Friday, October 27, 2006

MENIMBANG-NIMBANG AJARAN (Bagian 3)

Perihal Jangan Menghakimi!


“SESAT!”

Itulah kata yang paling tabu untuk diucapkan. Mengucapkan itu berarti menjatuhkan palu hakim. Reaksi orang yang mendengar dan yang tidak suka adalah, “Siapa kamu, kok berani-beraninya menghakimi!” Nampaknya, seseorang semakin dilarang untuk bersikap kritis. “Siapa sih yang sempurna?!” Dasar ayatiahnya adalah, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Mat. 7.1).

· Siapa kamu sehingga berani berkata bahwa orang-orang yang berjatuhan dalam suatu kebaktian kebangunan rohani karena “rebah dalam roh” oleh penumpangan seorang hamba Tuhan yang diurapi sebenarnya bukan merupakan manifestasi dari Roh Kudus?

· Siapa kamu kok berani berkata bahwa fenomena mukjizat akhir-akhir ini berbeda dengan yang dilakukan Yesus, dan orang-orang yang mengaku disembuhkan dalam kebaktian ini bukan merupakan kerja dari kuasa Tuhan?

· Siapa sih kamu kok sombong merasa doktrinmu paling benar, dan doktrin yang diajarkan di gereja lain salah?

Tentu, daftar itu masih bisa ditambah. Tetapi cukuplah untuk kita ketahui bahwa paling tidak ada dua tipe orang. Pertama, mereka yang membiarkan orang lain punya cara hidup, pengajaran, penafsiran Alkitab, gaya beribadah bahkan nilai-nilai yang dianut dalam kehidupan.

Tetapi yang kedua, ada pula orang-orang yang hobi menghakimi, para kritikus yang terus mengasah mata panahnya, membidikkannya kepada sasaran-sasaran yang kontra dengan mereka. Nah sayangnya, mereka ini biasanya orang-orang yang tidak hanya melontarkan kritikan kepada pihak lain dengan cara yang tidak benar, tetapi juga dengan dasar argumentasi yang tidak benar! Mereka melancarkan kritikan bukan oleh sebab mengerti pengajaran alkitabiah, tetapi cenderung berpijak kepada keyakinan-keyakinan pribadi yang selama ini mereka anut. Seperti kaum Farisi pada zaman Yesus, yang menujukan mata mereka hanya kepada tata aturan hukum dan mengabaikan keadilan, welas asih dan cinta kasih.

Kepada siapa Yesus melancarkan kalimat di atas? Kepada kedua pihak. Tetapi apakah kalimat tersebut berarti membuat kita tidak boleh menimbang-nimbang apa yang benar dan apa yang salah? Sama sekali tidak. Sebab, dalam konteks terdekatnya, Yesus berkata, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” Oo, bagaimana mungkin kita dapat belajar untuk mematuhi ayat dalam Khotbah di Bukit ini bila kita tidak belajar untuk mengenali “anjing” dan “babi” (ay. 6)?

Selanjutnya di ayat 15, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.” Wah, ucapan Tuhan ini sangat keras sekali, bukan? Nabi-nabi palsu disebut sebagai serigala yang buas! Tetapi bagaimana dapat mengenali nabi-nabi palsu? Tentulah dari apa yang membedakan mereka dari nabi-nabi yang benar, yaitu ajaran mereka.

Sejengkal saja, Yesus melanjutkan kalimat dengan lebih tegas lagi, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (ay. 21-23). Nah, kita mungkin bisa salah dalam banyak hal, tetapi dalam hal yang satu ini, yaitu ajaran yang benar, hendaknya kita tidak menganggapnya remeh.

Lalu apa arti perkataan Yesus, “Jangan menghakimi?” Yaitu hendaklah kita tidak menjadi seperti orang-orang Farisi, yang suka menghakimi tetapi buta terhadap kebenaran yang sejati. Mereka memakai standar kesalehan pribadi. Tuhan Yesus melarang kita menjadi seperti orang Farisi, tetapi tidak melarang kita untuk membuat penghakiman untuk hal-hal yang prinsipal.


BAGAIMANA?

Catatan awal yang harus kita sepakati bersama: tak seorang pun dapat membuat penilaian atau penghakiman yang sempurna. Kecuali Tuhan Yesus sendiri! Bahkan para saleh dan leluhur iman kita pun bisa tidak sepakat dalam hal-hal tertentu. Dalam mempelajari sejarah gereja, ketidaksepakatan ini sering ditonjol-tonjolkan. Yohanes Calvin menentang Kardinal Jacobo Sadoleto. Martin Luther melawan Erasmus. George Whitefield melawan John Wesley.

Lho, dalam sejarah gereja dialektika seperti ini sering menjadi acuan orang untuk malas mempelajari teologi. Yang ini melawan yang itu. Yang di sana ditentang yang di sini. Oo, sejenak mari kita melihat sisi lain. Bahwa dalam sejarah gereja ada upaya-upaya doktriner untuk mempersatukan keyakinan Gereja Tuhan. Cobalah kita ingat bahwa di tengah-tengah kontroversi mengenai Perjamuan Tuhan antara Luther dan Zwingli, ada Calvin yang menengahi. Martin Bucer menjadi pelopor reformasi yang memotivasi Strassbourg menjadi kota yang sejuk dan damai bagi kaum Protestan, Katolik bahkan Anabaptis. Sampai sekarang, semangat ini dilanjutkan dengan dialog-dialog antardenominasi, bahkan diupayakan terus oleh Dewan Gereja-gereja Sedunia, khususnya Komisi Iman dan Tata Gereja. Jadi boleh dikatakan, pemahaman yang benar akan doktrin justru mendorong upaya-upaya penyatuan tubuh Kristus. Beberapa prinsip yang perlu kita pegang dalam memberikan penilaian mengenai ajaran:

Pertama, kerendahan hati, bukan superioritas

Mentalitas Farisi yang dibedah habis-habisan oleh Tuhan Yesus adalah kesombongan diri dan khilaf untuk mengevaluasi diri. Coba perhatikan Matius 7.3-4, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.”

Yesus nampaknya sedang mengajar dengan bercanda. Coba bayangkan, suatu kali Anda melihat di gereja seseorang yang di matanya menempel balok besar. Lalu orang itu berkata kepada kawannya, “Hai kawan, di matamu ada bubuk kayu. Mari kuambilkan!”

Mari kita renungkan hidup menggereja saat ini. Ada orang yang memiliki keprihatinan terhadap pembangunan tubuh Kristus. Hasratnya, gereja ini harus menjadi gereja yang tertata dan berjalan dengan benar: baik dalam pengajaran mimbar, dalam administrasi, maupun dalam kegiatan-kegiatan komisi. Maka, ia mengusulkan sederetan nama pengkhotbah ternama dan terlaris supaya jemaat dibangunkan dari “tidur rohani.” Kalau perlu, dia, karena kaya raya, yang menjadi pendukung utama dananya. Kalau Anda mencermati, sesungguhnya orang ini sama sekali tidak berminat dalam kebenaran! Balok di matanya belum pula ia singkirkan, sementara ia sibuk dengan bubuk-bubuk kayu yang ada di mata orang lain.

Atau mungkin saja, seseorang tidak berani menilai ajaran, ya karena integritas hidupnya diragu-ragukan! Alias, ia tahu tentang banyak yang benar, tetapi sedikit bertindak yang benar.

Namun, bila seseorang jujur di hadapan Tuhan, bahwa hasratnya semata-mata hanyalah untuk menyenangkan hati Allah maka ia tidak akan sembarangan menjatuhkan penghakiman kepada pihak lain. Bukan karena ia lebih senior sehingga merasa banyak tahu dan tahu banyak. Bukan karena ia telah membaca lebih banyak buku. Tetapi semata-mata karena ia melihat dirinya di hadapan Allah dan Mesias Yesus; orang ini tidak akan menghakimi dengan motivasi dan cara yang salah.

Maka, semakin kita rendah hati, semakin besar belas kasihan yang kita tunjukkan kepada orang lain. Seseorang yang sudah menerima rahmat, hendaklah ia mendemonstrasikan rahmat itu kepada orang lain. Ia yang telah berdiri oleh kasih karunia, kiranya sekarang dengan suka hati mengundang orang lain untuk menikmati anugerah yang besar seperti yang diterimanya.

Kedua, berdasarkan fakta-fakta, bukan bualan-bualan

Semakin cepat kita menghakimi, maka semakin sedikit data yang kita pakai untuk melandasi argumentasi kita. Ada orang yang tahu banyak informasi, tetapi fragmentaris, artinya berserakan dan tidak tersusun. Orang yang seperti ini cenderung cepat untuk menghubung-hubungkan informasi yang ada di kepalanya, menurut hasrat, naluri dan intuisi untuk menentang lawan debatnya. Yang paling gampang dimainkan adalah menghubung-hubungkan ayat-ayat Alkitab. Tetapi marilah kita mendengar nasihat firman Tuhan mengenai hal ini, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Ams. 18.13).

Lalu? Seorang kawan saya, yang sangat kritis dan mengenyam pendidikan di fakultas teknik kimia, pernah berdebat dengan seorang sahabatnya, sebut saja Imron, mengenai fenomena KKR kesembuhan ilahi. Karena terdesak, si Imron berkata, “Kamu tidak boleh menghakimi. Bagaimana kita tahu bahwa itu bukan dari Tuhan?”

Kawan saya segera menjawab, “Lhoo sebentar, bukankah Anda pun sekarang sudah menghakimi saya, kan? Saya punya data, dan dari data itu maka saya simpulkan fenomena yang sedang marak sebagai tidak benar. Anda tidak punya. Ketika saya ungkapkan data yang saya miliki, Anda malah mengatakan saya menghakimi. Nah, Anda telah menghakimi saya tanpa data.”

Ya benar, Anda mungkin bertanya, emang berapa data sih yang kita punyai? Jelas tak seorang pun yang menguasai semua data. Isi kepala kita ada batasnya. Penilaian kita mengenai sesuatu bisa salah. Namun, untuk menghindarkan diri dari penyimpulan yang sembrono, maka kita harus terus melatih diri untuk mengolah data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap data yang kita punyai, dan memiliki saksi-saksi.

Inilah yang terhilang pada zaman sekarang. Para pengkhotbah menyampaikan sesuatu yang benar menurut diri mereka sendiri.

Hanya saja, orang-orang yang mencintai pengajaran dan para pengembara kebenaran patutlah terus belajar untuk mengendalikan penghakiman. Tentu dakwaan tidak perlu kita jatuhkan kepada setiap pengkhotbah, setiap kali mendengarkan firman, setiap kali kita membaca buku atau menonton film. Bila kita tahu kita tidak memiliki informasi yang cukup, berhati-hatilah. Fakta yang cukup, data yang kuat dan argumentasi yang logis itu perlu.

Ketiga, perihal kata-kata dan tindakan, bukan motivasi

Kata orang bijak, “Dalamnya laut dapat diterka, dalamnya hati siapa tahu?” Hanya Tuhan saja yang mengetahui isi hati. Bila Anda mengikuti kebaktian di suatu gereja dan mendengar sang pengkhotbah berkata, “Bawa kemari hartamu! Itu akan menjadi investasimu di surga. Tuhan akan melipatgandakannya!” Anda kemudian berpikir si pengkhotbah tamak harta. Bagaimana Anda tahu, bila Anda tidak mengenalnya?

Yang Anda dapat ketahui dari kesaksian Alkitab adalah bahwa pengkhotbah itu mengikuti jalan guru-guru palsu. “Dan karena serakahnya guru-guru palsu itu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceritera-ceritera isapan jempol mereka. Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda” (2Ptr. 2.3).

Jadi, kita seharusnya mengajukan kritik atas doktrin, metode dan gaya hidup seseorang, tetapi bukan isi hatinya. Ini bukan berarti kita berhenti menimbang-nimbang motivasi kita sendiri. Tanyakan selalu dalam diri kita, “Mengapa sih kita membuat penilaian terhadap ajaran orang lain? Apa yang mendorong kita mengritik guru-guru palsu, kebaktian yang seperti tontonan hiburan?”

Maka, ingatlah selalu perintah Yesus untuk pertama-tama menyisihkan balok di mata kita sendiri. Kemudian, motivasi kita seharusnya ditujukan untuk membimbing orang lain, dengan cara meneguhkan orang lain kepada jalan keselamatan yang sejati. Mari kita selalu terbuka kepada Allah yang menyelidiki hati: hati kita yang paling dalam!

Keempat, isu-isu alkitabiah, dan bukan selera-selera pribadi

Bila Anda hendak mengritik, tanyakanlah: Kebenaran alkitabiah apa yang sedang disangkal? Kebenaran alkitabiah apa yang sedang digeser? Kebenaran apa yang sedang diabaikan? Kebenaran apa yang ditekankan secara tidak seimbang?

Memang! Kita tidak mungkin dapat setuju dalam segala sesuatu. Pemahaman yang kita sadari terbatas itu sangatlah dibatasi oleh konteks, latar belakang, pengalaman kita. Tetapi dalam menilai, hendaklah kita mampu merujuk pada ayat Alkitab atau prinsip kebenaran alkitabiah, sembari menyadari bahwa prinsip tersebut terbuka untuk dikoreksi. Perhatian dan motivasi kita adalah apa yang Allah nyatakan dalam Alkitab, bukan minat dan selera pribadi.

Tuhan Yesus menentang orang-orang yang menyelewengkan Kitab Suci. Rasul Paulus pun memperingatkan gereja untuk tidak digeser dari kebenaran Injil. Para penulis Surat-surat Umum dengan berkobar-kobar menyerukan agar gereja mengingat iman yang diajarkan oleh rasul-rasul Tuhan, dan menegaskan Kristus yang benar. Hal ini kiranya membuat ingat mengingat terus, pemahaman yang selama ini kita terima bisa saja salah. Namun kita dapat mengevaluasi demikian itu bila kita melakukan pertimbangan-pertimbangan dengan data yang baru.


PENUTUP


Mengutip sebaris lagu Project Pop, “Apa yang dapat mempersatukan kita? Salah satunya dengan musik . . . Dangdut is the music of my country.” Apa yang mempersatukan orang Kristen? Yaitu paling tidak substansi iman Kristen seperti tertuang dalam Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan pengakuan-pengakuan ekumenis lainnya. Gereja Katolik Roma, Gereja Ortodoks Timur, Gereja Reformasi, Gereja Ortodoks Rusia, dan masih banyak gereja, menerima pengakuan-pengakuan iman di atas. Ada banyak hal yang berbeda pada masing-masing gereja. Namun kita berani mengatakan, bahwa gereja-gereja ini adalah pewaris-pewaris tradisi suci para rasul.

Lebih spesifik, Gereja-gereja Reformasi di seluruh dunia juga memiliki pengakuan-pengakuan masing-masing. Terdapat perbedaan di sana-sini. Tetapi, seperti yang diamati oleh Shirley C. Guthrie, teolog Reformed kawakan, ada banyak persamaan yang fondasional, yang mencirikan gereja-gereja tersebut sebagai reformed.

Hal yang sama terjadi pada dogma Marxis-Leninis fundamental. Kemajemukan pandangan dapat diamati dalam ajaran masing-masing partai komunis yang tersebar di seluruh dunia. Tetapi mereka dieratkan oleh pokok-pokok ajaran yang fundamental. Ketika yang fundamental ini digoncang, maka suatu kelompok komunis pun kehilangan jati dirinya. Dan bila suatu kelompok kehilangan jati dirinya, maka ia berhenti untuk menyajikan suatu intisari bersama yang mampu menggerakkan komitmen anggota-anggotanya sebagai satu ikatan persaudaraan.

Maka, cobalah melalaikan diri kita untuk mempertahankan pokok-pokok dasar iman Kristen, dan kita akan kehilangan sama sekali suatu pengharapan akan kesatuan sejati tubuh Kristus!

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment