Monday, October 30, 2006

MARKUS 101: Pengantar (3)

MARKUS 101: BERKENALAN DENGAN INJIL MARKUS (III)


TAMPILAN MARKUS

Markus adalah Injil terpendek. Tersusun dari sekitar 11.000 kata, dan memiliki 665 ayat. Bahasa Yunani yang dipakai cukup primitif, yaitu bahasa Yunani yang sederhana, yang ditulis oleh seseorang yang nampaknya berbicara bukan dalam bahasa Yunani. Faktanya, bahasa sang penulis adalah Aramaik, yaitu dialek khas bahasa Ibrani yang populer pada zaman Yesus, yang banyak dipakai orang-orang sezaman-Nya. Dan, masih digunakan pula hingga hari ini. Struktur tata bahasa Markus adalah Aramaik, dan mirip dengan bahasa Ibrani dalam banyak hal.


BIOGRAFI YESUS

Jadi, Injil Markus itu apa? Para ahli akhir-akhir ini menemukan persamaan antara Injil ini dengan biografi-biografi Greko (Yunani) dan Romawi. Biografi kuno biasanya dibuka dengan mengatakan sesuatu tentang si subjek dan asal-muasalnya. Kata-kata pertama sering dimulai dengan nama si subjek, dan kadang-kadang sebuah komentar singkat tentang keluarga, nenek moyangnya atau kota asalnya.

Berbeda dengan biografi modern, biografi kuno tidak terlalu menaruh minat kepada masalah kelahiran, keakuratan masa kanak-kanak, latar belakang pendidikan, psikologi perkembangan si subjek. Penceritaan kisah hidup si subjek biasanya langsung menuju kepada masa dewasa tokoh dan perannya di hadapan publik.

Coba perhatikan dengan pembukaan Markus, yang tajam langsung dengan berita, “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah” (Mrk. 1.1). Siapakah orang ini dan bagaimana latar belakangnya? Kita tidak tahu, atau lebih tepat, kita tidak diberi tahu. Markus hanya memberi kita nama tokoh, yaitu Yesus, dan gelar-Nya, “Kristus” (bahasa Yunani) atau Mesias (akar kata Ibrani). Yesus inilah “Yang diurapi.” Beberapa naskah salinan kuno tidak mencantumkan gelar tersebut, sehingga ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa edisi pertama Markus hanya mencantumkan “Yesus.”

Baiklah, kita mulai saja dengan kata “Yesus.” Dan, kita kemudian melihat banyak hal yang janggal. Tidak ada berita kelahiran, tidak disebutkan kisah dramatis di Betlehem, tidak ada daftar nenek moyang Daud. Markus dengan sengaja membatasi data dan langsung ke sasaran. Tak ada banyak waktu untuk menguraikan pendahuluan yang seperti itu. Yesus mulai tampil sebagai seorang dewasa, dalam usia yang kita tidak ketahui, berasal dari Nasaret dan dibaptis oleh Yohanes di Sungai Yordan (1.9).


SIAPA ORANG INI?

Yesus adalah seorang pembuat mukjizat. Tetapi Ia benar-benar misterius! Ia menyembuhkan orang tetapi memberi tahu mereka jangan berbicara apa pun mengenai diri-Nya. Ia adalah nabi era eskatologis, nabi akhir zaman, tetapi sangat membingungkan pendengar karena Ia pun berkata bahwa masa akhir itu akan segera tiba. Ia adalah Mesias, atau Kristus, tetapi ketika orang mengenali-Nya, Ia berkata kepada Petrus untuk tidak mengatakan apa-apa kepada banyak orang. Ia dikatakan sebagai “Anak Allah,” tetapi ketika Ia berbicara tentang diri-Nya sendiri, Ia lebih senang dengan sebutan “Anak Manusia.” Ia mau pergi ke Yerusalem, tetapi sesungguhnya bukan untuk mendepak orang-orang Romawi dan untuk mewujudkan Kerajaan Allah dengan kuasa militer, tetapi untuk menderita dan dibunuh! Ketika murid-murid-Nya menyadari hal itu, mereka berkata, “Tidak, itu tidak boleh terjadi!” Sungguh misterius! Sungguh pribadi yang paradoksal!

Ia tiba di Yerusalem (ps. 11), dengan suatu tindakan demonstratif dilakukan-Nya. Yesus menunggangbalikkan pranata Bait Suci, yang seharusnya menjadi pusara doa, namun telah menjadi lokasi jual beli (11.15-19). Peristiwa ini memiliki makna khusus tatkala Yesus mengisahkan perumpamaan tentang kebun anggur. Kebun anggur yang tidak berbuah, ketika sang tuan datang (12.1-11), dan Yesus pun pergi ke sebuah pohon ara dengan harapan menemukan buah di sana. Tetapi tak satu pun buah menempel di pohon itu. Semua benda ini—anggur, ara dan Bait Suci—merupakan simbol yang digambarkan dalam Alkitab Ibrani (PL) untuk Israel, umat Allah. Sehingga, tidak adanya buah anggur, atau buah ara, atau doa-doa dalam Bait Suci, hal ini menjadi tanda: “Allah sedang datang kepada umat-Nya, siapkah engkau? Jika tidak, akan terjadi penghancurleburan!” DI Markus 13 Yesus menubuatkan kehancuran Bait Suci, dan hal ini terjadi sungguh bertahun-tahun kemudian, pada tahun 70 M.

Cobalah melompat ke pasal 16, penuh misteri, perasaan takut dan gentar. Yesus yang semula aktif berbicara, kemudian dibungkam dan disalibkan, mati (ps. 14-15). Kini telah bangkit, dan malaikat-malaikat menitahkan perempuan-perempuan yang menilik kubur-Nya agar berita itu untuk disampai kepada murid-murid-Nya, dan bahwa Ia akan mendahului mereka ke Galilea. Tetapi mereka ini diam sama. Mereka takut (16.8).

Sebuah kisah yang mengambang, namun mencekam perasaan! Kita tidak diberi tahu apakah kemudian para murid mengikut Yesus sampai di Galilea. Namun satu hal, Yesus di dalam Markus adalah pribadi yang misterius. Enigmatik. Ia yang diutus oleh Allah, terus menerus disalahpahami, bahkan oleh orang-orang yang mengikut-Nya. Nampaknya, apakah Markus akan diakhiri dengan kegamangan, atau pemuridan radikal—Nachfolge, mengikut Yesus dengan setia berapa pun harganya—hanya bisa dijawab oleh para pembacanya. Dan kini, oleh Anda dan saya!

Penggalian Alkitab


1. Tunjukkanlah data bahwa Markus adalah seorang Yahudi berbahasa Aramaik.



2. Terangkan bahwa Markus adalah sebuah biografi Yesus, dan apa bedanya dengan biografi modern?



3. Menurut Anda, mengapa Yesus tampil sebagai pribadi yang misterius dalam Injil Markus ini?



4. Anda telah membaca Injil ini sampai akhir; menurut Anda, siapakah Yesus itu?






Doa

Ajarkan kepadaku perintah-perintah-Mu, dan berikan aku
rahmat dan anugerah untuk mengerjakannya.
Ya Tuhan, sesungguhya aku tak mampu. Amin


(leNin_Oct3106)

MARKUS 101: Pengantar (2)

MARKUS 101: BERKENALAN DENGAN INJIL MARKUS (II)



NOVEL TIGA BABAK

Setelah sebuah prolog yang menampilkan latar belakang, kisah cerita Markus terbagi dalam tiga babak, yang masing-masing dilatari oleh suatu seting geografis yang berbeda:

1.1-13 Prolog (seting di “padang belantara”)
1.14—8.21 BABAK I: Galilea
8.22—10.52 BABAK II: Menuju ke Yerusalem
11.1—16.8 BABAK III: Yerusalem

Lokasi geografis yang berbeda dari ketiga babak menandai alur penceritaan yang menuju kepada klimaksnya di Yerusalem. Namun lebih daripada sekadar pembagian tiga babak, kisah tuturan Markus bergerak melalui tiga fase yang berbeda, baik mengenai karakteristik pelayanan Yesus dan cara orang menanggapi pelayanan itu; sementara seting geografis menggarisbawahi, bahkan merupakan tanda, bahwa alur ini sedang menuju ke puncaknya.


GALILEA DAN YERUSALEM

Hanya sedikit pembaca Perjanjian Baru yang menyadari bahwa Palestina pada abad pertama itu bukanlah satu kesatuan yang sederhana. Galilea, sebagai tempat kebanyakan pelayanan Yesus, sangat berbeda dari Yudea (dan ibukotanya, Yerusalem). Di antara keduanya terdapat wilayah “najis” yaitu Samaria. Suasana sudah sangat berbeda ketimbang 1000 tahun sebelumnya, pada masa dinasti Daud dan Salomo, ketika Israel masih bersatu. Sistem-sistem politik yang berbeda-beda menguasai mereka (dan pada zaman Yesus, Pontius Pilatus merupakan gubernur Yudea, Herodes Antipas adalah raja “Yahudi”di Galilea).

Galilea dalam hampir seluruh sejarahnya cenderung berada di bawah kekuasaan orang asing. Nabi Yesaya pernah menyebutnya sebagai “[Galilea] wilayah bangsa-bangsa.” Oleh orang-orang Yahudi di Yudea, keyahudian orang-orang di wilayah Galilea sangat diragukan, baik dalam ras maupun keyakinan mereka terhadap agama Yahudi. Galilea mempunyai dialeknya sendiri, yaitu Aramaik, dan seorang Yahudi dari Yerusalem akan dianggap orang asing bila singgah di Galilea.

Cobalah Anda yang berasal dari Pulau Jawa, sesekali singgah di Bali. Dialek, cara berpakaian, etiket dan pranata masyarakat sudah jauh berbeda. Ataupun Anda yang berasal dari Papua bila suatu kali singgah di Pulau Kalimantan dan tinggal bersama suku Dayak. Anda akan mengalami keterasingan yang serupa.


PLOT

Yesus adalah seorang dari Galilea, dan di Galilealah pelayanan Yesus mendapatkan sambutan yang hangat dari khalayak. Babak I mengetengahkan “kesuksesan” Yesus, mengambil latar di Galilea; Yesus berada di antara kaum bangsa-Nya sendiri. Memang, ada sejumlah orang yang ragu-ragu, dan tak kurang tampil musuh-musuh di sekitar pelayanan Yesus. Tetapi paling tidak dua kali Markus memberikan indikasi bahwa musuh-musuh ini datang “dari Yerusalem” (3.22; 7.1).

Babak III dimulai dengan kedatangan Yesus, untuk pertama kalinya dalam narasi Markus. Ia seorang asing! Sangat bertolak belakang dengan Babak I, jauh dari murid-murid-Nya yang berasal dari Galilea yang mengantar Yesus sampai ke Yerusalem dan menyorakkan soraian kemenangan tatkala masuk ke kota raja, pemandangan keseluruhan dinaungi dengan kegelapan dan konfrontasi yang bertubi-tubi, yang pada akhirnya mengantar Yesus sampai kepada kematian di tangan otorita kota raja. Kegelapan disingkirkan dengan berita kebangkitan, hanya saja diberitakan di sana bahwa Tuhan yang bangkit akan menjumpai murid-murid-Nya di Galilea, dan bukan di Yerusalem (14.28; 16.7).

Di antara dua latar yang bertolak belakang ini, Babak II menjadi jembatan dalam dua cara. Pertama, kisah ini disisipi dengan prediksi Yesus mengenai takdir yang menanti-Nya di Yerusalem (8.31; 9.31; 10.33-34), sehingga bayang-bayang salib sekarang menjadi awan gelap yang menyelubungi kisah ini, dan keputusan Yesus untuk berjalan menuju Selatan merupakan perjalanan menuju kematian. Kedua, fokus pelayanan-Nya kini bergerak dari berkhotbah dan membuat tanda-tanda di hadapan banyak orang kepada pengajaran yang lebih personal kepada murid-murid-Nya. Ia mempersiapkan mereka tentang apa yang akan terjadi di hadapan mereka, dan dengan sabar mengajar mereka kembali dari impian-impian kemuliaan yang semu kepada penerimaan jalan salib, dan keseluruhan nilai-nilai yang tersirat di balik itu.


YESUS YANG MANUSIAWI

Markus hendak mengetengahkan Yesus sebagai manusia sejati! Ia hadir dalam dimensi sejarah yang tercerai-berai, di dalam masyarakat yang terkotak-kotak, dan bagaimana Ia menyadari tugas-Nya untuk menantang dan menghancurleburkan impian-impian kosong manusia. Kerajaan Allah tidak berkerja seperti kerajaan dunia ini. Kerajaan Allah adalah suatu realitas di mana yang pertama menjadi yang terakhir, dan yang terakhir menjadi yang pertama; di mana yang disebut keagungan adalah kesederhanaan, dan di mana jalan kematian adalah jalan kehidupan. Sebuah drama yang mengesankan! Adakah bandingannya?



Penggalian Alkitab

1. Ingat baik-baik pembabakan Injil Markus. Dengan bahasa Anda sendiri, kemukakan alasan mengapa Markus membagi kisahnya dalam tiga babak?



2. Apakah perbedaan Galilea dan Yerusalem pada zaman Yesus?



3. Terangkan kaitan seting geografis dengan plot perjalanan Yesus!



4. Bagaimana potret Yesus yang Anda jumpai dalam Injil Markus?






Doa

Bukalah mataku, Tuhan, sehingga aku dapat memandang Yesus.
Sebagaimana firman-Mu sendiri, “Singkapkanlah mataku,
supaya aku dapat memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu.”
(Mzm. 119.18).


(leNin_Oct3006)

MARKUS 101: Pengantar (1)

MARKUS 101: BERKENALAN DENGAN INJIL MARKUS (I)



MEMBACA MARKUS, SEKALI LAGI!

Anda pernah membaca Injil Markus? Tentu sudah, bukan? Semuanya? Ada yang berkata “Ya” tetapi ada pula yang menjawab, “Belum.” Baik. Mari, ambillah Alkitab Anda dan baca Injil ini sekali lagi. Sekarang, cobalah membaca Markus dengan strategi lain. Pertama, sediakanlah waktu sekitar satu jam tiga puluh menit atau dua jam, dan bacalah Injil ini sekaligus, dari awal sampai akhir.

Kedua, jangan cepat-cepat berusaha mendapatkan “ayat mas” ataupun kalimat-kalimat indah yang Anda jumpai sepanjang pembacaan; kiranya Anda juga tidak cepat-cepat menarik teladan-teladan moral dari tindakan dan perkataan Yesus, maupun kebenaran-kebenaran doktriner yang sifatnya kekal. Nikmati saja alur penceritaannya.

Ketiga, bila Anda membaca versi terbitan LAI Terjemahan Baru, bayangkan Injil ini tidak memiliki pasal, ayat dan judul-judul. Mungkin, biarkan saja paragraf-paragraf yang ada. Nah, apa yang akan Anda temukan ketika membaca? Suatu kisah perjalanan kehidupan Yesus. Anda seperti sedang membaca novel! Seperti itulah Injil Markus—dan injil-injil lainnya—sesungguhnya dimaksudkan.

Sekarang bayangkan bahwa Anda sedang berada bersama-sama dengan jemaat abad pertama Masehi. Sebagian besar hadirin buta huruf! Sebagian lagi tidak mendapatkan salinan Injil Markus dalam sebuah gulungan untuk mereka baca di rumah. Anda mempunyainya, sebab Anda adalah seorang tokoh dalam persekutuan itu! Anda diminta untuk membacakannya dengan keras untuk semua yang hadir, dari permulaan hingga akhirnya. Ya, semua kitab dalam Perjanjian Baru memang ditujukan untuk dibaca dalam satu sesi pertemuan jemaat.

Cobalah membayangkan, bagaimana ekspresi orang-orang di sekitar Anda tatkala mendengarkan isi Injil ini. Oh, mereka mendengarkan dengan serius. Saksama. Penuh perhatian. Beberapa di antara mereka menitikkan air mata. Terharu. Bahagia. Sungguh suatu pengalaman yang tak terlupakan.


MARKUS SANG PENCERITA

Mengapa Anda perlu membaca Markus dalam satu sesi pembacaan? Anda akan melihat dengan sangat jelas, betapa Markus merupakan sebuah narasi yang ditulis dengan baik. Jalinan-jalinan alur yang sinambung, ketegangan-ketegangan di sana sini yang dikembangkan dengan terampil; tak kalah Markus dibandingkan dengan penulis-penulis drama ternama!

Sang penulis tentulah seorang komunikator yang populer dan handal. Gaya tulisnya langsung tepat ke sasaran dan padat bila dibandingan injil-injil lainnya. Pemandangan yang ditampilkan juga lebih hidup. Injil yang ditulis lebih pendek daripada injil-injil lainnya bukan karena ia mau menulis dengan singkat. Ia sengaja membatasi materi yang dipakainya. Ia tahu benar bahwa Yesus adalah seorang guru, tetapi ia meminimalkan ajaran-ajaran-Nya, dibandingkan dengan injil-injil lainnya. Ia menulis dengan bersemangat tentang kerumunan orang di sekitar Yesus yang mau tahu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan, serta konfrontasi dengan musuh-musuh-Nya, baik manusia maupun kuasa jahat. Ia membiarkan kita merasakan daya pengaruh Yesus kepada murid-muridnya yang sering kali bimbang. Dengan jalan ini, kita sedang berbagi pengalaman dengan mereka yang kebingungan karena dunia mereka dijungkirbalikkan oleh nilai-nilai yang diwartakan oleh Sang Revolusioner mengenai Kerajaan Allah. Di hadapan kita, tampil suatu paradoks! Ternyata Ia adalah Mesias yang ditolak dan teraniaya, Sang Anak Allah yang disalah mengerti dan disiksa oleh umat Allah!

Sangat, sangat menyentuh! Alur yang kian maju tanpa henti—dan nampaknya kita tidak diberi waktu untuk menghela napas barang sedikit saja—menuju suatu panorama peristiwa di Yerusalem pada suatu Paskah di tahun 30-an. Di suatu sudut kecil kota raja, terjadilah sebuah klimaks babak mahadaya Allah yang dampaknya menjangkau seluruh ciptaan!

Cobalah pandangi lagi jemaat abad pertama yang tengah mendengarkan Anda membaca Injil ini. Ini kisah baru bagi mereka. Kisah yang dekat. Belum lama berselang terjadinya. Bagaimana mungkin mereka tidak terbawa dalam suasana haru biru, emosi yang mencekam, ketika mereka diajak kembali ke tempat Yesus berjalan, menampilkan tanda-tanda ajaib dan akhirnya dinaikkan ke atas salib dan kemudian dibangkitkan? (Ketika Anda melakukan ini, Anda akan berada di tempat yang lebih baik untuk memahami Injil ini dengan wajar dan akurat).


SIAPAKAH MARKUS?

Kita tidak tahu secara persis! Sejak dini, tradisi yang kita terima dari para leluhur Kekristenan, Injil ini ditulis oleh Yohanes Markus (Kis. 12.12), yang di kemudian hari menjadi kolega Paulus (Kis. 12.25; Kol. 4.10; 2Tim. 4.11) dan juga Petrus (1Ptr. 5.13), dan sebagai asisten Petruslah maka Markus akhirnya memutuskan untuk mencatat kisah-kisah mengenai Yesus, sebagaimana dituturkan oleh Petrus di usia lanjutnya di Roma.

Entah Markus menulisnya ketika Petrus masih hidup, atau setelah Petrus mangkat, yang mungkin adalah sekitar 64–65 M. Dalam pada itu, kita tetap dapat menangkap gema antusiasme dalam Injil yang padat ini akan adanya suatu penceritaan dari seorang saksi mata tentang adanya Satu Manusia yang telah mengubah cara hidupnya yang biasa-biasa saja menjadi luar biasa! Dari hidup sebagai pemuda desa menjadi juru bicara Allah. Yesus itulah Mesias Israel.


Penggalian Alkitab

1. Mengapa kita tidak boleh cepat-cepat mencari ayat emas dari Injil Markus? Mengapa pula kita perlu membayangkan Markus tanpa pasal, ayat dan judul?



2. Apa pentingnya bagi jemaat bahwa Markus dituliskan dalam sebuah gulungan?



3. Dari tradisi Kristiani, siapakah penulis Injil Markus? Apa hubungannya dengan para rasul?



4. Apa manfaat Markus untuk pembaca zaman sekarang?





Doa

Terima kasih, ya Bapa, untuk Injil Markus yang menyegarkan,
dan yang membangkitkan gairahku untuk kembali membaca
dan menggalinya seperti maksud mula-mula. Agar aku memandang
Yesus yang sejati, dan berjumpa dengan Dia, sehingga hidupku pun
diubahkan dengan jamahan kuasa kebangkitan-Nya. Amin.


(leNin_Oct3006)

Tunas di Pembuangan

TUNAS PENGHARAPAN DI PEMBUANGAN




YA ALLAH! APA YANG DAPAT ENGKAU KATAKAN?

Bagaimana kita menghayati pengharapan di tengah-tengah kepedihan? Sebuah doa anggitan (gubahan) seorang Tamil menjadi cermin bagi kita.


Apa yang Hendak Engkau Katakan, ya Allah?
Beritahu kami, ya Tuhan, apa yang ada di pikiran-Mu

Dekade-dekade kehidupan untuk kebun teh kami telah beri
Dekade-dekade ke depan kami curahkan kini;
Tahun-tahun ini kami perjuangkan hak-hak kami,
Namun jerih lelah ini membawa kehampaan bagi kami
Tentang semua ini, apa yang Engkau katakan?
Beritahu kami, Tuhan, apa yang Engkau pikirkan?

Bak barang-barang impor kami dibawa ke dermaga-dermaga ini,
Bak barang-barang tiada nilai kami kini kembali;
Namun bagi kemakmuran tanah ini peluh tercurah dari pori-pori kami,
Kini tanpa hak kami berkumpul di kamp-kamp.
Melihat ini, apa yang Engkau katakan, ya Allah?

Mereka membujuk kami dengan janji kehidupan baru
Namun semua yang kami lihat adalah kubur;
Semua pengharapan kami musnah sudah, simpanan uang habis ---
Dan hidup menjadi kesia-siaan.
Kini, apa yang dapat Engkau katakan, ya Allah?
Beritahu kami, Tuhan, apa yang telah Engkau rancangkan!
(P. Mookan)[1]


Kata-kata yang terlahir dari kepedihan jiwa dan hidup yang menderita. Bangsa Tamil di Sri Langka akrab dengan konflik-konflik ras. Kerja keras bertahun-tahun hanya bermuara pada tragedi. Pengharapan dan impian telah menjadi keping-keping yang berserakan. Sebuah doa dalam keadaan seperti ini? Ah, pastilah doa yang penuh keputusaan, bahkan bisa jadi permohonan untuk mengakhiri hidup yang nelangsa.

Tapi bukan! Bukan doa keputusasaan. Bukan permohonan untuk menghentikan semua ratap tangis yang akan segera menyusul. Sang pekerja perkebunan Tamil mencari sinar terang pengharapan dari Allah yang menebus. Allah itulah yang sanggup memelihara. Allah yang hidup, Allah yang mendengar dan menyelamatkan. Pengenalan yang dewasa akan Allah bisa terbit dari pergulatan iman pribadi dalam suatu konteks komunitas yang sedang bergumul dengan penderitaan.


MASIH TERBUANG!

Marilah kita tempatkan kisah hidup kita di dalam kisah hidup Yesus sang Mesias dan orang-orang sezaman-Nya. Bila mereka ditanya, “Di manakah kalian?” Mereka akan menjawab, “Kami masih di pembuangan.” Israel memang sudah kembali dari pembuangan Babel, namun warta agung yang diberitakan oleh para nabi belum sepenuhnya tergenapi. Israel masih tetap tercampak di bawah kuasa kafir, mesias belum hadir, dan yang lebih parah Allah Israel belum kembali ke Gunung Sion. Pada zaman Yesus, tidak ada satu pun tulisan yang dapat disejajarkan dengan 1 Raja-raja 8:10-11, “Ketika imam-imam keluar dari tempat kudus, datanglah awan memenuhi rumah TUHAN, . . . sebab kemuliaan TUHAN memenuhi rumah TUHAN.” Raja Salomo mendirikan bangunan yang megah di atas Gunung Sion, dan shekinah, yaitu kehadiran YHWH yang agung mulia, mendiami Bait itu.

Shekinah Allah ternyata tidak terus-menerus hadir. Shekinah itu pernah meninggalkan Bait-Nya. Yehezkiel 10:4 menyatakan, “kemuliaan TUHAN naik dari atas kerub dan pergi ke atas ambang pintu Bait Suci” dan semakin trenyuh kita membaca ayat 18, “kemuliaan TUHAN pergi dari ambang pintu Bait Suci dan hinggap di atas kerub-kerub.” Hukuman demi hukuman pun datang bertubi-tubi, sampai akhirnya umat Allah diangkut ke Babel. 587 SM Yerusalem jatuh ke tangan musuh! Tuhan telah membiarkan umat-Nya terbuang. Sesungguhnya, Yerusalem dan Yehuda demikian membuat Allah murka sehingga Ia mencampakkan mereka dari hadapan-Nya (bdk. 2Raj. 24:20). Bukankah dengan perkataan lain, Allah tidak hanya mengizinkan, tetapi membuang umat-Nya? Apabila umat Allah memang kedapatan berdosa, bukankah kasih sayang itu Allah tunjukkan dengan disiplin yang tegas, bahkan terkadang menyakitkan?

Pengharapan Israel justru tumbuh di masa pembuangan. Mereka bersandar pada janji Allah sendiri. Dalam Yehezkiel 43:1-2, kemuliaan TUHAN kembali ke dalam Bait Suci-Nya. Demikian pula dalam Yesaya 52:8, “. . . [S]ebab dengan kasat mata mereka melihat kembalinya YHWH ke Sion” (terjemahan bebas).

Namun yang sangat mengherankan, meskipun mereka sudah kembali dari pembuangan oleh sebab dekrit Raja Koresh (538 SM), namun toh mereka belum merasa bahwa pembuangan sudah berlalu. Dalam doa para Lewi seusai tembok Yerusalem dan Bait Allah kedua dibangun kembali, dinyatakan, “Inilah kami, budak-budak sampai sekarang—budak-budak di tanah yang Engkau dulu berikan kepada nenek moyang kami . . . Hasilnya yang melimpah diserahkan bagi raja-raja yang Engkau telah tetapkan (set over) atas kami oleh karena dosa-dosa kami. Mereka berkuasa atas tubuh kami dan atas ternak-ternak kami dengan sekehendak hati mereka, dan kami dalam kesesakan besar” (Neh. 9:36-37; terjemahan bebas). Bahkan jauh setelah itu, beberapa tulisan bahkan menyebut peristiwa kembalinya mereka dari pembuangan itu sebagai buah sulung dari peristiwa yang sama pada masa yang akan datang (lih. kitab deuterokanonika Tobit 15:6-7 dan 2Makabe 1:27-29). Umat Allah juga kembali akan mengecap pembuangan.

Maka, meskipun Israel secara geografis telah kembali ke tanah perjanjian, kondisi terbuang itu masih belum sepenuhnya hilang tuntas. Janji-janji itu belum terpenuhi. Bait Allah belum sempurna dibangun. Mesias belum datang. Orang kafir belum ditundukkan, belum juga mereka pergi berziarah ke Sion untuk belajar Taurat. Israel masih berkompromi dan hidup bergelimang dosa.


SUDAH DEKAT

Era Bait Allah kedua (pasca pembuangan s.d. 70 M) dengan demikian masih dianggap sebagai “masa murka.” Mereka sama sekali tidak menganggap hal ini sebagai problem psikis belaka. Namun demikian, tak seorang pun orang Yahudi yang bahwa Allah Israel akan membiarkan umat-Nya selamanya berada di bawah penindas-penindas kafir. Janji pembebasan di atas tetap ya dan amin. Bila Allah berbuat ini, maka benarlah tuduhan bangsa-bangsa bahwa Allah Israel tak lebih dari suatu allah primordial, yang sedang bertanding dengan ilah-ilah lain, dan Ia kalah di medan laga. Ini masalah “kesetiaan Allah pada kovenan” (ikatan perjanjian). Di dalamnya terletak tsedaqah Allah Israel, yaitu “kebenaran-keadilan” Allah. Bila Allah Israel benar-benar benar-adil, kapan dan bagaimanakah Ia bertindak untuk menggenapi janji-janji kovenan-Nya?[2] Inilah jawabannya:

(1) Allah Israel benar-benar akan menggenapi kovenan. Pengharapan ini tak pernah dilupakan.[3]
(2) Buah daripadanya adalah peneguhan kembali tatanan ilahi di seluruh dunia.[4]
(3) Kesesakan Israel pada masa kini harus dipahami dalam kerangka kesetiaan kovenan, yaitu sebagai penghukuman oleh karena dosanya.[5]
(4) Allah tidak aktif pada masa kini, dalam arti Ia menunda penggenapan janji-Nya ialah untuk memberi waktu agar semakin banyak orang yang bertobat; jika Ia bertindak sekarang, bukan hanya anak-anak kegelapan tetapi juga sejumlah anak-anak terang akan turut dihancurkan. Sebagai akibat dari penundaan ini, mereka yang tidak bertobat akan “dikeraskan hatinya” sehingga, ketika waktunya tiba, penghukuman mereka akan dipandang adil.[6]
(5) Kewajiban bagi para umat perjanjian adalah bersabar dan setia, menjaga kovenan dengan segenap kekuatan, bersandar kepada Allah untuk bertindak dengan segera dan pada akhirnya membela mereka.[7]

Dua pokok iman berdiri di belakang pemahaman di atas. (1) “Pembenaran” (justification) yaitu penyelamatan umat dan penghukuman para kafir, serta (2) “eskatologi” yaitu bahwa sejarah umat Allah akan bergerak menuju momentum puncak, yaitu masa ketika segala sesuatu diperbarui. Israel menghidupi kisah tersebut. Hanya ada satu Allah, satu Allah yang benar di seluruh dunia, dan masa depan tidak jauh dari sekarang, yang di dalamnya Allah yang benar akan menyatakan diri-Nya, mengalahkan kejahatan dan menolong umat-Nya.
Oleh kisah ini pula muncul kemudian para “pembela Tuhan.” Para pengikut Rabbi Shammai yang dikenal revolusioner dengan antusias mewujudnyatakan pengharapan ini. Semangat bagi Taurat. Mereka tidak akan duduk manis dan pasif menanti. Dalam pandangan mereka, Allah yang benar telah dicemarkan kehormatan-Nya oleh orang-orang kafir. Padahal, kemuliaan-Nya menuntut bahwa para kafir, para penyembah berhala, akan menerima bagian yang layak bagi mereka. Karena itu, Allah perlu menunjukkan keagungan yang melampaui kuasa apa pun. YHWH pasti bertindak. YHWH akan menjadi raja seluruh dunia.

Jika kita hendak melihat gambaran masa kini ke-giat-an bagi Taurat, mari kita menyimak peristiwa Tel Aviv pada 4 November 1995. Yitzak Rabin ditembak oleh Yigal Amir. Siapakah Amir? Ia dilaporkan adalah seorang “mahasiswa hukum.” Nah, jangan kita mengerti sebagai mahasiswa fakultas hukum seperti di negeri kita. Amir adalah seorang yang dididik untuk belajar Taurat. Dalam beberapa laporan yang diliput, ia didukung oleh rabbi-rabbi di Israel dan Amerika. Menurutnya, Rabin adalah seorang pengkhianat. Mengatasnamakan perdamaian, Rabin telah bersiap untuk menjual simbol teragung dari nenek moyang Israel, yaitu tanah perjanjian.

Memahami Amir dalam konteks hidup Yesus, posisi ini sangatlah logis. Ia tidak gila. Ia tahu bahwa ia benar. Ia tahu bahwa ia benar. Seluruh tanah Israel, termasuk Pesisir Barat Sungai Yordan (“Yudea dan Samaria”) adalah milik Israel, sebab demikian yang dinyatakan oleh Taurat. Mereka yang mengkompromikannya, meski sekadar pura-pura, tetap dianggap apikorsim, para pengkhianat. Giat bagi Taurat menurut Amir adalah bertindak sebagai agen Allah, untuk menjauhkan Israel dari penyelewengan, mempertegas kehadiran kerajaan Allah, dan membebaskan Israel dari kuk kekafiran.[8]

Bagaimana caranya? Orang Yahudi sendiri harus menunjukkan bahwa Allah telah meraja dalam kehidupan umat. Allah hadir dan menyatakan diri-Nya dalam Taurat-Nya. Untuk itu, orang Yahudi harus taat kepada Taurat. Ketaatan kepada Taurat ini akan mempercepat penggenapan janji Allah. Supaya Israel patuh kepada Taurat, ia harus dituntun. Atau lebih tegas lagi perlu didesak. Propaganda dijalankan sampai mengambil bentuk-bentuk “kekerasan kudus.” Giat bagi Allah, giat bagi Taurat, serta giat untuk menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi.


WARTA BAIK

Ya . . . , tapi kapan? Tuntaskah kepedihan bila dijawab dengan ke-giat-an bagi Taurat? YHWH akan kembali dan bertahta, umat pun akan kembali dari pembuangan. “Warta baik” (Injil) bagi Israel adalah berita yang telah lama dinanti, berita pembebasan dari penindasan.

Namun, orang-orang Yunani ternyata memiliki pengertian lain tentang “warta baik.” Yaitu berita kemenangan besar, atau kelahiran seorang kaisar. Datangnya seorang kaisar menyatakan janji kedamaian, suatu permulaan yang baru bagi dunia. Dalam sebuah inskripsi dari tahun 9 SM tertulis,

"Pemeliharaan yang menata segenap kehidupan kita, yang menunjukkan perhatian dan antusias, telah menitahkan kesudahan yang paling sempurna bagi hidup manusia, dengan memberikan kepadanya Agustus, dengan memperlengkapi dia dengan keutamaan sebagai seorang pelindung bagi manusia, . . . seorang juruselamat bagi kita dan semua orang yang lahir setelah kita, untuk menghapuskan perang, dan menciptakan tatanan di mana-mana . . . ; hari lahir seorang allah [Agustus] adalah permulaan warta gembira bagi dunia yang telah datang kepada manusia melalui dia."

Kita tidak perlu mempertentangkan keduanya. Sebab, pemberitaan nabi Yesaya (khususnya ps. 40-55), Allah yang naik tahta berarti turun tahtanya ilah-ilah kafir; tentang kejayaan Israel dan dikalahkannya Babel; datangnya Sang Raja-Hamba dan hadirnya kedamaian serta keadilan. Jika dan manakala YHWH menetapkan seseorang menjadi penguasa yang benar, wakil-Nya yang benar di dunia, semua kuasa yang berdiri di balik kerajaan-kerajaan ditentang. Memberitakan YHWH sebagai raja berarti mengumumkan kaisar bukan raja. Kemenangan atas seluruh dunia ada di tangan-Nya.

Kapan? Kiranya perkataan rasul Paulus dalam Roma 1:1-5 menjawab masalah kita,

"Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. . . . tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita . . . ."

Sebuah warta tentang Allah, satu Allah yang benar, Allah yang mengilhami para nabi, termaktub dalam sebuah warta tentang Yesus. Sebuah kisah kehidupan real manusia: hidup, mati dan bangkit. Di dalam Dia ini Allah yang hidup dan benar menjadi raja dunia. Bagi Paulus, inilah kisah Injil, warta baik bagi seluruh dunia.

Bila kita menilik silsilah Yesus dalam Matius 1:1-17, dua kali kata “pembuangan” kita jumpai. Tepat sebagai titik pusat yang memisahkan empat belas keturunan yang mengantar Israel ke pembuangan, dan empat belas keturunan yang mempersiapkan kelahiran sang Mesias. Silsilah ini sangat mungkin bertujuan memaparkan bahwa pembuangan belum berakhir hingga Mesias itu datang. Injil Allah ialah berita mengenai kedatangan Mesias.

Dalam literatur Yahudi pasca PL, tunas yang dari keturunan Daud merupakan berita sentralnya. Umat Allah sedang menanti berlalunya pembuangan, tetapi mereka tetap yakin bahwa “tongkat pemerintahan tidak akan beranjak dari Yehuda sampai ia datang yang berhak atasnya.” Frase “sampai ia datang” (akhri hou elthÄ“) kerap kali dikutip sebelum era Perjanjian Baru sebagai penantian panjang atas penggenapan janji itu. Kita menjumpai penggenapannya di Galatia 3:19, bahwa hukum Taurat ditambahkan oleh karena dosa-dosa umat, sampai datang (akhris hou elthÄ“) keturunan yang dimaksud oleh janji itu.
Di dalam Kristus, YHWH bertindak. Yesus diberi gelar “Tuhan” dan pewaris segala sesuatu. Ia adalah Anak Allah (gelar kerajaan, lih. Mzm. 2 dan 89). Ia adalah satu-satunya yang menundukkan bangsa-bangsa kafir dan di dalam Dia umat Allah yang benar dimerdekakan.


YA ALLAH, ENGKAU SUDAH LAKUKAN!

Ketika sahabat Tamil kita berkata, “Mereka membujuk kami dengan janji kehidupan yang baru, namun semua yang kami lihat adalah kubur,” nada pahit jelas tersirat. Sebuah memori destruktif yang menghancurkan kehendak dia untuk berjuang demi masa kini yang lebih baik serta visi masa depan yang lebih cerah. “Kehidupan baru” mungkin hanya ilusi seorang Tamil miskin yang telah meninggalkan rumahnya dan menyusur pantai mencari peri kehidupan yang lebih baik. Pengharapan dikhianati, dan ia harus berjumpa dengan kenyataan-kenyataan diskriminasi ras dan agama. Lengkap sudah pengalaman dia sebagai seorang yang mengalami pembuangan.

Namun, sahabat kita tidak mengutuk masa lalunya. Ia melakukan sesuatu yang melampaui luka-lukanya. Ia kembali kepada Allah dan mencurahkan seluruh isi hatinya kepada Allah. “Beritahu kepada kami, ya Allah, apa yang dapat Engkau katakan?” Gugatan kepada Allah? Mungkin! Kemarahan kepada Sang Ilahi? Bisa jadi. Tetapi alamat yang tepat sudah ia datangi.

Apabila ia membenamkan kisah hidupnya di dalam kisah hidup Yudaisme pada era Bait Allah yang kedua, ia akan berjumpa dengan Allah yang bukan hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi memiliki Seseorang untuk diberikan. Seseorang yang menggenapi janji pembebasan. Seseorang yang merestorasi kehidupan. Ia memang akan melihat kubur, tetapi sebuah kubur yang kosong!

Melampaui pengharapan pribadi, pengharapan ini milik dunia. Sebab Allah meraja juga atas komunitas dan atas ciptaan. Kesetiaan Allah pada kovenan-Nya tetap ya dan amin. Belum terwujud secara sempurna. Tetapi Allah sudah melakukannya.

TERPUJILAH ALLAH!


KEPUSTAKAAN TAMBAHAN:

Brown, Raymond E. Introduction to New Testament Christology. New York: Paulist, 1994.

Newman, C. C., ed. Jesus and the Restoration of Israel: A Critical Assessment of N. T. Wright’s Jesus and the Victory of God. Downers Grove: InterVaristy, 1999.

Sanders, E. P. The Historical Figure of Jesus. London: Penguin, 1993.

Wright, N. T. The New Testament and the People of God. Minneapolis: Fortress, 1992.

--------. Jesus and the Victory of God. Minneapolis: Fortress, 1997.

[1]Dikutip dari For the Dawning of the New, J. Abayasekera dan D. P. Niles, ed. (Singapura: Christian Conference of Asia, 1981), 29 oleh C. S. Song, Jesus the Crucified People (New York: Crossroad, 1990), 35.
[2]Pertanyaan ini yang hendak dijawab oleh literatur apokaliptik, seperti: Ezr. 9:6-15; Neh. 9:6-38, khususnya ay. 8, 17, 26-27, 32-33; Dan. 9:3-19, khususnya ay. 4, 7, 11, 16, 18; seluruh bagian Yes. 40-55. Catatan bagi pecinta kajian PB. Masalah ini melatari kajian-kajian dalam “pencarian ketiga Yesus Sejarah” (third quest) dan “perspektif baru tentang Paulus.” Penulis sendiri mengacu kepada pemikiran E. P. Sanders dalam Jesus and Judaism (Philadelphia: Fortress, 1985); Paul and Palestinian Judaism (Philadelphia: Fortress, 1977) dan The Historical Figure of Jesus (London: Penguin, 1993). Studinya atas Yudaisme nampaknya adalah salah satu karya terbaik, yaitu Judaism: Practice and Belief, 63 BCE–66 CE (Philadelphia: Trinity Press International, 1992)
[3]Seperti dalam Dan. 9:16; Neh. 9:8; Yl. 2:15-32.
[4]Mis. Yes. 40-55; Dan. 7; Tobit 13-14.
[5]Dan. 9 (khususnya LXX). Bdk. Rat. 1:18; Yeh. 9:15; Neh. 9:33; Ul. 27-32; 2Mak. 7:38; 12:6.
[6]Mis. 2Mak. 16:12 dab.; Kebijaksanaan Salomo 12:9 dab., 15; Sirakh 5:4, dsb.
[7]Dijabarkan khususnya dalam 2Barukh (44 dan 78) dan 4Ezra (7; 8; 10 dan 14).
[8]N. T. Wright, What Saint Paul Really Said: Was Paul of Tarsus the Real Founder of Christianity? (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 28-29.

Referensi Teologi Sistematika

BEBERAPA REFERENSI BUKU TEOLOGI SISTEMATIKA
DALAM BAHASA INDONESIA



Abineno, J. L. Ch. Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen. Jakarta: Gunung Mulia, c.u. 2001.

*Reformed Belanda; Barthian. Kita akan menemukan perbedaan pandangan penulis dengan doktrin Alkitab konservatif-Injili. Menurutnya, Alkitab bukan Firman Allah, tetapi berisi (atau kesaksian terhadap) Firman Allah. Tetapi secara umum, uraian doktrin-doktrinnya sangat bagus, disertai dengan penafsiran yang bertanggung jawab. Dalam daftar isi diterangkan pula intisari dari tiap-tiap bab. Sangat menolong.


Berkhof, Louis. Systematic Theology. Grand Rapids: Eerdmans, c.u. 1990. Edisi Indonesia Teologi Sistematika. Jakarta: LRII, 1990–1997 (6 vol.)

*Reformed, konservatif. Meskipun merupakan satu karya klasik (aslinya terbit tahun 1940-an), buku ini mewakili pemikiran Reformed tradisional. Belum ketinggalan zaman. Sangat bermanfaat. Terbitan berbahasa Indonesia lebih rumit untuk dipahami ketimbang edisi bahasa Inggris (bagi yang terbiasa, tentu); perlu direvisi.


Calvin, John. Institutio. Jakarta: Gunung Mulia, c.u. 2001.

*Tulisan klasik dari seorang pemikiran penting dalam sejarah Kekristenan. Edisi ini merupakan edisi ringkas dari tulisan aslinya. Corak tulisan Calvin seperti khotbah. Sangat mendasar, wajib baca.


Davidson, Robert. Alkitab Berbicara. Jakarta: Gunung Mulia, c.u. 2001.

*Ditulis oleh seorang ahli PL dari Skotlandia. Berisi teologi biblis yang merangkum sejarah dunia sebagaimana disaksikan oleh Kitab Suci. Menganut tradisi Barthian.


Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika: Berakar Biblika, Berbatang Patristika. 2 vol. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

*Tulisan seorang teolog Katolik Roma. Meskipun ada beberapa hal yang kita boleh tidak setuju dengan penulis (tentang sakramen dan mariologi), tetapi uraian yang sangat sistematis membantu kita memahami sebuah doktrin dengan hati-hati, baik secara biblis maupun tradisi teologis. Yang menarik adalah subjudulnya: "Berakar Biblika, Berbatang Patristika." Perlu dibaca!


Dyrness, William A. Agar Bumi Bersukacita: Misi Holistis dalam Teologi Alkitab. Jakarta: Gunung Mulia, 2001.

*Uraian dari sudut pandang teologi biblis mengenai rencana agung Allah bagi seluruh ciptaan. Dyrness membagi rencana agung Allah itu ke dalam 5 babak: penciptaan, keluaran, pembuangan, inkarnasi, dan penyempurnaan. Dari uraiannya, jelas ia seorang Reformed. Sangat bermanfaat untuk menjadi pelengkap PA.


Enns, Paul. Moody Handbook of Theology: Pegangan Teologi. 2 vol. Malang: SAAT, 2004.

*Berisi peta-peta penyelidikan teologi: biblika, sistematika, historika. Ringkas dan padat. Penulis berusaha untuk bersikap senetral mungkin, meskipun pada akhirnya ia jelas berdiri di posisi eskatologi (doktrin akhir zaman) premilenialisme-dispensasionalis.


Erickson, Millard J. Christian Theology. Edisi kedua. Grand Rapids: Baker, 2000.

*Reformed-Baptis, Injili. Dalam edisi kedua ini penulis memberi tambahan mengenai “pascamodernisme.” Edisi Bahasa Indonesia sudah diterbitkan oleh Gandum Mas (berjudul Teologi Kristen), terbagi dalam tiga jilid (diterjemahkan dari edisi pertama bahasa Inggris). Sangat bagus.


Ferguson, Sinclair. Hati yang Dipersembahkan kepada Allah. Surabaya: Momentum, 2003.

*Merupakan buku doktrin yang ringkas dan enak dibaca. Kuat dalam tradisi spiritualitas Calvinis. Ferguson tidak melupakan penggalian Alkitab dalam menjabarkan suatu bahasan doktrin. Gaya penulisan Puritan. Wajib baca!


--------. Anak-anak Allah yang Hidup. Surabaya: Momentum, 2003.

*Merupakan pelengkap bagi buku di atas. Berisi tuntunan kehidupan menjadi seorang Kristen.


Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru. 3 vol. Jakarta: Gunung Mulia, 1993–1995.

*Uraian teologi PB dengan membagi ke dalam tema-tema teologis dalam PB, sehingga mirip dengan buku-buku teologi sistematika. Ditulis oleh seorang pakar PB konservatif Inggris. Meski klasik, buku ini masih relevan.


Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: Gunung Mulia, c.u. 1997.

*Reformed Belanda, Barthian. Keunggulan tulisan ini adalah kemampuan penulis untuk membandingkan iman Kristen dengan agama-agama Timur lainnya, termasuk Kejawen. Tafsiran Alkitabnya akurat dan bertanggung jawab. Sangat bagus.


--------. Inilah Sahadatku. Jakarta: Gunung Mulia, c.u. 1995.

*Merupakan eksposisi singkat dari Pengakuan Iman Rasuli pertama yang dihasilkan oleh seorang teolog Indonesia. Sangat padat dan ringkas. Sangat bagus untuk menjadi bacaan para katekisan dan remaja Kristen.


Morris, Leon. Teologi Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, c.u. 2001.

*Injili. Uraian teologi biblis dari seorang pakar PB. Berbeda dengan Guthrie, Morris menguraikan per kitab PB. Salah satu sajian teologi PB terbaik yang tersedia dalam bahasa Indonesia.


Packer, J. I. Kristen Sejati. 4 vol. Jakarta: LRII, 1996.

*Tulisan seorang pakar teolog Injili kawakan, bergaya Puritan. Sangat bagus, disertai dengan ayat-ayat referensi serta pertanyaan-pertanyaan untuk mengingat uraian di atasnya. Cocok untuk katekisasi.


Sproul, R. C. Dasar-dasar Iman Kristen. Malang: SAAT, 2004.

*Reformed, konservatif. Sangat menolong untuk bahan katekisasi dan PA. Memuat pokok-pokok penting yang kadang-kadang menjadi perdebatan. Buku wajib bagi yang tertarik belajar teologi secara mendalam tanpa harus mengalami kesulitan.


Ryrie, Charles R. Teologi Kristen. 2 vol. Yogyakarta: Andi, c.u. 2003.

*Injili, konservatif. Ditulis oleh mantan Presiden Dallas Theological Seminary, USA. Baik dalam uraian, berposisi eskatologi premilenialisme-dispensasional.


Verkuyl, J. Aku Percaya. Jakarta: Gunung Mulia, 1997.

*Reformed Belanda, Barthian. Juga merupakan eksposisi Pengakuan Iman Rasuli yang akan melengkapi pemikiran Harun Hadiwijono di atas. Sangat bagus.

Sunday, October 29, 2006

Being Left, A Poem

BEING LEFT

Henri Nouwen taught me to pass over loneliness to aloneness,
but not in everytime do I succeed.

We know that to be ALONE is good,
but we are not willing to be rejected,
despised by people around us;
Yes, there come days that we are LONELY!

Nevertheless, let us think over and over again about TIME!
‘Cause at the point of thinking about time,
THAT time has left us!
Yes, we are always left behind by the TIME.

So, to be alone is the sole part of our being.

Do I’m thinking existentially?
Or even of nihilism?
Well, YES and NO.

YES, since everyone experiences this;
and truly this makes us insecure.
The ONE within which we live
doesn't care for us.
Our “HOME” excludes us from its embrace;
Some will thus think life is not worth living!

But I say NO, just because there is ONE above time,
and that time is created along with other creatures.
Time is HIS!

Therefore, we are left by time, though,
we are still being overwhelmed by the MAKER of time!
He creates NEW TIME for us, that is the future!
And that means HOPE is there for us!
It is awaiting us to walk in it,
even when we don't care about it.

So, let us learn to love quietness,
for "it brings me through the whirlwind
to the stillness which is at its centre" (Tom Wright).

Quietness brings us peace.
Peace in HIM alone.

God be Praised!

(leNin_Oct2906)

Friday, October 27, 2006

MENIMBANG-NIMBANG AJARAN (Bagian 4)

Penafsiran dan Awamisme



ITU KAN TAFSIRANMU!

Kalimat pendek ini sering muncul. Yang tersirat:

“Yang ini tafsiranku.”

“Ini yang Allah katakan sendiri kepadaku.”

“Ya, ada beragam cara untuk mengerti teks ini.”

“Tafsiran kita sama-sama benar.”

Beragam metode, Ya! Tetapi beragam pandangan tentang satu teks yang sama, dan tak jarang pandangan yang satu bertolak belakang, apakah dimungkinkan? Nanti dulu. Contoh sederhana, ketika Anda melihat apel, apa dimungkinkan kawan Anda yang normal dalam penglihatan dan mengerti bahasa Indonesia, menyebutnya sebagai “jeruk”?

Saya tidak yakin, beragam metode akan membuat beragam konklusi yang sama sekali berbeda. Sebagai seseorang yang bergairah untuk mengerti Alkitab sebaik-baiknya, saya suka berdiskusi dengan rekan-rekan sejawat. Kami berbeda dalam metode. Tetapi pada akhirnya, kami sepakat dalam hal yang sama dan esensial. Ada seorang rekan yang ahli dalam bidang historis kritis. Dia sering memakai pendekatan ini. Saya berjalan dari rute yang berbeda, biasanya dari sudut pandang sosio-kultural dan worldview zaman Alkitab. Atau misalnya ketika kami berbicara mengenai teologi Paulus, di Roma 3.22-26, pistis Christou, saya memegang terjemahan “kesetiaan Kristus,” tetapi ada rekan yang percaya seperti halnya LAI TB menerjemahkan, “iman dalam Kristus.” Tetapi ujung-ujungnya, kami sampai kepada kesimpulan ini bersumber dari kasih setia Allah perjanjian saja.

Jika demikian, bukan banyak arti dalam satu bagian Alkitab. Ini doktrin relativisme! Mana yang benar? Ya sama-sama benar. Mari kita waspada, ketika kita tidak sependapat, pandangan Anda mungkin salah; pandangan saya juga mungkin salah. Kedua-duanya bisa sama-sama salah. Tetapi tak mungkin kedua-duanya sama-sama benar pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Arti atau makna pasti tunggal. Tetapi aplikasi atau signifikansi bisa beragam.

Apakah kita, dengan demikian, tidak boleh menafsirkan Alkitab secara pribadi? Boleh. Inilah prinsip yang diperjuangkan oleh para reformator. Mengapa Alkitab diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa? Supaya dapat dimengerti oleh setiap orang percaya. Namun, hak untuk menafsirkan Alkitab harus dibarengi dengan tanggung jawab untuk menafsirkannya secara akurat. Penafsiran pribadi tidak berarti bahwa tiap-tiap orang Kristen bebas untuk mencari-cari apa yang tidak ada di dalam Alkitab.

Untuk itu, seperti yang telah dikemukakan di depan, kita harus menilik orang-orang yang telah mendahului kita dalam menafsirkan Alkitab. Bila ketika menafsir Anda sampai kepada suatu kesimpulan yang bertolak belakang dengan pemikir-pemikir dalam sejarah iman Kristen selama 2000 tahun ini, Anda perlu berhati-hati, jangan-jangan tafsiran Anda termasuk ajaran bidat, dan Anda harus berani untuk menanggalkan tafsiran itu, segera!

Hendaklah kita waspada. Kita berpotensi menjadi orang-orang yang bersalah karena mendistorsi berita Alkitab. Mendistorsi Alkitab bukan hal sepele. Sebab hal itu juga berarti memberontak kepada Sang Penulis Agung dan Roh kebenaran yang menginspirasikan seluruh isi Kitab Suci.


CUMA AWAM, KOK!

Pelayanan mempersatukan. Doktrin memecah belah. Benarkah? Bukankah yang benar bila kita lihat secara keseluruhan, gaya hidup kita mengikuti sistem kepercayaan? Alasan kita dalam berbuat sesuatu, itulah doktrin. Jadi, doktrin selalu mendahului tindakan. Tapi kan, saya ini “awam”?!

Simak kata-kata Luther hampir 500 tahun yang lalu, yang nampaknya memprediksi apa yang terjadi sekarang ini, di zaman kita.

“Pada hari-hari ini, orang-orang pada umumnya berkata, ‘Apa yang harus aku lakukan? Aku ini cuma awam dan bukan teolog. Aku tidak tahu menahu soal teologi. Bagaimana aku tahu mana yang benar dan yang salah? Aku pergi ke gereja, mendengarkan apa yang pendeta katakan, dan kepadanya aku percaya.’”[1]

Bagi Luther, seorang awam pun perlu belajar pokok-pokok teologi alkitabiah. Lanjutnya,

“Aku tidak memperbolehkan cinta-kasihku menjadi begitu bermurah hati dan bertoleransi kepada ajaran yang salah Ketika iman dan ajaran sedang dibicarakan dan ternyata dalam bahaya, bukan kasih atau kesabaran yang memerintah . . . Sebab suatu kehidupan yang bercela tidaklah menghancurkan Kekristenan, tetapi melatihnya. Sedangkan, ajaran yang bercacat dan iman yang salah merobohkan segala sesuatu. Maka, ketika hal ini yang sedang jadi pokok pembicaraan, bukan toleransi ataupun kemurahan yang memerintah, tetapi murka, pembelaan dan penghancurleburan—sesungguhnya, hanya dengan Firman Allah sebagai senjata kita.”

Luther mendefinisikan seorang bidat sebagai “seseorang yang sesuka hatinya sendiri dalam hal-hal yang berkenaan dengan Allah, seorang rekan yang nyentrik yang tahu sesuatu yang lebih baik dan memilih jalannya sendiri ke surga, yaitu jalan yang tidak dilalui oleh orang-orang Kristen kebanyakan.”

Tetapi, orang-orang ini memiliki kuasa dan mukjizat, lho?! Lebih lanjut Luther berkata,

“Apabila bujuk rayu dan kegelapan sekali kali memulai murka dan penghakiman Allah (yang kita takutkan akan terjadi setelah zaman kita), dan Ibulis mulai menampilkan tanda-tanda melalui sejumlah nabi palsu dan mungkin menyembuhkan seorang sakit, tidak diragukan bahwa engkau akan melihat banyak orang mendesakkan hal tersebut, pemberitaan firman dan peringatan tidak akan ada lagi . . . Sebab dalam mereka yang tidak memiliki cinta pada kebenaran, Iblis akan berkuasa dan menjadi kuat . . . Maka, bila ajaran-ajaran [dari nabi-nabi palsu] ini bertolak belakang dengan doktrin utama dan pokok-pokok iman tentang Kristus, kita harus berani menghadapi mereka dan tidak memberi perhatian ataupun penerimanaan meskipun ia mendemonstrasikan mukjizat-mukjizat setiap hari.”

Jadi, sekalipun seseorang “awam,” yaitu tidak pernah mengenyam pendidikan teologi secara formal dan tidak ditahbiskan sebagai pelayan Allah dalam gereja, kita harus berani mengambil sikap dua hal. Pertama, menegakkan disiplin pengajaran. Yaitu dengan melestarikan kemurnian ajaran di mimbar-mimbar gereja dan kelas-kelas pemuridan. Orang-orang yang mempropagandakan kesesatan di antara jemaat, dan ternyata menolak untuk dikoreksi harus diperingatkan dengan tegas dan tidak diberi hak untuk mengajar jemaat.

Kedua, berani berkonfrontasi dengan ketidakbenaran. Kebenaran tidak takut diserang. Seseorang yang telah dinobatkan sebagai nabi pada masa kini, Earl Paulk, membuat sistem pertahanan diri demikian, “Seorang nabi tidak boleh dihakimi.” Demikian pula Paul Crouch, pimpinan Trinity Broadcasting Network, berkali-kali mengutuki pihak-pihak yang mencoba mengonfrontasi nabi-nabi palsu.

There are those who spend a lifetime—we call the apologists—they spend their whole lives apologizing for the Scripture. They spend their whole lifetime defending the orthodoxy of the doctrines of the church and, as I said a while ago, what is orthodox to them is what is in agreement with their opinion of what the Bible says . . . You can spend a lifetime gazing at the orthodoxy of the church and let a world go straight to hell and never hear the message of Jesus Christ.[2]

Betapa naif kedengarannya, bahwa para apolog adalah orang yang mempertahankan “pendapat” mereka pribadi. Padahal sejarah gereja membuktikan bahwa para apolog adalah merekayang memperjuangkan “berita Injil Yesus Kristus” yang autentik dan semurni-murninya.

Sebaliknya. Ajaran yang benar akan berani menghadapi kritikan. Sebab kebenaran itu mencengkeram sedemikian dalam sehingga tidak akan mudah digoyahkan. Tiap-tiap jemaat hendaklah mencintai ajaran yang benar dan dapat memilah-milah, ajaran yang benar dari yang tidak benar.


BERTUMBUH DALAM KEMEROSOTAN

Awamisme dalam Kekristenan membuat kita tidak mawas akan konteks kita di Indonesia. Disadari atau tidak, semangat pan-Islamisme, segala sesuatu harus Islam, semakin diserukan. Sejumlah golongan mendesakkan syariat Islam ke berbagai daerah. Perjuangan mereka melalui politik nampaknya lancar sebab mereka telah mempersiapkan sumber daya manusia sejak lama. Investasi dana besar-besaran untuk menempa generasi-generasi hijau yang mampu menempati posisi-posisi strategis.

Sementara awamisme di dalam gereja menjurus penafian terhadap kebenaran. Emosi dan berita-berita bombastis-triumfalistik mengenai kemenangan, kejayaan, janji-janji kemakmuran dan berkat selalu diperdengarkan. Dan, jemaat menantikan itu! Gereja terlena dan meninabobokan jemaat, tanpa memahami tantangan kita kian berat! Marilah kita bercermin mengenai kondisi di gereja modern.

Pertama, kebenaran diganti dengan pilihan pribadi

Wong sama-sama Kristennya dan sama-sama menyembah Tuhan Yesus, lho ya!” demikian kata banyak orang. O ya? Apakah kita menyembah Tuhan yang sama? Padahal di zaman kita ini, kebenaran itu menurut ukuran pribadi. Jika Anda memiliki kebenaran, simpanlah kebenaran itu untuk Anda sendiri. Sebagai warga gereja yang baik, simpanlah kebenaran itu baik-baik.

Banyak pemikir Kristen yang menganalogikan zaman ini seperti seorang wasit. Di zaman pramodern, seorang wasit akan berkata, “Dalam pertandingan bulutangkis, ada raket, pemain dan shuttle cock, dan saya menyebut demikian karena memang semua itu ada dalam pertandingan.” Di zaman modern, seorang wasit berkata, “Dalam pertandingan, ada raket, pemain dan shuttle cock, dan saya menyebut demikian karena saya melihat semua itu dalam pertandingan.” Sedangkan pada zaman pascamodern, wasit akan berkata, “Dalam pertandingan, ada raket, pemain dan shuttle cock, dan semua itu ya terserah seperti kata saya.”

Lho kok terserah? Ya, menurut kata saya. Menurut selera saya. Itulah zaman kita. Pengajaran pada zaman sekarang pun menurut selera saya. Bolehlah kita samakan dengan pelanggan-pelanggan Allah. Selama Allah menyediakan yang memenuhi selera, saya akan terus “membeli dagangan” Allah. Kalau tidak lagi, saya akan pindah ke Allah yang lain, demikian seterusnya ad infinitum.

Kedua, kebenaran diganti dengan sensualitas

Konsekuensi logis dari kebenaran yang diganti dengan selera adalah bergesernya pijakan rasionalitas kepada sensualitas. Penalaran sudah terlampau berat bagi orang pada zaman sekarang. Segala sesuatu kini diukur dari persepsi singat dan tindakan segera. Apa yang kelihatan di mata, yang dirasakan dan yang diinginkan, itulah yang dinantikan. Apa yang mudah, cepat dan murah itulah yang dikejar. Pragmatisme dengan demikian telah menjadi kaisar adidaya!

Demikian hal ini berimplikasi kepada pengambilan keputusan etis. Bila beberapa tahu lalu kita menjumpai sticker terpampang di bagian belakang mobil “Jika rasanya enak dan baik, lakukanlah!” maka sekarang lebih lagi, “Jika rasanya enak dan kelihatan baik, maka itu benar!”

Manusia telah egosentris, cinta diri, berpusatkan pada si AKU. Bila ada orang yang mau berbicara mengenai kebenaran, orang lain akan segera mencibirkan bibir, “Siapa sih kamu?”

Ketiga, kebenaran diganti dengan mistisisme

Spiritualitas laris di mana-mana. Teologi tidak laku. Doktrin diganti dengan berpengalaman dengan Allah. Kalau orang tidak lagi percaya adanya kebenaran yang objektif tetapi persepsi pribadi semata, maka wajarlah bila persepsi-persepsi itu berkontradiksi satu dengan yang lain. “Tafsiran kita sama-sama benar!” Ini kebenaranku. Itu kebenaranmu. Jika aku mengalami ini sebagai yang benar menurutku, maka kamu mau apa?

Maka, orang berlomba-lomba mendapatkan sebanyak mungkin pengalaman dengan Allah. Boleh kita katakan, di mana ada pengalaman, di sana berjubel orang mau melihat. Di mana ada demonstrasi pengalaman atau kesaksian pengalaman, orang langsung mempersepsi, “Ah . . . ini dia. Kekristenan yang bukan teoritis!”

Tidak perlu mengherankan Anda. Pengikut Shri Satya Sai Baba, tokoh mistik Hindu dari India itu, sudah lebih dari 6 juta orang, tersebar di seluruh dunia (6 kali lipat dari jumlah orang Anabaptis-Mennonite sedunia). Karena dia memiliki segudang pengalaman. Deepak Chopra, M. D. adalah muridnya, sekarang ini menerapkan kebatinan Timur untuk menerapi pasien-pasiennya.

Coba sekarang, mari membandingkan dengan “hamba-hamba Kristus” yang menceritakan pengalaman yang wah dan hah: beberapa waktu yang lalu Toronto Blessing, sekarang A Trip to Hell!, curahan api dari surga, transformasi global yang disertai nubuatan-nubuatan (yang terbukti banyak meleset daripada digenapi). Lho, jadi mereka ini?


JADI . . .

Ya! Zaman ini menggeser kebenaran dengan selera, pilihan-pilihan pragmatis serta pengalaman subjektif. Adakah yang mencari Allah dengan kesungguhan hati? Perlu sekali lagi kita mendengarkan perkataan Tuhan kita, “Ketika orang banyak mengerumuni-Nya, berkatalah Yesus: ‘Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menghendaki suatu tanda, tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus’” (Luk. 11.29).

Orang-orang di zaman Yesus menantikan tanda-tanda ajaib. Mereka menantikan yang wah dari Yesus. Tetapi tanda yang Tuhan mau mereka memfokuskan pandangan adalah tanda yang paling humble, kematian dan kebangkitan-Nya sebagai Mesias yang sejati. Yesus memberitakan salib dan vindikasi terhadap diri-Nya sebagai yang utama. Bukan menurut selera orang banyak yang mencari Dia. Ah, Tuhanku benar-benar payah dalam marketing! Bukankah Dia sedang dikerumuni para pelanggan-Nya?

Maka Tuhan menegurku, “Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Luk. 18.8).

TERPUJILAH ALLAH!

leNin_281006

[1]Dalam Ewald M. Plass, What Luther Says (St. Louis: Concordia, 1959) 637.
[2]Paul Crouch, “Praise-A-Thon,” Trinity Broadcasting Network, November 10, 1987.

MENIMBANG-NIMBANG AJARAN (Bagian 3)

Perihal Jangan Menghakimi!


“SESAT!”

Itulah kata yang paling tabu untuk diucapkan. Mengucapkan itu berarti menjatuhkan palu hakim. Reaksi orang yang mendengar dan yang tidak suka adalah, “Siapa kamu, kok berani-beraninya menghakimi!” Nampaknya, seseorang semakin dilarang untuk bersikap kritis. “Siapa sih yang sempurna?!” Dasar ayatiahnya adalah, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Mat. 7.1).

· Siapa kamu sehingga berani berkata bahwa orang-orang yang berjatuhan dalam suatu kebaktian kebangunan rohani karena “rebah dalam roh” oleh penumpangan seorang hamba Tuhan yang diurapi sebenarnya bukan merupakan manifestasi dari Roh Kudus?

· Siapa kamu kok berani berkata bahwa fenomena mukjizat akhir-akhir ini berbeda dengan yang dilakukan Yesus, dan orang-orang yang mengaku disembuhkan dalam kebaktian ini bukan merupakan kerja dari kuasa Tuhan?

· Siapa sih kamu kok sombong merasa doktrinmu paling benar, dan doktrin yang diajarkan di gereja lain salah?

Tentu, daftar itu masih bisa ditambah. Tetapi cukuplah untuk kita ketahui bahwa paling tidak ada dua tipe orang. Pertama, mereka yang membiarkan orang lain punya cara hidup, pengajaran, penafsiran Alkitab, gaya beribadah bahkan nilai-nilai yang dianut dalam kehidupan.

Tetapi yang kedua, ada pula orang-orang yang hobi menghakimi, para kritikus yang terus mengasah mata panahnya, membidikkannya kepada sasaran-sasaran yang kontra dengan mereka. Nah sayangnya, mereka ini biasanya orang-orang yang tidak hanya melontarkan kritikan kepada pihak lain dengan cara yang tidak benar, tetapi juga dengan dasar argumentasi yang tidak benar! Mereka melancarkan kritikan bukan oleh sebab mengerti pengajaran alkitabiah, tetapi cenderung berpijak kepada keyakinan-keyakinan pribadi yang selama ini mereka anut. Seperti kaum Farisi pada zaman Yesus, yang menujukan mata mereka hanya kepada tata aturan hukum dan mengabaikan keadilan, welas asih dan cinta kasih.

Kepada siapa Yesus melancarkan kalimat di atas? Kepada kedua pihak. Tetapi apakah kalimat tersebut berarti membuat kita tidak boleh menimbang-nimbang apa yang benar dan apa yang salah? Sama sekali tidak. Sebab, dalam konteks terdekatnya, Yesus berkata, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” Oo, bagaimana mungkin kita dapat belajar untuk mematuhi ayat dalam Khotbah di Bukit ini bila kita tidak belajar untuk mengenali “anjing” dan “babi” (ay. 6)?

Selanjutnya di ayat 15, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.” Wah, ucapan Tuhan ini sangat keras sekali, bukan? Nabi-nabi palsu disebut sebagai serigala yang buas! Tetapi bagaimana dapat mengenali nabi-nabi palsu? Tentulah dari apa yang membedakan mereka dari nabi-nabi yang benar, yaitu ajaran mereka.

Sejengkal saja, Yesus melanjutkan kalimat dengan lebih tegas lagi, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (ay. 21-23). Nah, kita mungkin bisa salah dalam banyak hal, tetapi dalam hal yang satu ini, yaitu ajaran yang benar, hendaknya kita tidak menganggapnya remeh.

Lalu apa arti perkataan Yesus, “Jangan menghakimi?” Yaitu hendaklah kita tidak menjadi seperti orang-orang Farisi, yang suka menghakimi tetapi buta terhadap kebenaran yang sejati. Mereka memakai standar kesalehan pribadi. Tuhan Yesus melarang kita menjadi seperti orang Farisi, tetapi tidak melarang kita untuk membuat penghakiman untuk hal-hal yang prinsipal.


BAGAIMANA?

Catatan awal yang harus kita sepakati bersama: tak seorang pun dapat membuat penilaian atau penghakiman yang sempurna. Kecuali Tuhan Yesus sendiri! Bahkan para saleh dan leluhur iman kita pun bisa tidak sepakat dalam hal-hal tertentu. Dalam mempelajari sejarah gereja, ketidaksepakatan ini sering ditonjol-tonjolkan. Yohanes Calvin menentang Kardinal Jacobo Sadoleto. Martin Luther melawan Erasmus. George Whitefield melawan John Wesley.

Lho, dalam sejarah gereja dialektika seperti ini sering menjadi acuan orang untuk malas mempelajari teologi. Yang ini melawan yang itu. Yang di sana ditentang yang di sini. Oo, sejenak mari kita melihat sisi lain. Bahwa dalam sejarah gereja ada upaya-upaya doktriner untuk mempersatukan keyakinan Gereja Tuhan. Cobalah kita ingat bahwa di tengah-tengah kontroversi mengenai Perjamuan Tuhan antara Luther dan Zwingli, ada Calvin yang menengahi. Martin Bucer menjadi pelopor reformasi yang memotivasi Strassbourg menjadi kota yang sejuk dan damai bagi kaum Protestan, Katolik bahkan Anabaptis. Sampai sekarang, semangat ini dilanjutkan dengan dialog-dialog antardenominasi, bahkan diupayakan terus oleh Dewan Gereja-gereja Sedunia, khususnya Komisi Iman dan Tata Gereja. Jadi boleh dikatakan, pemahaman yang benar akan doktrin justru mendorong upaya-upaya penyatuan tubuh Kristus. Beberapa prinsip yang perlu kita pegang dalam memberikan penilaian mengenai ajaran:

Pertama, kerendahan hati, bukan superioritas

Mentalitas Farisi yang dibedah habis-habisan oleh Tuhan Yesus adalah kesombongan diri dan khilaf untuk mengevaluasi diri. Coba perhatikan Matius 7.3-4, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.”

Yesus nampaknya sedang mengajar dengan bercanda. Coba bayangkan, suatu kali Anda melihat di gereja seseorang yang di matanya menempel balok besar. Lalu orang itu berkata kepada kawannya, “Hai kawan, di matamu ada bubuk kayu. Mari kuambilkan!”

Mari kita renungkan hidup menggereja saat ini. Ada orang yang memiliki keprihatinan terhadap pembangunan tubuh Kristus. Hasratnya, gereja ini harus menjadi gereja yang tertata dan berjalan dengan benar: baik dalam pengajaran mimbar, dalam administrasi, maupun dalam kegiatan-kegiatan komisi. Maka, ia mengusulkan sederetan nama pengkhotbah ternama dan terlaris supaya jemaat dibangunkan dari “tidur rohani.” Kalau perlu, dia, karena kaya raya, yang menjadi pendukung utama dananya. Kalau Anda mencermati, sesungguhnya orang ini sama sekali tidak berminat dalam kebenaran! Balok di matanya belum pula ia singkirkan, sementara ia sibuk dengan bubuk-bubuk kayu yang ada di mata orang lain.

Atau mungkin saja, seseorang tidak berani menilai ajaran, ya karena integritas hidupnya diragu-ragukan! Alias, ia tahu tentang banyak yang benar, tetapi sedikit bertindak yang benar.

Namun, bila seseorang jujur di hadapan Tuhan, bahwa hasratnya semata-mata hanyalah untuk menyenangkan hati Allah maka ia tidak akan sembarangan menjatuhkan penghakiman kepada pihak lain. Bukan karena ia lebih senior sehingga merasa banyak tahu dan tahu banyak. Bukan karena ia telah membaca lebih banyak buku. Tetapi semata-mata karena ia melihat dirinya di hadapan Allah dan Mesias Yesus; orang ini tidak akan menghakimi dengan motivasi dan cara yang salah.

Maka, semakin kita rendah hati, semakin besar belas kasihan yang kita tunjukkan kepada orang lain. Seseorang yang sudah menerima rahmat, hendaklah ia mendemonstrasikan rahmat itu kepada orang lain. Ia yang telah berdiri oleh kasih karunia, kiranya sekarang dengan suka hati mengundang orang lain untuk menikmati anugerah yang besar seperti yang diterimanya.

Kedua, berdasarkan fakta-fakta, bukan bualan-bualan

Semakin cepat kita menghakimi, maka semakin sedikit data yang kita pakai untuk melandasi argumentasi kita. Ada orang yang tahu banyak informasi, tetapi fragmentaris, artinya berserakan dan tidak tersusun. Orang yang seperti ini cenderung cepat untuk menghubung-hubungkan informasi yang ada di kepalanya, menurut hasrat, naluri dan intuisi untuk menentang lawan debatnya. Yang paling gampang dimainkan adalah menghubung-hubungkan ayat-ayat Alkitab. Tetapi marilah kita mendengar nasihat firman Tuhan mengenai hal ini, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Ams. 18.13).

Lalu? Seorang kawan saya, yang sangat kritis dan mengenyam pendidikan di fakultas teknik kimia, pernah berdebat dengan seorang sahabatnya, sebut saja Imron, mengenai fenomena KKR kesembuhan ilahi. Karena terdesak, si Imron berkata, “Kamu tidak boleh menghakimi. Bagaimana kita tahu bahwa itu bukan dari Tuhan?”

Kawan saya segera menjawab, “Lhoo sebentar, bukankah Anda pun sekarang sudah menghakimi saya, kan? Saya punya data, dan dari data itu maka saya simpulkan fenomena yang sedang marak sebagai tidak benar. Anda tidak punya. Ketika saya ungkapkan data yang saya miliki, Anda malah mengatakan saya menghakimi. Nah, Anda telah menghakimi saya tanpa data.”

Ya benar, Anda mungkin bertanya, emang berapa data sih yang kita punyai? Jelas tak seorang pun yang menguasai semua data. Isi kepala kita ada batasnya. Penilaian kita mengenai sesuatu bisa salah. Namun, untuk menghindarkan diri dari penyimpulan yang sembrono, maka kita harus terus melatih diri untuk mengolah data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap data yang kita punyai, dan memiliki saksi-saksi.

Inilah yang terhilang pada zaman sekarang. Para pengkhotbah menyampaikan sesuatu yang benar menurut diri mereka sendiri.

Hanya saja, orang-orang yang mencintai pengajaran dan para pengembara kebenaran patutlah terus belajar untuk mengendalikan penghakiman. Tentu dakwaan tidak perlu kita jatuhkan kepada setiap pengkhotbah, setiap kali mendengarkan firman, setiap kali kita membaca buku atau menonton film. Bila kita tahu kita tidak memiliki informasi yang cukup, berhati-hatilah. Fakta yang cukup, data yang kuat dan argumentasi yang logis itu perlu.

Ketiga, perihal kata-kata dan tindakan, bukan motivasi

Kata orang bijak, “Dalamnya laut dapat diterka, dalamnya hati siapa tahu?” Hanya Tuhan saja yang mengetahui isi hati. Bila Anda mengikuti kebaktian di suatu gereja dan mendengar sang pengkhotbah berkata, “Bawa kemari hartamu! Itu akan menjadi investasimu di surga. Tuhan akan melipatgandakannya!” Anda kemudian berpikir si pengkhotbah tamak harta. Bagaimana Anda tahu, bila Anda tidak mengenalnya?

Yang Anda dapat ketahui dari kesaksian Alkitab adalah bahwa pengkhotbah itu mengikuti jalan guru-guru palsu. “Dan karena serakahnya guru-guru palsu itu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceritera-ceritera isapan jempol mereka. Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda” (2Ptr. 2.3).

Jadi, kita seharusnya mengajukan kritik atas doktrin, metode dan gaya hidup seseorang, tetapi bukan isi hatinya. Ini bukan berarti kita berhenti menimbang-nimbang motivasi kita sendiri. Tanyakan selalu dalam diri kita, “Mengapa sih kita membuat penilaian terhadap ajaran orang lain? Apa yang mendorong kita mengritik guru-guru palsu, kebaktian yang seperti tontonan hiburan?”

Maka, ingatlah selalu perintah Yesus untuk pertama-tama menyisihkan balok di mata kita sendiri. Kemudian, motivasi kita seharusnya ditujukan untuk membimbing orang lain, dengan cara meneguhkan orang lain kepada jalan keselamatan yang sejati. Mari kita selalu terbuka kepada Allah yang menyelidiki hati: hati kita yang paling dalam!

Keempat, isu-isu alkitabiah, dan bukan selera-selera pribadi

Bila Anda hendak mengritik, tanyakanlah: Kebenaran alkitabiah apa yang sedang disangkal? Kebenaran alkitabiah apa yang sedang digeser? Kebenaran apa yang sedang diabaikan? Kebenaran apa yang ditekankan secara tidak seimbang?

Memang! Kita tidak mungkin dapat setuju dalam segala sesuatu. Pemahaman yang kita sadari terbatas itu sangatlah dibatasi oleh konteks, latar belakang, pengalaman kita. Tetapi dalam menilai, hendaklah kita mampu merujuk pada ayat Alkitab atau prinsip kebenaran alkitabiah, sembari menyadari bahwa prinsip tersebut terbuka untuk dikoreksi. Perhatian dan motivasi kita adalah apa yang Allah nyatakan dalam Alkitab, bukan minat dan selera pribadi.

Tuhan Yesus menentang orang-orang yang menyelewengkan Kitab Suci. Rasul Paulus pun memperingatkan gereja untuk tidak digeser dari kebenaran Injil. Para penulis Surat-surat Umum dengan berkobar-kobar menyerukan agar gereja mengingat iman yang diajarkan oleh rasul-rasul Tuhan, dan menegaskan Kristus yang benar. Hal ini kiranya membuat ingat mengingat terus, pemahaman yang selama ini kita terima bisa saja salah. Namun kita dapat mengevaluasi demikian itu bila kita melakukan pertimbangan-pertimbangan dengan data yang baru.


PENUTUP


Mengutip sebaris lagu Project Pop, “Apa yang dapat mempersatukan kita? Salah satunya dengan musik . . . Dangdut is the music of my country.” Apa yang mempersatukan orang Kristen? Yaitu paling tidak substansi iman Kristen seperti tertuang dalam Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan pengakuan-pengakuan ekumenis lainnya. Gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Reformasi, Gereja Ortodoks Rusia, dan masih banyak gereja, menerima pengakuan-pengakuan iman di atas. Ada banyak hal yang berbeda pada masing-masing gereja. Namun kita berani mengatakan, bahwa gereja-gereja ini adalah pewaris-pewaris tradisi suci para rasul.

Lebih spesifik, Gereja-gereja Reformasi di seluruh dunia juga memiliki pengakuan-pengakuan masing-masing. Terdapat perbedaan di sana-sini. Tetapi, seperti yang diamati oleh Shirley C. Guthrie, teolog Reformed kawakan, ada banyak persamaan yang fondasional, yang mencirikan gereja-gereja tersebut sebagai reformed.

Hal yang sama terjadi pada dogma Marxis-Leninis fundamental. Kemajemukan pandangan dapat diamati dalam ajaran masing-masing partai komunis yang tersebar di seluruh dunia. Tetapi mereka dieratkan oleh pokok-pokok ajaran yang fundamental. Ketika yang fundamental ini digoncang, maka suatu kelompok komunis pun kehilangan jati dirinya. Dan bila suatu kelompok kehilangan jati dirinya, maka ia berhenti untuk menyajikan suatu intisari bersama yang mampu menggerakkan komitmen anggota-anggotanya sebagai satu ikatan persaudaraan.

Maka, cobalah melalaikan diri kita untuk mempertahankan pokok-pokok dasar iman Kristen, dan kita akan kehilangan sama sekali suatu pengharapan akan kesatuan sejati tubuh Kristus!

TERPUJILAH ALLAH!

Thursday, October 26, 2006

MENIMBANG-NIMBANG AJARAN (Bagian 2)

Kristus Memohonkan Persatuan Umat



DOA YESUS

Harus diakui, akan selalu ada ketegangan antara integritas doktrinal dengan persatuan. Tuhan Yesus mendoakan keduanya, dan adalah tugas kita untuk menemukan titik kesetimbangan antarkeduanya. Ia berdoa, “Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (Yoh. 17.11).

Pada kali yang kedua, Ia lagi-lagi berdoa, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (ay. 21).

Kesatuan yang Kristus doakan sangatlah powerful, sampai-sampai dunia harus melihat, memperhatikan dan kemudian percaya kepada-Nya. Benar, inilah kesatuan yang tampak, kredibel, serta adikodrati.

Sehingga, bila kita mengatakan suatu ajaran “sesat!” atau “salah!”, bukankah hal tersebut menentang doa Tuhan Gereja?


CERMATI . . .

Pertama, Tuhan berdoa hanya bagi kesatuan umat-Nya yang sejati.

Mereka ini diterangkan yang diberikan oleh Bapa (ay. 6) dan taat kepada firman Bapa (ay. 6). Doa-Nya ditujukan demi mereka yang mengenal keunikan-Nya. Ia mendoakan mereka yang mengenal Dia sebagai nabi, ya benar!, tetapi lebih dari sekadar nabi, doa-Nya adalah bagi mereka yang percaya di dalam nama-Nya.

“Bukan untuk dunia Aku berdoa,” kata Tuhan, “tetapi untuk mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab mereka adalah milik-Mu” (ay. 9). Yesus tidak pernah berdoa bagi Yudas; sebab tak sejangka waktu pun Yudas adalah milik-Nya (ay. 12). Ia hanya berdoa bagi orang-orang yang mengikut Dia, sehingga kuasa jahat tak dapat merusakkan kesatuan mereka.

Dapat dipastikan, Tuhan Yesus tidak berdoa untuk semua pihak yang menyebut diri beragama Kristen! Bukan pula untuk terwujudnya kekaisaran Kristen yang mendunia. Doa ini bukan untuk kesatuan organisatoris yang terlihat dari gereja, tanpa memandang ajaran dan keyakinan. Pada masa Reformasi, gereja Katolik Roma telah melenceng dari ajaran Alkitab yang sejati, khususnya perihal doktrin keselamatan. Sehingga, para reformator jelas-jelas enggan untuk menyatakan persetujuan dengan gereja yang telah khilaf dengan seriusnya. Persatuan dengan orang percaya, YA!; persatuan dengan Injil yang keliru, TIDAK!

Kedua, Tuhan berdoa supaya kesatuan ini menjadi kesatuan yang ditopang oleh kebenaran.

“Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran” (ay. 17). Ia berdoa demi pemurnian gereja; Ia berdoa agar umat-Nya dipisahkan bagi kepujian dan alat kemuliaan Bapa. Ia meminta agar gereja-Nya menjadi benar, terpisah dari dunia, dan memegang teguh misinya. “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (ay. 18).

Apa yang harus dilihat oleh dunia ketika ia mengamat-amati gereja?

Dunia harus tertarik dengan kesatuan kita yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu berdasarkan kebenaran. Sejarah gereja dipenuhi contoh-contoh mengenai perpecahan gereja yang sama sekali tidak perlu, baik yang disebabkan oleh minat pribadi maupun urusan-urusan tetek bengek. Perpecahan di tubuh Protestanisme juga sering menjadi skandal yang membuat dunia mencibirkan bibir kepada gereja. Namun, kita tak mungkin dapat memenuhi doa Tuhan Yesus dengan mengorbankan perbedaan-perbedaan yang nyata-nyata, khususnya ketika perbedaan tersebut berasaskan jantung hati Injil.

Orang-orang akan terkesan bila kita menjadi suatu komunitas yang mau peduli dan rela berkorban demi sesama. Lingkungan rumah tangga kita diwarnai oleh pemberontakan, perasaan tidak layak, dan hanya melalui persahabatan yang mendalam hal ini dapat mulai diatasi. Tiap individu yang memegang teguh Injil rela turun dan bergandengan tangan dengan kaum skeptis bahkan ateis untuk menciptakan dunia yang lebih baik pasti akan meneguhkan kredibilitas berita kita. Kita harus berkomitmen dalam menolong kaum papa, berdiri di pihak yang tertindas, dan memberi diri bagi mereka yang merasa Kekristenan tak lagi relevan.

Sekadar argumentasi intelek tak dapat memenangkan suatu generasi yang bersekolah di institusi yang tidak mementingkan konsistensi atau bukti-bukti rasional. Kekristenan, yang memang bertumbuh kembang dalam konteks sejarah dan penalaran, akan sulit bersaing dengan dunia yang makin mengabaikan fungsi rasionalitas. Tetapi suatu gaya hidup yang mengabdi untuk perbaikan hidup orang lain akan sulit ditolak. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Francis Schaeffer, gereja lokal “should not only be right, but beautiful.” Kasih akan memenangkan mereka.

Ketiga, Tuhan mendoakan kekudusan gereja.

“Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran” (Yoh. 17.15-17).

Gereja harus dikuduskan, yaitu menjadi komunitas orang percaya yang memeluk integritas yang tinggi, kemurnian dan kasih yang hidup kepada Allah. Nilai-nilai dunia harus ditolak; sesungguhnya, Alkitab menyaksikan bahwa seseorang yang mengasihi dunia, maka “kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu” (1Yoh. 2.15).

Mari kita camkan ini, kasih di dalam gereja menarik dunia; kekudusan di dalam gereja meyakinkan dunia. Pada gereja mula-mula, rasa takut yang sangat merasuki orang-orang pada zaman itu karena mereka melihat bahwa gereja benar-benar kuat dalam disiplin dan hidup yang kudus. Sayangnya, tatkala dunia mengamat-amati gereja pada masa kini, dunia menemukan bahwa kasih itu digeser dengan toleransi, membiarkan orang lain berbuat menurut keinginannya, tetapi jarang dunia melihat suatu komitmen terhadap hidup kudus.

Jika panggilan kepada hidup kudus ditaati, maka kita harus memiliki kemampuan untuk membedakan roh (discernment). Dipisahkan bagi Allah berarti bahwa kita mampu mengidentifikasi nilai-nilai dunia dan kita pada akhirnya memilih untuk hidup dalam irama yang sama sekali berbeda. Berada di dalam dunia tetapi bukan dari dunia itulah tantangan di depan kita.


PENUTUP

Bagaimanakah kita dapat menyaksikan Kristus dengan efektif di tengah-tengah kedangkalan serta bualan-bualan berbungkus religi pada zaman ini, juga corak-corak religiusitas yang kian individualistik? Bagaimanakah kita mampu menyeimbangkan integritas doktrinal dengan kesatuan tubuh Kristus? Yaitu bila kita mendengarkan sekali lagi tuntutan yang didoakan Tuhan Yesus: Untuk membaktikan kembali diri kita kepada kebenaran-kebenaran yang telah membuat gereja besar dan tersebar ke seluruh dunia. Satu iman, yaitu iman yang diwariskan para rasul dan seperti yang disaksikan para nabi, dan digemakan oleh gereja di sepanjang zaman.

Simak kata-kata mantan Uskup Agung Canterbury, alm. William Temple,

“If your conception of God is radically false, then the more devout you are the worse it will be for you. You are opening your soul to be moulded by something base. You had much better be an atheist.”

TERPUJILAH ALLAH!

MENIMBANG-NIMBANG AJARAN (Bagian 1)

Menilai Pengajaran Mimbar



BILA ANDA . . .

1. Berdiri di mimbar, menghadap jemaat, sedang menyampaikan khotbah.

· Anda mengkhotbahkan sesuatu yang bertentangan dengan minat dan selera kebanyakan jemaat pada masa kini. Anda sadar, khotbah Anda ini akan menimbulkan kontroversi. Dan benar. Selesai berkhotbah, seorang jemaat yang kebetulan di kantor mempunyai kedudukan tinggi menjabat tangan Anda sambil berbisik di telinga Anda, “Pak, tadi ajarannya ada yang salah!” Bagaimana reaksi Anda?

· Tak berhenti di situ, sang bos mengumpulkan anak-anak buahnya yang kebetulan menjadi penatua jemaat dan berkata, “Piye itu khotbahnya Pendeta A, khotbah kok tidak benar ajarannya. Mbok ya yang begitu-begituan jangan dikhotbahkan!” Dua hari setelah itu, Anda mendengar seorang jemaat lain melayangkan surat kepada majelis jemaat gereja Anda, dan memang surat itu kemudian ditanggapi secara pro dan kontra di dalam rapat majelis tersebut. Bagaimana reaksi Anda?

Atau,

2. Sedang duduk di antara bangku-bangku jemaat, sedang mendengarkan seorang pendeta tamu sedang berkhotbah.

· Menurut Anda, khotbahnya tidak benar. Selama Anda menjadi orang Kristen, Anda mengerti ajaran tidak seperti yang Anda dengar pada Minggu pagi ini. Anda berpikir, khotbah itu bertabrakan dengan ayat ini dan ayat itu. Anda bersiap-siap mengkonfrontasi pendeta itu, atau menanyai gembala jemaat Anda, atau melayangkan surat kepada majelis jemaat. Tapi, ah nanti dulu! Anda memilih untuk berpikir dan tidak terburu-buru. Anda butuh merenung. Tapi Anda merasa bahwa pengajarannya itu betul-betul salah, sehingga Anda memilih untuk menanyai pendeta jemaat Anda (atau menulis surat kepada majelis jemaat).

· Namun Anda kecewa berat! Anda mencari kebenaran, dan Anda melemparkan pertanyaan-pertanyaan kritis, tetapi Anda malah menerima jawaban, “Jangan menghakimi!” dan “Bukan hak kita menghakimi!” Lho, lho, bukan itu maksud Anda!

Apakah kita boleh menilai ajaran? Boleh, dan bahkan harus! Sebab tidak semua ajaran benar. Tulisan saya berikutnya akan membahas ayat-ayat yang biasanya dipakai untuk mempersenjatai diri demi rasa aman agar tidak diserang, yaitu doa Tuhan Yesus di Yohanes 17 dan “Jangan kamu menghakimi” (Mat. 7.1). Untuk saat ini, saya akan mengajak Anda bagaimana bersikap bijak dalam menilai suatu ajaran. Kiranya bila Anda seorang pengkhotbah, marilah kita bersama-sama semakin bertanggung jawab dengan tugas yang dipercayakan kepada kita dan tidak perlu merasa diserang bila memang telah melakukan tugas yang Tuhan percayakan kepada kita. Bila Anda jemaat, kiranya Anda pun tidak lekas-lekas menelan apa yang diajarkan dari atas mimbar atau melalui media apa pun yang Anda sempat dengar atau saksikan.


DUA MACAM PENAFSIRAN

Banyak orang Kristen salah mengerti bahwa tugas menafsir itu sama dengan mengimajinasikan Alkitab menurut pikiran dan kehendak pribadi. Sehingga, penafsiran itu sangat berbahaya dan menentang Alkitab. Alkitab jangan ditafsir! Jangan dipikirkan susah-susah! Dibaca, lalu dilakukan saja dengan patuh total kepada Tuhan!

Namun, seperti yang dikatakan oleh seorang kawan saya, pemikiran tersebut sangat merendahkan Alkitab produk Lembaga Alkitab Indonesia. Ya, Alkitab yang setiap minggunya kita jinjing di tangan. Sebab, para tokoh di LAI adalah pakar-pakar di bidang penafsiran dan bahasa Alkitab. Untuk menerjemahkan, mereka harus melakukan penafsiran. Contoh:

Yohanes 4:35 Bukankah kamu mengatakan: Empat bulan lagi tibalah musim menuai? Tetapi Aku berkata kepadamu: Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai.”

Coba bandingkan dengan terjemahan the New Jerusalem Bible, terjemahan para pakar Katolik yang berusaha setia dengan bahas Alkitab,

Do you not have a saying: Four months and then the harvest? Well, I tell you, look around you, look at the fields; already they are white, ready for harvest!

Atau terjemahan the New American Standard Bible, hasil pakar Protestan yang juga berusaha setia dengan bahasa Alkitab,

"Do you not say, 'There are yet four months, and then comes the harvest '? Behold, I say to you, lift up your eyes and look on the fields, that they are white for harvest.

Anda melihat perbedaan antara “kuning” di LAI, dan “putih” di kedua terjemahan Inggris. Bahasa aslinya (Yunani) adalah “putih” (leukai). Kalau begitu, apakah Alkitab LAI keliru? Tidak! Sebab para ahli, setelah melakukan pertimbangan akademis yang panjang, menafsirkan kata tersebut dalam konteks Indonesia, kemudian melakukan kontekstualisasi. Di Indonesia, ladang yang sudah siap dituai selalu tampak kuning, bukan putih. Dan hal ini akan sangat memudahkan pembaca Indonesia.

Hal di atas adalah satu contoh yang sederhana. Masih banyak hal lain yang serupa dalam Alkitab kita. Tetapi satu hal yang kita perlu ingat yaitu, kita tak dapat menghindari penafsiran, sebab tanpa menafsir, Anda tidak pernah menjalankan Kitab Suci!

Anda mungkin akan berkata, “Saya hanya membaca Matius 5-7 dan kemudian saya melakukannya. Titik.”

Tetapi bila saya kemudian bertanya kepada Anda, “Menurut Anda apa arti ‘miskin di hadapan Allah,’ dan apa pentingnya untuk hidup Anda?”

Anda menjawab, “Hidup adanya di depan Allah, dan ucapan itu mengajar saya untuk hidup merendahkan diri di hadapan Allah, bagaikan orang yang miskin tak punya apa-apa.”

Nah, sesungguhnya Anda sudah menafsir! Bahwa menurut Anda isinya ayat itu seperti yang Anda ucapkan.

Jadi, tak pernah orang yang membaca Alkitab lepas dari penafsiran. Yang ada adalah penafsiran yang bertanggung jawab di satu sisi, atau penafsiran yang ekstrem di sisi lain.


PENAFSIRAN YANG BERTANGGUNG JAWAB

1. Berpusatkan Kristus (Christocentric)

Penafsiran yang benar akan meninggikan Kristus. Kristus yang mana? Kristus yang diberitakan oleh Kitab Suci, bukan yang diinginkan oleh jemaat pada masa kini! Bila banyak orang Kristen menantikan Kristus yang menjadi miskin supaya semua orang kaya, bahkan hidup berkelimpahan, lalu semua orang katakan “Amin!” maka Kristus yang seperti ini bukan yang dikabarkan oleh Kitab Suci.

Kristus yang selaras dengan berita Kitab Suci adalah Kristus yang memenuhi pengharapan PL serta digemakan kedatangan-Nya oleh para rasul-Nya. Kristus yang menderita, disalib, dan dibangkitkan. Kristus adalah Mesias, dan setiap orang yang percaya kepada-Nya bersembah sujud dengan patuh. Tanpa ada embel-embel supaya Kristus itu memberi sesuatu dengan berlimpah-limpah. Kristus itu sudah terlebih dahulu memberikan segala sesuatu, bahkan yang terbaik.

2. Menyejarah (Historic)

Iman Kristen adalah iman yang hadir dalam sejarah. Penggalian arkeologis dan penemuan ilmu pengetahuan meneguhkan berita Alkitab, sekalipun kebenaran berita Alkitab tidak bergantung kepada penemuan-penemuan arkeologis tersebut. Berita Alkitab koheren dalam berita dari awal sampai akhirnya, berkisah tentang tindakan Allah di dalam semesta.

Tetapi hal yang lebih penting adalah bahwa berita Alkitab menyentuh jantung kehidupan sejarah umat manusia yang paling dalam. Kebenaran Alkitab tidak hanya mengatakan sesuatu perihal hidup setelah kematian. Allah hadir dalam sejarah dunia. Allah bertindak di sepanjang sejarah dunia. Allah menguasai sejarah dunia. Allah adalah pengharapan sejarah dunia. Mesias Yesus adalah sosok pribadi yang hadir tepat di pusat sejarah dunia. Ia adalah tokoh yang hidup dalam sejarah. Oleh sebab itu, untuk menjadi pengajar Alkitab yang bertanggung jawab, seseorang perlu mempelajari sejarah Alkitab secara cermat dan bersungguh-sungguh.

3. Kanonik (Canonic)

Berita Alkitab utuh, dari awal sampai akhir. Tidak ada pengajaran di dalamnya yang khilaf atau menyesatkan. Pengajaran di PL diteguhkan dan digenapi di PB. PL tidak pernah bertentangan dengan PB. PB menafsirkan berita PL dengan setia. PB merupakan penggenapan berita PL. Karena itu ajaran yang benar bukan ditentukan pada berapa banyak ayat yang dikutip, tetapi apakah ayat tersebut benar bila ditelaah dari kacamata teologi alkitabiah dari PL sampai ke PB. Karena itu, hendaklah kita waspada dengan pengajaran “asal banyak ayatnya” untuk membangun pengajaran-pengajaran tertentu. Di sinilah penting untuk sedapat mungkin menguasai bahasa asli Alkitab dan mengerti teologi biblika.

4. Katolik (Catholic)

Apa artinya? Kita bukan penafsir pertama Alkitab! Kita menafsirkan Alkitab bersama dengan orang-orang percaya sepanjang zaman di segala tempat! Alkitab tidak pernah mengajarkan sesuatu yang sama sekali baru, yang belum pernah dipikirkan atau dirumuskan oleh orang lain. Dalam hal ini, kita perlu rendah hati, bahwa penafsiran harus berada dalam terang Gereja Tuhan dari mulai berdirinya sampai pada masa sekarang ini! Untuk itu, kita pun perlu mendengarkan perkataan Bapa-bapa Gereja yang telah bergumul dengan Kitab Suci, merumuskan ajaran-ajaran pokok Kekristenan dan menghadapi ajaran-ajaran sesat pada zamannya.

Mengapa perlu belajar kepada Bapa Gereja? Apakah mereka tidak dapat salah? Bisa! Tetapi ada hal-hal pokok yang mereka wariskan kepada Gereja yang masih dipegang oleh gereja sampai saat ini. Contohnya: Keilahian dan kemanusiaan Kristus, merupakan hasil pergumulan Bapa-bapa Gereja di Konsili Kalsedon (451 M.). Para reformator arus utama, misalnya Luther, adalah seorang yang kritis dengan Gereja Katolik, tetapi ia adalah “murid” Augustinus yang setia, dengan membaca tinggalan-tinggalan tulisan Augustinus. Calvin juga belajar banyak dari Bapa-bapa Gereja, bahkan ia kagum dengan mistikus Katolik Bernard dari Clairvaux. Sebaliknya, bidat-bidat biasanya mengabaikan belajar dari bapa-bapa gereja, dan kemudian mengajarkan sesuatu yang aneh, yang asing, meskipun menarik!


PENAFSIRAN YANG EKSTREM

1. Berpusat pada manusia (Anthropocentric)

Penafsiran ditujukan memberi janji-janji yang menyenangkan kepada manusia. Segala yang dilakukan Allah ditujukan semata-mata untuk kepentingan manusia. Dan, Allah senang melakukannya demi kita. Apa yang kita minta, maka name it and claim it!, maka kun faya kun! Pasti jadi! Apa yang kita minta? Kesembuhan? Kelimpahan? Tuhan yang kaya tidak akan kekurangan cara untuk memenuhkan hal ini.

Penafsiran corak ini adalah yang ditentang oleh Luther dalam Disputasi (Perdebatan) di Heidelberg (1519) sebagai “teologi kemuliaan,” yaitu memuliakan manusia atau seperti yang diungkapkan Dietrich Bonhoeffer, “anugerah yang murahan” (dalam bukunya Nachfolge atau terj. Inggris The Cost of Discipleship).

2. Tidak Menyejarah (Ahistoric)

Ditandai dengan dualisme surga-neraka, berkat bagi umat Allah-kutuk bagi yang bukan umat, iman-tidak beriman. Mengabaikan latar belakang sejarah dan kondisi sosio-politik dan sosio-ekonomi zaman PL maupun PB. Alkitab dikutip dengan sembarangan supaya pas untuk selera dan minat jemaat.

Di sisi lain ada pula pengajar Alkitab yang memperlakukan Alkitab sebagai gudang “kebenaran abadi,” doktrin-doktrin spekulatif yang dicari pembenarannya melalui ayat-ayat Alkitab.

3. Esoteris (Esoteric)

“Esoteris” dapat berarti hanya dapat dimengerti oleh sekelompok eksklusif, atau sulit untuk dipahami, atau bisa pula rahasia dan sangat rahasia. Biasanya pengajaran seperti ini mengarah kepada dua tingkat orang percaya: yang biasa dan yang rohani. Pengajaran Kristen akhir-akhir ini diwarnai oleh corak penafsiran seperti ini. Bila tidak memiliki karunia rohani tertentu, maka belum mendapat kepenuhan sebagai anak Allah. Bahasa roh yang berupa ceracauan asing biasanya yang diunggulkan.

Atau di pihak lain kebangkitan Gnostisisme mengajarkan bahwa setiap orang harus mencari “terang primordial,” yaitu kemampuan untuk mengalami yang ilahi sejak zaman penciptaan manusia pertama, yang tidak terusakkan oleh dosa, hanya belum disadari saja oleh manusia.

4. Eksentrik (Eccentric)

Istilah Inggris lainnya untuk eccentric adalah whimsical, yang berarti (i) imajinatif dan impulsif; (ii) agak janggal; (iii) sulit ditebak. Jadi, penafsiran yang eksentrik ditandai dengan benar sendiri. Tidak perlu dicek dan ditegaskan oleh yang lain. Penafsiran saya adalah yang benar, sedangkan yang lain-lain keliru. Orang seperti ini cenderung menganggap semua penafsir Alkitab sebagai orang-orang yang membual dan mengatakan hal omong kosong. Jelaslah, orang seperti ini tidak akan bersedia untuk belajar dari bapa-bapa gereja!


KESIMPULAN

Tanggung jawab seorang pelayan firman Allah tidaklah mudah! Tugasnya memuliakan Kristus, belajar sejarah, mengenal pengajaran Kitab Suci baik-baik, dan berusaha selaras dengan pengajaran Gereja Kristus sepanjang zaman.

Sedangkan, tanggung jawab jemaat tak kalah pentingnya! Implikasi-implikasi kritis maupun praktis dari khotbah perlu dipikirkan. Kemudian, jemaat perlu bertanya, bagaimana khotbah ini mengantar saya semakin menundukkan diri kepada Kristus? Apakah dengan khotbah ini saya semakin diajak mengenal Kitab Suci? Apakah saya dituntun untuk melihat panorama Alkitab nan indah itu? Dan, apakah saya diantar sampai kepada iman yang diajarkan oleh para rasul dan disaksikan oleh bapa-bapa gereja?

Marilah kita tidak lelah mencintai Kitab Suci dengan terus rindu untuk mempelajarinya. Beli dan baca buku-buku yang bermanfaat untuk memperkaya pemahaman kita akan kekayaan Alkitab. Sediakan waktu untuk menelaah Kitab Suci baik secara pribadi maupun berkelompok. Baca juga buku-buku teologi sistematik atau dogmatika yang baik.

Bila Anda masih memiliki kebimbangan dengan apa yang Anda terima, jangan ragu untuk bertanya kepada rohaniwan yang benar-benar mengabdikan diri untuk mempelajari Alkitab dengan sungguh-sungguh. Tidak semua orang mengajarkan Alkitab dengan benar. Tetapi, Tuhan selalu mengutus “gembala-gembala yang adalah pengajar-pengajar” di dalam gereja (perhatikan Ef. 4.11, dalam bahasa asli, tous de poimenas kai didaskalous). Sedikit memang, tetapi bukan mustahil untuk dijumpai. (261006)

TERPUJILAH KRISTUS!