Friday, November 24, 2006

Menilik Paham Kehendak Bebas

MENILIK KEMBALI PAHAM KEHENDAK BEBAS


Lihat, Betapa Indahnya!

Allah menciptakan alam dan manusia sebagai mahkota ciptaan dengan sempurna! Kesempurnaan sebagai ciptaan tidaklah berarti bahwa kita sama seperti Allah. Tetapi sebagaimana yang Allah lihat di paripurna penciptaan, “sungguh amat baik” (Kej. 1.31). Kesempurnaan itu dalam hal: (1) tata harmoni yang terjalin antara Allah-alam, Allah-manusia, manusia-manusia dan manusia-alam; (2) kebergantungan ciptaan kepada Allah, dan hidup dalam ketaatan secara total kepada Dia saja.

Allah menyerahkan tugas dan tanggung jawab pengelolaan alam kepada manusia, yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Allah, Sang Pemilik dan Pengusaha taman, berkenan menempatkan manusia di dalam taman untuk mengusahakan dan memeliharanya (2.15). Ketaatan manusia kepada Allah akan menjaga tata harmoni tersebut. Pemberontakan manusia akan merusaknya. Sebagaimana ditekankan minggu-minggu lalu, manusia dituntut untuk berlaku taat kepada Sang Raja yang berdaulat.

Keruntuhan Itu . . . .

Namun demikian, tuntutan Allah supaya manusia mematuhi “perjanjian perbuatan” dilanggar. Manusia merasa dapat memutuskan bagi dirinya sendiri apa yang seharusnya diputuskan oleh Allah. Belum sampai memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, bahkan perempuan itu telah “melihat bahwa buah itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya” (3.6). Bukankah hanya Allah yang sebelumnya memutuskan sesuatu itu baik atau tidak? Lihatlah, sekarang manusia telah memposisikan dirinya sebagai Allah!

Semua ini sebab manusia memiliki “kehendak bebas”? Tunggu dulu, apakah Allah memperbolehkan moyang pertama kita untuk memilih dengan kehendaknya antara yang baik dan yang jahat? Ini menyangkut keputusan moral. Bukan seperti pilihan-pilihan di saat perut terasa lapar, kita melihat di atas meja tersedia tempe, tahu, bakwan dan petai goreng, lalu kita memilih mengambil tempe untuk sekadar mengisi perut; ataupun seorang anak yang diperhadapkan pada pilihan antara bekerja, melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi (universitas), atau menikah setelah lulus SMA. Dalam hal-hal yang baru saja disebut, memang seseorang bebas menjatuhkan pilihan, tetapi pilihan-pilihan itu bukan pilihan moral yang menakar tindakan baik atau jahat. Terhadap kehendak bebas, kita perlu menyingkapnya seterang-terangnya dan secara jujur terbuka terhadap Kitab Suci sendiri.

(I) Allah memberi satu amanat yang jelas kepada Adam, yaitu untuk mengasihi, mematuhi serta percaya hanya kepada Allah dengan melarang memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat (2.17). Kata Ibrani yang diikuti oleh kata kerja bentuk imperfect berarti “suatu larangan yang tetap berlaku untuk seterusnya.” Bandingkan dengan Sepuluh Hukum “Jangan membunuh,” dst. Ketetapan Tuhan mengenai moral tetap selamanya, yaitu bahwa Allah saja yang mengambil keputusan, dan manusia sama sekali tidak memiliki hak otonomi untuk memutuskan standar moral. Jadi, apakah manusia bebas untuk memilihnya? Apakah manusia berhak memutuskan moralitas bagi dirinya sendiri?

(II) Kalau benar bahwa Allah memberikan manusia "kehendak bebas," berarti sejak semula Allah sendiri telah memaksa manusia menerima kehendak bebas tertanam dalam dirinya, dengan tujuan supaya manusia dapat memutuskan moralitas bagi dirinya sendiri. Ya, ini serius. Berarti ada satu masa ketika manusia tidak punya pilihan, yaitu ketika Allah memasukkan kehendak bebas di luar kesadarannya. Jika manusia berkehendak bebas, mengapa manusia tidak menolak pemberian Allah yang berupa kehendak bebas itu? Apakah karena kehendak bebas itu tertanam di dalam manusia sejak diciptakan sehingga manusia tak mungkin dapat menolaknya? Justru di sinilah nyata kontradiksi-kontradiksi paham kehendak bebas:

(i) Paham kehendak bebas justru merendahkan kedaulatan Allah. Kian terbuktilah bahwa Allah memaksakan kehendak bebas kepada manusia. Oh, kehendak bebas itu netral dan baik pada dirinya sendiri? Bukan masalah netralitas kehendak bebas, tetapi bahwa Allah menanamkan kehendak bebas di dalam manusia pada waktu ia diciptakan itu sudah merupakan fakta bahwa manusia tidak bebas.

(ii) Paham kehendak bebas justru menempatkan Allah sebagai biang dosa. Paham ini menjadi hipotesis kerja bahwa Allah bukan pembuat dosa. Tujuannya mulia, yaitu membela dan menjauhkan Allah dari tanggung jawab menyusupnya dosa ke dalam dunia. Namun, oleh karena adanya kehendak bebas itu sendiri merupakan fakta ketidakbebasan manusia untuk dapat memilih sehingga ia memiliki kehendak bebas atau tidak memilikinya, maka jelaslah bahwa sumber dosa secara ultimat dituduhkan kepada Allah. Mengapa Allah memaksakan kehendak bebas yang—Ia sudah ketahui sebelumnya—justru akan menjerumuskan manusia ke dalam dosa?

(iii) Paham kehendak bebas justru menggugat balik murka Allah. Mengapa Allah marah, sampai-sampai mengutuk alam bahkan mengusir Adam-Hawa kalau Ia adalah seorang yang “demokratis”?[1] Jikalau Ia memberikan kehendak bebas dalam diri manusia—yang ternyata manusia tidak punya pilihan untuk menerima atau menolak kehendak bebas itu—dan memberi pilihan: “Silakan putuskan sendiri: taat atau tidak kepada-Ku” atau “Mau taat ya syukur, kalau tidak ya Aku hukum,” maka Allah sama sekali tidak punya alasan untuk murka. Analoginya seperti ini, andai di tangan saya ada dua buah permen—permen jahe di tangan kanan dan permen kopi di tangan kiri—lalu saya berkata, “Ayo kamu pilih, mau yang mana: permen jahe atau kopi?” Ternyata adik saya memilih permen jahe . . . tiba-tiba meledaklah amarah saya, terus memukuli adik. Apa yang adik saya akan pikirkan? “Kakakku gila! Mengapa ia tadi memberi pilihan?” Bagaimana dengan Allah bila kita percaya Ia memberi kita kehendak bebas untuk memilih?

(iv) Paham kehendak bebas justru membuktikan bahwa manusia itu robot. Ironis! Tapi benar demikian. Sebab, bagaimana mungkin manusia memiliki kehendak bebas? Ya karena Allah memberinya kehendak bebas. Tetapi oleh karena pemberian kehendak bebas itu sendiri menganulir kebebasan manusia—sebab di luar kesadaran manusia—berarti kehendak bebas itu layaknya batu baterai atau akumulator yang dipasang di dalam manusia, sehingga manusia dapat bergerak dan membuat keputusan-keputusan moral berdasarkan kehendak bebasnya. Implikasi secara teologis, bahwa manusia yang diciptakan mulia lagi terhormat dengan kehendak bebas menyatu di dalam dirinya itu tak lebih merupakan hasil rekayasa dari Satu Khalik yang lalim lagi arbitrer.

(v) Paham kehendak bebas bertentangan dengan Kitab Suci. Di manakah di dalam Alkitab dinyatakan bahwa kehormatan dan martabat manusia terletak pada kemampuannya untuk memilih secara bebas? Kejadian 2 atau 3? Bukan. Martabat manusia sebagai mahkota ciptaan terletak pada penciptaannya sebagai gambar Allah yang memiliki tanggung jawab untuk mengasihi dan taat secara total kepada Allah. Kehendak bebas merupakan inferensi dari logika yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya bahkan sangat berbahaya bagi pertumbuhan iman kita.

(III) Jika kita tetap ingin mempertahankan “kehendak bebas,” satu-satunya manusia yang memilikinya adalah moyang kita yang pertama, sebab mereka diciptakan dalam keadaan bisa tidak berdosa. Adam bisa tidak berdosa ketika ia memilih untuk taat secara total dan mempersilakan Allah memutuskan ketetapan-ketetapan-Nya atas hidupnya. Adam ternyata mengambil langkah lain: memberontak kepada Allah. Kesaksian Alkitab jelas. Ketetapan yang dilanggar. Perjanjian Perbuatan antara Allah yang berdaulat dan manusia sebagai mitra kerja yang mengusahakan dan memelihara taman (2.15) dikhianati.[2] Akibatnya, semua keturunan Adam berada di bawah penghukuman Allah. Pernahkah kita berefleksi, apakah kehendak kita sebagai keturunan Adam setara dan tetap sama dengan keadaan kehendak moyang pertama kita itu?

(IV) Apakah kita ini sekadar wayang di tangan ki dhalang? Sama sekali bukan! Hanya Adam yang dikaruniai kemampuan bisa tidak berdosa. Setelah Adam jatuh, semua manusia tidak mampu untuk tidak berdosa. Mari kita berefleksi. Apakah kita sungguh-sungguh memiliki kebebasan untuk memilih? Tetapi kebebasan serupa ini niscaya ada bila manusia berada di dalam sama sekali tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan yang ada di dalam hatinya. Memiliki satu atau dua saja kecenderungan, maka sesungguhnya manusia itu tidak lagi bebas. Faktanya, bukankah kita didorong dan dikendalikan oleh rupa-rupa kecemasan, ketakutan, keragu-raguan, iri hati, kedengkian, curiga, pertikaian, pemberontakan dan penindasan? Pernahkah kita dalam sehari saja bebas dari perasaan-perasaan di atas? Bukankah dalam mengambil keputusan moral, segala gagasan jahat terselip di benak kita? Jadi, masih benar-benar bebaskah seseorang ketika mengambil keputusan?

Kita sepatutnya merendahkan diri di hadapan Allah, bahwa di dalam tubuh yang penuh kecemaran ini kekuasaan dosa sedemikian mencengkeram kita. Ya, kita bukan robot dan Allah bukan pembuat robot. Kita bukan wayang dan Allah bukan ki dhalang. Tetapi telah terpampang dengan gamblang, manusia dikontrol, dikendalikan dan dikuasai oleh kecenderungan-kecenderungan hati yang penuh kelicikan (Kej. 6.5; 8.21; bdk. Mrk. 7.20-23). Ooh . . . ungkapan bahwa manusia itu seperti robot atau wayang, tak lebih dari sekadar cetusan klise saja.

(V) Sesungguhnya, mengatakan manusia memiliki kehendak bebas berarti kita tanpa sadar telah menempatkan manusia sebagai yang sama, yang setara dengan Allah yang berdaulat. Sebab paham ini berkata bahwa sejak semula manusia mempunyai hak untuk memutuskan bagi dirinya sendiri. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih masalah moral. Padahal hanya Allahlah satu-satunya penentu sesuatu itu baik atau tidak. Pemikiran bahwa manusia diberi kebebasan oleh Allah itu terbukti melawan kesaksian firman Tuhan.

Kesimpulannya, setelah ditinjau dari berbagai aspek teologis-biblika, paham kehendak bebas terbukti keliru dan sebenarnya merupakan inferensi pragmatis dari data Alkitab bahwa moyang kita memberontak kepada Allah. Alkitab sendiri tidak berkata apa-apa mengenai kehendak bebas. Pemberontakan Adam itu sesungguhnya dilakukan secara sukarela, bukan karena Allah memberinya kehendak bebas, tetapi karena Adam ingin menjadi seperti Allah, dengan melanggar perjanjian Allah. Paham ini bertujuan membela Allah dari tanggung jawab adanya dosa dan dari gambaran seorang monarkh yang lalim, tetapi kenyataannya justru berkebalikan. Paham ini mendiskreditkan kedaulatan Allah habis-habisan dan Allah didudukkan di kursi pesakitan di ruang pengadilan (kata C. S. Lewis).

Tata Harmoni yang Sungsang

Pola narator menuturkan dampak kejatuhan sangat menarik. Urutan interogasi demikian: Allah berbicara kepada laki-laki lalu perempuan. Allah tidak menanyai ular. Sedangkan urutan hukuman itu adalah ular, perempuan dan kemudian laki-laki. Perhatikan akibat yang ditimbulkan oleh dosa:

Pertama, manusia terasing dari Allah: problem teologis. Allah bertanya, “Di manakah engkau?” Bukan karena Allah tidak tahu. Inilah pertanyaan retorik yang biasa dipakai dalam puisi (mis. Yes. 36.19; Mzm. 42.4, 11). Sang Hakim alam semesta memanggil manusia dan menuntut pertanggungjawaban tindakannya. Narator mencoba memotret Adam dan Hawa yang kucing-kucingan dan bertingkah kekanak-kanakan dengan mengajak Allah bermain petak umpet. Sama seperti orangtua yang bertanya, “Di mana kamu, Nak?” kepada anaknya ketika bermain, Allah pun betindak sama. Jawaban Adam kepada Allah menunjukkan bahwa mereka mengerti pertanyaan tersebut merupakan undangan untuk menampakkan diri dan menjelaskan kelakuan mereka.

Adam berucap, tetapi tidak menjawab pertanyaan Allah. Ia malahan mengalihkan ke topik lain. “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada di dalam taman . . . .” Frase “aku mendengar” dalam ungkapan bahasa Ibrani berarti “patuh kepada Allah.” Di sini, frase ini justru menelanjangi pelanggaran moyang kita. Sebab mereka mengucapkannya dengan bersembunyi, dan mengelak dari tanggung jawab. Adam tidak patuh kepada Allah, itulah kegagalannya. Maka manusia pun terputus hubungannya dengan Allah.

Kedua, manusia terasing dari sesamanya: problem sosiologis. Adam berusaha membenarkan diri sendiri dan menyalahkan istrinya. Inilah titik fatal dosa. Bukan hanya terpisah dari Penciptanya, manusia melawan kekasihnya. Bukankah daftar kecemaran di atas selalu diarahkan kepada sesama kita? Perhatikan juga hukuman atas Hawa, “Engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (ay. 16). “Birahi” ternyata bukan hanya berarti berhasrat seksual, tetapi juga berhasrat untuk memisahkan diri, atau godaan menjadi rival dan menyingkirkan sesama. Perhatikan juga 4.7, di mana dosa “menggoda” Kain untuk membunuh Habel. “Berkuasa” di sini menunjukkan arti tindakan perendahan yang eksploitatif, bahkan tak jarang perempuan pun menyerahkan diri untuk diperlakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh laki-laki. Bila pada zaman ini kita melihat begitu banyak orang yang melakukan penghisapan, penindasan, penyingkiran, pemusnahan terhadap sesamanya, hal ini semata-mata menelanjangi kengerian yang ditimbulkan oleh dosa.

Ketiga, manusia terasing dari alam dan makhluk lain: problem ekologis. Hawa pun mengelak dari tanggung jawab, dan menyalahkan ular. Kedamaian antara manusia dan makhluk pun terkoyak. Bahkan terjadi peperangan antara manusia dan alam. Binatang yang diberi nama oleh Adam, kini berbalik melawannya. Tanah yang darinya Adam hidup (2.5, 7) dan mengusahakan taman (2.15) dikutuk oleh Allah. Dengan berpeluh Adam, sebagai kepala keluarga, menghidupi keluarga seumur hidupnya, bahkan hasil kerjanya mengecewakan, penuh dengan “semak duri dan rumput duri.” Manusia yang menjadi musuh ekosistem dan sebaliknya, ekosistem tidak mendukung perikehidupan manusia merupakan perwujudan yang jelas dari penghukuman tersebut.

Keempat, manusia terasing dari dirinya sendiri: problem psikologis. Adam berkata, “Aku takut sebab aku telanjang, sebab itu aku bersembunyi.” Masalahnya adalah, mengapa ketelanjangan kini membuat mereka harus bersembunyi, padahal di 2.15 baik laki-laki dan perempuan itu telanjang? Suatu pengenalan terhadap konsep diri yang independen dari Allah justru membuat manusia bersembunyi. Tak perlu kita heran bahwa banyak ahli psikologi dari berbagai mazhab dan aliran yang akhir hidupnya justru sangat tragis: bunuh diri atau tidak waras lagi.

Betapa ngeri akibat dosa! Benih dosa—yaitu ingin menjadi seperti Allah—telah mencampakkan manusia jauh dari semua yang ada di sekitarnya. Tetapi tunggu dulu, bukankah hingga detik ini manusia terus berupaya untuk memperbaiki kehidupan, mengembangkan ilmu-ilmu alam maupun sosial yang canggih? Semua cabang keilmuan berkembang luar biasa. Bermunculan pula klab-klab pecinta alam semacam Green Peace yang berjuang untuk melestarikan ciptaan dan mempromosikan perbaikan ekosistem. Kita melihat titik-titik perbaikan wajah bumi kita, dan banyak orang yang menggelutinya bukan orang Kristen. Ya, sungguh benar! kita tidak boleh naif. Dari sudut pandang Alkitab, inilah bukti nyata bahwa Allah dalam karya penyelenggaraan ilahi-Nya meredam penyebaran dosa dan perusakan alam melalui “anugerah bersama” (common grace), sehingga kerusakan total pada diri manusia jangan sampai dipahami bahwa manusia telah menjadi bobrok sejadi-jadinya. Puji Tuhan!

Bila demikian, pasca-kejatuhan menyibakkan kebenaran yang melawan paham kehendak bebas manusia berdosa. Ternyata, kehendak manusia yang cemar dan terbelenggu tersebut tetap dalam pengawasan Allah juga. Sekali lagi, manusia tidak bebas di hadapan Allah! Kalau benar manusia tetap menepuk dada dengan mengaku mempunyai hak atau kebebasan, maka yang terjadi adalah pemusnahan bumi.

Waspadalah! Waspadalah!

Berapa jarak waktu antara penciptaan dan kejatuhan? Dalam literatur Rabinik Yahudi tertulis, “Adam yang diciptakan dalam kemuliaan, tidak tahan tinggal semalam saja.” Berarti, moyang kita pertama sesungguhnya tak pernah menghabiskan satu malam pun di Firdaus. Dalam statusnya yang terhormat, Adam dan Hawa dengan cepat merenggut jubah ketidakberdosaan serta mengoyakkan kemuliaan Firdaus. Bila kejatuhan itu menimpa Adam yang dicipta dalam keadaan mampu tidak berdosa, lebih-lebih rentan kita, anak-cucu Adam, yang mewarisi lagak-lagu-nya Adam-Hawa dan yang hidup dalam natur tidak dapat tidak berbuat dosa. Sungguh ngerilah dampak kejatuhan itu. Manusia mau menjadi seperti Allah, ternyata dihinakan oleh Allah!

Berhasrat bebas adalah kunci kejatuhan. Adam dan Hawa jatuh karena berusaha bebas dari Allah. Sadarilah, betapa berbahayanya mengajarkan kehendak bebas kepada jemaat. Sebab tak satu pun di antara manusia berdosa yang memiliki kehendak bebas. Tidak ada seorang pun yang memiliki kehendak netral. Kehendak manusia telah berkiblat kepada dosa. Kehendaknya telah dipenjara oleh kecenderungan-kecenderungan untuk selalu memberontak kepada Allah sejak dari kecil. Maka, Allah haruslah Allah yang berdaulat mutlak dan manusia menundukkan diri di bawah pemerintahan Allah, atau . . . Dia itu bukan Allah sama sekali! Adakah alternatif ketiga?

Pertanyaan-pertanyaan refleksi dan diskusi:

1. Benarkah Allah memberikan pilihan-pilihan kepada Adam? Apakah kejatuhan manusia dikarenakan kehendak bebas untuk memilih satu dari sekian banyak pilihan?
2. Sebagai keturunan Adam-Hawa, apakah kita memiliki kehendak bebas yang netral untuk membuat keputusan tanpa kecenderungan apa pun?
3. Apakah pemerintahan Allah bersifat demokratis, yang dapat disejajarkan dengan presiden Republik Indonesia yang memerintah sebuah negara yang demokratis?
4. Renungkan: dalam hal-hal konkret yang Anda amati di lingkungan sekitar, apa saja bukti retaknya hubungan antara manusia dan Allah? Apa pula bukti retaknya hubungan antara manusia dan sesamanya? Kemukakan juga bukti retaknya hubungan antara manusia dan alam/makhluk.
5. Menyadari dahsyatnya dosa terhadap hidup manusia, apa tekad Anda saat ini?

TERPUJILAH ALLAH!



[1]Keliru! Sebab “demokrasi” itu berarti pemerintahan oleh rakyat. Apakah keputusan dan ketetapan Allah sebagai Raja semesta ditentukan oleh suara rakyat?
[2]Ingat, perjanjian itu bukan permufakatan antara dua pihak setara yang teken kontrak! Allah tidak meminta persetujuan manusia untuk mengikatkan diri-Nya dalam sebuah perjanjian kerja. Bukan hanya penetapan larangan bagi manusia untuk memakan buah (2.7), tetapi kalau kita perhatikan sejak semula, Allah langsung menempatkan manusia di dalam taman (2.15). Allah tidak membuat manusia memilih, bukan? Tersirat pun tidak. Perhatikan 3 masculine singular imperfect qal “mengambil” dan 3 masculine singular imperfect hiphil “menempatkan atau mengistirahatkan.” Tindakan Allah ini, bila hendak ditinjau oleh para pemeluk paham kehendak bebas secara konsisten, seharusnya merupakan pemerkosaan terhadap kebebasan manusia pula. Allah tidak “demokratis”!

No comments:

Post a Comment