agama lain? Lagi-lagi harus diakui bahwa tiap-tiap agama memiliki sistem berpikirnya sendiri, yang dibangun dari keyakinan-keyakinan pengendali (control beliefs) yang mustahil diperdamaikan. Jadi, mungkinkah kita bertanya apakah dalam agama lain ada kebenaran? Tergantung pula dengan apa yang dimaksud dengan kebenaran. Bila dipahami sebagai korespondensi dengan kenyataan, dalam hemat saya, hal ini akan bermuara kepada nihilisme, sebab dalam agama terdapat konsep korespondensinya masing-masing dan tidak mungkin sepenuhnya menangkap teori korespondensi di agama lain.

Beberapa pakar menyadari hal itu, dan akhirnya meninggalkan teologi dan beralih kepada etika. Doktrin memecah belah, kebaikan mempersatukan. Demikian ungkap mereka. Tetapi prinsip apa yang melandasi hubungan ini? Yaitu persamaan hak asasi sebagai manusia. Namun solusi ini pun tidak memuaskan karena masih meninggalkan pertanyaan-pertanyaan prinsipal doktriner.


SEBUAH PROPOSAL

Hipotesis: Wacana pluralisme didominasi oleh paradigma dikotomis agama Kristen vs. agama-agama lain, dan hal inilah yang menyebabkan pembicaraan mengenai teologi agama-agama tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Paradigma ini perlu diubah menjadi narasi Kristen vs. neo-imperialisme.

Dalam menempuh hal ini perlu adanya suatu pemetaan ulang, dengan mengingat pula bahwa sekarang ini pembagian dunia bukanlah Barat-Timur, tetapi Utara-Selatan. Dalam bukunya The Next Christendom: The Growth of Global Christianity (New York: Oxford University Press, 2001), Philip Jenkins menyatakan bahwa secara demografis Kekristenan di Utara yang makin surut didominasi oleh paham pluralis, sedangkan Kekristenan di Selatan yang berkembang dengan pesat menumbuhkan ortodoksinya sendiri dan “fanatisisme” dalam artian tertentu. Di sisi lain, Belahan Utara didominasi oleh negara makmur, sedangkan Belahan Selatan didominasi oleh kemiskinan, penindasan dan diskriminasi.

Menyadari konteks kita di Indonesia, saya semakin yakin bahwa wacana pluralisme dalam tataran ideologis yang kita warisi dari para teolog di Belahan Utara jelas sukar untuk dikerjakan di dalam konteks pergumulan di sini. Kita tidak tahu siapa saja yang diselamatkan Allah. Bahkan kita yang mewarisi tradisi Reformed yang mengakui hasil persidangan Sinode Dort di Belanda (1619) dengan TULIP-nya, kita toh tidak mungkin sepenuh-penuhnya tahu (agnostic) siapa saja yang masuk ke dalam jangkauan kaum pilihan Allah. Hal ini tetap misteri bagi kita, dan merupakan hak prerogatif Allah. Kebenaran ini tidak kita buang, tetapi malah menolong kita untuk merumuskan satu alternatif pandangan.

Dengan memikirkan semua ini, saya mencoba menyimpulkan alternatif pandangan yang saya sebut sebagai transclusivism, yang merupakan kependekan dari transhistorical inclusivism. Ini bukan inklusivisme klasik mengenai Allah sebagai pusat, dengan Kristus kosmiknya yang memungkinkan orang di luar Kristen juga diselamatkan. Inklusivisme ini historis, berarti terjadi dalam ruang dan waktu—dalam ciptaan sebagai panggung pentas kemuliaan Allah; dan lebih dari itu bersifat trans atau melampaui histori. Istilah “transhistori” sebagaimana saya jabarkan dalam artikel “FIRDAUS YANG TERHILANG?: SUATU STUDI PERBANDINGAN MENGENAI KRISTOLOGI DAN IMAJI PENCIPTAAN BARU DALAM INJIL YOHANES DAN “INJIL” TOMAS,” yang akan diterbitkan oleh jurnal Veritas.

Penemuan ini didorong oleh penyelidikan atas eskatologi apokaliptik, khususnya dalam PB yang sedemikian detail diungkapkan dalam Kitab Wahyu. Hendaklah Kitab Wahyu tidak dimengerti sebagai nubuatan mengenai kiamat saja, tetapi apa yang Allah sedang dan akan kerjakan dalam sejarah dan ruang-waktu semesta. Maka, dari sini saja jelas bahwa keselamatan itu bukan siapa akan masuk surga.

Serta, bila lebih khusus kita memperhatikan Wahyu, pergolakan yang diketengahkan adalah Kerajaan Allah melawan Babel, Naga dan Binatang Besar. Kerajaan Allah menantang Imperium Global pada zaman itu. Hal ini melandasi perjuangan kita sebagai umat Kerajaan Allah, bahwa perjuangan kita pun melawan kuasa yang mengglobal.


HASIL TRANSCLUSIVISM

Kita tidak akan meneruskan perdebatan yang tidak akan berujung mengenai pluralisme-inklusivism-partikularisme. Tetapi di sisi lain, kita pun akan terhindar dari besikap ateologis, dan beralih kepada etika semata, oleh sebab transclusivism berpijak dari narasi Alkitab mengenai Kerajaan Allah dan perjuangan gereja dalam kuasa penyertaan Allah dan Sang Mesias. Kekristenan akan menampilkan sikap world-embracing dan world-transforming.

Uraian secara komprehensif sedang dalam penelitian.

TERPUJILAH ALLAH!

Monday, November 20, 2006

Tuhan, Adakah Engkau di Masa Kini?

TUHAN, APAKAH ENGKAU ADA PADA MASA KINI?


Seseorang berkata kepadaku, Tuhan bukan Allah masa lalu. Tuhan bukan Allah masa depan. Tuhan tidak ada pada masa lampau. Tuhan tidak ada pula ada masa depan. Tetapi Tuhan ada pada masa kini.

Namun, benarkah? Benarkah Engkau itu ADA pada masa kini? Apakah benar-benar ada MASA KINI? Bukankah masa kini segera berlalu ketika aku memikirkan MASA KINI? Tatkala kurenungkan berapa satuan waktu untuk masa kini, sedetikkah? Bukankah masa itu akan segera menjadi masa lampau pada detik berikutnya?

Itu berarti Engkau segera berada di MASA LAMPAU. Dan, kalaupun aku percaya kepada-Mu, bukankah Engkau hanya ada di MASA DEPAN, dalam pengharapanku saja? Jadi, bagaimana mungkin lidahku sanggup mengatakan yang masa kini?

St. Augustinus telah mengatakan ini di hadapan-Mu, ya Allah. Di hadapan-Mu, ya . . . Hanya di hadapan-Mu saja, yang ada adalah THE ETERNAL NOW. Bagi-Mu tiada masa lalu. Bagi-Mu tiada pula masa depan. Tetapi bagiku? O . . . kiranya ketika aku hendak bermenung sejenak, ternyata tidak ada masa kini, sebab masa kini segera menjadi masa lampau. Bagiku hanya ada masa lampau. Bagiku hanya ada masa depan.

Aku tak mempunyai masa kini!

Maka kuingat sabda-Mu, "Sebab untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Tampak tersirat Engkau Tuhan ada pada masa kini. Tetapi apakah demikian? Engkau menawan perhatianku pada kalimat ucapan-ucapan yang menyertainya, peringatan akan segala tindakan-tindakan-Mu di masa lampau. Dengan mengingat masa lampaulah aku memiliki keberanian hidup di masa depan.

Demikian pula hatiku tertarik dengan ucapan penetapan Perjamuan Tuhan, yang selalu memakai kata-kata, "Setiap kali kamu memakan/meminumnnya, menjadi PERINGATAN akan kesengsaraan Tuhan." Apakah ini sekadar memorial? Bagiku lebih daripada itu. "Peringatan" adalah menghadirkan masa lalu pada masa “sekarang,” yaitu pada SATUAN WAKTU di mana umat-Mu melakukan ibadah korporat. Tetapi seterusnya kalimat penetapan itu berlanjut dengan “sampai Ia datang kembali.” Sekali lagi, masa lampau dan masa yang akan datang kujumpai. Dan ternyata, itulah perspektif yang membentuk “masa kini.”

Di hadapan-Mu, Tuhan, sekarang aku tak berani lagi mengatakan memiliki masa kini. Sebab, Engkau tidak ada pada masa kini. Bila demikian, bagaimana mungkin aku berani untuk hidup pada masa kini? Apalagi, untuk hidup seturut masa kini!

Ya Tuhan, sekali lagi Engkau menyatakan kepadaku betapa aku menjadi seorang yang kesepian! Aku ditinggal seorang diri. Bahkan oleh masa kini! Aku mau hidup untuk masa kini, tetapi masa kini segera berlalu daripadaku. Aku mengejar dan terus mengejar masa kini yang masih menjadi masa depan. Kegigihanku untuk meraih masa kini tak kunjung surut. Aku mencoba, dan gagal! Takkan pernah aku dapat meraihnya.

Maka, bagaimanakah Engkau menjumpaiku dalam “masa kini”? Engkau memperkenalkan kepadaku sebagai Yang Kukenal sekaligus Yang Tidak Kukenal. Engkau adalah Sang Pokok Sukacita, sekaligus Sang Misteri. Engkaulah mysterium fascinosum tetapi Engkau pula mysterium tremendum. Engkau menjumpaiku sebagai “Yang Sama Sekali Lain” (The Wholly Other). Engkau seperti yang kuharap, sekaligus seperti yang luput dari dugaan. Namun kukenal satu hal saja, Engkau tak mungkin bertindak menyimpang dari kebenaran kesejatian-Mu.

Ya Tuhan, Engkau menunjukkan kepadaku bahwa Allah yang kupercayai adalah Allah yang berbeda dengan zaman ini. Karena itulah dalam sejarah kukenal, Engkau mengutus orang-orang yang menjadi terasing bagi dunia. Nabi-nabi-Mu, bahkan Putra-Mu dan para rasulnya. Mereka adalah cemoohan dunia, kebodohan bagi dunia. Bahkan Engkau memilih orang-orang seperti St. Athanasius yang berdiri di hadapan dunia, dan menantang dunia, Athanasius contra mundum! Bukankah seluruh Gereja pada zaman itu hampir-hampir membenarkan ajaran Arius? Bagaimana mungkin mereka semua ini menjadi orang-orang yang sedemikian berani bagi-Mu?

Ya Allah, pada “masa kini” itu yang ada adalah pergolakan, pergumulan, dialektika. Maka . . . “kini” . . . siapakah yang akan menjadi teman seperjalananku?

TERPUJILAH ALLAH!

Sunday, November 19, 2006

"Tujuh Roh" (Why 1.4)

CATATAN MENGENAI “TUJUH ROH” DALAM WAHYU 1.4

(4) Dari Yohanes kepada ketujuh jemaat yang di Asia Kecil: Kasih karunia dan damai sejahtera menyertai kamu, dari Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, dan dari ketujuh roh yang ada di hadapan takhta-Nya, (5) dan dari Yesus Kristus, Saksi yang setia, yang pertama bangkit dari antara orang mati dan yang berkuasa atas raja-raja bumi ini. Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya



Pertama, beberapa penafsir pada dekade-dekade lalu menyimpulkan bahwa “ketujuh roh” adalah tujuh malaikat atau penghulu-penghulu malaikat. Hal ini didasarkan pada frase yang mengikutinya “di hadapan tahta Allah.” Diteguhkan lagi melalui tulisan Yahudi 1 Henokh 20.1-8.

Kedua, ada pula yang berpendapat bahwa ketujuh roh itu adalah pembawa tujuh cawan dan sangkakala (8.2; 15.1, 6-8).

Ketiga, alangkah lebih baik mengartikannya sebagai suatu penggambaran figuratif fari karya Roh Kudus. Lebih tegas lagi, karya Roh Kudus dalam segala kepenuhannya. Dalam bagian ini, kita berjumpa dengan “pengungkapan trinitaris”—Allah, Yesus Kristus, Roh—yang merupakan tipikal PB ketika menuliskan karya Roh Kudus. Dengan perkataan lain, karya pneuma selalu diatributkan berbarengan dengan Bapa dan Anak dalam kitab-kitab PB (mis. Yoh. 15.26; 16.13-15; Kis. 2.33).

Frase “ketujuh roh yang ada di hadapan tahta-Nya” diperluas dalam 4.5 di mana dinyatakan “Dan dari takhta itu keluar kilat dan bunyi guruh yang menderu, dan tujuh obor menyala-nyala di hadapan takhta itu: itulah ketujuh Roh Allah.” Kita tidak perlu merasa dikacaukan dengan frase lain, yakni “tujuh kaki dian emas” (1.12 dab.), yang menunjuk kepada gereja. Malahan kita dapat menarik kesimpulan bahwa Roh itulah yang memberdayakan gereja untuk menjadi efektif sebagai saksi-saksi Kristus di tengah-tengah dunia. Bukan hanya itu saja, bila di 1.4 kita melihat bahwa “ketujuh roh” berimpitan dengan “ketujuh jemaat yang di Asia Kecil,” maka Roh itu adalah dasar dari pesan yang disampaikan dalam seluruh Kitab Wahyu, serta kunci yang memampukan gereja untuk mengerti dan menaati berita tersebut (ingat adagium dari ketujuh surat kepada jemaat di Asia Kecil, “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat”)

Kita pun perlu menilik alusi ayat ini dari PL, yang kemungkinan diambil dari Yesaya 11.2 (LXX). Di dalam Septuaginta tersebut, ada tambahan “kesalehan” (godliness) yang menggenapkan enam keutamaan dalam teks Masorah; dan juga Zakharia 4.2, 10, di mana tujuh pelita itu “adalah mata TUHAN, yang menjelajah seluruh bumi.” Lihat terlebih dahulu Zakharia 4.6 yang menjadi kunci, bahwa Tuhan semesta alam bekerja “bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku.” Jadi dalam, Wahyu Roh adalah sarana yang Allah pakai untuk menghancurleburkan keperkasaan dan kekuatan dari naga dan binatang besar (Why. 13).

TERPUJILAH ALLAH!

Kedatangan-Nya Membawa Damai

KEDATANGANNYA MEMBAWA DAMAI

Renungan dari Matius 1.1–17


1. Pernahkah Sahabat-sahabat memikirkan mengapa Perjanjian Baru dibuka dengan deretan nama? Sangat tidak relevan dengan kehidupan kita sekarang, bukan? Kita toh tidak mengetahui kebanyakan dari orang-orang ini. Informasi dari dalam Alkitab juga minim, kecuali beberapa nama besar seperti Abraham dan Yakub. Kita cenderung membaca bagian ini secara cepat untuk sampai ke kisah kelahiran yang terkenal. Tetapi sesungguhnya, bagi penulis Injil Matius sendiri, deretan nama ini begitu penting untuk memahami kebenaran bahwa Kristus membawa damai bagi dunia. Mari, Sahabat, kita belajar apa artinya kedatangan Kristus membawa damai dari nas yang asing ini.

2. Pertama, inti kedatangan Kristus sebenarnya untuk memenuhi seluruh firman yang Allah sampaikan sebelumnya. Kristus ini adalah klimaks dari berita Alkitab secara keseluruhan. Perhatikan, silsilah itu dimulai dengan Abraham. Bukankah ia yang menerima perjanjian Allah bahwa seluruh keturunannya akan menjadi umat pilihan Allah? Sayang sekali, sejarah begitu jelas mengetengahkan ketidaksetiaan umat pilihan ini. Tetapi di pihak Allah sendiri, Allah tidak menarik ikatan perjanjian itu. Kedatangan Kristus memenuhi seluruh janji yang Allah berikan kepada nenek moyang Israel. Damai itu hadir, berarti seluruh kesetiaan Allah berpadu di dalam pribadi Yesus Kristus.

3. Kedua, kedatangan Kristus adalah untuk semua golongan manusia. Perhatikan kelompok I (ay. 1–6a), yaitu kelompok bapa-bapa bangsa Israel. Mereka adalah orang yang menerima janji Allah, dan yang menikmati Tanah Perjanjian. Kelompok II (ay. 6b–11) adalah kaum ningrat, para pemimpin bangsa dari masa kejayaan hingga pembuangan ke Babel. Kelompok III (ay. 12–16) adalah orang-orang yang hidup pada masa pascapembuangan—orang-orang yang tidak kita kenal dan tidak kita harapkan. Tetapi justru orang yang tidak terkenal malah menjadi target Allah untuk melahirkan Mesias. Perhatian juga kelompok IV, yaitu perempuan-perempuan yang sebenarnya berlatarbelakang tidak baik atau tidak terpandang di masyarakat. Bukankah suatu kebenaran yang jelas bahwa Allah datang untuk kaum yang terhina dan tersisih? Yang tidak masuk hitungan bahkan dibuang oleh masyarakat?

4. Ketiga, kedatangan Kristus adalah untuk memberitakan bahwa Allah itu Raja. Yesus Kristus adalah Mesias. Apa maksudnya Mesias? Yaitu yang menjadi pemimpin umat Allah untuk tunduk kepada Allah. Orientasi manusia diarahkan kepada Allah. Pusat kehidupan manusia adalah Allah. Prioritas hidup manusia seharusnya Allah saja. Inilah tujuan Kristus hadir. Manusia berdosa takkan mungkin sanggup memiliki ketaatan seperti ini. Yang ada hanyalah pemberontakan. Tetapi syukur kepada Tuhan, melalui Yesus Kristus, kita diperdamaikan kepada Allah sehingga dapat patuh kepada Allah.

5. Sahabat, betapa bahagianya seseorang yang menyambut Kristus sebagai pembawa damai pada masa sekarang ini. Apakah Anda orangnya?


Mengapa tanggal 25 Desember?

Memang, 25 Desember semula bukan hari perayaan Kristen. Dalam kebudayaan Romawi kafir dikenal perayaan Natalis Invicti, untuk memuja kelahiran Dewa Matahari. Setelah Kekaisaran Roma menjadi negara Kristen, perayaan yang kadhung familiar di dunia Roma “di-Kristen-kan” dan dijadikan peringatan kelahiran Kristus di bawah titah Kaisar Konstantinus Agung.

Bagaimana sikap kita?
(1) Meski berasal dari kebudayaan kafir, kita tidak perlu bersikap antipati atau menolak Natal. Pengalihan hari raya itu sebagai hari raya umat Kristen menyatakan kebenaran bahwa Yesus Kristus lebih tinggi daripada dewa tertinggi orang Roma.
(2) Ahli Kitab Suci bernama Alfred Edersheim (baca: Ede:syaim) menyelidiki kapankah kira-kira hari kelahiran Kristus. Data yang ia peroleh tentang para gembala yang menggembakan domba di padang Efrata kira-kira berlangsung pada akhir bulan Desember atau awal Januari. Sebelum tanggal 20 Desember, Palestina mengalami musim dingin, dan biasanya para gembala akan segera menggembala selepas musim dingin itu berlalu. Jadi, kelahiran Kristus kira-kira terjadi pada akhir bulan Desember.


Apakah tiap Natal harus ada pohon terang?

Kita menjawab Tidak. Beragam cerita berdiri di balik kebiasaan ini, dari yang kafir sampai yang religius. Tetapi yang paling baik adalah kisah yang dituturkan Martin Luther, sang reformator besar dari Wittenberg, Jerman itu. Di malam Natal, Martin Luther pergi keluar untuk mengambil dahan pohon cemara. Ia meletakkannya di dalam rumah, di samping perapian, dan memasang lilin-lilin kecil di dahan-dahannya. Lalu ia mengundang semua anaknya (berjumlah 25 orang) untuk duduk di bawah pohon Natal itu dan menuturkan kisah-kisah Natal kepada mereka.

Jadi, pohon cemara tidak memiliki nilai pengajaran tertentu, tetapi lebih bersifat fungsional. Meneladani Martin Luther, bila keluarga Kristen memasang pohon Natal, maka seharusnya di dalam keluarga itu kisah-kisah Natal diceritakan kembali dan seluruh keluarga berkumpul untuk mendengarkannya dengan khidmat.


Mengapa kedatangan Kristus disebut damai?

Orang Roma memperingati kelahiran kaisarnya yang diyakini keturunan dewa. Kaisar Agustus, misalnya, dalam sebuah prasasti dinyatakan, “Inilah hari kelahiran penguasa dunia yang membawa kabar baik, yaitu berita damai kepada seluruh penjuru dunia.” Kaisar yang lahir memberi dampak kepada dunia, yaitu damai sejahtera hadir. Orang Roma bangga dengan slogannya Pax Romana (Damai Roma).

Kelahiran Kristus juga disebut “kabar baik.” Kelahiran Yesus di Betlehem menandai era baru yang dipimpin oleh Allah sendiri. Suatu bangsa atau umat kini tunduk dalam pimpinan Mesias utusan Allah. Maka, Yesus yang lahir ini juga secara tak langsung diakui sebagai Raja sama agungnya, bahkan lebih Agung, dari kaisar Roma.


Siapakah orang-orang Majus itu?

Jauh sebelum Kristus, Herodotus, sejarawan Yunani menerangkan suatu kasta pemuka agama di antara bangsa Media di abad ke-6 SM, kasta yang memiliki kemampuan khusus untuk menafsirkan mimpi-mimpi. Para majus masih ada meskipun Kerajaan Media jatuh dan diganti Persia (kira-kira 550 SM), dan berdirinya agama Zoroastrian, maka para majus ini disebut pendeta-pendeta agama Zoroastrian.

Data lain dari Josephus, yang hidup sezaman penulis Injil Lukas, menyebut tentang Atomos, seorang majus dari Cypriot yang bertugas di Kaisarea Maritima, Palestina, pada tahun 50-an, memiliki kekuatan untuk meramalkan masa depan lewat bintang (astrolog), membaca mimpi dan daya magis.

Penjelasan Matius bahwa kaum Majus ini mencermati bintang, kemungkinan besar mereka adalah astrolog. Namun yang lebih penting, Maitus cenderung untuk mempersiapkan pembaca bahwa di antara orang-orang yang mengelilingi Yesus Kristus, terdapat orang-orang asing yang bersedia datang kepada-Nya dan menaruh hormat. Sebaliknya, banyak orang yang sebangsa dan seagama dengan Yesus malahan menolak kehadiran-Nya.


Apa sebenarnya bintang menuntun para majus?

Ada tiga teori.

(1) Astronom dan fisikawan Johannes Kepler menyebutkan, bahwa bintang yang nampak itu adalah bintang yang baru (supernova), yang belum pernah dilihat sebelumnya. Sebuah supernova dapat nampak jauh lebih terang daripada yang lain, sebab bintang itu kemungkinan ratusan juta kali cahayanya dibanding matahari. Teori ini sebenarnya hanya dugaan saja.
(2) Sebuah komet. Edmund Halley (meninggal 1742) menemukan komet yang muncul 77 tahun sekali. Dalam perhitungan astronomis, maka komet ini pernah muncul pada tahun 12–11 SM. Seorang ahli menyatakan, pada saat komet ini tampak menjelang kelahiran Kristus, ia berada di dalam wilayah zodiak Gemini dengan kepalanya menghadap Leo. Hal ini membuka kemungkinan untuk menafsirkan fenomena astronomis (mis. Leo dapat diasosiasikan dengan Singa dari Yehuda).
(3) Konjungsi antarplanet. Yupiter dan Saturnus adalah planet dengan kecepatan revolusi terhadap matahari yang terendah: Yupiter tiap 12 tahun, Saturnus 30 tahun. Setiap 20 tahun sekali, kedua planet saling melintasi. Lebih jarang lagi ketika Mars juga turut berkonjungsi dalam lintasan segaris dengan Yupiter dan Saturnus. Johannes Kepler melihatnya pada tahun 1604, dan ia menghitung hal ini terjadi 850 tahun sekali. Dan, hal ini juga terjadi pada tahun 7–6 SM. Dari kalkulasi para ahli, kita tahu bahwa konjungsi Yupiter-Saturnus terjadi pada bulan Mei/Juni, September/Oktober dan Desember tahun 7 SM, dan pada awal tahun 6 SM planet Mars melintas sehingga membentuk “konjungsi besar,” dan tepat di zodiak bintang Pisces. Zodiak ini bagi orang Yahudi sering diasosiasikan sebagai masa akhir, masa Kerajaan Mesias; sementara Yupiter oleh astrolog Partia diasosiasikan dengan pemimpin dunia. Dan, Saturnus diidentikkan sebagai bintang orang-orang Amori di wilayah Siro-Palestina. Fenomena alam ini yang konon membuat astrolog Partia memprediksikan bahwa akan muncul di Palestina, di antara kaum Ibrani, seorang pemimpin dunia yang menandai masa akhir.


Apakah Bayi Yesus dilahirkan di kandang?

Sebenarnya Lukas 2.7 sama sekali tidak menyebut kata “kandang.” Pemunculan kata “palungan” yang membuat banyak orang menyimpulkan Yesus pastilah dilahirkan di kandang. Kata katalyma yang diterjemahkan “penginapan” menunjuk kepada suatu tempat meletakkan (kata kerja katalyein) bebannya pada waktu berhenti dalam sebuah perjalanan. Jangan sampai kita membayangkan penginapan seperti hotel atau losmen yang memiliki banyak kamar. Mirip dengan sebuah karavan yang dapat menampung banyak orang di dalam satu atap. Para pengunjung tidur di atas dipan yang lebih tinggi dari lantai, dengan hewan berada di bawah atau di lantai yang sama. Nampaknya Yusuf dan Maria kehabisan tempat untuk menginap.

Sedangkan kata phātne (baca: fa:tne) yang diterjemahkan “palungan,” tidak harus menunjuk pada kandang atau gudang. Menurut arkeologi, Betlehem adalah dusun kecil dan kebanyakan anggota masyarakat bukan orang kaya. Mereka tidak punya ruang lain selain rumah yang satu ruang saja. Jadi dengan berkata tidak ada tempat bagi Yesus, Lukas hendak menekankan bahwa keluarga Yusuf tidak menemukan tempat yang cukup untuk meletakkan Bayi Yesus.

Pada abad ke-2, Bapa Gereja Justin bersaksi bahwa Yesus lahir dalam gua. Sampai abad ke-4, keyakinan ini menguat. Kaisar Konstantinus Agung menandai suatu gua di Betlehem sebagai tempat kelahiran Yesus pada tahun 325. Hanya saja, kesaksian gereja kuno ini melampaui minat penulis Lukas untuk menerangkan kelahiran Yesus.

TEPUJILAH ALLAH!

Pemulihan Jati Diri Umat Allah

PEMULIHAN JATI DIRI UMAT ALLAH

YESAYA 44.1–8


Berbicara tentang “jatidiri,” banyak orang memandang kaitannya dengan status dan kelas sosial yang tinggi di masyarakat. Status ini didapat jikalau seseorang mempunyai sesuatu. Makin besar jumlah yang dimiliki maka statusnya di masyarakat juga makin tinggi, dan jatidirinya makin jelas. Diwakili oleh orang Jawa, maka seorang laki-laki disyaratkan untuk memiliki 5 hal supaya diakui keberadaannya: culiga, wisma, kukila, turangga dan wanita.

Tetapi menilik firman Tuhan, kita justru diperhadapmukakan satu kenyataan bahwa jatidiri sebagai umat Allah sama sekali tidak didasarkan pada berapa besar kepemilikan kita. Sejarah yang melatari teks kita justru suasana kehancuran! Orang Israel kehilangan kehormatan. Pada tahun 587 sebelum Kristus, Yerusalem dijarah oleh bangsa asing. Bait Allah dihancurkan. Tembok Yerusalem diporak-porandakan. Israel diangkut ke Babel, sebagai tawanan dan orang terbuang.

Di sini Allah juga tidak menjanjikan pemulihan dengan cara mengembalikan semua harta yang dimiliki oleh orang Israel. Tetapi kita dapat menelusuri 4 hal pemulihan itu:

Apa hakikat pemulihan umat Allah? Yaitu tindakan Allah yang menyatakan kembali bahwa Israel adalah umat-Nya (ay. 1 dan 5).

Membaca teks ini baik-baik, maka kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa pemulihan itu tidak mungkin berangkat dari hasrat hati manusia, sebab dosa telah begitu mengikatnya dan manusia sebenarnya menikmati dosa itu! Ya, hidup dalam dosa itu nikmat. Dosa membelenggu manusia dalam segala bujuk dan rayuannya (bdk. 43.22–24).

Allah dengan segala kekayaan rahmat-Nya menyapa bangsa yang berdosa itu sebagai Yakub dan Israel (juga Yesyurun), dan sapaan inilah yang disambut oleh umat kemudian di ay. 5. Siapa yang bertindak terlebih dahulu? Allah!

Apa sumber pemulihan itu? Yaitu Roh Kudus yang dicurahkan Allah kepada umat-Nya (ay. 3).

Jika Allah mencurahkan Roh-Nya, maka sebenarnya Allah sendiri hadir di dalam umat-Nya untuk tinggal bersama mereka. Di dalam Roh ini Allah menanggung semua beban yang umat alami. Sebenarnya ini menjadi penghiburan yang besar bagi kita. Allah tidak meninggalkan kita. Allah menanggung segala beban kita di atas pundak-Nya sendiri—yaitu melalui Roh Kudus yang dicurahkan-Nya untuk tinggal bersama umat.

Apa dasar pemulihan itu? Yaitu pengakuan Allah adalah Raja dan bukan yang lain (ay. 6, 7).

Standar pemulihan itu ialah bilamana umat tak lagi mendua hati. Umat kembali berbalik kepada Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang agung, dan menanggalkan segala macam berhala. Tuhan Yesus juga pernah berkata bahwa seseorang takkan mungkin dapat mengabdi kepada dua tuan: kepada Allah dan kepada Mamon. Faktor kepatuhan dan ketaatan mutlak kepada Allah dituntut ada dalam umat Allah.

Apa dampak pemulihan itu? Yaitu umat menjadi saksi-saksi Allah (ay. 8)

Panggilan pertama Israel adalah menjadi Terang bagi bangsa-bangsa. Maka jika pemulihan itu terjadi, panggilan ini juga dikukuhkan kepada Israel. Umat adalah saksi Allah. Itu berarti dalam setiap perikehidupannya, umat menyandang Allah. Orang dapat memandang Allah yang tidak kelihatan sesungguhnya harus dijawab oleh setiap orang yang mengaku Allah adalah Rajanya. Saksikan dengan penuh sukacita bahwa Allah telah membawa pemulihan ke dalam hidup kita.

Dalam penantian kita akan datangnya kembali Kristus ke dalam dunia, hati kita dipersiapkan dengan merenungkan satu kebenaran bahwa Kristus datang membawa pemulihan. Pemulihan secara individu, keluarga dan komunitas orang percaya. Mari kita melakukan otokritik dan mawas diri. Apakah selama ini hidup kita benar-benar dituntun oleh Allah? Apakah sepanjang perjalanan hidup kita, mulut kita melimpah dengan pujian dan pengakuan bahwa Ia adalah Raja kita?

Dialah Imanuel! Allah beserta kita. Sambutlah Dia dalam kuasa Roh Kudus yang Allah sudah berikan ke dalam hati kita, dan beranilah menjadi saksi bagi nama-Nya.

TERPUJILAH ALLAH!

Pembebat yang Tesayat

PEMBEBAT YANG TERSAYAT

EFESUS 4:17–32

“Kita memimpikan satu dunia yang bebas
dari kekerasan. Satu dunia dengan keadilan dan harapan.
Setiap orang hendaknya mengulurkan tangan kepada sesamanya,
tanda perdamaian dan persaudaraan”
(Lirik lagu The Prayer)


Izinkan saya menebak pikiran Saudara ketika menyimak lirik lagu di atas. Itu hanya khayalan. Itu sekadar lukisan dalam angan-angan. Kata para intelektual, itu cuma utopia. Mungkinkah satu dunia seperti itu akan hadir, tatkala kita mencermati lingkungan hidup yang sedemikian keras kejam, di mana manusia tak ragu-ragu menjadi srigala buas bagi sesamanya, dan menghalalkan eksploitasi manusia atas manusia? Memang, kita hidup dalam tegangan antara asa (harapan) dan realitas (kenyataan).

Firman Tuhan justru mengajak kita memelihara tegangan di atas. Marilah kita menyebut impian atau asa itu sebagai tujuan akhir atau “cita-cita perjuangan.” Ini penting. Sebab, tinggal diam di dalam kenyataan hidup tanpa memimpikan suatu tujuan akhir sama seperti membangun rumah tanpa pola cetak biru. Seorang Kristen yang tidak memiliki cita-cita perjuangan akan kehilangan orientasi yang utuh dan menyeluruh terhadap makna hidup, kerja, pelayanan bahkan keluarga. Gereja yang tidak memiliki cita-cita perjuangan akan cenderung mengalami stagnasi dan mundur, setiap kegiatan bersifat formal dan rutin.

Apakah cita-cita perjuangan kita? Cita-cita kita sebagai pribadi maupun sebagai kumpulan orang beriman adalah “kemerdekaan Kristen.” Apa maksudnya? Yaitu bahwa kesadaran manusia tidak dapat dibelenggu oleh hukum-hukum manusia. Hukum-hukum manusia tak lain ialah segala peraturan yang “membelenggu jiwa batiniah manusia di hadapan Allah dan yang meletakkan penghalang-penghalang atasnya, seolah-olah harus dilakukan bersandingan dengan hal-hal yang perlu untuk keselamatan” (Calvin).

Dalam teks kita, kemerdekaan Kristen diistilahkan dengan “mengenal Kristus” (ay. 20). Selain Kristus, tiada satu hal pun boleh dikerjakan untuk mengharapkan keselamatan. Bagi seorang Kristen, pengenalan akan Kristus itulah tujuan akhir (bdk. Flp. 3:10). Dalam pengenalan akan Kristus, gaya dan pola hidupnya akan serta merta diubahkan (ay. 25–32). “Sebab seseorang berada di dalam Kristus ia tidak lagi terbelenggu, dan ia pun bebas menjadi seperti Kristus!” itulah inti kemerdekaan Kristen.

Intisari kemerdekaan Kristen dapat kita periksa dari tiga hal berikut ini:
(1) Kemerdekaan Kristen bersangkut paut dengan perilaku yang transparan di bawah pengawasan Allah.
(2) Kemerdekaan Kristen dijumpai dalam tanggung jawab kepada sesama.
(3) Kemerdekaan Kristen tidak membebaskan manusia dari mematuhi peraturan sipil dan hukum-hukum kemasyarakatan.

Jika kita menyadari arti kemerdekaan Kristen, yang kemudian kita lakukan adalah hidup benar di hadapan Allah dan mengupayakan pemulihan untuk kondisi lingkungan hidup kita. Kemerdekaan membuat kita gigih dalam berjuang, “supaya kita memakai karunia-karunia Allah bagi tujuan yang Ia telah tetapkan manakala memberikan karunia-karunia itu.”

Selamat menjadi “pembebat yang tersayat” yang hadir di tengah dunia. Selamat menjadi pejuang-pejuang iman yang rindu mengenal Kristus.

TERPUJILAH ALLAH!

Tuesday, November 14, 2006

Boeat Grc

Rekan seperjuanganku Grc,

Wah, kata orang Jawa, comment Anda di blog “Belajar Hidup!” sangat nggegirisi, alias bikin orang miris dan gentar sekali! Buat saya, jangankan putri, putranya saja kan ya dituntut seperti itu. Masih ingat pesan untuk turun pada jam kantor dan segala yang harus dikenakan dalam jam kantor itu, supaya kelak DI GEREJA dst., dst.? Wow, luar biasa. Yang cukup menggelikan, yang berpesan tidak pernah melayani gereja dalam tempo yang lama. Bukan saja itu, kalau kita mengejar argumentasinya kan pasti jatuhnya pada masukan dari pihak gereja-gereja. Cuma pertanyaan saya sejak dahulu: gereja mana dulu? Dan bagaimana tuntutan itu bisa terjadi?

Ah, saya kok ingin meruntut adanya suatu vicious circle! Kalau gereja sampai seperti itu, dari mana pula asalnya? Mengapa ada sponsor yang berpesan, tapi ternyata di baliknya ada sponsor dan ada sponsor dan ada sponsor ad infinitum? Bagaimana mungkin di dalam gereja berlaku subkultur dan sub-subkultur, yang bila didekonstruksi asalnya toh dari "percetakan" itu juga. Lho, jadi mitos itu kan bikinan sendiri, dan diwariskan turun temurun sebagai pusaka adi luhung!

Bicara tipologi Richard Niebuhr, bukankah CHRIST FROM CULTURE yang terjadi, dan bagi saya kok lebih dari itu: CHRIST SUBMITTED TO CULTURE (bikinan sendiri)? Cobalah kita ingat, pernahkah diajar merefleksikan CHRIST AGAINST CULTURE? Apalagi sampai kepada prasaran Niebuhr sendiri mengenai CHRIST TRANSFORMS CULTURE. Pokoknya jadi anak manis saja di tempat pelayanan.

Mengapa kok tidak ada perubahan? Bagaimana mungkin wong kita ini tidak diajak berpikir teologis? Bepikir teologis berbeda dengan berpikir biblisis. Bila kekuatan kita hanya mampu mengutip dan menjajar ayat sebagai norma-norma, itu biblisis. Berpikir teologis akan membuat kita sadar ada sesuatu yang sedang terjadi, dan ini tidak boleh terjadi terus, sehingga bagaimana teologi berperan dalam merombak konteks itu.

Tapi kita pun tahu, si anak manis sudah berusaha berteologi. Bahkan trinitarian teologi! Doktrin trinitariannya menarik! Pertama, doktrin Allah yang menjadikan segala sesuatu self-sufficient. Tak disadari, kalau Allahnya cukup dengan diri-Nya, ya anak-anak-Nya cukup dengan dirinya. Yang tersirat (dan yang terjadi) kan begitu. Kalau keduanya self-sufficient, mengapa perlu ada perubahan? Kedua, Kristologi "salib" melankolis kan dapat membuatnya berurai air mata, "Kasihan ya Tuhan Yesus, disiksa begitu kok nggak membalas, ya?" Lah kalau Tuhannya digituin diam saja, para pelayan kan perlu mengikut dan meneladani? Dan bila diteruskan, kalau orang lain diperlakukan tidak adil, maka para pelayan itu yang wajib menghibur mereka dan mengingatkan mereka pada penderitaan Kristus. Ketiga, Roh Kudusnya menguatkan di tengah derita, dan apa pun yang didakwakan diterima saja, sebab Roh Kudus kan menjadi Penghibur kita. Ya, ya, trinitarian theology in action juga, bukan?

Tapi Kekristenan seperti itu sungguh merupakan candu! Bagaimana dengan ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan penghisapan atas orang-orang lemah yang menjadi konteks real kita di Dunia Ketiga? Tumpul teologi kita untuk membedah borok-borok masyarakat. Teologi secara tak langsung telah menjadi cemoohan meski paling banyak dipelajari dengan digelarnya seminar-seminar doktriner. Tapi coba yang keluar di mimbar: paling isinya ya memberikan penghiburan kepada yang sedang menderita. Orang diberi janji-janji manis. Alias, orang yang tertindas dibuat lupa dengan deritanya supaya jangan sampai sadar dengan penderitaannya. Sebab dengan dia menjadi sadar, akan bangkitlah orang itu dan geliat orang tertindas tentu tidak menyukakan kaum yang established!

Betapa tumpul pula misi kita. Kita hidup dalam dunia yang kejam. Tetapi berita mimbar dan bahkan artikel akademis mengenai misi dan keterlibatan Kristen mengenai masalah sosial terlalu berani menyimpulkan bahwa kondisi seperti ini adalah akibat seseorang tidak mengenal Allah dan dosa. Sebab itu, seseorang harus menerima Kristus terlebih dahulu, maka semua kesungsangan akan berakhir. Benarkah? Bukankah para mafioso itu pun Kristen dan mereka memberikan persembahan dalam jumlah besar? Betapa mudahnya analisis sosial kita dan menyamaratakan apa yang terjadi sebagai akibat dosa. Benarkah orang yang mengenal Kristus kemudian selalu menjadi agen perubahan?

Bila kembali membuka halaman-halaman depan Alkitab, akhirnya saya harus berkesimpulan bahwa Allah pun diberitakan bertindak reaktif (atau responsif) dengan kondisi di luar. Perhatikan kala tohu wa bohu. Bukankah kemudian Allah menata kosmos dari kondisi itu? Apakah Allah tidak tahu sebelumnya? Allah tahu, tetapi bagi kaum Yahwist-Elohist, tidak ada minat untuk memikirkan di balik apa yang Allah nyatakan dalam penciptaan. Kalaupun kita beranjak bahwa Allah itu self-sufficient, tetapi apakah Allah tidak memiliki masa depan, dalam artinya ada sesuatu yang “berubah” di dalam kehidupan Allah? Bukankah berita Wahyu Allah yang mencipta, dan aktif dalam ciptaan itu pada akhirnya bersekutu dengan ciptaan, yang secara konseptual dapat saya sebut sebagai the-en-panism? (Bukan pan-en-theism!) Saya makin setuju bahwa God’s being is in his becoming, karena Allah becoming God + new creation, di mana Allah akan memenuhkan seluruh bumi dengan diri-Nya sendiri. Poin saya adalah adanya progres di dalam Allah!

Allah berproses!? Ini lain perkara. Bagi saya Tidak! Ia adalah Subjek. Subjek yang punya rancang bangun. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi apa yang akan terjadi tidak sama dengan apa yang dulu terjadi. Relasi-Nya dengan Israel dan relasi-Nya dengan Mesias Yesus jelas berbeda. Allah tinggal dalam waktu sambil Ia pun berada di luar waktu.

Kalau Allah saja mempunyai becoming, maka saya makin setuju untuk adanya sesuatu yang saya sebut dalam artikel saya eine Umgestaltung von grundaus! Perombakan sampai ke akar-akarnya. Jadi Feminisme dan kesetaraan? Mengapa tidak? Perjuangan pembebasan? Mengapa tidak? Sikap anti terhadap agresi Israel? Anti imperialisme Amerika Serikat? Oo, ada yang makin terusik dengan pertanyaan-pertanyaan lain.

Jadi Kawanku, bagi para teolog dan pelayan jemaat, nampaknya sudah waktunya kita meninggalkan keyakinan “Gnostik gadungan” yang sebenarnya sudah berpuluh-puluh tahun menjadi bagian teologi kita. Kita perlu kembali kepada Yesus Sejarah. Kita perlu menggali filosofi Alkitab mengenai “sejarah.” Kita perlu menegakkan teologi kreasionisme. Itupun kalau kita merindukan terjadinya perombakan paradigma untuk zaman kita: untuk berbicara mengenai sains, keadilan, kesetaraan, pengentasan kemiskinan.

Tetapi marilah kita mengingat: “pasar” kita sekarang ini menghendaki khotbah-khotbah yang therapeutic! Berita mimbar yang memotivasi dan memompa semangat. Khotbah yang diambil dari buku-buku motivator ulung dan model-model how to. Kutipan-kutipan yang menggairahkan dan ilustrasi-ilustrasi kehidupan Chicken Soup.

Kalau kita siap, konkuensinya sedang mengintip: menjadi seperti Yohanes yang berseru-seru di padang gurun. Sendirian. Dan, tidak laku jual!

Nah, kawan-kawan, marilah kita terbuka untuk bertukar pendapat. Ini era keterbukaan.

Hasta la victoria siempre!

TERPUJILAH ALLAH!

Monday, November 13, 2006

Permenungan Sejarah GKMI Kudus

PERMENUNGAN DARI SEJARAH GKMI KUDUS


PENDAHULUAN

Menilik sejarah tak ubahnya seperti mengamati jam bandul. Bandul terayun ke ujung yang satu, dan ke ujung yang lain. Namun justru ayunan ke sana dan ke sini itu menunjukkan jam itu masih berfungsi dengan normal. Andaikata bandul tak lagi terayun, maka jam pastilah sudah purna tugas, alias rusak.

Sejarah, dan secara khusus sejarah GKMI Kudus, juga seperti itu. Pengalaman terayun ke sana dan ke mari telah berlangsung 86 tahun, dan nampaknya ayunan itu tak kunjung berhenti pada tahun-tahun mendatang. Delapan puluh enam tahun bukan masa yang singkat!

Membuka kembali lembaran-lembaran sejarah GKMI Kudus akan membangkitkan kebanggaan kita sebagai bagian komunitas beriman, seumpama memiliki jam bernilai seni tinggi yang hingga kini tetap berfungsi. Ayunan bandul itu dulu telah dinikmati oleh nenek-moyang kita. Kini, kitalah yang mewarisinya. Makin bertambah usia, makin berhargalah jam bandul tersebut. Asalkan kita, sebagai generasi keempat, kelima, keenam dan seterusnya dari GKMI Kudus, memiliki tekad untuk menjaga langkah-langkah GKMI dalam jalur yang ditetapkan oleh Tuhan Gereja.

AYUNAN-AYUNAN PERTAMA

Lahirnya GKMI bermula dari seorang Tee Siem Tat. Sebagai pedagang dan pengusaha yang berhasil, Pak Tee memiliki pengaruh yang besar atas sanak-famili dan koleganya. Berkat pertolongan Tuhan yang besar atas hidupnya, Pak Tee menyerahkan diri menjadi anak Tuhan, dan pada panggal 6 Desember 1920 bersama orang-orang terdekatnya sehingga berjumlah 25 orang, diadakanlah sakramen Baptis Kudus. Peristiwa ini terjadi di Jl. Panjunan 9 Kudus.

Kelompok para petobat baru ini dikenal sebagai Kelompok Kristen Tionghoa Kudus. Dalam periode berikutnya, Pak Tee menyadari betapa minimnya bantuan keuangan dari badan misi terhadap pelayanan di kelompok ini. Tetapi dengan masalah ini, Kelompok Kristen Tionghoa Kudus cepat dewasa dalam masalah keuangan maupun pengaturan-pengaturan persekutuan. Jadi, dalam menata persekutuan, kelompok isi telah mandiri.

Pengorganisasian kemudian dilaksanakan. Pada tanggal 27 September 1925, dalam pertemuan umum, diputuskan pembentukan organisasi jemaat atau calon majelis. Dua tahun kemudian, pemerintah Hindia Belanda mengakui tanggal itu adalah tanggal berdirinya Jemaat Kristen Mennonite Tionghoa, yang dalam bahasa Belanda disebut Chineesche Doopsgesinde Christengemeente.

Menurut kebiasaan yang berlaku di gereja-gereja, peristiwa pengorganisasian persekutuan dan pemilihan majelis jemaat perdana inilah yang seharunya dipakai sebagai landasan tanggal berdirinya sebuah gereja. Namun, Kelompok Kristen Tionghoa Kudus yang dipimpin oleh Pak Tee—yang kelak dikenal sebagai Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) memilih dan menetapkan hari jadinya sebagai gereja dewasa pada upacara pembaptisan pertama pada tanggal 6 Desember 1920 tersebut.

Pak Tee adalah pribadi yang berprinsip tegas dan kritis. Karena semangat kristis itulah, Pak Tee tidak mau cepat-cepat menjadi Kristen. Ketika Alkitab menjadi semakin terbuka, dan Firman itu telah menawan Pak Tee dengan segala keindahannya, dengan jujur kelompok baru ini semakin bingung dengan maraknya corak Kekristenan. Alkitabnya satu, tetapi mengapa teramat banyak aliran dalam agama Kristen? Menyadari kenyataan ini, Pak Tee dan kawan-kawan malahan semakin bergiat untuk mempelajari Alkitab dan menjadikannya buku utama pedoman ajaran. Kekritisan dan keterbukaan untuk diajar merupakan keutamaan lain yang dimiliki oleh GKMI tatkala dilahirkan. Alkitab menjadi pedoman pokok keyakinan dan pengajaran.

Selanjutnya, gereja yang kecil itu menahbiskan Pak Tee sebagai tua-tua pertama, dalam upacara penahbisan pada tahun 1927, bersama dengan Bp. Oei Tjien Gie dari Mayong. Baik Pdt. Tee dan Pdt. Oei masih menjalankan usaha sebagai pedagang dan pengusaha pada waktu itu.

Makin gereja berkembang, makin besar pula tuntutan pelayanan. Kepemimpinan berganti. Pdt. Tee digantikan oleh Pdt. Tan King Ien, sang menantu, yang ditahbiskan pada tanggal 23 Februari 1936. Demikian pun menyusul putra Pdt. Tee, Bp. Tee Jan Poen, ditahbiskan menjadi pendeta pembantu pada tanggal 30 Januari 1940, delapan bulan sebelum Pdt. Tee meninggal dunia († 2 Oktober 1940). Dalam pembaringan, menanti waktu tatkala Tuhan memanggilnya, Pdt. Tee berpesan kepada Pdt. Tan King Ien Pdt. Tee Jan Poen serta Bp. Tee Jan Siang berdasarkan Injil Yohanes 21.15, “Djagalah anak kambing-Koe.”[1]

Perkembangan persekutuan Kelompok Kristen Tionghoa Kudus, atau Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee sangat cepat. Mereka telah memiliki tempat ibadah yang adalah sebuah rumah kecil di Jl. Panjunan 74-78. Namun bangunan itu tak dapat lagi menampung banyaknya jemaat yang beribadah. Dengan mendesaknya kebutuhan tempat ibadah, maka pada tanggal 5 Oktober 1941, Ny. Tee Siem Tat (Sie Djoen Nio) memulai proses pembangunan gedung gereja kedua dengan peletakan batu pertama. Gedung yang baru ini letaknya di sebelah utara gedung gereja pertama. Pembangunan itu cepat dijalankan, sehingga pada tanggal 23 Desember 1941, gedung gereja itu diresmikan.

Berkembangnya jemaat, berkembang pula paradigma (cara pandang) pelayanan gereja. Dibutuhkan seorang rohaniwan yang mengenyam pendidikan teologi secara formal demi menjawab tantangan, dan dapat menggembalakan jemaat secara purna waktu (full time). Maka, sekitar pertengahan tahun 1941 diundanglah Pdt. Pouw Peng Hong dari misi Christian Missionary Alliance yang pernah melayani di Gereja Kemah Injil di Indonesia, Makassar. Pelayanannya berjalan hanya sekitar tujuh bulan karena di awal tahun 1942 Pdt. Pouw mengundurkan diri dan kembali ke Jakarta. Pdt. Tan King Ien harus kembali menjabat tugas rangkap untuk mengurus perusahaan keluarga, penggembalaan serta kondisi yang serba sukar karena Perang Dunia II. Pada tahun 1949, Pdt. Tee Jan Poen mengundurkan diri atas permintaan pribadi.

Oleh karena perkembangan di sekitar Gunung Muria, Pdt. Tan King Ien dibebastugaskan dari kepemimpinan GKMI Kudus. Menjelang akhir tahun 1951, GKMI Kudus mengundang Pdt. Liem Liong Tjoen dari Makassar dan melayani sampai Maret 1959.

AYUNAN-AYUNAN KEDUA

GKMI Kudus, dengan demikian, mengalami masa-masa vakum gembala jemaat. Tetapi mengapa GKMI Kudus tetap maju terus? Pertama, tentu karena tangan pemeliharaan Tuhan Gereja; namun kedua, sambutan warga jemaat yang adalah kaum “awam” untuk bergiat membangun pelayanan, sekalipun tidak memiliki pemimpin yang tertahbis. Semangat dan kecintaan kaum awam terhadap pekerjaan pelayanan di gereja Tuhan menjadi daya dorong kemajuan jemaat GKMI Kudus.

Hal ini dapat dibuktikan dengan kegerakan kaum awam di Gereja-gereja Tionghoa di sekitar Gunung Muria, yang pada waktu itu lebih dikenal sebagai Gereja Kristen Kudus, Gereja Kristen Jepara dan Gereja Kristen Pati. Pada masa raya Natal tiba (sekitar tahun 1950-1957), jemaat di Gereja Kristen Kudus yang memiliki mobil hanya delapan keluarga. Namun semangat pelayanan mereka sedemikian tinggi sehingga menyediakan mobil mereka untuk turut mengambil bagian di kebaktian Natal Gereja Kristen Jepara atau Pati, misalnya melalui pelayanan paduan suara. Sehingga, dalam sekali masa raya Natal, jemaat dapat mengikuti perayaan Natal empat sampai lima kali di kota-kota lain. Betapa erat jalinan kerja sama antargereja pada masa itu, yang dimotori oleh kegerakan kaum awam yang tidak ditahbiskan.

Semangat kaum awam dalam membangun pelayanan juga nampak jelas dengan cikal bakal lembaga-lembaga milik GKMI Kudus, baik Yayasan Badan Pendidikan Masehi (YBPM) serta Yayasan Kesehatan Kristen (YKK). Dimulai dengan dibukanya TK dan SD pada bulan Agustus 1954, YBPM pun terbentuk. Sedangkan YKK berasal dari sebuah balai pengobatan kecil di kompleks gereja, yang dimulai pada tanggal 10 Juni 1964, dan lima tahun kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Mardi Rahayu yang diresmikan pada tanggal 25 Januari 1969.

Bandul perjalanan gereja itu pun mengayun kembali, dengan langkah yang sangat radikal. Pada tahun 1960, GKMI Kudus menerima Pdt. Soedarsohadi Notodihardjo sebagai gembala sidang. Pak Darso berasal dari suku Jawa, dan benar-benar merupakan putra asli GITJ Kudus, yang sealiran dengan GKMI. Dapatlah disimpulkan, GKMI Kudus merupakan gereja Tionghoa yang paling dini membuka diri terhadap kepemimpinan rohani dari suku lain.

Dalam tahun-tahun sesudah itu, Pak Darso sebagai pemimpin harus menghadapi dampak dari situasi politik negara yang kian memanas. Beberapa anggota dan tokoh GKMI Kudus difitnah, dan dicurigai terlibat dalam partai yang kelak akan dinyatakan terlarang. Jiwa besar pun Pak Darso tunjukkan. Dengan keberanian yang luar biasa, Pak Darso menghadap aparat yang berwenang dan berkata, “Mereka bukan PKI, karena mereka adalah jemaat saya. Kalau mereka PKI, maka tangkap saya dulu.” Pak Darso menggembalakan GKMI Kudus sampai tahun 1970, sebab waktu itu GKMI Mlonggo memintanya menjadi gembala sidang.

Segera, Pdt. Liem Liong Tjoen diundang untuk melayani GKMI Kudus, dan berlangsung sampai tahun 1972. GKMI Kudus kembali vakum gembala. Memang pada waktu itu, Bp. Sudiharto (alm.) menjadi hamba Tuhan, namun GKMI Kudus tidak memiliki gembala jemaat. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Pdt. Mesakh Krisetya, yang kala itu menjabat sebagai rektor Akademi Kristen Wiyata Wacana, diundang sebagai pendeta konsulen selama dua tahun. Pada tahun 1974, GKMI Kudus mengalami masa kelam dan hitam pekat dengan peristiwa perpisahan dengan saudara-saudara dalam satu tubuh. Pak Darso diminta kembali ke Kudus untuk melayani di YKK. GKMI Kudus mengalami masa-masa yang tidak mudah: kevakuman gembala jemaat, kemunduran yang sangat besar dalam kehidupan bergereja, serta trauma yang hebat akibat perpecahan. Berbagai upaya untuk mendapatkan pemimpin coba dilakukan. Hasilnya? Nihil!

AYUNAN-AYUNAN KETIGA

Pada tanggal 21 Oktober 1976, Pdt. Charles Christano diteguhkan sebagai gembala jemaat. Sebelum memimpin jemaat di Kudus, Pak Charles menjabat sebagai Ketua Sinode GKMI. Pada masa-masa inilah GKMI Kudus mengalami pemulihan.

Dalam periode ini, peran aktif kaum awam tak dapat dikatakan kecil. Sebut saja masalah penanganan cabang-cabang GKMI Kudus dan kelahiran Komisi Remaja Metanoia. Dalam masa-masa ini, Sdr. Bastian Yosin (kala itu lebih akrab dipanggil “Kak Yosin”), yang baru saja dipanggil dari Pos PI Kalirejo ke induk (1976), memiliki kerinduan untuk membuka pelayanan bagi kaum remaja. Bersama Bp. Hermawan (alm.), Kak Yosin mengumpulkan kaum awam yang memiliki semangat sama untuk melayani remaja, yaitu: Bp. Solaiman Budi Widjaja, Ibu Lidya Mindayani dan Bp. Mulyoprakosa, dan pada tanggal 28 Februari 1979 terbentuklah Komisi Remaja GKMI Kudus, dengan ketua pertama Sdr. Teguh Wijaya. Komisi Remaja GKMI Kudus turut memelopori kelahiran komisi-komisi remaja di GKMI lain. Di kemudian hari, G.I. (Guru Injil) Julius Rampen memberi nama komisi ini Metanoia, yang berarti “pertobatan”; dengan buletinnya yang diberi nama Epistole oleh Pdt. Charles masih terbit hingga saat ini. Epistole berarti “surat edaran.”

Pada tahun 1978, tempat ibadah di GKMI Kudus terasa tidak lagi mampu menampung lebih banyak jemaat yang rindu berbakti. Majelis Jemaat periode 1977-1978 bersepakat untuk tidak merenovasi gedung yang sudah ada, tetapi membuka cabang di wilayah Timur kota Kudus. Kemudian, pada bulan Februari 1978, dibuka kebaktian cabang GKMI Kudus di Jl. Tanjung 28, yaitu rumah dr. Budi Mulyono. Acara itu dihadiri oleh sekitar 40 orang.

Pada tanggal 22 April 1979 dibentuklah Panitia Cabang yang terdiri dari Bp. Gesang Tjahjono, Bp. David Budiono (alm.), Bp. Suwandi Halim, Bp. Suharto dan Bp. Teofilus Liong. Pada pertengahan September 1980, Panitia Cabang dikembangkan menjadi Panitia Persiapan Rayonisasi GKMI Kudus Timur, yang terdiri atas: Bp. Gesang Tjahjono, Bp. Suwandi Halim, Bp. Suharto, Bp. Sie Khoen Swan, Bp. Lazarus Leimena, Bp. Sugiarto Sanadji, Bp. Tohar Budi Santosa, Ibu Yoe Sik Nio, Ny. Sunarto dan Ny. Ong Gian Nio.

Selain itu dibentuk pula Panitia Pengadaan Gedung Gereja Rayon Timur yang terdiri dari Bp. Yusuf, Bp. Suwitono, Bp. Silas, dengan mengemban mandat untuk merealisasikan pengadaan bangunan ibadah. Pada tahun 1980 itu juga, panitia berhasil membeli tanah seluas 1700 m2 dan bekas gedung Panti Marhaen di Jl. P. Diponegoro 9 Kudus, seharga Rp. 60.000.000, 00.

Atas dukungan Ibu Kumala Dewi, maka bekas gedung Panti Marhaen itu direnovasi seperlunya untuk menjadi tempat kebaktian. Pelaksana proyek adalah Bp. Daud Darmawan Karunia (alm.). Pada tanggal 10 Oktober 1980, GKMI Kudus Rayon Timur diresmikan. Sejak saat itu, kehadiran jemaat yang beribadah juga meningkat. Pada tanggal 8 Februari 1981, anak-anak Sekolah Minggu Rayon Barat beserta Cabang Sekolah Minggu Kliwon dipindahkan tempat ibadahnya ke Rayon Timur.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah GKMI, pada tanggal 3 Mei 1981 Majelis Jemaat untuk periode 1981-1983 yang terdiri atas Majelis Jemaat Rayon Barat, Timur dan Pusat, diteguhkan. Setahun kemudian, istilah Rayon Barat dan Rayon Timur diubah menjadi Rayon I dan Rayon II. Pembagian rayonisasi bukan dimaksudkan untuk otonomi (berdiri sendiri-sendiri). Majelis Rayon I dan Rayon II secara periodik bergiliran tugas. Sehingga, Majelis Rayon I melayani ibadah di Rayon II, demikian pula sebaliknya. Dua tempat ibadah, namun dengan semangat kebersamaan.

Pada tanggal 2 Februari 1986 dilantik Panitia Pembangunan GKMI Kudus Rayon II yang diketuai oleh Bp. Rakhmat Abadi (alm.) untuk membangun pastori, lokal Sekolah Minggu, guest house dan aula. Perancang sekaligus pelaksana proyek diserahkan kepada Bp. Daud D. K. Pada tanggal 6 Desember 1987, bertepatan dengan HUT ke-67, bangunan-bangunan tersebut diresmikan. Kemudian, pada tanggal 9 Oktober 1988 dilaksanakan Kebaktian Pengucapan Syukur Sewindu Rayonisasi sekaligus peneguhan Bp. Mikha Joedhiswara sebagai Guru Injil di GKMI Kudus.

Mengenai gedung GKMI Rayon I, atau gedung gereja kedua, dengan terpaksa harus dipugar oleh karena perluasan jalan K. H. Wahid Hasyim. Antara batas jalan dengan pintu utama gereja begitu sempit. Maka, tepat pada HUT GKMI Kudus ke-75, tanggal 6 Desember 1995 dilaksanakan penuangan lantai dasar pembangunan gedung gereja ketiga. Gedung pertama dan kedua harus dirobohkan. Dalam rancangan panitia pembangunan, penampang gereja kedua akan dipertahankan dalam bangunan penunjang yang akan dibangun di belakang gedung kebaktian utama (dahulu aula). Semula proyek ini direncanakan berjalan satu tahun, namun karena berbagai kendala termasuk huru-hara perusakan dan pembakaran banyak gedung gereja, maka proyek pembangunan berkali-kali mengalami pelambatan. Akhirnya, pada tanggal 6 Desember 1997, gedung GKMI Kudus yang ketiga diresmikan. Sedangkan gedung penunjang belum dapat diselesaikan oleh karena krisis ekonomi yang hebat tengah melanda Indonesia kala itu sehingga mengakibatkan melonjaknya harga-harga bahan bangunan.

Dalam dekade 1989–1998, mengingat perkembangan jemaat yang pesat di GKMI Kudus Rayon II, yang mencapai 700 orang dan pengunjung kebaktian rata-rata 500 orang dalam dua kebaktian, maka dibutuhkan satu gedung yang lebih luas lagi. Maka, pada pertengahan 1998 dibentuklah Panitia Pembangunan GKMI Rayon II dengan tugas: Membangun Kembali Gedung Gereja Rayon II dengan saranan penunjangnya serta mengadakan pastori di luar area gedung gereja.

Akhirnya, pada tanggal 13 Februari 2005 diadakan peletakan batu pertama pembangunan kembali GKMI Rayon II di Jl. P. Diponegoro 9 Kudus, dan dipersembahkan penggunaannya bagi ibadah umat Allah di GKMI Kudus pada tanggal 6 Desember 2007.

AYUNAN-AYUNAN KEEMPAT

Generasi pemimpin rohani yang selanjutnya menerima tongkat estafet kepemimpinan gerejawi dari Pdt. Charles Christano. Kebaktian emiritasi atas Pak Charles diadakan pada tanggal 6 Februari 1999. Para rohaniwan di GKMI Kudus, yang dikenal dengan Collegium Pastorale (Kerekanan Penggembala) pada saat ini terdiri: Pdt. Kristianus Karsu (gembala koordinator), Pdt. Mikha Joedhiswara, Pdt. Rudiyanto, Pdt. Jan Willem Leander (chaplain Yayasan Kesehatan Kristen dan R. S. Mardi Rahayu), Pdt. Sukarli Seiya Sehary (cabang Gulang), Pdt. Sunarto (cabang Pare), Pdm. Priyo Binuko Budi Sambodo (cabang Ngandong), Pdm. Cahyo Setiabudi (cabang Kaliwungu); ditambah dengan tenaga-tenaga orientasi: Bp. Hadi Cahyono Trisasongko (paduan suara dan musik gereja), Bp. Moses David Livingstone (Yayasan Badan Pendidikan Masehi), Sdri. Setyowati (Sekolah Minggu) dan Sdr. Nindyo Sasongko (Pemuda dan Remaja), Bp. Heru Himawan (cabang Kalirejo). GKMI Kudus saat ini menerima mahasiswa praktik dari STT Cipanas, Sdr. Yusak Manuputty (persekutuan Muria Indah).

GKMI dimulai dengan 25 jiwa. Saat ini, menurut data 1 November 2006, jumlah jemaat dewasa di GKMI Kudus mencapai 2053 jiwa, dengan 1504 jiwa di dalam kota, dan 549 jiwa di luar kota dan luar negeri. Dari 1054 yang tinggal di dalam kota, 784 jiwa tercatat sebagai anggota di wilayah Rayon I, dan 720 jiwa di wilayah Rayon II.

Kita telah saksikan berliku-likunya sejarah GKMI: suka-duka, manis-getir, canda-air mata. Akan tetapi, bukankah semua ini menunjukkan betapa dinamisnya GKMI menapaki langkah-langkahnya? Dan lebih daripada itu, bukankah pengalaman-pengalaman di masa lampau dan sampai hari ini sesungguhnya menujukkan telah sedemikian besar pemeliharaan Tuhan Gereja atas umat-Nya? Maka, kiranya setiap komponen yang ada di GKMI Kudus bersedia bergandengan tangan, bukan hanya mengagumi sejarah, tetapi mengobarkan kembali keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh para leluhur iman dan pendiri GKMI Kudus, hebatnya perjuangan para pendahulu yang demi keutuhan GKMI Kudus serta kemajuannya.

Sejarah GKMI Kudus belum usai. Kita ternyata tak hanya menjadi pengamat, tetapi juga berayun bersama bandul jam yang makin lanjut usia itu. Sesungguhnya generasi kita ini pun turut menuliskan sejarah GKMI Kudus, pada masa kini dan masa yang akan datang. Soli Deo Gloria! Demi kemuliaan Allah semata-mata! (NSrev1511061500)

TERPUJILAH ALLAH!



[1]Nampaknya Pak Tee akrab dengan Alkitab PB Terjemahan Klinkert Melayu Rendah (1863), yang menuliskan, “Djagalah sama anak kambingkoe” (Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenoutschap, 1863). Sebagai perbandingan yang mirip, dalam Terjemahan Klinkert Melayu Tinggi (1870) tertulis, “Gombalakanlah anak-kambingkoe.