Wednesday, November 8, 2006

Antropologi (1): Mengapa Mempelajari Ilmu Alam?

MENGAPA MEMPELAJARI ILMU ALAM?




PENDAHULUAN

Apakah bedanya manusia dibandingkan makhluk-makhluk lain yang ada di muka bumi? Apabila manusia sanggup membangun suatu peradaban yang luar biasa yang tak mungkin dikerjakan oleh makhluk-makhluk lain, apa yang sesungguhnya menjadi esensi yang membedakan? Ada dua jawaban yang hingga saat ini terus bertentangan, yaitu sains naturalistik-evolusionis yang mengatakan bahwa manusia merupakan proses perkembangan yang pelan-pelan dari sesuatu yang tidak ada, kemudian menjadi makhluk-makhluk yang sederhana dan akhirnya menjadi hewan yang sangat kompleks bernama manusia. Di sisi lain, berita Alkitab ­teosentris-kreasionis, bahwa manusia dicipta dalam gambar dan rupa Allah.

Pemahaman yang benar akan sains dan berita Alkitab sesungguhnya akan semakin mendorong kita untuk semakin mensyukuri kejadian kita sebagai manusia, yang di-design for dignity. Sayangnya, teramat sering seorang Kristen tergoda untuk “melompati pagar tetangga” dan membuat klaim-klaim yang serampangan mengenai sains alam. Bahkan para teolog juga mempunyai godaan, mungkin secara tidak sadar, semacam arogansi intelektual: Alkitab sebagai sumber dan otoritas teologi begitu mudahnya diartikan bahwa Alkitab membuat klaim-klaim saintifik dengan referensi-referensi biblisistik (ada banyak ayat dukungannya).

Apa yang harus kita kerjakan? Pertama, kita perlu membangun paradigma yang benar akan kaitan sains dan berita Alkitab tentang penciptaan. Kedua, kita pun perlu membedah sains alam. Ketiga, kita perlu memahami berita Alkitab mengenai penciptaan manusia. Di sinilah pentingnya seorang pelajar Kristen untuk membangun filosofi sains dalam perspektif Kristen.[1] Filosofi sains Kristen mengungkapkan korelasi Allah, ciptaan dan sains serta kompetensi dan keterbatasan sains, dan bagaimana seharusnya sains berkerja dalam kerangka iman kepada Allah.

PENCIPTAAN DAN SAINS

Dunia diciptakan sekitar enam atau delapan ribu tahun yang lalu. Dalam enam hari Allah membuat dunia dengan segala jenis makhluk yang berada di atasnya. Allah membuat dunia seperti sebuah piringan datar dengan gunung-gunung dan lembah-lembah yang nampak di hadapan kita, dan langit bagaikan mangkuk yang terbalik di atas kita. Di bawah bumi dan di atas langit ada lautan mahaluas. Allah meletakkan matahari dan bulan dan bintang-bintang di dalam mangkuk angkasa itu. Kemudian, di suatu wilayah di daerah Timur Dekat Allah membuat segala tumbuhan dan hewan dan pada akhirnya manusia. Inilah kira-kira yang dikisahkan dalam Alkitab.

Sekitar empat milyar tahun lalu, tata surya berkembang dari sebuah lempengan gas bermassa besar yang mengelilingi matahari. Bumi hanyalah satu planet dari sekian juta benda langit di jagad raya yang jaraknya diukur dengan tahun cahaya (1 tahun cahaya berjarak sekitar 7,8 trilyun km., dan kebanyakan bintang berjarak seratus tahun cahaya dari bumi). Banyak bentuk kehidupan yang kini berada di atas bumi berasal dari sesuatu yang tidak ada, dan banyak hal yang dulu ada kini menjadi tidak ada. Manusia pertama paling tidak seratus ribu tahun, meski tak jelas dari mana dan bagaimana asalnya. Ada banyak teori yang lain dan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab mengenai detail keberadaan bumi, namun begitulah gambaran sains alam mengenai asal-muasal kehidupan di bumi.[2]

Membandingkan dua cara pandang tentang asal muasal dunia, dari Alkitab dan sains, tidaklah mengeherankan bila banyak orang Kristen yang mengakui otoritas Alkitab kemudian memandang sains sebagai ancaman terhadap imannya. Sebaliknya orang-orang yang terpelajar merasa doktrin yang diambil dari Alkitab itu tak lebih dari sekadar relikwi (benda-benda keramat) mitos kuno pra-sains. Orang dituntut untuk memikirkan salah satu—either-or—kepada Alkitab atau pemikir modern. Hanya saja, membandingkan kedua pandangan seperti ini benar-benar salah kaprah. Seperti membandingkan apel dan jeruk, lalu kesimpulan yang kita tarik salah satu lebih rendah tingkatnya dibandingkan yang lain: Apel lebih buruk karena tidak pernah mengeluarkan jus jeruk, sebagaimana yang kita harapkan/sukai; atau sebaliknya, kita pikir jeruk tidak berguna, karena tidak dapat dibuat menjadi cuka!

Sains alam menyelesaikan problematika bagaimana dunia dan bentuknya yang sekarang ini menjadi ada. Sains menerangkan karakter, struktur, proses, fakta dan data yang ada di dalam dunia dan perkembangannya dalam sejarah bumi. Para pakar sains bisa saja berspekulasi mengenai asal muasal bumi dan tujuannya. Namun, sains telah melompati kompetensinya ketika berbicara mengenai hal ini. Tujuan semesta, dan khususnya bumi, adalah masalah yang harus diselesaikan oleh teolog-teolog. Demikian juga sebaliknya, seorang teolog kebablasan dengan kepakarannya ketika bertanya bagaimana proses terjadinya bumi, unsur-unsur fisika dan kimia apa yang paling tua dan apa benar pernah terjadi sebuah dentuman besar (big bang), dengan mencari jawabannya dari kutipan-kutipan ayat ataupun studi-studi kata Ibrani dan Yunani.

Doktrin penciptaan dan sains modern mempunyai problematika masing-masing yang harus dipecahkan. Keduanya bukan kebenaran alternatif—pilih salah satu—tetapi dua jenis kebenaran yang berbeda! Ketimbang sebagai musuh, sains telah menolong (tak jarang memaksa) orang Kristen untuk menemukan makna yang sesungguhnya dari doktrin penciptaan; di sisi lain, penekanan Kristen mengenai kebaikan dan keindahan ciptaan sesungguhnya mendorong perkembangan penyelidikan sains modern mengenai alam semesta.

DURASI PENCIPTAAN

Kuncinya adalah kata yôm, “hari.” Berdasarkan studi kata—dan sayangnya banyak teolog yang cukup puas dengan studi kata, seolah-olah proses merupakan eksegesis (teknik menarik berita teks) yang cukup—kita menemukan beberapa arti: (1) masa siang hari; (2) periode dua puluh empat jam; (3) hari-hari khusus (mis. hari kematian seorang raja); (4) bentuk plural dapat berarti beberapa hari atau bahkan satu tahun; (5) bila artikel ditambahkan kepada kata ini maka artinya “hari ini”; atau (6) bila sebuah preposisi diletakkan di depannya, maka artinya “pada hari itu” atau sekadar “ketika.” Ada teolog yang dengan segera berkata, “Kata ini dapat bermakna periode waktu yang panjang, yang tidak dapat dipastikan berapa lama.” Jadi, ada kemungkinan rentang waktu yang lama sekali, bahkan sampai jutaan tahun. Atau ada yang mengacu kepada Mazmur 90.4, “Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti satu hari kemarin,” dan menyimpulkan bahwa proses penciptaan berlangsung enam ribu tahun! Kedua pilihan ini sesungguhnya bermaksud memperdamaikan berita teks dengan sains. Namun berhati-hatilah untuk menjatuhkan pilihan, sebab seorang teolog perlu mengerti disiplin semantik (ilmu tentang kalimat), dan untuk menentukan makna kata, seorang teolog perlu memahami konteks perikop serta latar belakang sosio-kultural zaman Alkitab, sebagaimana yang dimaksud oleh penulis aslinya.

Para ahli mengambil kesimpulan bahwa kata yôm bermakna periode dua puluh empat jam.[3] Tetapi tunggu dulu, apakah ini implikasinya Allah menciptakan dunia dalam 144 jam? Tentu tidak! Pertama, bahasa yang dipakai dalam Kejadian 1 adalah puisi Ibrani. Jelas bahasa puisi melampaui fakta! Coba simak syair dalam lagu gubahan Ismail Marzuki, “Aryati”:

Aryati, kaulah mawar asuhan rembulan . . .
Namun aku bahagia, seribu satu malam.

Apakah bulan mengasuh sekuntum mawar bernama Aryati? Apakah sang penulis begitu tekun menghitung kebahagiaannya tepat 1001 malam? Sama halnya dengan Kejadian 1, kita harus memahami bahwa di sini Alkitab memakai bahasa analogis. Bahkan kita pun berkata, semua bahasa untuk Allah merupakan analogi. Kata-kata yang dipakai untuk menjelaskan Dia dan karya-Nya merupakan kata-kata manusia, tetapi tidaklah selalu bermakna tepat-sama dengan keberadaan dan tindakan-Nya itu. Mengatakan bahwa Allah menciptakan bumi dalam enam hari, diikuti dengan satu hari istirahat, Kejadian 1 memang ingin menarik perhatian pembaca tentang adanya korespondensi antara kerja Allah dan manusia, dan hari peristirahatan Allah merupakan model bagi Sabat, namun hal ini tidaklah boleh diartikan bahwa enam hari penciptaan itu tepat sama dengan hari-hari manusia.

Kedua, karena terlalu digelisahkan dengan tantangan sains, orang Kristen melupakan bahwa Kejadian 1 merupakan penegasan kuasa dan hikmat Allah dan betapa menakjubkannya karya ciptaan Allah. Tak jarang kegelisahan itu memperhadapkan orang Kristen pada pertanyaan, “Dapatkah kata bermakna seperti yang saya inginkan supaya saya dapat menjawab masalah yang sedang saya hadapi?” Atau tak jarang sebaliknya, mereduksi berita Alkitab sehingga cocok dengan kerangka pikir yang cocok dengan sains modern. Bila setia dengan berita Kejadian 1, maka bukan masalah berapa lama durasi penciptaan, tetapi betapa pentingnya proklamasi Allah yang kaya dengan anugerah dan kekuatan. Dialah yang meletakkan dasar bumi dan memberinya makna yang meretas (membuka jalan) pendekatan-pendekatan sains kepada dunia kepunyaan-Nya. Dengan demikian, perdebatan permulaan dunia yang jutaan tahun, enam ribu tahun, ataupun enam hari menjadi tidak relevan, sebab Alkitab memang tidak berminat menjawabnya! Memaksakan terus kapan dan berapa lama dunia ini diciptakan adalah pokok bahasan yang melampaui maksud penulis Kejadian. Pokok berita Kejadian 1 adalah Allah, dan penegasan lebih lanjut mengenai status unik manusia, tempat manusia dalam program ilahi, dan perhatian Allah kepadanya, memberi pengharapan bagi manusia bahwa sains untuk menyelidiki alam seharusnya tidak dilandasi dengan filosofi ateistik!

EVOLUSI DAN FOSIL MANUSIA PURBA

Apa yang salah pada hipotesis evolusi Darwin dan para muridnya adalah pernyataan bahwa alam ini dapat terjadi dari sesuatu yang tidak ada. Stephen Jay Gould, seorang Darwinis, berkata,

"Sebelum Darwin, kita dulu berpikir bahwa seorang Allah yang mahakasih telah menciptakan kita . . . Tidak ada satu roh yang mahahadir yang memandang dengan penuh kasih atas perjalanan alam (walaupun allah pembuat jam Newton mungkin telah menyusun mesin itu pada permulaan waktu dan kemudian membiarkannya berjalan sendiri). Tidak ada satu daya yang memojokkan perubahan evolusi. Dan apapun yang kita pikirkan mengenai Allah, keberadaan-Nya tidak dinyatakan dalam hasil-hasil alam."[4]

Di balik pandangan ini tersembunyi filsafat “naturalisme arealis.” Naturalisme berarti berpusat pada alam, arealis berarti tidak mengakui ada keberadaan di luar alam ini. Pokok masalahnya adalah bahwa sejarah kehidupan dapat dipahami dalam matra metanarasi sains ilmiah. Sehingga, untuk sampai kepada kesimpulan ini, maka cabang biologi evolusionis ini harus menegaskan peristiwa-peristiwa acak yang berpadu dengan hukum-hukum alam—“peluang dan keniscayaan” atau “nasib dan takdir alam”—untuk hadirnya sebuah dunia yang kita diami.

Tetapi marilah kita menalar. Pertama, bagaimana sesuatu yang ada dapat berasal dari yang tidak ada? Nothing comes from nothing! Hukum logika yang dipakai oleh kaum naturalis malahan menjadi “senjata makan tuan,” karena terbukti tidak logis! Kedua, bila tata semesta ini berasal dari peluang plus takdir alam, maka bagaimana menerangkan peluang itu dapat menghasilkan sesuatu yang tertata rapi di antariksa raya? Ketiga, bukan hanya adanya tatanan yang rapi, tetapi juga muncul pertanyaan, pikiran seperti apa yang punya maksud sehingga muncullah sebuah tatanan di dalam luasnya antariksa? Yang menarik adalah evolusionis Richard Dawkins, yang pada tahun 1990 menerima penghargaan keren yaitu Michael Faraday Award dari British Royal Society sebagai “seorang pakar sains yang melakukan banyak hal demi kemajuan sains.” Dalam bukunya The Blind Watchmaker, ia mengakui, “Biologi adalah ilmu mengenai hal-hal yang sangat rumit yang menampakkan adanya suatu rancangan mengenai adanya suatu tujuan.”[5] Pengakuan ini sesungguhnya menjatuhkan kredibilitas evolusi yang berpaham naturalisme-arealis.

Bagaimana dengan fosil-fosil manusia purba? Bila teori Dawkins tentang “pembuat arloji yang buta” di atas benar, maka seharusnya semua fosil-fosil manusia purba yang ditemukan tentulah membuktikan bahwa makhluk kompleks yang sekarang ini ada berevolusi setahap demi setahap dari suatu nenek moyang yang sama. Sayangnya, dewasa ini diragu-ragukan kesahihan penafsiran terhadap organ tulang yang ditemukan. Data dari tulang tengkorak ternyata berasal dari tengkorak kepala orangutan. Penemuan gigi yang dianggap kepunyaan manusia purba juga ternyata gigi keledai. Bahkan fosil-fosil makhluk yang lain, ternyata diketahui bahwa hilangnya spesies mereka adalah sebab bencana alam atau makin panasnya bumi sehingga mereka tidak mampu mempertahankan kehidupan, dan bukan karena perkembangan pelan-pelan dari suatu nenek moyang yang mampu menghasilkan keturunan baru yang lebih baik dalam beradaptasi.

Bila saksama pengamatan kita, maka teori evolusi sebagai cabang sains telah “melompat ke pagar tetangga” karena melakukan “spekulasai” dari data-data material yang lemah di alam, dan menarik ke belakang kepada makna hakiki mengenai terjadinya alam dan segala makhluk yang mendiaminya. Padahal di dalam sains ada lubang yang tidak pernah dapat diisi, yaitu pertanyaan mengenai makna asal muasal dan tujuan makhluk hidup. Apakah hal ini melemahkan kita yang sedang belajar sains, dan khususnya biologi? Tidak! Sebaliknya, iman Kristen mendorong bertumbuhnya ilmu pengetahuan alam dalam matra penciptaan yang mengungkapkan tujuan Allah ketika menciptakan langit dan bumi. Semua pakar ilmu alam seharusnya mengeksplorasi alam bukan berlandaskan naturalisme, tetapi kreasionisme, demi bersukacitanya segala makhluk di muka bumi di dalam Tuhan (Mzm. 150). Karena tidak cukupnya sains untuk mengungkapkan nilan asal mula dan tujuan manusia, maka sekarang marilah kita menggali apa yang tidak pernah dapat dijawab oleh sains, yaitu kehormatan manusia sebagai gambar Allah.

DIRANCANG UNTUK KEMULIAAN

Gambar dan Rupa Allah. Manusia yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah merupakan konsep yang penting baik dalam PL maupun PB. Konsep ini memiliki latar belakang sosio-kultural Timur Dekat Kuno. Di dunia kuno, gambar dan rupa dipercaya menerangkan esensi dari apa/siapa yang diwakili melalui gambar dan rupa itu. Rupa dewa-dewi dipuja-puja oleh para pemeluknya sebab mengandung esensi dari dewa-dewi yang bersangkutan. Kata Ibrani şělěm merupakan wakil dalam bentuk-bentuk yang kelihatan, bukan penampakan fisik.

Di Mesopotamia, pentingnya “gambar” ini dapat dilihat dari praktik raja-raja yang mendirikan patung mereka di tempat-tempat yang menunjukkan kekuasaan mereka. Di sisi lain, dalam pemikiran mereka dewa-dewi merupakan gambar dari dewa-dewi yang lebih tinggi, dan anak-anak merupakan gambar dari orangtua mereka. Asing bagi alam pemikiran mereka bahwa manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Sedangkan literatur Mesir kuno menuturkan Maklumat Merikare mengidentikkan manusia sebagai gambar dewa yang berasal dari tubuhnya.

Betapa indahnya manusia—kawanan gembalaan dewa
Ia [dewa] membuat langit dan bumi bagi kepentingan mereka . . .
Ia membuat napas bagi hidungnya untuk hidup.
Merekalah gambarnya, yang terjadi dari tubuhnya . . .
Ia membuat bagi mereka tanaman dan hewan,
Unggas dan ikan untuk menjadi makanan mereka . . .
Ketika mereka menangis is mendengar . . .
Sebab dewa mengenal setiap nama.[6]

Secara umum dikenal bahwa penggunaan “gambar” ini hanyalah bagi raja-raja Mesir, bukan dalam bentuk fisik tetapi cenderung kepada kekuasaan dan hak-hak prerogatif. Jadi, bukan semua manusia adalah gambar Allah.

Berita Alkitab sangat revolusioner, bukan?! Setiap manusia adalah gambar Allah. Karena itu, setiap manusia mewakili Allah, bukan secara fisik manusia sebagai gusti allah cilik, tetapi bahwa manusia Allah anugerahi dengan kapasitas untuk bertindak sebagai wakil Allah. Mengapa Allah menciptakan manusia di hari keenam?

R. N. Whybray menyatakan tentang maksud penciptaan itu “is clearly implied in the great emphasis that is placed on the position of mankind in God’s plan: the creation of mankind, the last of God’s creative acts, is evidently the climax of the whole account, and receives the greatest attention.[7] Dengan posisi yang terhormat ini manusia diundang untuk bersekutu dengan Allah dan mengenal Dia secara pribadi.

Perhatikan kemudian berkat yang Allah berikan (Kej. 1.28). (1) Allah menitahkan supaya manusia bertambah banyak. (2) Supaya manusia memenuhi bumi. (3) Supaya manusia menaklukkan bumi. (4) Supaya manusia berkuasa atas makhluk-makhluk.

Gordon J. Wenham memberikan penjelasan lebih jauh, bahwa gambar Allah bukan semata-mata kapasitas internal untuk bersekutu dengan Allah tetapi karakteristik-karakteristik manusia yang memampukannya untuk memenuhi panggilan sebagai wakil Allah dalam memerintah ciptaan lainnya, dan memenuhi bumi dengan gambar-gambar Allah.[8] Bila Allah telah bertindak sebagai pemelihara dan penyedia kebutuhan manusia, maka selanjutnya, manusia pun harus menjadi pengelola tata ciptaan yang indah tersebut.

Dua perintah terakhir, supaya manusia menaklukkan bumi dan berkuasa atas makhluk-makhluk, pertama, mengandung pengertian bahwa manusia harus membuat bumi berada dalam kendali manusia. Dalam satu aspek, kata “menaklukkan” mengandung penggunaan sumber daya alam (di dunia kuno, dengan cara melakukan penambangan), mengatur energi bumi (mis. dengan irigasi). Kedua, bermakna menjinakkan makhluk. Kalimat dapat diparafrasekan demikian, “taklukkanlah itu [dengan hasil yaitu bahwa kamu akan] berkuasa atas ikan-ikan, dsb.[9]

Apa yang dapat kita simpulkan? (1) Menjadi manusia berarti memiliki kehormatan, sebagai gamabr Allah yang mampu bersekutu secara pribadi dengan Allah. (2) Manusia memiliki kewajiban, bahwa manusia merupakan wakil Allah untuk memerintah dunia. Implikasinya:

(1) melipatgandakan gambar Allah, sehingga bumi dipenuhi dengan gambar-gambar Allah.

(2) membangun kebudayaan yang memuliakan Allah dan memanusiakan manusia.

(3) menjadikan bumi sebagai tempat yang layak huni.

(4) melindungi segenap ciptaan.

(3) Manusia memiliki kapasitas, untuk hidup dalam kehendak Allah dan menuruti dekrit-dekrit atau ketetapan-ketetapan Allah. Dengan kapasitas—dan kapasitas yang telah diperbarui dalam Kristus—maka manusia mengerti tujuan utama keberadaannya di atas dunia: Memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya (Westminster Shorter Catechism Q&A 1).

IMPLIKASI-IMPLIKASI PRAKTIS

Pertama, kita sedang diperhadapkan pada benturan wawasan dunia yang bertolak belakang. Di satu sisi kita berhadapan dengan pemikiran bahwa manusia itu “bukan apa-apa” sebab hanyalah hasil dari evolusi kera, tetapi di sisi lain ada paham manusia itu “ilahi” dengan keyakinan zaman baru yang kian merebak. Dalam dunia kuno, kebanyakan orang adalah budak-budak dewa-dewi tanpa memiliki harkat apa-apa. Iman alkitabiah menitikberatkan pemahaman bahwa manusia berada di atas semua ciptaan sebagai hasil dari dicipta dalam gambar Allah. Di dalam iman alkitabiah inilah sesungguhnya kita menemukan harkat dan kehormatan sejati sebagai manusia. Dalam pemahaman seperti ini, kita seharusnya semakin terpacu untuk tidak putus asa, rendah diri atau merasa tidak berharga.

Kedua, kita tinggal di dunia yang penuh makna dan mempunyai tujuan yang jelas. Filsafat ateistik sesungguhnya mengantar kita kepada suatu hidup yang tak berpengharapan. Ernest Hemingway, seorang pujangga peraih Nobel sastra, pernah menulis, “Life was all a nothing and a man was nothing too.” Tidak! Kita bukan nothing! Allah memandang kita something! Sebab Allah menciptakan manusia dalam gambar dan rupa-Nya, kita tinggal di dalam dunia milik Allah, dan Allah telah memberi kita kapasitas dan kewajiban untuk dilakukan.

Ketiga, iman alkitabiah mendorong para ilmuwan Kristen menyadari tugas dan panggilannya sebagai penatalayan-penatalayan bumi, untuk mengelola dan menata bumi milik Allah. Sebab itu, dalam kerangka teistik ini para ilmuwan Kristen seharusnya bekerja lebih keras lagi supaya bumi bukan menjadi musuh tetapi sahabat bagi kehidupan manusia. Ilmuwan Kristen didorong untuk menjadi teladan bagi ilmuwan-ilmuwan lain untuk melindungi dan mempercantik bumi.

TERPUJILAH ALLAH!


[1]Penulis mengacu kepada pandangan Del Ratzsch, Science and Its Limits: The Natural Sciences in Christian Perspective (Downers Grove: InterVarsity, 2000).
[2]Shirley C. Guthrie, Christian Doctrine (ed. revisi; Louisville: Westminster/ John Knox, 1994) 145.
[3]John H. Walton, NIV Application Commentary: Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 2001) 81.
[4]Dikutip oleh Philip E. Johnson, Reason in Balance: The Case against Naturalism in Science, Law and Education (Downers Grove: InterVarsity, 1995) 75.
[5]Ibid. 76.
[6]Dalam Walton, NIVAC Genesis 130.
[7]R. N. Whybray, “Genesis,” dalam The Oxford Bible Commentary (ed. J. Barton dan J. Muddiman; Oxford: Oxford University Press, 2001) 42.
[8]G. J. Wenham, “Genesis,” dalam Eerdmans Commentary on the Bible (ed. J. D. G. Dunn dan J. W. Rogerson; Grand Rapids: Eerdmans, 2003) 39. Monografi terkini tentang imago dei yang perlu disimak oleh para peneliti biblika adalah J. Richard Middleton, The Liberating Image: The Imago Dei in Genesis 1 (Grand Rapids: Brazos, 2005). Ditulis mula-mula sebagai disertasi Ph.D. di Vrije Universiteit, Amsterdam, penelitian Middleton memberikan latar belakang historis-sosiologis yang komprehensif mengenai imago Dei pada zaman Timur Dekat Kuno sekaligus konsep imago dei sebagai kritik ideologis bagi matra wawasan dunia di zaman itu.
[9]Walton, NIVAC 132.

No comments:

Post a Comment