Tuesday, December 26, 2006

2006 Christmas Reflection

Why on earth was the Baby laid in a MANGER?I believe it’s more than a message of simplicity.

Echoing the prophet Isaiah,
“The ox knows His master, the donkey his owner’s MANGER,
but Israel does not know, my people do not understand” (1.3);
Now, the curse is being put away. The true Israel has found her food,
The people of God find their source of life.
Since, the Son of God, the Messiah Jesus, was THERE!

My dear Pals,
I’m reserved to say “Merry Christmas,”
yet I’m zealous to shout aloud:
“Lift up your heart, ye people of God!
For your LEADER, your KING,
Your MASTER, your LORD,
draws you to His MANGER.”
Laus Deus!God be praised!

December 25, 2006

Student of the Church Fathers

Friday, December 22, 2006

Respons 3

Dan kawanku yang nun jauh di ujung Timur Indonesia pun merespons, tadi pagi:

Lha memang kelahiran Kristus adalah berita kontroversial dan provokatif, kan?
Bagi istana Herodes dan Bait Allahnya Hanas dan Kayafas?

Wah di Papua situasinya lebih parah.
Aku hanya berpikir bahwa cara satu-satunya menghancurkan masalah ini
Adalah dengan kita mengambil bagian dalam penanggalan eksistensi
seperti yang dilakukan dan diperintahkan Tuhan (Mat. 16.26).
Harga pemuridan harus dibayar lunas oleh Hamba-hamba Tuhan!


(Hehe, favorit Anda Bonhoeffer, ya Mas? Sudah baca Paul Tillich, The Courage to Be? Anda akan makin diteguhkan dengan posisi itu.)

Respons 2

Kawanku yang lain, yang menjadi guru di Malang, pun berespons:

Aku juga ngerasa ada yang hilang. Natal jadi sangat komersil,
baik di mal atau di gereja. Thanks for sharing your insights.

Kalau memang untuk kebenaran, gak pa-pa sekali-sekali provokatif dan konfrontatif asal dengan wisdom and grace :)

Respons 1

Seorang kawanku yang di Surabaya tengah malam itu langsung menjawab:



Saya setuju dengan Anda, Sobat!
Saya merasa komersialisasi kekristenan dan natal tambah gila sehingga pohon natal dibuat dengan harga milyaran rupiah!
Saya baru mengritik penggunaan ornamen yang tidak disertai kesadaran tentang makna di baliknya, tidak heran Muslim melihat Kristen seperti sedang pamer kekuatan ekonominya saat natal.
Saya belajar satu hal natal ini—berbagi kasih pada orang yang membutuhkan.
Aspek sosial dari Injil.
Saya juga senang karena tahu bahwa uang tidak jadi raja atas hidupku.

Kilasan Natal

Tadi malam, tiba-tiba saya tergerak untuk ambil HP dan menuliskan layanan pesan singkat tentang Natal kepada rekan-rekanku, yang kira-kira begini:



Sobat, saya makin merasa, di tengah hingar bingarnya Natal tahun ini,
ada satu kehampaan:
Natal tanpa Yesus yang hadir di dalam sejarah.
Yang kusaksikan adalah religiositas narsistis:
Christmas is all about prize and the Prize!Hadiah buatKU! Biar AKU nyaman! Biar AKU tenang!
Biar AKU senang!

Saya pun makin menyadari bahwa Yohanes Calvin benar:
Merenungkan tentang Kristus kita harus kembali kepada munus triplex:
Nabi, Imam, Raja.

Yang kusimpulkan adalah:
Christus contra nobis!
Christus pro nobis!
Christus supra nos!

Kekristenan narsistis hanya berhenti pada Christus pro nobis,
tapi bukan itu menurut Alkitab.
Kristus pun siap mengonfrontir kita!
Saya makin bersembah sujud kepada Yesus Sejarah
yang dibangkitkan Allah itu, Sobat.

Dan saya merasa Allah kian memikat hatiku untuk mengenal
Yesus Sejarah itu.

Yesaya 52.10, Sobatku!



Saya melanjutkan pesan singkat itu:


Aku lagi muak dengan retorika-retorika gereja yang banter,
penuh syukur tetapi kalah dengan kuasa kapitalis!
Oh, sesungguhnya kita tidak sedang merayakan Natal.

Kita sedang merayakan pesta penikahan yang mahaakbar!
Pengantinya adalah:

YESUS KRISTUS

dan

MAMON

Namun aku pun sadar:
Aduh, ndak tahu neech,
mosok situasi bahagia penuh rahmat dan damai
kok permenunganku provokatif banget!?!

Thursday, December 7, 2006

Perjanjian Perbuatan

PERJANJIAN PERBUATAN
Kejadian 2.16–17


Di dalam Perjanjian Penebusan, Allah Tritunggal telah bermufakat jauh sebelum dunia ini dijadikan untuk mengutus Allah Putra, Tuhan Yesus Kristus, menjadi Kepala atas kaum pilihan Allah, supaya umat ini dipersatukan di dalam Kristus dan mendapatkan jaminan mulia. Perjanjian Penebusan merupakan perjanjian antar-Pribadi Allah! Melaluinya kita dapat belajar mengenai hakikat Keluarga Kudus; dan model keluarga yang sejati kita temukan di dalam Persekutuan Agung Bapa, Putra dan Roh Kudus. Marilah kita sekarang belajar mengenai perjanjian yang Allah ikatkan kepada manusia.

Allah, setelah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (di dalam kekudusan, kebenaran dan keadilan), mengikatkan suatu perjanjian kepada Adam, yaitu suatu perjanjian yang mensyaratkan suatu kepatuhan yang sempurna dan total. Allah melarangnya untuk memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat. Kepatuhan Adam akan membawa kehidupan bagi dia dan seluruh keturunannya. Ketidakpatuhannya akan membuahkan kematian! Inilah yang disebut Perjanjian Perbuatan atau Perjanjian Kehidupan.

Dari mana istilah “perjanjian” itu diperoleh? Memang, kita tidak menemukan kata “perjanjian” di Kejadian 2.16-17. Dalam pada itu, ada indikasi yang diberikan oleh firman Tuhan sendiri yakni dalam Hosea 6.7, “Tetapi mereka telah melangkahi perjanjian di Adam, di sana mereka telah berkhianat terhadap Aku.” Secara harfiah kata depan “di” pada “di Adam” dapat diterjemahkan “seperti.” Sesuai konteksnya berarti, Israel telah mengingkari perjanjian seperti Adam. Jadi, dalam Kejadian 2.16-17 ini jelas terdapat indikasi adanya sebuah perjanjian.

Kalau begitu, kita menjumpai suatu amanat yang Allah tetapkan kepada Adam, selaku wakil dari seluruh umat manusia. Adam dituntut untuk mematuhi amanat Allah itu. Suatu pemerkosaan atas kebebasan manusia? Sama sekali bukan! Allah dan manusia bukanlah dua partai yang seimbang, yang masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang sama. Allah harus kita tempatkan sebagai Penguasa yang berdaulat penuh. Dia adalah Pemilik segala sesuatu. Karena itu, Allah berhak mengikatkan perjanjian tanpa harus meminta persetujuan manusia. Allah berhak pula menetapkan syarat-syarat atas perjanjian itu apabila manusia menginginkan hidup dalam persekutuan dengan Allah dan menikmati segala berkat dari Allah. Di sinilah kita menemukan kewajiban manusia kepada Penciptanya. Kewajiban ini bersumber dari natur manusia sebagai makhluk berakal dan bermoral yang berada di bawah tuntutan untuk mematuhi kehendak Allah, serta hidup bagi kemuliaan Allah.

Siapa saja yang terlibat dalam Perjanjian Perbuatan? Yaitu Allah dan Adam sebagai wakil semua keturunannya. Allah selaku Pencipta dan Permilik alam berhadapan dengan Adam yang mewakili seluruh umat manusia. Sesungguhnya, apa yang Allah janjikan kepada Adam dijanjikan pula kepada semua keturunannya. Anugerah kepada Adam juga diberikan kepada seluruh keturunannya. Allah tidak memberikan bumi ini secara eksklusif kepada Adam saja. Kepada keturunannya juga bumi ini diberikan sebagai milik pusaka.

Janji apa yang terkandung di dalam Perjanjian Perbuatan? Tuhan berfirman, “Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati!” Berarti, bila Adam tidak memakan, ia tidak akan mati. Ia akan beroleh hidup dan hidup dalam persekutuan yang kekal bersama Allah. Hal yang sama berkali-kali ditegaskan dalam Alkitab, “Lakukan ini, maka engkau akan hidup”; “Seseorang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan hukum Taurat akan hidup olehnya.” Kehidupan yang dijanjikan oleh Allah adalah suatu kehidupan yang penuh sukacita, kudus dan takkan mengalami kematian (fisik ataupun rohani). Bahkan, di dalam janji ini termaktub suatu jaminan dienyahkannya segala kecacatan dan kehendak untuk melanggar ketetapan Allah menuju suatu hidup yang sempurna. Prinsip Perjanjian Perbuatan yaitu: manusia yang melakukannya akan mendapat hidup! Maka, disebut “Perjanjian Perbuatan” oleh karena perbuatan patuh dari moyang pertama kita ditegaskan di sini. Atau, sering pula disebut sebagai “Perjanjian Kehidupan” oleh sebab kehidupan kekal bagi Adam dan keturunannya merupakan jaminan dari kepatuhan Adam. (Bdk. Mat. 19.16,17; Gal. 3.12; Im. 18:5; Neh. 9:29.)

Syarat apa yang perlu dipenuhi dalam Perjanjian Perbuatan? Yaitu ketaatan yang mutlak! Sebab Allahlah yang memberi perintah dan tidak mungkin perintah ini dapat dikurangi kadarnya. Larangan untuk memakan buah merupakan batu uji bagi manusia tentang seberapa jauh kepatuhannya kepada Allah. Bukan sekadar menuruti perintah atau tidak! Sikap yang manusia ambil terhadap perintah tersebut menunjukkan apakah ia bersedia untuk bergantung secara mutlak kepada Allah dalam segala hal. Alkitab dengan jelas bersaksi, bahwa kecacatan terhadap satu hukum merupakan pelanggaran terhadap seluruh isi hukum tersebut. Yakobus 2.10 menyatakan, “Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian daripadanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.” Allah yang sempurna dan kudus menghendaki kepatuhan total manusia!

Hukuman apa yang dijatuhkan terhadap pelanggaran Perjanjian Perbuatan? Sedemikian terang di ay. 17, kematian adalah hukumannya. Upah dosa adalah maut! (Rm. 6.23) Kematian merupakan lawan dari kehidupan sempurna yang dijanjikan (sukacita, kekudusan dan kekekalan), dan oleh sebab itu kematian bukan sekadar semua derita yang kita alami ataupun terpisahnya jiwa dari badan, tetapi juga kematian spiritual dan kekal. Allah tidak menciptakan manusia untuk suatu akhir yang bernama kematian. Kematian menyusup ke dalam dunia sebagai buah dari dosa. Bahkan Allah sendiri adalah sumber kehidupan dari jiwa manusia. Jika Allah menarik kembali sumber kehidupan jiwa manusia, maka manusia akan mengalami kematian, yakni musnahnya kehidupan spiritual dan tiada habisnya manusia berkanjang dalam dosa dan penderitaan. (Bdk. Why. 3:1; Ef. 2:1-5; 5:14; Yoh. 5:24.)

Apa yang dapat kita katakan tentang semua ini?

Pertama, identitas yang sejati manusia adalah kebergantungan total kepada Allah dan kepatuhan mutlak kepada Allah. Kita perlu mengakui bahwa kita takkan mungkin hidup tanpa Allah. Manakala manusia tidak patuh kepada Allah, sesungguhnya manusia telah menjadi Allah untuk dirinya sendiri. Mengabaikan hukum-hukum Allah berarti manusia dengan congkaknya melucuti kedaulatan Allah atas dirinya!

Kedua, kita tahu akhir kisah dari moyang kita Adam. Ia memberontak kepada Allah. Itu berarti kita pun memberontak kepada Allah. Lho, tindakan Adam kan bukan salah kita? Kita tidak memilih Adam sebagai nenek moyang kita! Seandainya kita berada di posisi Adam, belum tentu kita tidak patuh kepada Allah. O ... o ... o, justru ini telah membuktikan dosa Adam sudah mendarah daging di dalam kita! Dengan menolak dan menyalahkan Adam, kita telah membuktikan diri sebagai keturunan Adam! Bukankah tatkala moyang kita bersalah, mereka saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab?

Ketiga, puji nama Tuhan! Sebab Allah tidak membiarkan kegagalan Adam menjadi kutuk untuk semua manusia. Tak ada yang sanggup memenuhi tuntutan kudus Allah di dalam Perjanjian Perbuatan itu. Namun dalam kemurahan dan maksud baik-Nya, Allah berkenan mengutus Tuhan Yesus Kristus yang tampil sebagai Adam Kedua, menundukkan diri kepada Allah, bahkan sampai menyerahkan diri-Nya sampai ke atas kayu salib, dan dibangkitkan dari antara orang mati. Kristuslah yang taat dan patuh secara total kepada Perjanjian Perbuatan. Oleh karena Dialah, kematian sebagai hukuman atas pelanggaran Perjanjian Perbuatan dikalahkan. Allah ganti menganugerahkan kehidupan bagi umat yang dipimpin oleh Kristus. Ya, kematian fisik masih akan kita alami. Tetapi jaminan kehidupan itu menjadi milik kita selamanya!

Panduan untuk refleksi dan diskusi:

1. Mengapa Kejadian 2.16-17 dapat disebut sebagai “Perjanjian Perbuatan”? Apa inti dari Perjanjian Perbuatan?
2. Apakah perintah Allah dalam ayat ini merupakan pemerkosaan terhadap kebebasan manusia? Terangkan.
3. Apa yang Allah janjikan kepada manusia bila mematuhi perjanjian ini? Apa pula hukuman atas ketidakpatuhan manusia?
4. Moyang Pertama kita, Adam, gagal mematuhi perjanjian ini. Adakah jalan keluar yang Allah sediakan? Terangkan.
5. Apa pentingnya pemahaman mengenai Perjanjian Perbuatan untuk kehidupan Anda, dalam bisnis dan pekerjaan, dalam pelayanan dan bermasyarakat?


TERPUJILAH ALLAH!

Tuesday, December 5, 2006

GOD’S GRANDEUR

GOD’S GRANDEUR


The world is charged with the grandeur of God,
It will flame out, like shining from shook foil;
It gathers to a greatness, like the ooze of oil
Crushed. Why do men then now not reck his rod?
Generations have trod, have trod, have trod;
And all is seared with trade; bleared, smeared with toil;
And wears man’s smudge and shares man’s smell: the soil
Is bare now, nor can foot feel, being shod.


And for all this, nature is never spent;
There lives the dearest freshness deep down things;
And though the last lights off the black West went
Oh, morning, at the brown brink eastward, springs—
Because the Holy Ghost over the bent
World broods with warm breast and with ah! bright wings.


(Gerard Manley Hopkins)

Taken from Untermeyer, L., ed. A Concise Treasury of Great Poems: English and American. New York: Permabooks, c.u. 1960 [1942]. p. 377.

NOTHING GOLD CAN STAY

NOTHING GOLD CAN STAY

Nature’s first green is gold,
Her hardest hue to hold.
Her early leaf’s a flower;
But only so an hour.
Then leaf subsides to leaf.
So Eden sank to grief,
So dawn goes down to day.
Nothing gold can stay.

(Robert Frost)


Taken from Untermeyer, L., ed. The Pocket Book of Robert Frost’s Poems. New York: Pocket, 1946. p. 227.

THE PRAISE OF DUST

THE PRAISE OF DUST

‘ What of vile dust ? ’ the preacher said.
Methought of the whole world woke,
The dead stone lived beneath my foot,
And my whole body spoke.

‘ You, that play tyrant to the dust,
And stamp its wrinkled face,
This patient star flings you not
Far into homeless space,

‘ Come down out of your dusty shrine
The living dust to see,
The flowers that at your sermon’s end
Stand blazing silently.

‘ Rich white and blood-red blossom ; stones,
Lichens like fire encrust ;
A gleam of blue, a glare of gold,
The vision of the dust.

‘ Pass them all by : till, as you come
Where, at a city’s edge,
Under a tree—I know it well—
Under a lattice hedge,

‘ The sunshine falls on the brown head.
You, too, O cold of clay,
Eater of stones, may haply hear
The trumpets of that day

‘ When God to all His paladins
By His own splendour swore
To make a faiere face than heaven,
Of dust and nothing more.’

(G. K. Chesterton)

Taken from Church, R. and M. Bozman, ed. Poems of Our Time (1900—). London: J. M. Dent & Sons, 1950. p. 49.

Jatung Hati Proklamasi

JANTUNG HATI PROKLAMASI:
SEBUAH TEOLOGI PEWARTAAN FIRMAN


PENDAHULUAN

Apakah yang membedakan ibadah Gereja Kristus (yang saya maksud bukan sebuah institusi gereja) dengan semua lembaga agama yang ada di dunia ini? Satu saja, yakni dalam ibadah: Firman Allah dan ketetapan-ketetapan Allah diberitakan di dalam ibadah. Pernahkah Anda memikirkan hal itu? Pemberitaan atau memproklamirkan firman adalah panggilan (vokasi) Gereja Tuhan di sepanjang sejarah.
[1] Di mana saja umat berkumpul untuk beribadah, mereka sedang bersekutu di sekeliling Firman. Dengan demikian, Firman menjadi pusat ibadah, dan umat selalu merindukan firman yang diberitakan.[2] Oleh sebab itu, Gereja dan pemberitaan firman tak mungkin diceraikan. Gereja tanpa khotbah,[3] dengan sendirinya, bukanlah Gereja milik Kristus. Gereja yang salah berkhotbah, atau mengkhotbahkan berita yang lain, adalah bidat!

Menyadari sentralitas firman dalam kehidupan kaum beriman, maka dalam esai ini penulis akan menggali jantung hati khotbah.
[4] Tujuan esai ini adalah agar kita semakin memahami hakikat, dasar, tujuan bentuk dan cara memproklamirkan firman dengan benar.

Tunggu dulu. Benar menurut siapa? Bukankah begitu banyak gereja yang berbeda pahamnya? Kita menjawab, benar menurut prinsip-prinsip Kitab Suci dan pengajaran yang kita pegang selaku pewaris-pewaris tradisi Reformasi. Dengan berpikir seperti ini, kita akan terhindar dari sikap pragmatis: “Yang penting, khotbah ini menghibur saya,” dan sejenis itu. Sebelumnya, kita perlu menganalisis secara kritis gaya khotbah yang banyak terjadi di gereja-gereja dewasa ini.


LIMA GAYA KHOTBAH KONTEMPORER

Pernahkah Anda bertanya kepada seseorang, atau mungkin diri sendiri, khotbah apa yang Anda senangi? Saya menemukan beberapa tipe berkhotbah kontemporer.

Gaya Ayatisme

Sebagian jemaat gemar dengan khotbah yang mengutip banyak ayat, yang menjajar beragam ayat dari Alkitab, PL dan PB. Semakin banyak ayat yang dikutip oleh pengkhotbah, maka khotbah itu dianggap semakin alkitabiah. Kata orang-orang golongan ini, sang pengkhotbah tidak mengkhotbahkan pikirannya, atau doktrinnya sendiri, tetapi benar-benar dari kebenaran firman Tuhan. Poin-poin dalam khotbah didasarkan pada ayat-ayat di sana sini. Mungkin dari Kejadian sampai Wahyu! Bahkan, tiap-tiap kalimatnya merupakan sambungan dari ayat satu ke ayat yang lain.

Sekilas memang nampak alkitabiah. Tetapi membedah lebih jauh, justru khotbah seperti ini sangat membahayakan pertumbuhan iman jemaat. Pertama, khotbah akan dianggap benar “asal ada ayatnya.” Tak peduli apakah ayat yang dikutip benar-benar bermakna seperti yang dikhotbahkan atau tidak, tetapi akhirnya toh jadi dianggap benar karena ada buktinya dari Alkitab. Kedua, dasar apa yang dipakai sang pengkhotbah dalam menjajar ayat? Ia juga memakai “doktrin” atau “pikiran” yang tersembunyi di balik khotbahnya, dan memakai ayat-ayat itu sekadar untuk membenarkan pikiran pribadi. Hati-hati, pola ayatisme ini telah melahirkan banyak bidat dalam sejarah iman Kristen.

Gaya Pengalamanisme

Khotbah dipenuhi dengan kisah-kisah nyata yang dialami oleh pengkhotbah atau orang Kristen yang lain. Khotbah seperti ini sangat menyentuh emosi dan perasaan pendengar. Dari yang lucu hingga yang mengharubirukan hati. Bukan teori doank, katanya, tetapi pengalaman nyata yang menjadi bagian hidup orang percaya di era modern yang serba sulit. “Hidup itu sudah sulit, jadi khotbah mbok jangan sulit-sulit.” Ayat Alkitab memang menjadi pembuka dan penutup khotbah, tetapi sepanjang khotbah dipenuhi dengan anekdot. Pengkhotbah tenggelam dalam menuturkan kisah-kisah a la Chicken Soup yang menjadi tulang dan daging khotbahnya. Permainan emosi ini yang membuat kita tidak perlu heran, bila di akhir khotbah ada panggilan altar, maka banyak orang yang maju, karena ingin mendapatkan pengalaman yang sama.

Membangunkah gaya khotbah seperti ini? Justru sebaliknya, hal ini membuat banyak orang Kristen menjadi frustrasi! Orang memang senang mendengar kisah-kisah yang membangkitkan perasaan, perasaannya dipompa agar meluap keluar, seolah-olah ia ditarik masuk ke hutan rimba nan mencekam pengalaman orang lain, dan kemudian ingin mendapatkan hal yang sama dengan yang diceritakan itu. Tetapi pada akhirnya kecewa berat, sebab itu adalah pengalaman orang lain, dan bukan pengalaman hidupnya secara pribadi. Katakanlah seandainya “saya” mengalami apa yang ia alami, misalnya kedukaan yang memilukan, belum tentu keputusan yang ia sudah ambil cocok untuk situasi “saya.” Jelaslah kini, gaya khotbah ini bukan khotbah yang alkitabiah.

Gaya Moralisme

Khotbah dengan titik tolak nilai-nilai moral dan norma-norma iman. Gaya ini biasanya mengangkat satu tokoh Alkitab sebagai dasar, lalu merefleksikan kehidupan si tokoh untuk masa kini. mereka menjadi teladan moral kehidupan orang percaya masa kini. Bisa saja yang diambil adalah kisah hidup bapa leluhur iman (Abraham, Ishak, dsb.), para nabi dan sahabatnya (Elia, Elisa, Barukh, dsb.), serta terutama adalah hidup dan keteladanan Tuhan Yesus.
[5] Biasanya dikemukakan bagaimana sang tokoh bergulat dengan iman, dengan keputusan-keputusan berat yang seharusnya ia ambil, dengan konteks zaman yang berat pada waktu itu.

Selain hal di atas, gaya khotbah seperti ini senang dengan mengemukakan kutipan ajaran-ajaran Yesus sebagai yang normatif. Apa yang Yesus perintahkan, dan apa yang Yesus larang untuk dilakukan. Lakukan ini dan jangan itu, itulah inti khotbah.

Bagaimana sikap kita? Pertama, Alkitab dipandang tak ubahnya seperti kumpulan biografi tokoh ternama tempo doeloe yang kebetulan masuk orang beriman yang patut diteladani langkah-langkah hidupnya. Tetapi cobalah membaca buku biografi orang terkenal lainnya, baik Kristen ataupun bukan, kita pun akan menemui liku-liku hidup yang sangat berat. Gaya khotbah naratif yang marak pada akhir-akhir ini cenderung menjurus kepada naratif-tokoh sehingga ujung-ujungnya adalah keteladanan moral.

Kedua, di sisi lain Alkitab menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Perdata. Isinya adalah serentetan aturan ini dan itu dengan pahala ini dan itu. kekristenan akan kehilangan jantungnya sebagai iman yang berpijak pada ductum “anugerah semata-mata” dan digantikan dengan agama yang “legal-formal.” Padahal, kita mengikut Yesus Kristus bukan karena Ia adalah Guru moral yang agung, tetapi oleh sebab pengakuan iman yang bersumber dari Roh Kudus bahwa Yesus adalah Tuhan, dan bahwa Ia adalah satu-satunya Juruselamat dunia.

Gaya Ilhamisme

Dalam gaya ini, karena khotbah merupakan ilham Roh dan bukan karya manusia, maka pengkhotbah tinggal menunggu apa yang mau disampaikan kepada jemaat-jemaat. Ia tak perlu mempersiapkan khotbahnya baik-baik. Sebaliknya, ia perlu banyak berdoa, supaya Roh Kudus sendiri berbicara secara langsung kepadanya. Bahkan dalam keyakinannya, teks Alkitab sudah dipersiapkan oleh Roh Kudus dan akan ditunjukkan Roh Kudus ketika akan naik mimbar. Pengkhotbah tinggal meminta, Roh Kudus akan memberi tahu.

Jika pemahaman ini benar, maka: Pertama, gereja tak membutuhkan lagi sekolah teologi. Apalagi kita percaya bahwa Alkitab itu sudah jelas dan mampu dipelajari dalam bimbingan Roh Kudus (perspecuity). Sekolah teologi terlalu banyak mengajarkan teori dan itu berarti untuk sebagian orang dianggap para calon hamba Tuhan diajar untuk mengandalkan kekuatan manusia. Kedua, jemaat tidak pernah belajar memahami Alkitab secara utuh lewat khotbah yang ekspositori, sebab khotbah ini sangat memeras waktu dan pikiran untuk mempersiapkannya baik-baik. Ketiga dan yang paling berbahaya: Jemaat diajar bahwa pada hari ini Allah masih memberikan “inspirasi” baru, yang langsung dan dapat didengarkan, sehingga wahyu Allah di dalam Alkitab masih belum cukup.
[6]

Gaya Plusisme

Khotbah saja belum cukup. Perlu plus-plus, yaitu tambahan-tambaha extravaganza yang serba wah! dan hah! sehingga jemaat semakin tertarik untuk menikmati suasana ibadah. Ibadah plus bintang tamu ibu kota. Ibadah plus hiburan yang menyegarkan hati-hati yang sedang penat. Ibadah plus permohonan janji-janji berkat. Ibadah plus demonstrasi karunia-karunia istimewa dari Roh (mukjizat, kesembuhan, bahasa asing, tertawa dalam roh, dsb.). Ibadah plus doorprize. Ibadah plus suasana cafe di dalam gedung gereja. Apanya yang salah? Buktinya toh ada: Pengunjung gereja bertambah, persembahan naik, jemaat puas dan bertambah semangat melayani. Jadi, tanpa plus-plus di atas, tak mungkin gereja menjadi berkembang.

Benarkah pemahaman ini? Dasar pemikiran yang melahirkan gaya ini adalah pola marketing dan pragmatisme. Mentalitas di balik itu adalah “yang penting kelihatan hasilnya” dan “yang penting saya mendapatkan sesuatu di gereja” atau “yang penting gereja tidak monoton.” Bahaya sekali. Sebab, tidak ada kebenaran yang melandasi pemikiran tersebut. Padahal, ada banyak penipuan yang fundamental. Pertama, umat tidak berkumpul di sekeliling Firman, dan mendengar Sabda yang murni diberitakan, tetapi firman plus entertainmen. Kedua, ibadah dan khotbah telah menjadi sama saja dengan hiburan akhir pekan setelah seminggu kerja berat. Ketiga, gereja telah sama seperti perusahaan yang memakai strategi pemasaran untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya. Sebenarnya di sini jemaat tidak lagi berharap kepada suara Allah melalui firman-Nya!


PREACHING SEEKING UNDERSTANDING
[7]

Atau, “khotbah mencari pengertian.” Dalam bagian ini, kita akan mencoba menelusuri hakikat khotbah, atau jantung hati khotbah. Di sini, kita juga akan melihat kaitan yang erat antara doktrin dan khotbah. Bagaimana menempatkan khotbah dalam kerangka iman yang utuh?

Khotbah sebagai Bagian Sejarah Suci

“Sejarah Suci” (Jerman Heilsgeschichte) dalam Alkitab mengikuti suatu pola pembabakan yang jelas sekali, yaitu: Penciptaan, Dosa, Anugerah, Hukum, Panggilan sebagai Terang dan Konsumasi (akhir zaman). Dalam Kitab Yesaya terdapat pola Dosa, Anugerah dan Pembaruan Panggilan. Surat Roma pun mengikuti pola yang sama: Dosa, Anugerah dan Persembahan Diri. Gereja-gereja Reformasi juga mengikuti patron yang sama, tercermin dengan gamblang dalam Katekismus Heidelberg (1563): Guilt, Grace, Gratitude. Pola Sejarah Suci ini melambari tata ibadah Gereja Reformasi.

Penciptaan --> Dosa --> Anugerah --> Hukum --> Panggilan --> Konsumasi

Pujian kpd Allah --> Pengakuan dosa --> Berita Anugerah --> Petunjuk Hidup Baru --> Respons --> Doksologi (pemuliaan)

Di manakah tempat pemberitaan firman? Yaitu pada Hukum. Dengan perkataan lain, khotbah adalah pemberian Hukum dan Tata Kehidupan bagi umat Allah yang telah menerima anugerah. Dalam hal isi, maka suatu khotbah harus memberikan petunjuk bagaimana jemaat hidup sebagai ciptaan baru di dalam Kristus, dan menuntun jemaat untuk mengambil respons secara pribadi maupun korporat untuk melayani Allah. Beberapa Gereja dalam tradisi Reformasi bahkan masih menekankan bentuk khotbah yang ketat, dengan mengikuti patron dasar dari Kitab Yesaya dan Surat Roma:

Teguran Dosa --> Anugerah --> Persembahan Diri

Dalam yang pribadi yang mengampu tugas mulia pemberitaan firman, maka pengkhotbah sedang berdiri sebagai wakil Allah untuk menyampaikan ketetapan dan peraturan hidup umat Allah, Israel yang baru. Ia menjadi juru bicara atas nama Allah Tritunggal. Kewibawaan yang diterima seorang pengkhotbah bukan berasal dari Majelis Jemaat atau sejumlah jemaat yang kaya raya, bukan bula cara pandang dan sambutan massa terhadap isi khotbahnya, tetapi dari Allah yang telah memberikan firman-Nya. Sehingga, tanggung jawab seorang pengkhotbah ialah harus menyampaikan firman sebagai petunjuk hidup baru dengan semurni-murninya. Singkatnya, proklamasi firman pada dasarnya adalah bagian dari peristiwa-keselamatan Sejarah Suci itu sendiri.
[8]

Khotbah sebagai Partisipasi Umat dalam Kehidupan Trinitas

Bersekutu dengan Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah inti keselamatan. Hal ini jelas ditegaskan dalam Efesus 1.3-14, bahwa Allah memilih kita untuk menjadi kudus dan tak bercarcat, serta menjadi anak-anak-Nya (1.4-5); Yesus Kristus menebus dan menganugerahkan pengampunan dosa bagi kaum pilihan (1.7); dan Roh Kudus menerapkannya. Selain itu, dalam Matius 28.19 juga dikemukakan bahwa seseorang dibaptis “dalam” nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Secara harfiah adalah “ke dalam,” (Yunani eis), yang berarti seseorang yang menerima baptis diisapkan ke dalam persekutuan Allah yang kekal. Bapa adalah Allah di atas kita. Putra adalah Allah bersama kita. Roh Kudus adalah Allah di dalam kita. Maka, kehidupan Kristen yang benar adalah meninggikan Allah Bapa, berpusatkan Kristus, dan dihidupkan serta diberdayakan oleh Roh Kudus.

Bagaimana khotbah membawa orang percaya ke dalam persekutuan dengan Allah? Yaitu bahwa melalui pemberitaan firman:

Allah Bapa ditinggikan dan dimuliakan di dalam proklamasi firman;

Yesus Kristus, Sang Putra Tunggal dan Juruselamat, menjadi pusat proklamasi firman;

Roh Kudus mengangkat hati orang percaya untuk menyambut proklamasi firman.

Perhatikan kebenaran ini. Allah berada di tempat yang jauh tinggi, dan Ia akan semakin ditinggikan di dalam pemberitaan firman. Tetapi kita yang rendah, yang hina dina, yang penuh dosa, dengan memandang kepada kurbah Kristus yang sempurna sebagai pusat proklamasi, diantar untuk masuk menghadap tahta Allah yang suci dalam kuasa Roh Kudus.

Implikasinya, khotbah bukan semata-mata paparan ilustrasi kehidupan orang percaya. Ukuran khotbah bukan manusia, tetapi Allah. Betapa serius pemahaman bahwa di dalam proklamasi firman ketiga Pribadi Trinitas berkarya secara aktif!

Khotbah sebagai Sarana Anugerah

Khotbah bukanlah pekerjaan yang dengan perantaraannya seseorang diselamatkan. Kita menolak pandangan bahwa berkhotbah dengan sendirinya mendatangkan keselamatan (Latin ex opere operato), juga bukan tindakan imam atau pendeta dalam berkhotbah itu pasti mendatangkan nikmat surgawi (ex opere operantis). Sebab itu, Gereja-gereja Reformasi tidak memuja khotbah ataupun pengkhotbahnya sebagai pihak yang memiliki urapan yang lebih tinggi daripada orang lain.

Sebaliknya kita percaya, bahwa melalui khotbah, maka Allah di dalam Kristus membuat efektif rencana agung keselamatan (Latin ex praedicare Deus in Christo operato).
[9] Allah memilih, dan pemilihan itu menjadi efektif ketika Allah memanggil kaum pilihan-Nya melalui khotbah. Sebab di dalam pemberitaan firmanlah, seseorang—dengan pertolongan Roh Kudus—menyadari kedalaman rencana Allah yang telah memberikan Kristus sebagai Juruselamat dunia. Di dalam khotbahlah seseorang berjumpa dengan Kristus Sang Penebus dosa yang menggenapkan janji Allah Bapa sejak kekekalan. Hal ini segera menyiratkan dengan serius bahwa doktrin pemilihan bertolak belakang dengan doktrin takdir di dalam Islam. Allah yang telah memilih kaum-Nya, menjadi Pengantar mereka untuk bersembah sujud kepada Kristus. Allah yang sama yang mengantar kita untuk bertumbuh di dalam anugerah dan pengudusan yang sebenarnya.

Sebab itu, dalam pemberitaan firman, beban dan tanggung jawab tidak dikenakan ke atas pundak pengkhotbah semata-mata. Tugas pemberitaan ini juga menjadi tanggung jawab setiap pendengar dan jemaat secara keseluruhan. Baik yang berkhotbah maupunyang mendengar memiliki beban yang sama. Jemaat yang mendengarkan khotbah seharusnya berpartisipasi dalam proklamasi firman itu dengan: (1) semakin mengenal Yesus Kristus; (2) menerima anugerah yang Ia tawarkan; (3) menanggapi panggilan-Nya dengan ketaatan dan kepatuhan yang mutlak.
[10] Ketiga hal ini dapat terjadi hanya melalui topangan dan dorongan yang kuat, bahkan irresistible (tak dapat ditolak) dari Roh Kudus.

Khotbah sebagai Proklamasi Iman

Khotbah yang sejati akan memproklamirkan bahwa kita ini adalah milik Kristus dan bukan milik dunia. Secara pribadi kita dikuasai oleh Kristus. Secara korporat, setiap gerak dan langkah kita berpusatkan Kristus. Berarti, tidak ada sesuatu yang lain yang dapat memiliki kita selain Kristus. Dalam ucapan Abraham Kuyper, “Tidak ada satu area dalam kehidupan ini di mana Kristus tidak berseru, ‘Ini milik-Ku!’” Berarti, tidak ada sesuatu yang lain yang dapat memiliki kita selain Kristus. Inilah hakikat menjadi ciptaan baru, yang dicipta dalam Kristus (Ef. 2.10).

Khotbah harus mengundang jemaat untuk mengambil komitmen dan/atau memperbarui komitmen kepada Tuhan Yesus Kristus. Serta, proklamasi firman membuka undangan bagi setiap warga jemaat untuk masuk dalam persekutuan umat kovenan (artinya: yang diikat oleh perjanjian Allah yang kekal), yaitu tubuh Kristus, Gereja yang sejati.

Komitmen seperti ini serta merta merupakan pengakuan di hadapan dunia bahwa kita telah menerima anugerah Allah di dalam Kristus dan sekarang giliran kita untuk mempersembahkan diri kepada Allah dengan wujud nyata: (1) hidup baru dalam kemuridan yang radikal; (2) hubungan baru dengan sesama; (3) kepekaan baru terhadap karunia Allah di dalam diri, serta karunia orang lain, yang akan melengkapkan pelayanan; (4) keterlibatan baru dan aktif dalam kegiatan penebusan Kristus di dalam dunia, dengan siap menjadi penatalayan yang bertanggung jawab kepada Allah yang empunya langit dan bumi.


KESIMPULAN

Akhir kata, sebagai Gereja Kristus kita harus menancap di atas Batu Karang yang kokoh! Dasar khotbah adalah Alkitab sebagai kesaksian bagi Firman Allah yang hidup dan benar, Yesus Kristus. Sebagai kesaksian Firman, Alkitab tidak mungkin khilaf atau salah dalam mengajarkan kebenaran-kebenaran iman Kristen kepada jemaat. Setiap pengajarna dari Alkitab adalah benar dan memiliki dampak yang besar bagi kehidupan pribadi-pribadi yang dimiliki oleh Kristus (bdk. 2Tim. 3.16, 17).

Pengakuan terhadap Alkitab sebagai kesaksian Firman Allah yang hidup tidak berarti bahwa pengkhotbah memiliki kebebasan untuk mengutip ayat dengan sembarangan. Seorang pengkhotbah harus berhati-hati dalam hal ini! Setiap ayat yang dikutip harus disertai dengan keyakinan bahwa ayat itu memang bermakna sama seperti maksud pengkhotbah. Mentalitas “asal ada ayatnya” bukan cara yang benar untuk memahami Kitab Suci.

Atas pemahaman ini, kita tahu bahwa berkhotbah berbeda dengan berpidato. Dalam berpidato, pembicara boleh dengan bebas merangkai pikiran hingga menawan dan memikat hati pendengar. Sebaliknya, seorang pewarta firman terikat mutlak dan harus tunduk kepada teks suci. Ia harus mempertangungjawabkan teks yang menjadi dasar pemberitaan. Pertanggungjawaban terhadap teks diwujudkan dengan mempelajari teks itu dengan hati-hati, saksama, mempersiapkan naskah khotbah dan berdoa untuk tugas yang mulia itu. ia dilarang keras untuk memasukkan pikiran-pikiran subjektif dan naif yang tidak dibingkai oleh pengajaran yang bertanggung jawab pula. Mewartakan Kitab Suci perlu disertai keyakinan bahwa melalui Roh-Nya Tuhan Yesus Kristus hadir di dalam perkumpulan jemaat, mengundang mereka untuk menerima anugerah-Nya serta memanggil mereka untuk patuh kepada-Nya.

Atas dasar ini pula, kita mendapatkan tujuan pewartaan firman. Tujuan pewartaan adalah menguraikan firman sejelas-jelasnya dan semurni-murninya sehingga jemaat berjumpa secara pribadi dengan Sang Firman. Pada akhirnya, jemaat yang mendengar pewartaan ini akan mengambil repons secara pribadi. Pengkhotbah adalah pelayan firman Allah, dan oleh karena itu firman harus diuraikan dengan bahasa yang sederhana dan gamblang, yaitu bahasa yang dimengerti oleh jemaat.

Dari dasar dan tujuan di atas, kita dapat menentukan bentuk pewartaan firman yang alkitabiah, yaitu menguraikan Alkitab dengan setia, yang kita kenal sebagai “khotbah ekspositosi.” Indikasi paling jelas dari khotbah ekspositori terdapat dalam Nehemia 8.4, 8.

[Ezra] membacakan beberapa bagian daripada kitab [Taurat] itu di halaman depan pintu gerbang Air dari pagi sampai tengah hari di hadapan laki-laki dan perempuan dan semua orang yang dapat mengerti. Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu.

Bagian-bagian daripada kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga pembacaan dimengerti.

Bagaimana dengan cara mewartakan firman? Hendaknya setiap orang Kristen mawas dan sadar bahwa cara dan gaya membawakan khotbah tidak boleh menawan pikiran orang hingga terkagum-kagum kepada sosok kharismatis serta pembawaan diri dari sang pengkhotbah. Sekali lagi, pewarta firman adalah pelayan firman. Ia tunduk kepada otoritas firman Allah, dan ia hanya diperbolehkan menyampaikan pesan Allah kepada jemaat: teguran, pengampunan, penghiburan, pengajaran, dsb. Bukan berarti bahwa seorang pewarta firman tidak boleh belajar teknik-teknik retorika dan sastra serta pembawaan diri yang baik. Perlu memang, tetapi bukan itu prioritas utama! Tugas utama seorang pewarta adalah menjelaskan dengan seterang-terangnya pengajaran Kitab Suci, sehingga oleh kuat kuasa Roh Kudus, hati jemaat diangkat untuk memandang kemuliaan Allah dan Kristus yang meraja atas segenap alam raya. Ia akan menjadi pewarta yang baik jika berdiri atas nama Allah dan hidup dalam integritas di hadapan Allah dan manusia.


PENUTUP

Kita telah melihat bahwa pewartaan firman bergandengan tangan dengan pengajaran yang kuat. Hakikat khotbah adalah menjadi bagian yang integral dari peristiwa-keselamatan, sebagai partisipasi dalam kodrat Trinitas, sebagai sarana anugerah, dan sebagai proklamasi iman. Hakikat ini mensyaratkan bahwa khotbah berdiri di atas dasar yang kuat, yakni Alkitab sebagai kesaksian Firman Allah. Sebagai kesimpulan, kita perlu menelisik perkataan Heinrich Ott, seorang teolog dogmatika Reformed terkemuka dari Jerman. Dalam buku Dogmatik und Verkündigung ia menulis sebagai berikut,

Harus diakui bahwa dogmatik merupakan nurani dari khotbah dan bahwa khotbah, sekali lagi, adalah jatung hati dan jiwa dari dogmatika. Agar dapat berkhotbah dengan baik, sang pengkhotbah harus terlibat dalam refleksi dogmatik; sedangkan teolog dogmatika, supaya dapat mengajarkan dogmatika dengan baik dan lurus, harus menyadari bahwa ia bekerja dengan maksud seperti halnya berkhotbah dan perlu menghayati misi khotbah, meskipun ia tidak naik mimbar setiap Minggu. Jikalau seorang pengkhotbah begitu saja menyerahkan pemikiran dogmatika kepada pakarnya, ia akan menjadi pengkhotbah yang butuk, seorang pengkhotbah tanpa hati dan nurani. Juga, seorang teolog dogmatika yang membiarkan pengkhotbah dengan tugas-tugas praktisnya di gereja, ia akan menjadi pengajar yang buruk; sekali lagi ia akan menjadi seorang pakar dogmatika yang tak berhati dan tak bernurani.
[11]

Singkat kata, seorang pewarta firman harus juga pecinta doktrin dan pengajaran yang benar. Sebaliknya, seorang pecinta doktrin ataupun pengajar doktrin harus suka dengan pemberitaan firman dari atas mimbar gereja. Bila hal ini terwujud, akan berkembang suatu hubungan timbal-balik yang harmonis. Seorang pengkhotbah juga seorang dogmatikus. Dari hubungan ini akan bersemi dua penekanan yang harus dipertahankan dalam berkhotbah: Pertama, khotbah harus selalu setia kepada Pewahyuan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus, dan kedua, khotbah Kristen harus dapat dimengerti dan dicerna oleh jemaat, serta bersentuhan dengan problematika hidup pendengarnya. Intinya, khotbah merupakan pembahasaan ulang kebenaran-kebenaran kuno untuk masa kini dan di sini.

TERPUJILAH ALLAH!


Ditulis ulang berdasarkan makalah yang disampaikan dalam Semi-Lokakarya Pengkhotbah Awam
“Khotbahkanlah Firman!” pada hari Minggu, 18 September 2005
di GKMI Kudus



[1]Sejak berdirinya, Gereja Kristen menempatkan proklamasi (kata benda Yunani kērugma) dalam posisi sentral. Berdasarkan tindakan memproklamirkan (kata benda kērussen), yang dipercayakan kepada seorang proklamator (kata benda kērux), maka proklamasi dapat dipahami dalam artian “tindakan memproklamirkan,” ataupun “isi proklamasi.” Tentang apa? Yaitu bahwa Allah di dalam Kristus telah menjadi manusia, dan Allah telah mengkomunikasikan Kehadiran Agung ini dengan bahasa manusia, kata-kata yang dipahami oleh manusia. Jadi, gereja-gereja pada zaman sekarang juga perlu untuk memperhatikan baik isi maupun cara berkhotbah. Lih. Maria Harris, Fashion Me a People: Curriculum in the Church (Louisville: Westminster John Knox, 1989), 127.
[2]Dalam Pedoman Ibadah Gereja Presbiterian (PCUSA), dinyatakan dengan tepat bahwa Gereja mengakui Alkitab sebagai Firman Allah yang tertulis, yang memberikan kesaksian kepada Pewahyuan-Diri Allah. Di mana firman itu dibaca dan diberitakan, Yesus Sang Firman Hidup hadir melalui kesaksian Roh Kudus dalam diri orang percaya. Oleh sebab alasan inilah maka membaca, mendengarkan, mengkhotbahkan dan menghormati Firman menjadi pusat ibadah Kristen. (Lih. “Centrality of Scripture,” dalam Book of Order 2004-2005 [t.k.: The Office of General Assembly, 2004], W-2.2001).
[3]Dalam makalah ini, penulis memakai “khotbah” dan “pewartaan firman” saling menggantikan.
[4]Istilah “teologi” bukan merupakan konsumsi kaum elitis yang bergelar S. Th. atau yang di atasnya. Teologi yang benar dan lurut justru memberi alasan prinsipal atau pijakan fundamental Kristiani mengapa kita melakukan “hal ini” dan bukan “hal itu.” Teologi, yang boleh dipahami sebagai suatu kajian atau studi (logia) tentang Allah (Theos), bukan sekadar sederetan wacana pemikiran abstrak. Teologi akan selalu mencari kaitan yang erat antara apa yang kita pahami dengan dunia tempat hidup kita, yakni dunia yang real. Teologi erat kaitannya dengan spiritualitas dan kedewasaan rohani. Sebab itu, semua orang Kristen pasti berteologi. Atau, semua orang Kristen adalah teolog! Baik pendeta maupun jemaat. Klerus maupun awam. Oleh sebab itu, semua yang kita lakukan seharusnya memiliki pijakan yang jelas berdasarkan apa yang kita percayai. Teologi sesederhana itu.
[5]Perhatikanlah ketika gereja memasuki masa raya Natal atau Paskah. Khotbah-khotbah mimbar hampir selalu dipenuhi teladan Keluarga Kudus (Yusuf, Maria dan Bayi Yesus) dan orang-orang di sekitarnya; dan bagaimana penderitaan berat yang telah dialami Yesus diekspos sehingga mampu membangkitkan emosi yang berbelas kasihan kepada Yesus yang menderita.
[6]Gereja yang bernaung dalam tradisi Reformasi percaya bahwa inspirasi—Allah mengilhami orang-orang percaya dengan kebenaran-kebenaran hakiki—telah lengkap saat kanon Alkitab (PL dan PB) ditutup. Setelah itu, tidak ada lagi wahyu baru! Allah tidak lagi membukakan diri-Nya dengan cara yang sama sekali baru selain yang telah tercantum dalam Alkitab. Yang terjadi kemudian yaitu bahwa melalui Roh Kudus, Allah menerapkan kata-kata dalam Kitab Suci ke dalam hidup orang percaya supaya semakin hari semakin serupa dengan Kristus. Maka, kita menolak ajaran bahwa wahyu masih terus diberikan hingga hari ini.
[7]Anselmus dari Canterbury, Inggris, yang hidup kira-kira tahun 1033-1109, pernah mencetuskan kalimat yang terkenal hingga sekarang, yaitu fides quaerens intellectum, “iman yang mencari pengertian.” Dengan dictum ini, Anselmus hendak menegaskan bahwa kehidupan Kristiani juga mengedepankan praksis intelektual. Iman harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Iman yang berani tampil di hadapan publik! Meminjam kalimat tersebut, kita juga perlu menelusur bahwa khotbah pun perlu memiliki landasan pertanggungjawaban yang kokoh, dan pengkhotbah tahu alasan mengapa pemberitaan firman harus bersifat umum.
[8]Hal ini ditekankan oleh Otto Webber, Foundations of Dogmatics, tr. Darrel L. Guder (2 vol.; Grand Rapids: Eerdmans, 1983), 2.585.
[9]Bdk. Weber, Foundations, 2.584.
[10]“Hearing the Word,” dalam Book of Order W-2.2010.
[11]Dikutip dalam Geoffrey Wainwright, Doxology—The Worship of God in Worship, Doctrine and Life: A Systematic Theology (New York: Oxford University Press, 1980), 177.

Wednesday, November 29, 2006

Verbatim

Kunci untuk memahami sebuah bacaan adalah memberikan penghargaan kepada sang penulis.

Tuesday, November 28, 2006

Panca Norma Gereja Sukses

Panca Norma Gereja Sukses:

1. Gedung Ibadah indah, berfasilitas lengkap dan nyaman

2. Angka pengunjung kebaktian naik

3. Persembahan meningkat

4. Antusiasme anggota untuk terlibat kegiatan-kegiatan gereja

5. Jumlah cabang/ Pos PI/ satelit bertambah


Bagaimana dengan gereja Anda?

Friday, November 24, 2006

Menilik Paham Kehendak Bebas

MENILIK KEMBALI PAHAM KEHENDAK BEBAS


Lihat, Betapa Indahnya!

Allah menciptakan alam dan manusia sebagai mahkota ciptaan dengan sempurna! Kesempurnaan sebagai ciptaan tidaklah berarti bahwa kita sama seperti Allah. Tetapi sebagaimana yang Allah lihat di paripurna penciptaan, “sungguh amat baik” (Kej. 1.31). Kesempurnaan itu dalam hal: (1) tata harmoni yang terjalin antara Allah-alam, Allah-manusia, manusia-manusia dan manusia-alam; (2) kebergantungan ciptaan kepada Allah, dan hidup dalam ketaatan secara total kepada Dia saja.

Allah menyerahkan tugas dan tanggung jawab pengelolaan alam kepada manusia, yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Allah, Sang Pemilik dan Pengusaha taman, berkenan menempatkan manusia di dalam taman untuk mengusahakan dan memeliharanya (2.15). Ketaatan manusia kepada Allah akan menjaga tata harmoni tersebut. Pemberontakan manusia akan merusaknya. Sebagaimana ditekankan minggu-minggu lalu, manusia dituntut untuk berlaku taat kepada Sang Raja yang berdaulat.

Keruntuhan Itu . . . .

Namun demikian, tuntutan Allah supaya manusia mematuhi “perjanjian perbuatan” dilanggar. Manusia merasa dapat memutuskan bagi dirinya sendiri apa yang seharusnya diputuskan oleh Allah. Belum sampai memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, bahkan perempuan itu telah “melihat bahwa buah itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya” (3.6). Bukankah hanya Allah yang sebelumnya memutuskan sesuatu itu baik atau tidak? Lihatlah, sekarang manusia telah memposisikan dirinya sebagai Allah!

Semua ini sebab manusia memiliki “kehendak bebas”? Tunggu dulu, apakah Allah memperbolehkan moyang pertama kita untuk memilih dengan kehendaknya antara yang baik dan yang jahat? Ini menyangkut keputusan moral. Bukan seperti pilihan-pilihan di saat perut terasa lapar, kita melihat di atas meja tersedia tempe, tahu, bakwan dan petai goreng, lalu kita memilih mengambil tempe untuk sekadar mengisi perut; ataupun seorang anak yang diperhadapkan pada pilihan antara bekerja, melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi (universitas), atau menikah setelah lulus SMA. Dalam hal-hal yang baru saja disebut, memang seseorang bebas menjatuhkan pilihan, tetapi pilihan-pilihan itu bukan pilihan moral yang menakar tindakan baik atau jahat. Terhadap kehendak bebas, kita perlu menyingkapnya seterang-terangnya dan secara jujur terbuka terhadap Kitab Suci sendiri.

(I) Allah memberi satu amanat yang jelas kepada Adam, yaitu untuk mengasihi, mematuhi serta percaya hanya kepada Allah dengan melarang memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat (2.17). Kata Ibrani yang diikuti oleh kata kerja bentuk imperfect berarti “suatu larangan yang tetap berlaku untuk seterusnya.” Bandingkan dengan Sepuluh Hukum “Jangan membunuh,” dst. Ketetapan Tuhan mengenai moral tetap selamanya, yaitu bahwa Allah saja yang mengambil keputusan, dan manusia sama sekali tidak memiliki hak otonomi untuk memutuskan standar moral. Jadi, apakah manusia bebas untuk memilihnya? Apakah manusia berhak memutuskan moralitas bagi dirinya sendiri?

(II) Kalau benar bahwa Allah memberikan manusia "kehendak bebas," berarti sejak semula Allah sendiri telah memaksa manusia menerima kehendak bebas tertanam dalam dirinya, dengan tujuan supaya manusia dapat memutuskan moralitas bagi dirinya sendiri. Ya, ini serius. Berarti ada satu masa ketika manusia tidak punya pilihan, yaitu ketika Allah memasukkan kehendak bebas di luar kesadarannya. Jika manusia berkehendak bebas, mengapa manusia tidak menolak pemberian Allah yang berupa kehendak bebas itu? Apakah karena kehendak bebas itu tertanam di dalam manusia sejak diciptakan sehingga manusia tak mungkin dapat menolaknya? Justru di sinilah nyata kontradiksi-kontradiksi paham kehendak bebas:

(i) Paham kehendak bebas justru merendahkan kedaulatan Allah. Kian terbuktilah bahwa Allah memaksakan kehendak bebas kepada manusia. Oh, kehendak bebas itu netral dan baik pada dirinya sendiri? Bukan masalah netralitas kehendak bebas, tetapi bahwa Allah menanamkan kehendak bebas di dalam manusia pada waktu ia diciptakan itu sudah merupakan fakta bahwa manusia tidak bebas.

(ii) Paham kehendak bebas justru menempatkan Allah sebagai biang dosa. Paham ini menjadi hipotesis kerja bahwa Allah bukan pembuat dosa. Tujuannya mulia, yaitu membela dan menjauhkan Allah dari tanggung jawab menyusupnya dosa ke dalam dunia. Namun, oleh karena adanya kehendak bebas itu sendiri merupakan fakta ketidakbebasan manusia untuk dapat memilih sehingga ia memiliki kehendak bebas atau tidak memilikinya, maka jelaslah bahwa sumber dosa secara ultimat dituduhkan kepada Allah. Mengapa Allah memaksakan kehendak bebas yang—Ia sudah ketahui sebelumnya—justru akan menjerumuskan manusia ke dalam dosa?

(iii) Paham kehendak bebas justru menggugat balik murka Allah. Mengapa Allah marah, sampai-sampai mengutuk alam bahkan mengusir Adam-Hawa kalau Ia adalah seorang yang “demokratis”?[1] Jikalau Ia memberikan kehendak bebas dalam diri manusia—yang ternyata manusia tidak punya pilihan untuk menerima atau menolak kehendak bebas itu—dan memberi pilihan: “Silakan putuskan sendiri: taat atau tidak kepada-Ku” atau “Mau taat ya syukur, kalau tidak ya Aku hukum,” maka Allah sama sekali tidak punya alasan untuk murka. Analoginya seperti ini, andai di tangan saya ada dua buah permen—permen jahe di tangan kanan dan permen kopi di tangan kiri—lalu saya berkata, “Ayo kamu pilih, mau yang mana: permen jahe atau kopi?” Ternyata adik saya memilih permen jahe . . . tiba-tiba meledaklah amarah saya, terus memukuli adik. Apa yang adik saya akan pikirkan? “Kakakku gila! Mengapa ia tadi memberi pilihan?” Bagaimana dengan Allah bila kita percaya Ia memberi kita kehendak bebas untuk memilih?

(iv) Paham kehendak bebas justru membuktikan bahwa manusia itu robot. Ironis! Tapi benar demikian. Sebab, bagaimana mungkin manusia memiliki kehendak bebas? Ya karena Allah memberinya kehendak bebas. Tetapi oleh karena pemberian kehendak bebas itu sendiri menganulir kebebasan manusia—sebab di luar kesadaran manusia—berarti kehendak bebas itu layaknya batu baterai atau akumulator yang dipasang di dalam manusia, sehingga manusia dapat bergerak dan membuat keputusan-keputusan moral berdasarkan kehendak bebasnya. Implikasi secara teologis, bahwa manusia yang diciptakan mulia lagi terhormat dengan kehendak bebas menyatu di dalam dirinya itu tak lebih merupakan hasil rekayasa dari Satu Khalik yang lalim lagi arbitrer.

(v) Paham kehendak bebas bertentangan dengan Kitab Suci. Di manakah di dalam Alkitab dinyatakan bahwa kehormatan dan martabat manusia terletak pada kemampuannya untuk memilih secara bebas? Kejadian 2 atau 3? Bukan. Martabat manusia sebagai mahkota ciptaan terletak pada penciptaannya sebagai gambar Allah yang memiliki tanggung jawab untuk mengasihi dan taat secara total kepada Allah. Kehendak bebas merupakan inferensi dari logika yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya bahkan sangat berbahaya bagi pertumbuhan iman kita.

(III) Jika kita tetap ingin mempertahankan “kehendak bebas,” satu-satunya manusia yang memilikinya adalah moyang kita yang pertama, sebab mereka diciptakan dalam keadaan bisa tidak berdosa. Adam bisa tidak berdosa ketika ia memilih untuk taat secara total dan mempersilakan Allah memutuskan ketetapan-ketetapan-Nya atas hidupnya. Adam ternyata mengambil langkah lain: memberontak kepada Allah. Kesaksian Alkitab jelas. Ketetapan yang dilanggar. Perjanjian Perbuatan antara Allah yang berdaulat dan manusia sebagai mitra kerja yang mengusahakan dan memelihara taman (2.15) dikhianati.[2] Akibatnya, semua keturunan Adam berada di bawah penghukuman Allah. Pernahkah kita berefleksi, apakah kehendak kita sebagai keturunan Adam setara dan tetap sama dengan keadaan kehendak moyang pertama kita itu?

(IV) Apakah kita ini sekadar wayang di tangan ki dhalang? Sama sekali bukan! Hanya Adam yang dikaruniai kemampuan bisa tidak berdosa. Setelah Adam jatuh, semua manusia tidak mampu untuk tidak berdosa. Mari kita berefleksi. Apakah kita sungguh-sungguh memiliki kebebasan untuk memilih? Tetapi kebebasan serupa ini niscaya ada bila manusia berada di dalam sama sekali tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan yang ada di dalam hatinya. Memiliki satu atau dua saja kecenderungan, maka sesungguhnya manusia itu tidak lagi bebas. Faktanya, bukankah kita didorong dan dikendalikan oleh rupa-rupa kecemasan, ketakutan, keragu-raguan, iri hati, kedengkian, curiga, pertikaian, pemberontakan dan penindasan? Pernahkah kita dalam sehari saja bebas dari perasaan-perasaan di atas? Bukankah dalam mengambil keputusan moral, segala gagasan jahat terselip di benak kita? Jadi, masih benar-benar bebaskah seseorang ketika mengambil keputusan?

Kita sepatutnya merendahkan diri di hadapan Allah, bahwa di dalam tubuh yang penuh kecemaran ini kekuasaan dosa sedemikian mencengkeram kita. Ya, kita bukan robot dan Allah bukan pembuat robot. Kita bukan wayang dan Allah bukan ki dhalang. Tetapi telah terpampang dengan gamblang, manusia dikontrol, dikendalikan dan dikuasai oleh kecenderungan-kecenderungan hati yang penuh kelicikan (Kej. 6.5; 8.21; bdk. Mrk. 7.20-23). Ooh . . . ungkapan bahwa manusia itu seperti robot atau wayang, tak lebih dari sekadar cetusan klise saja.

(V) Sesungguhnya, mengatakan manusia memiliki kehendak bebas berarti kita tanpa sadar telah menempatkan manusia sebagai yang sama, yang setara dengan Allah yang berdaulat. Sebab paham ini berkata bahwa sejak semula manusia mempunyai hak untuk memutuskan bagi dirinya sendiri. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih masalah moral. Padahal hanya Allahlah satu-satunya penentu sesuatu itu baik atau tidak. Pemikiran bahwa manusia diberi kebebasan oleh Allah itu terbukti melawan kesaksian firman Tuhan.

Kesimpulannya, setelah ditinjau dari berbagai aspek teologis-biblika, paham kehendak bebas terbukti keliru dan sebenarnya merupakan inferensi pragmatis dari data Alkitab bahwa moyang kita memberontak kepada Allah. Alkitab sendiri tidak berkata apa-apa mengenai kehendak bebas. Pemberontakan Adam itu sesungguhnya dilakukan secara sukarela, bukan karena Allah memberinya kehendak bebas, tetapi karena Adam ingin menjadi seperti Allah, dengan melanggar perjanjian Allah. Paham ini bertujuan membela Allah dari tanggung jawab adanya dosa dan dari gambaran seorang monarkh yang lalim, tetapi kenyataannya justru berkebalikan. Paham ini mendiskreditkan kedaulatan Allah habis-habisan dan Allah didudukkan di kursi pesakitan di ruang pengadilan (kata C. S. Lewis).

Tata Harmoni yang Sungsang

Pola narator menuturkan dampak kejatuhan sangat menarik. Urutan interogasi demikian: Allah berbicara kepada laki-laki lalu perempuan. Allah tidak menanyai ular. Sedangkan urutan hukuman itu adalah ular, perempuan dan kemudian laki-laki. Perhatikan akibat yang ditimbulkan oleh dosa:

Pertama, manusia terasing dari Allah: problem teologis. Allah bertanya, “Di manakah engkau?” Bukan karena Allah tidak tahu. Inilah pertanyaan retorik yang biasa dipakai dalam puisi (mis. Yes. 36.19; Mzm. 42.4, 11). Sang Hakim alam semesta memanggil manusia dan menuntut pertanggungjawaban tindakannya. Narator mencoba memotret Adam dan Hawa yang kucing-kucingan dan bertingkah kekanak-kanakan dengan mengajak Allah bermain petak umpet. Sama seperti orangtua yang bertanya, “Di mana kamu, Nak?” kepada anaknya ketika bermain, Allah pun betindak sama. Jawaban Adam kepada Allah menunjukkan bahwa mereka mengerti pertanyaan tersebut merupakan undangan untuk menampakkan diri dan menjelaskan kelakuan mereka.

Adam berucap, tetapi tidak menjawab pertanyaan Allah. Ia malahan mengalihkan ke topik lain. “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada di dalam taman . . . .” Frase “aku mendengar” dalam ungkapan bahasa Ibrani berarti “patuh kepada Allah.” Di sini, frase ini justru menelanjangi pelanggaran moyang kita. Sebab mereka mengucapkannya dengan bersembunyi, dan mengelak dari tanggung jawab. Adam tidak patuh kepada Allah, itulah kegagalannya. Maka manusia pun terputus hubungannya dengan Allah.

Kedua, manusia terasing dari sesamanya: problem sosiologis. Adam berusaha membenarkan diri sendiri dan menyalahkan istrinya. Inilah titik fatal dosa. Bukan hanya terpisah dari Penciptanya, manusia melawan kekasihnya. Bukankah daftar kecemaran di atas selalu diarahkan kepada sesama kita? Perhatikan juga hukuman atas Hawa, “Engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (ay. 16). “Birahi” ternyata bukan hanya berarti berhasrat seksual, tetapi juga berhasrat untuk memisahkan diri, atau godaan menjadi rival dan menyingkirkan sesama. Perhatikan juga 4.7, di mana dosa “menggoda” Kain untuk membunuh Habel. “Berkuasa” di sini menunjukkan arti tindakan perendahan yang eksploitatif, bahkan tak jarang perempuan pun menyerahkan diri untuk diperlakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh laki-laki. Bila pada zaman ini kita melihat begitu banyak orang yang melakukan penghisapan, penindasan, penyingkiran, pemusnahan terhadap sesamanya, hal ini semata-mata menelanjangi kengerian yang ditimbulkan oleh dosa.

Ketiga, manusia terasing dari alam dan makhluk lain: problem ekologis. Hawa pun mengelak dari tanggung jawab, dan menyalahkan ular. Kedamaian antara manusia dan makhluk pun terkoyak. Bahkan terjadi peperangan antara manusia dan alam. Binatang yang diberi nama oleh Adam, kini berbalik melawannya. Tanah yang darinya Adam hidup (2.5, 7) dan mengusahakan taman (2.15) dikutuk oleh Allah. Dengan berpeluh Adam, sebagai kepala keluarga, menghidupi keluarga seumur hidupnya, bahkan hasil kerjanya mengecewakan, penuh dengan “semak duri dan rumput duri.” Manusia yang menjadi musuh ekosistem dan sebaliknya, ekosistem tidak mendukung perikehidupan manusia merupakan perwujudan yang jelas dari penghukuman tersebut.

Keempat, manusia terasing dari dirinya sendiri: problem psikologis. Adam berkata, “Aku takut sebab aku telanjang, sebab itu aku bersembunyi.” Masalahnya adalah, mengapa ketelanjangan kini membuat mereka harus bersembunyi, padahal di 2.15 baik laki-laki dan perempuan itu telanjang? Suatu pengenalan terhadap konsep diri yang independen dari Allah justru membuat manusia bersembunyi. Tak perlu kita heran bahwa banyak ahli psikologi dari berbagai mazhab dan aliran yang akhir hidupnya justru sangat tragis: bunuh diri atau tidak waras lagi.

Betapa ngeri akibat dosa! Benih dosa—yaitu ingin menjadi seperti Allah—telah mencampakkan manusia jauh dari semua yang ada di sekitarnya. Tetapi tunggu dulu, bukankah hingga detik ini manusia terus berupaya untuk memperbaiki kehidupan, mengembangkan ilmu-ilmu alam maupun sosial yang canggih? Semua cabang keilmuan berkembang luar biasa. Bermunculan pula klab-klab pecinta alam semacam Green Peace yang berjuang untuk melestarikan ciptaan dan mempromosikan perbaikan ekosistem. Kita melihat titik-titik perbaikan wajah bumi kita, dan banyak orang yang menggelutinya bukan orang Kristen. Ya, sungguh benar! kita tidak boleh naif. Dari sudut pandang Alkitab, inilah bukti nyata bahwa Allah dalam karya penyelenggaraan ilahi-Nya meredam penyebaran dosa dan perusakan alam melalui “anugerah bersama” (common grace), sehingga kerusakan total pada diri manusia jangan sampai dipahami bahwa manusia telah menjadi bobrok sejadi-jadinya. Puji Tuhan!

Bila demikian, pasca-kejatuhan menyibakkan kebenaran yang melawan paham kehendak bebas manusia berdosa. Ternyata, kehendak manusia yang cemar dan terbelenggu tersebut tetap dalam pengawasan Allah juga. Sekali lagi, manusia tidak bebas di hadapan Allah! Kalau benar manusia tetap menepuk dada dengan mengaku mempunyai hak atau kebebasan, maka yang terjadi adalah pemusnahan bumi.

Waspadalah! Waspadalah!

Berapa jarak waktu antara penciptaan dan kejatuhan? Dalam literatur Rabinik Yahudi tertulis, “Adam yang diciptakan dalam kemuliaan, tidak tahan tinggal semalam saja.” Berarti, moyang kita pertama sesungguhnya tak pernah menghabiskan satu malam pun di Firdaus. Dalam statusnya yang terhormat, Adam dan Hawa dengan cepat merenggut jubah ketidakberdosaan serta mengoyakkan kemuliaan Firdaus. Bila kejatuhan itu menimpa Adam yang dicipta dalam keadaan mampu tidak berdosa, lebih-lebih rentan kita, anak-cucu Adam, yang mewarisi lagak-lagu-nya Adam-Hawa dan yang hidup dalam natur tidak dapat tidak berbuat dosa. Sungguh ngerilah dampak kejatuhan itu. Manusia mau menjadi seperti Allah, ternyata dihinakan oleh Allah!

Berhasrat bebas adalah kunci kejatuhan. Adam dan Hawa jatuh karena berusaha bebas dari Allah. Sadarilah, betapa berbahayanya mengajarkan kehendak bebas kepada jemaat. Sebab tak satu pun di antara manusia berdosa yang memiliki kehendak bebas. Tidak ada seorang pun yang memiliki kehendak netral. Kehendak manusia telah berkiblat kepada dosa. Kehendaknya telah dipenjara oleh kecenderungan-kecenderungan untuk selalu memberontak kepada Allah sejak dari kecil. Maka, Allah haruslah Allah yang berdaulat mutlak dan manusia menundukkan diri di bawah pemerintahan Allah, atau . . . Dia itu bukan Allah sama sekali! Adakah alternatif ketiga?

Pertanyaan-pertanyaan refleksi dan diskusi:

1. Benarkah Allah memberikan pilihan-pilihan kepada Adam? Apakah kejatuhan manusia dikarenakan kehendak bebas untuk memilih satu dari sekian banyak pilihan?
2. Sebagai keturunan Adam-Hawa, apakah kita memiliki kehendak bebas yang netral untuk membuat keputusan tanpa kecenderungan apa pun?
3. Apakah pemerintahan Allah bersifat demokratis, yang dapat disejajarkan dengan presiden Republik Indonesia yang memerintah sebuah negara yang demokratis?
4. Renungkan: dalam hal-hal konkret yang Anda amati di lingkungan sekitar, apa saja bukti retaknya hubungan antara manusia dan Allah? Apa pula bukti retaknya hubungan antara manusia dan sesamanya? Kemukakan juga bukti retaknya hubungan antara manusia dan alam/makhluk.
5. Menyadari dahsyatnya dosa terhadap hidup manusia, apa tekad Anda saat ini?

TERPUJILAH ALLAH!



[1]Keliru! Sebab “demokrasi” itu berarti pemerintahan oleh rakyat. Apakah keputusan dan ketetapan Allah sebagai Raja semesta ditentukan oleh suara rakyat?
[2]Ingat, perjanjian itu bukan permufakatan antara dua pihak setara yang teken kontrak! Allah tidak meminta persetujuan manusia untuk mengikatkan diri-Nya dalam sebuah perjanjian kerja. Bukan hanya penetapan larangan bagi manusia untuk memakan buah (2.7), tetapi kalau kita perhatikan sejak semula, Allah langsung menempatkan manusia di dalam taman (2.15). Allah tidak membuat manusia memilih, bukan? Tersirat pun tidak. Perhatikan 3 masculine singular imperfect qal “mengambil” dan 3 masculine singular imperfect hiphil “menempatkan atau mengistirahatkan.” Tindakan Allah ini, bila hendak ditinjau oleh para pemeluk paham kehendak bebas secara konsisten, seharusnya merupakan pemerkosaan terhadap kebebasan manusia pula. Allah tidak “demokratis”!

Wednesday, November 22, 2006

KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN (3)

Penghiburan Besar!

Banyak orang akan menganggap ajaran penebusan seperti ini asing sekali, dan menghambat penginjilan. Benarkah demikian? Asumsi tersebut sama sekali tidak benar. Sebab, doktrin penebusan Kristus bagi kaum pilihan selaras dengan prinsip-prinsip penafsiran yang bertanggung jawab, dan harmonis dengan doktrin-doktrin yang lain. Dengan memahami doktrin ini, kita justru melihat keselamatan sebagai gambar utuh dari rencana agung keselamatan, bukan penggalan-penggalan ajaran yang dibangun “asal ada ayatnya.”

Sedangkan terhadap penginjilan, Gereja Tuhan di sepanjang zaman meyakini bahwa penginjilan itu niscaya dilakukan! Panggilan untuk memuridkan segala bangsa tetap berlaku (Mat. 28.19–20). Tetapi kita perlu cermat dan berhati-hati! Apakah dibenarkan, demi orang bertobat, kemudian kita mengaburkan pengajaran Kitab Suci yang benar? Tujuan sama sekali tidak menghalalkan segala cara.

Pada tahun-tahun terakhir, begitu maraknya KKR yang dibumbui oleh pernak-pernik humanistis yang sebenarnya melawan kesaksian firman: manipulasi psikologis dengan membangun suasana-suasana mistik, musik-musik syahdu dan menyentuh hati, serta kata-kata yang terus diulang-ulang, “Bayangkan kasih Tuhan kepadamu. Akankah engkau menyia-nyiakan kasih-Nya yang besar? Rasakan kasih-Nya!” Akhirnya, orang-orang pun tergerak untuk maju dan mengambil keputusan, karena perasaannya tersentuh! Semua itu bukan Injil yang sejati. Sebaliknya, justru musuh Injil!

Rasul Paulus mempercayai doktrin penebusan terbatas, tetapi ia pun penginjil yang efektif. Seorang pengkhotbah meyakini penebusan Kristus bagi umat pilihan, ia tidak akan gegabah berkata, “Kristus rela mati untuk setiap orang di gereja ini, bahkan untuk setiap manusia!” atau seorang penginjil kepada orang yang diinjili, “Kristus mati bagi kamu, langkah selanjutnya ada di tanganmu sendiri.” Sebab, bagaimana ia yakin Kristus benar-benar mati untuk orang tersebut? Tidak ada juga preseden penginjilan seperti itu di Alkitab. Para pengkhotbah KKR sekaliber Charles H. Spurgeon (abad ke-19) atau Jonathan Edwards (abad ke-18) tidak pernah mengucapkan kalimat seperti itu dalam khotbah-khotbah mereka!

Lalu, bagaimana seharusnya pengkhotbah KKR memimpin altar call? Hendaklah ia menghindarkan diri dari godaan berapa jumlah hadirin yang mengangkat tangan! Sebagai pelayan firman Allah, ia dilarang untuk memanipulasi pendengar dengan kharisma atau suasana! Hendaklah altar call tidak dilakukan dengan mengulang-ulang panggilan, seolah-olah Allah merengek-rengek supaya orang-orang berdosa bertobat dan menyerahkan diri. Ia cukup berkata, “Kristus datang untuk menebus orang-orang berdosa!” Ya, ini benar! Kristus datang untuk kaum pilihan Allah, dan mereka ini manusia berdosa!

Sesungguhnya, mempercayai penebusan Kristus bagi kaum pilihan Allah justru mendorong penginjilan. Sebutkanlah penginjil-penginjil terbaik dunia, kebanyakan mereka adalah pemeluk ajaran ini (C. H. Spurgeon, G. Whitefield, G. Muller, J. Edwards). Oh, bila semua manusia ternyata telah rusak total—namun jauh sebelum itu Allah sudah berkenan menetapkan siapa saja yang menjadi umat-Nya—maka penginjilan pastilah berhasil! Keselamatan tidak bergantung pada kehendak manusia, tetapi karya Allah dari awal sampai akhir! Bila Allah memiliki rancangan agung, maka Ia tidak pernah gagal. Pekabaran Injil berarti undangan Allah bagi kita untuk mengumpulkan segenap kaum pilihan Allah yang baginya Kristus telah datang dan menyempurnakan karya keselamatan dengan kematian-Nya. Tidak ada lagi panggilan yang lebih mulia!


TERPUJILAH ALLAH!

KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN (2)

Memeriksa Kembali Berita Alkitab

Setelah mengkaji pandangan penebusan dari opsi kedua, kita telah menemukan kesulitan-kesulitan yang sangat fundamental, bahkan kontradiksi-kontradiksi yang tidak terjawab. Adakah opsi ketiga? Ya, ada!

Berita yang konsisten di dalam Alkitab adalah penebusan setiap orang yang ada dalam hitungan kaum pilihan. Kristus menebus tiap-tiap pribadi yang telah dipilih oleh Allah sejak kekekalan untuk menjadi umat-Nya! Pandangan penebusan seperti ini selaras dengan karya Allah Trinitas, dan memandang keselamatan sebagai unit yang utuh. Keselamatan itu dari awal sampai akhir dikerjakan oleh Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus.

Injil Yohanes. Injil ini mengaitkan karya Allah Bapa dan Putra. Relasi yang sangat harmonis! Bapa memilih dan menganugerahkan iman kepada sejumlah manusia dan mengantarnya kepada Kristus untuk diselamatkan. Tuhan Yesus berkata, “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan kubuang” (6.37, bdk. 65). Lebih lanjut, “. . . dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman” (ay. 39, bdk. 44). Makin jelas lagi objek sasaran penebusan Kristus di dalam 10.11, “Gembala yang baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya,” dan perhatikan juga ayat 15, “Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.” Kesimpulannya, Tuhan Yesuslah Gembala yang baik dan Dia memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya.

Bagaimana dengan ayat 16? “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain . . . itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” Ada sejumlah orang yang belum percaya dan belum mengenal persekutuan Kristen, tetapi mereka akan dituntun (!) untuk mendengar-kan firman Kristus, sehingga menjadi satu kawanan dengan domba-domba Kristus. Dalam 10.26, 27 ada golongan orang yang tidak percaya oleh karena “tidak termasuk domba-domba-Ku.” Yang termasuk domba Kristus akan percaya! Yang tidak termasuk takkan percaya! Penebusan Kristus mendahului iman! Justru inilah dasar mengapa penginjilan niscaya dilakukan! Penginjilan itu berarti mencari dan mengumpulkan domba-domba yang dituntun oleh Kristus, yang sementara ini belum menjadi satu dengan persekutuan orang percaya, namun yang bagi mereka Kristus juga telah menyerahkan diri-Nya.

Kisah Para Rasul 20.28. Kepada para penatua di Efesus, rasul Paulus berkata, “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.” Rasul Paulus menegaskan apa itu gereja, yaitu kepunyaan Allah yang diperoleh dengan darah Anak-Nya, dengan perkataan lain, umat Allah ditebus melalui kematian Kristus.

Surat-surat Paulus. Rasul Paulus juga jelas berkata, kaum yang dipilih oleh Allah, itulah yang ditebus oleh Kristus. “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya, kita [yang dipilih dan ditentukan untuk menjadi anak-anak-Nya] beroleh penebusan” (Ef. 1.7). Konteks dari perikop 1.3–14 menegaskan harmoni karya Trinitaris yang demikian agung! Allah Bapa memilih, Allah Putra menebus, dan pada gilirannya di ayat 13–14, Allah Roh Kudus memeteraikan umat Allah dan menjadi jaminan kaum beriman. Senada dengan ini, Roma 8.30 menyatakan, “Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.”

Menarik juga untuk mengkaji Efesus 5.25–26, “Hai, suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikan-nya dengan air dan firman.” Perhatikan, umat yang bagi mereka Kristus telah mati, mereka juga yang dikuduskan dan dibasuh. Sebaliknya, karena dunia nyata-nyata tidak dikuduskan dan dibasuh, maka jelaslah bahwa Kristus tidak mati bagi semua isi dunia tanpa terkecuali.

Bila betul Kristus mengasihi seluruh isi dunia dengan kasih yang sejajar, dan memberikan hidup-Nya untuk dunia, maka paralel di dalam ayat ini runtuh. Ayat ini berbicara tentang relasi suami-istri, diparalelkan dengan relasi Kristus-Gereja. Seorang suami ya juga harus mengasihi dan memberikan dirinya untuk perempuan lain selain istrinya, kan sama seperti Kristus juga memberikan hidup-Nya untuk orang-orang di luar Gereja-Nya, yang adalah mempelai perempuan-Nya!

Surat Ibrani. Kutipan dari Yesaya 8.18 di Ibrani 2.13 ini menyatakan solidaritas Sang Putra terhadap anak-anak Allah yang lainnya. Tujuan dikutipnya ayat ini ialah supaya tiap-tiap orang percaya meyakini status mereka yang terhormat sebagai saudara-saudara Kristus dan anak-anak Allah. Kehormatan ini didapatkan karena keterhubungan mereka dengan Kristus (1.1–14 dan 2.5–9). Lebih-lebih dalam 2.14–15, kita melihat bahwa Kristus memusnahkan Iblis dan membebaskan kaum-Nya dari perhambaan Iblis. Bahkan pada pasal-pasal berikutnya di dalam Ibrani, Kristus merupakan Imam Besar yang mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban untuk menanggung dosa banyak orang (9.28). Siapakah banyak orang itu? Tak lain adalah “anak-anak yang diberikan Allah kepada-Ku,” kata Tuhan Yesus.

Kesimpulan. PB telah sedemikian jelas bersaksi tentang harmoni karya Trinitas dan siapa saja yang ditebus melalui kematian Kristus. Mereka ini kaum pilihan yang diserahkan Allah Bapa kepada Tuhan Yesus:

Umat-Nya Matius 1.21
Domba-bomba-Nya Yohanes 10.11, 14
Jemaat-Nya Kisah Para Rasul 20.28; Efesus 5.25
Orang-orang pilihan Roma 8.32–34; Efesus 1.7
Anak-anak-Nya Ibrani 2.13

Lantas, bagaimana kita harus memahami ayat-ayat yang “universalis” seperti di bawah ini?

Yehezkiel 33.11. Siapa yang disebut orang fasik? Konteksnya jelas, yaitu orang Israel. Dengan demikian, ayat ini tidak berbicara tentang hasrat Allah untuk memanggil kembali segenap manusia tanpa ada yang tertinggal. Bila dalam 2 Petrus 3.9 nada yang sama digemakan, jangan lupa anak kalimat sebelumnya, “Ia sabar terhadap kamu,” yang jelas-jelas merujuk kepada penerima Surat 2 Petrus ini. Jadi, ayat-ayat ini ditujukan untuk umat Allah sendiri.

2 Korintus 5.14–15. Ada kata yang sama, yaitu “semua.” Semua orang telah mati dalam Adam, dan “Kristus telah mati untuk semua orang.” Baca juga 1 Korintus 15.22, “karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” Bila kata “semua” ini berarti setiap manusia tanpa terkecuali, maka neraka sudah purna tugas. Sebab semua orang yang mati di dalam Adam, yakni setiap manusia yang menjadi keturunan Adam, telah dihidupkan dengan kematian Kristus. Setujukah Anda?

Apa arti “semua”? Ketika Alkitab memakai kata ini, tak selalu artinya “setiap.” Misalnya, ketika Tuhan Yesus ditinggikan dari bumi, Ia akan “menarik semua orang datang kepada-Ku” (Yoh. 12.32), apakah setiap orang datang kepada Kristus? Pontius Pilatus, Hanas, Kayafas nyatanya tidak. Bahkan jutaan orang di seluruh dunia tidak mendengar Kristus, bagaimana mungkin mereka datang kepada Kristus? (Bdk. juga “semua orang di seluruh dunia” di Luk. 2.1.) Semua ternyata tidak berarti setiap. Yang dapat kita simpulkan dari kata “semua” adalah: kaum pilihan Allah yang berasal dari segala suku dan bangsa atau pangkat dan derajat, tanpa diberi preferensi-preferensi khusus (bdk. Why. 5.9–10; 7.9).

2 Korintus 5.14–15 harus ditempatkan dalam konteks yang tepat. Yang dimaksud dengan “semua” diterangkan oleh ay. 18, “Kristus telah mendamaikan kita,” dan ay. 21 “Dia . . . menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.” Siapa yang dimaksud “kita”? Paulus dan tim PI-nya beserta segenap jemaat Korintus, yang telah percaya kepada Tuhan Yesus dan diperdamaikan dengan Allah melalui darah Putra-Nya. Kita dapat menyimpulkan, Kristus mati untuk umat-Nya.

Yohanes 4.42. Sebelum menjawab masalah, periksalah kembali kajian Injil Yohanes di atas. Gembala yang baik memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya.” Jadi, Kristus mati dan bangkit untuk menebus umat-Nya. Lantas, apa artinya “dunia” di ayat ini (mis. juga 3.16)? Bukan tiap-tiap individu, tetapi sama seperti di atas, yaitu segala suku dan bangsa, dari segala derajat dan pangkat dan jenis kelamin.

1 Timotius. Di 1.15 dituliskan kata “dunia” dan “orang berdosa.” Tetapi, perhatikan tuturan sang rasul selanjutnya, “dan di antara mereka akulah yang paling berdosa.” Siapakah “mereka” itu? Di ayat 16, mereka ini adalah orang-orang “yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal.” Paulus menyebut dirinya adalah yang paling berdosa bila dibandingkan dengan semua orang berdosa yang kemudian mendapat hidup yang kekal, yaitu orang-orang Kristen. Jadi, yang dimaksud “orang berdosa” bukanlah semua orang tanpa terkecuali, tetapi para pengikut Kristus.

Ayat 2.3, “semua [setiap] orang diselamatkan . . .” dan ayat 6 “yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua [pantōn]” seolah-olah menyiratkan keselamatan universal. Baiklah, memang bisa diterjemahkan “semua manusia.” Tetapi perhatikan konteks-nya. (1) Rasul mengimbau jemaat untuk mendoakan semua orang, termasuk raja-raja dan para pembesar—orang-orang dari berbagai tingkat sosial (ay. 1–2); (2) Rasul sendiri mengatakan dirinya sebagai pemberita Injil dan rasul untuk orang-orang bukan Yahudi—orang-orang dari etnis yang berbeda (ay. 7). Jelaslah kini maksud rasul. Bukan penebusan untuk setiap manusia tanpa terkecuali, tetapi jangkauan keanggotaan Gereja Kristus, yang meruntuhkan tembok-tembok perbedaan yang tidak mungkin dapat diubah. Visi Gereja sebagai pelopor Kerajaan Allah seharusnya bermisikan persaudaraan, kesetaraan dan egalitarian.

1 Yohanes 2.2. Hal ini menggarisbawahi pemulihan dunia yang dimulai dari pemulihan umat Allah. Bahasa penulis 1 Yohanes sangatlah Yahudi. Karena Israel telah dipulihkan—ditandai dengan kehadiran Gereja di dalam dunia—maka prinsip dunia baru yang dipimpin oleh Kristus pun telah hadir di atas bumi. Perhatikan 4.10, “Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah meng-utus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” “Kita” di sini adalah orang-orang yang dosa-dosanya sudah diampuni (2.12), yang telah mengalah-kan yang jahat (2.13), dan yang menanti-nantikan Kristus (3.2).

KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN (1)

KRISTUS MENEBUS KAUM PILIHAN ALLAH



Pertimbangan Awal

Kita percaya bahwa Tuhan Yesus Kristus menebus orang-orang berdosa dan memberikan jaminan keselamatan. “Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa” (1Tim. 1.15). Tetapi, siapa sajakah orang-orang berdosa yang ditebus oleh Tuhan Yesus itu? Jawaban yang sering kita dengar adalah “setiap manusia tanpa terkecuali.” Beberapa data Alkitab yang tersebar di sana-sini untuk mendukung pandangan ini adalah sebagai berikut:

Yehezkiel 33.11, “. . . Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya . . . .”
Yohanes 4.42, “. . . Dialah benar-benar Juruselamat dunia.”

2 Korintus 5.14–15, “. . . bahwa satu orang sudah mati untuk semua orang maka mereka semua sudah mati . . . Kristus telah mati untuk semua orang.”

1 Timotius 2.3–6, “. . . Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan . . . yaitu manusia Yesus Kristus yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia . . . .”

2 Petrus 3.9, “. . . Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”

1 Yohanes 2.2, “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia.”

Banyak orang segera menyimpulkan penebusan Kristus itu universal sifatnya, bagi tiap-tiap pribadi. Namun demikian, data di atas masih menyimpan dua macam opsi yang harus kita pecahkan.

Opsi pertama. Apakah Kristus mati untuk setiap manusia tanpa terkecuali sehingga setiap manusia pasti diselamatkan? Penebusan Kristus itu universal dan karena itu tidak ada seorang pun yang tidak selamat. Pandangan ini sebenarnya konsisten dalam kaidah bernalar:

Semua orang ditebus oleh kematian Kristus,
Kematian Kristus memberi keselamatan,
Maka, semua orang menerima keselamatan.

Hanya saja, apa ajaran ini benar? Alkitab terlampau blak-blakan tatkala membahas realitas neraka dan penghuni-penghuninya. Mempercayai pengajaran seperti ini akan berisiko menerjang pengajaran Alkitab mengenai dosa dan adanya orang-orang yang dimurkai oleh Allah. Pandangan “universalisme” ini biasanya dianut oleh kaum liberal.

Opsi kedua. Apakah Kristus mati untuk setiap manusia tanpa terkecuali tetapi tidak semua mendapatkan keselamatan karena tidak mau percaya Allah? Keselamatan Kristus itu universal, tetapi hanya beberapa orang—yang mau merespons karya penebusan Kristus dengan kehendak pribadinya—yang diselamatkan, yang lain akan dihukum. Pandangan kedua ini diikuti oleh mayoritas orang Kristen, paling tidak di Indonesia.

Sepintas lalu, opsi yang kedua itu nampak alkitabiah, sebab mencantumkan banyak ayat. Namun marilah mengamati konsistensi logika pandangan ini:

Semua orang ditebus oleh kematian Kristus,
Kematian Kristus memberi keselamatan,
Maka, hanya sebagian orang menerima keselamatan.

Logika yang aneh! Pertanyaan penting yang perlu diajukan selanjutnya adalah, apakah Kristus juga menebus orang-orang yang hingga matinya menolak Kristus? Karena itu, marilah kita sekarang meneliti kekonsistenan opsi kedua itu dengan lebih cermat.


Menakar Konsistensi Ajaran

1. Penebusan Kristus dan Rencana Agung Allah (Telaah Filosofis)

a. Jika kita percaya bahwa Allah pirsa saderengipun winarah, bahkan ketetapan-Nya sabda pandhita ratu, tentu kita sepakat bahwa Allah sudah mengetahui siapa yang akan menjadi milik-Nya. Bahkan Alkitab sendiri bersaksi bahwa Allah, dalam kedaulatan-Nya, telah memilih sejumlah manusia untuk menjadi umat-Nya sejak kekekalan (Ef. 1.4–5). Betapa inkonsisten bila Allah—yang sudah paham siapa saja yang menjadi milik-Nya—kemudian mengutus Kristus untuk menebus semua manusia tanpa terkecuali, termasuk orang-orang yang bukan kaum pilihan-Nya. Lebih-lebih kalau kita mau jujur, tidak ada satu ayat pun yang berkata secara langsung bahwa “Kristus mati untuk setiap manusia.”

b. Pengajaran opsi kedua ini akan konsisten hanya jika kita percaya bahwa Allah tidak memiliki rancangan keselamatan, serta tidak tahu ujung sejarah ciptaan. Kristus datang untuk menebus setiap manusia tanpa terkecuali, tetapi ada sejumlah kecil orang yang kemudian mau menerima-Nya, sehingga ndilalah jumlah umat Allah bertambah “di luar ketetapan Allah,” oleh sebab kehendak untuk memilih Kristus dan karya-Nya.[1]


c. Opsi kedua berniat untuk “meluputkan Allah” dari tanggung jawab bila manusia menolak karya Kristus. Tetapi sebaliknya, risiko berat yang harus dihadapi oleh pengajaran ini adalah: Allah sendiri tidak memiliki jaminan pasti siapa-siapa saja yang akan percaya kepada-Nya! Kalaupun Allah tahu, Ia tak berdaya, karena semua berdasarkan kehendak manusia!

Bagaimana dengan jaminan keselamatan? O memang betul, para pen-dahulu kita setia dalam iman hingga akhir hidup mereka! Tapi, bagaimana dengan orang-orang yang hidup sekarang? Bagaimana dengan keselamatan kita? Bukankah ada kemungkinan kita pada akhirnya menolak karya Kristus? Sejangka waktu, di hadapan orang banyak, memang kita bisa tampak percaya, aktif, menjadi pengurus komisi bahkan majelis, tetapi siapa yang menjamin kalau seminggu, sebulan, atau setahun mendatang kita semua akan tetap setia? Bahkan Tuhan pun tidak! Bila demikian, maka pengajaran ini sesungguhnya mendiskreditkan Allah.

2. Penebusan Kristus dan Jaminan (Telaah Teologis)

a. Apakah arti Kristus sebagai “Juruselamat”? Yaitu keselamatan hanya tersedia di dalam Tuhan Yesus. Sekarang, pertanyaan balik yang perlu diajukan yakni, apakah keselamatan sebagai buah penebusan Kristus itu suatu kemungkinan ataukah kepastian? Yang dimaksud dengan kemungkinan berarti, “penebusan Kristus hendak mengerjakan keselamatan orang berdosa, tergantung seseorang mau atau tidak diselamatkan; Tuhan tidak dapat memaksanya.” Sedangkan kepastian berarti, “penebusan Kristus pasti mengerjakan keselamatan untuk manusia berdosa.” Kita tentu percaya bahwa penebusan itu efektif dan pasti. Perhatikan selanjutnya.

b. Setiap orang Kristen percaya bahwa hakikat kematian Kristus adalah “substitusi,” (penggantian) kurban bagi penebusan dosa. Kristus menggantikan kita, orang-orang berdosa, dari murka Allah yang menyala-nyala, sehingga kita diampuni oleh Allah:

“Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor. 5.21).

“Substitusi” ini meliputi empat aspek:

(i) “propisiasi,” meredakan atau meredam murka Allah yang kudus (Ibr. 2.17; 1Yoh. 2.2);
(ii) “expiasi,” menghapuskan dosa (Rm. 3.25);
(iii) “rekonsiliasi,” pendamaian manusia dan Allah (Rm. 5.10; 2Kor. 5.20);
(iv) “redempsi,” penebusan dari kutuk Hukum Taurat (Gal. 3.13; Kol. 1.14).

c. Jika Kristus benar-benar datang untuk menebus setiap orang tanpa terkecuali, dan penebusan Kristus itu efektif, berarti Kristus pasti menggantikan setiap orang tanpa terke-cuali. Bila ini benar, maka seharusnya setiap orang tidak lagi menanggung murka dan kutuk Allah, sebab Kristus telah menanggung murka Allah itu sebagai ganti setiap manusia tanpa terkecuali. Maka, setiap manusia pastilah diselamatkan oleh Allah, atau penebusan Kristus tidak memiliki daya apa-apa atas manusia yang dikuasai oleh dosa. (Awas!! Ingat bahaya opsi pertama di depan!) Tetapi kenyataannya, ada orang-orang yang menerima penghukuman dari Allah! Kalau Kristus menebus semua orang, mengapa mereka ini masih dihukum oleh Allah?

d. Marilah kita juga merenung: Apakah Kristus datang untuk menggantikan penghukuman orang yang menolak Kristus sehingga ia tak lagi berada di bawah murka Allah? Apakah Kristus menebus dan meredam murka Allah demi orang yang menolak Dia? Apakah Tuhan Yesus mati menghapuskan dosa-dosa orang yang menolak-Nya? Apakah Tuhan Yesus mendamaikan orang yang menolak Kristus dengan Allah sehingga tak ada lagi perseteruan antara orang itu dengan Allah?

e. Semoga kita tidak melakukan lompatan logika, dengan berkata, “Sebenarnya Yesus [mau] mati untuk orang itu, tetapi dia sendiri yang menolak Kristus!” Sebab kita akan terbentur kembali dengan kesimpulan, bahwa kematian Kristus tidak memberi kepastian, tetapi sekadar kemungkinan: Insyaallah, bila orang itu mau percaya! Sungguh posisi yang tidak konsisten!

3. Penebusan Kristus dan Sejarah Penebusan (Telaah Biblis)

a. Sesungguhnya, Alkitab jelas-jelas bersaksi bahwa Kristus menebus kaum pilihan Allah. Suatu karya penebusan terhadap sejumlah umat yang definitif.

b. Bila Kekristenan konsisten dengan berita Perjanjian Lama (PL), maka penebusan Kristus harus ditempatkan dalam matra “sejarah penebusan” dan berita eskatologis PL. PL berbicara mengenai pengharapan kosmos, alam raya ciptaan Allah, dan hal ini baru dapat terlaksana bila umat Allah dipulihkan. Tatkala Mesias hadir, Ia datang untuk memulihkan Israel, umat Allah, dan pemulihan umat Allah inilah yang akan meretas jalan pemulihan kosmos (Yes. 55).

c. Kalau demikian, Yesus dari Nasaret layak disebut Mesias bila Ia memenuhi tugas panggilan-Nya sebagai pemulih Israel. Ternyata berita yang disampaikan kepada Yusuf mengenai Anak yang akan dilahirkan oleh Maria yakni, “Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1.21). Aha! Bukan menyelamatkan semua manusia tanpa terkecuali! Tetapi berita mengenai “penebusan terbatas”! Mindset (pola pikir) penulis Injil sangat dipengaruhi oleh berita PL, bahwa keselamatan atas bangsa-bangsa bisa terlaksana hanya bila Mesias yang sejati datang dan menebus umat Allah dan menancapkan prinsip Kerajaan Allah di atas dunia. Jelaslah kini, bahwa penebusan Kristus untuk setiap orang tanpa terkecuali menghadapi kendala terasing dari kesinambungan berita penebusan di PL.

4. Penebusan Kristus dan Pekabaran Injil (Telaah Praktis)

a. Banyak orang Kristen beranggapan, penebusan bagi semua orang tanpa terkecuali akan mendorong semangat penginjilan. Sebab, bagaimana mungkin kita akan menginjili orang yang tidak percaya bila Kristus tidak datang dan menebusnya? Maka, Kristus haruslah terlebih dahulu menebus setiap manusia ketika ia masih ada di dalam dosa. Sehingga, kita mengajukan tantangan dengan berkata, “Tuhan Yesus mati untuk kamu,” oleh kehendak bebas pribadi ia akan menanggapi karya Kristus secara positif, menerima, atau negatif, menolak Kristus dan karya-Nya.

b. Tetapi marilah kita menimbang dengan serius. Kalau Kristus mati untuk semua orang, dan iman itu berdasarkan pilihan bebas dari manusia—dan orang beranggapan hal ini akan melancarkan penginjilan—adakah jaminan kelak Tuhan Yesus akan menjumpai seseorang beriman di dalam dunia ketika Ia datang kembali? Keselamatan berdasarkan kehendak bebas tidak memberi jaminan yang pasti! Jangan-jangan semua orang yang sekarang ini berkobar-kobar dalam melayani Tuhan, menjadi majelis dan aktivis, ternyata kemudian berbalik dan melawan Tuhan!

c. Cobalah merenung. Kita menggebu-gebu dalam melayani banyak orang supaya mereka bertobat, dan kita berhasil memenangkan mereka! Tetapi suatu saat kita menjumpai semua orang yang kita layani berbalik dan tidak percaya lagi kepada Tuhan, apa yang kita ungkapkan? “Yaah, saya serahkan sajalah kepada Tuhan!” Bukankah ini kontradiktif? Lho, lho, lho, katanya kepercayaan itu berdasarkan pilihan bebas, tetapi ketika orang-orang hasil dari penginjilan kita murtad, maka tanggung jawabnya kok dilemparkan kepada Tuhan? Harus diakui, ajaran penebusan bagi semua orang tanpa terkecuali malah membuat pesimis penginjilan!


[1]Di sinilah beberapa teolog open theism, “teisme terbuka,” seperti William Hasker dan Clark Pinnock menganjurkan ide middle knowledge, “pengetahuan tengah,” yaitu bahwa Allah hanya merancang penebusan dan keselamatan manusia seluruhnya, tetapi ada peristiwa lain yang menyusup dan terjadi, yakni dosa yang mengakibatkan “pergeseran” rencana Allah itu. Kristus datang menebus semua orang tanpa terkecuali, tetapi ada sebagian orang yang mau “menerima” rencana Allah dengan kehendaknya, tetapi ada juga yang menolak. Penolakan dan penerimaan ini pun termasuk kejadian yang menyusup. Jadi, Allah menerima suatu “kejutan baru.”