Tuesday, October 24, 2006

Spiritualitas Media Cetak

SPIRITUALITAS MEDIA CETAK:
MASIHKAH RELEVAN UNTUK GEREJA?


MENDEKATI DUNIA KITA

Data 1. Masyarakat Indonesia kebanyakan bukan komunitas pembelajar. Budaya dan etos kita tidak mendukung eksplorasi dan analisis data dengan cermat dan tajam, tetapi mengandalkan indera penglihatan dan pendengaran. Sebenarnya masyarakat kita masih memandang pembicara sebagai pihak yang sangat otoritatif, atau guru yang serba tahu. Memang kita berusaha keras untuk mengumpulkan informasi terbaru, tetapi bukan melalui penyelidikan pribadi dengan membaca banyak pustaka.

Coba mari kita jujur dengan keadaan gereja kita. Tak sedikit jemaat yang mencari “makanan kedua” di gereja lain, bukan? Bahkan termasuk aktivis dan majelis. Mengapa? Konon, mereka ingin belajar firman Tuhan lebih dalam lagi. Tentu kita tidak akan meragukan hasrat yang murni tersebut. Namun, kenyataan ini di sisi lain malah membuka tabir sifat dasar orang Kristen yang tidak suka belajar. Semakin jarang warga jemaat yang serius menggali firman Tuhan secara pribadi. Juga makin sedikit jemaat yang mau membeli buku-buku teologi, dan mempelajarinya di rumah dengan tujuan dapat memahami Alkitab secara mandiri.

Data 2. Media elektronik yang menggeser media cetak. Etos di atas berpadu dengan semakin canggihnya media elektronik yang mampu memberikan informasi dengan visual dan suara. Informasi semakin mudah didapatkan hanya sekali memencet tombol remote-control. Menu acara tinggal dipilih sesuai keinginan. Paling tidak kita sekarang dapat mengakses 10 stasiun televisi, dan berpuluh-puluh stasiun radio. Dalam dunia yang semakin sibuk, hampir tak ada waktu bagi seseorang untuk duduk tenang dan mendulang informasi dari media cetak.

Nampaknya, ini pula sebab musabab banyak di antara kita yang kian tidak tenang dengan kebaktian yang konvensional. Kebaktian dituntut untuk menampilkan visualisasi di samping khotbah. Di rumah kita dapat memilih menu acara menurut selera. Di gereja, kita kehilangan kebebasan itu. Akhirnya, kita sering merasa bosan dan enggan ke gereja yang tradisional-konvensional. Tuntutan yang muncul kemudian ialah supaya fasilitas audio-visual diperlengkap (LCD, musik yang lengkap, dsb.), dan perlunya variasi dengan mengundang artis-artis ibu kota yang akan memecahkan kebekuan dan kesuaman ibadah di gereja.

Data 3. Maraknya metode pembelajaran humanisme. Menurut Merriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary, “humanisme” berarti suatu doktrin, sikap atau cara pandang kehidupan yang berpusatkan minat-minat dan nilai-nilai manusiawi (human), dan secara khusus suatu filosofi yang umumnya menolak hal-hal yang supranatural, yang mengangkat martabat dan kelayakan dan kapasitas manusia untuk mencapai suatu tingkat kepenuhan diri dengan bernalar. Humanisme berbeda dengan “humanitarianisme,” yaitu paham yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Humanisme dalam kemasan yang baru muncul dengan wujud penolakan indoktrinasi. Setiap peserta didik dianggap subjek yang dewasa dan dengan kehendak bebas mampu memutuskan untuk dirinya sendiri beragam data dan informasi yang diterima. Guru bukan sumber pengetahuan, yang mengambilkan keputusan untuk para peserta didik.

Sayang beribu sayang, masyarakat yang bukan komunitas pembelajar dengan kemampuan analisis baik ini sudah terlanjur dirembesi oleh filosofi ini. Sebenarnya kita tidak siap untuk menentukan sikap dan posisi pribadi dan mempertanggungjawabkannya. Sehingga, suasana chaos (kacau-balau) pun tak dapat dihindari.

Kondisi ini pun terjadi di banyak gereja lokal. Banyak jemaat menganggap pengajaran alkitabiah sebagai indoktrinasi yang menempatkan mereka hanya sebagai objek. Sebaliknya, para pengkhotbah dan pengajar sudah cukup dengan memberi data yang berupa tuntunan moral A – Z, dan kemudian menyerahkan kepada masing-masing pribadi jemaat untuk memutuskannya. Hamba Tuhan pun ambivalen, tidak jelas di mana posisi teologisnya. Akhirnya, banyak suara dan pendapat berkembang subur di dalam gereja, bukan seperti paduan suara dalam mana Sopran-Alto-Tenor-Bass menyanyikan satu lagu, namun saling bertentangan dan susah dipertemukan, apalagi diperdamaikan. Kita perlu sejenak berefleksi, nampaknya kebanyakan gereja sudah mulai memasuki gerbang heterodoksi (banyak ajaran), sehingga kita semakin sukar menjawab gereja yang benar itu yang mana.[1]

LITERATUR GEREJAWI DALAM TIGA ERA

Memang harus diakui, gereja dan literatur[2] berjalan bergandeng tangan. Berbagai denominasi pasti mengeluarkan produk pengajaran yang akan tertuang dalam literatur di sepanjang abad besar peradaban manusia. Berikut ini kita akan menilik hubungan antara gereja, literatur dan pembinaan jemaat dalam tiga era: pramodern, modern, dan pascamodern.

Literatur dalam Era Pramodern. Era pramodern boleh juga disebut era Gereja, sebab gereja menjadi pusat kehidupan masyarakat. Jika kita amati kota-kota kuno, gedung gereja dibangun tepat di pusat kota, dan kemudian di sekitarnya dibangun pemukiman penduduk dan sentra-sentra kegiatan masyarakat. Gereja pun berhasil mengambil posisi di atas pemerintah dan raja-raja. Lebih daripada itu, gereja adalah sumber pengetahuan dan kebenaran bagi komunitas. Dalam bahasa filosofis, gereja menjadi epistemologi. Segala produk literatur gereja, baik pengajaran maupun peraturan, tidak mungkin khilaf dan tak terbantah. Setiap tafsiran Alkitab dari ecclesia docens (pengajar-pengajar) sudah pasti benar. Anggota komunitas sebagai ecclesia audiens (jemaat yang mendengar) tidak berani berkata “Tidak” kepada keputusan gereja, sebab dengan begitu mereka juga menentang kebenaran Allah. Lebih baik mereka menundukkan diri kepada imam-imam tertahbis supaya kehidupan rohani pun bertumbuh. Selama lebih dari seribu tahun, gereja menikmati angin segar!

Reformasi menggugat posisi gereja yang infallible ini. Gereja bukan di atas pemerintah tetapi seharusnya menarik batas yang jelas antara keduanya. Tetapi di atas semua itu, Reformasi hendak menumbuhkan etos bahwa gereja ialah “kerajaan imam” (priestly kingdom), yang menyadari kehidupan Kristianinya semata-mata berpijak pada satu doktrin “pembenaran melalui iman.” Pembenaran melalui iman inilah yang oleh Martin Luther disebut “pokok pengajaran yang di atasnya gereja tegak berdiri dan runtuh” (articulis statis et cadentis ecclessiae). Kehidupan Kristen ditampilkan sebagai buah dari anugerah Allah semata-mata, dan setiap orang Kristen dimotivasi untuk mempelajari Alkitab. Penatua pengajar (teaching elders) merupakan suatu jabatan khusus untuk menolong jemaat bertumbuh dalam pengenalan akan firman Tuhan, sebagai wakil Kristus yang disahkan dan ditetapkan sendiri oleh Sang Kepala Gereja melalui penumpangan tangan sidang penatua (collegium). Setiap produk literatur yang dihasilkan sebenarnya bertujuan untuk membuat jemaat “melek Alkitab” dan mencintai pengajaran Kitab Suci.

Literatur dalam Era Modern. Ditandai dengan Abad Pencerahan yang merupakan suatu gerakan filosofis di abad ke-18 yang ditandai oleh penolakan terhadap ide-ide sosial, religius dan politik tradisional, dan menekankan kuat-kuat rasionalitas manusia sebagai penentu kebenaran. Semangat berpikir either-or (pilih ini atau itu) bertumbuh subur. Hukum logika non-kontradiksi diikuti: Tidak mungkin dalam waktu dan tempat yang sama A bisa sekaligus adalah non-A. Era Modern ditandai dengan semangat dualisme, sekular dan religius. Keduanya tidak dapat dipersekutukan.

Era ini membuat banyak orang skeptis terhadap gereja dan segala urusan yang menjadi pranatanya. Khotbah-khotbah dianggap tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia yang rasional. Tindakan-tindakan ajaib Allah seperti yang disaksikan Alkitab dianggap sebagai dongeng khayalan pengantar tidur. Thomas Jefferson, salah satu penggagas deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat, adalah seorang Deis, yang menolak paham bahwa Allah masih berkarya secara aktif dalam dunia dan karena itu memungkinkan Allah untuk melakukan mukjizat. Ia mencopot semua tanda-tanda ajaib yang dilakukan oleh Yesus Kristus dari Alkitabnya. Hanya saja yang cukup aneh, ia tidak menghapus Kejadian 1 dan 2 yang mencatat mukjizat Allah yang pertama.

Semangat dualisme dengan dua kutub (sekular dan religius) telah membuat Gereja dan sekolah teologi terbelah menjadi dua, yaitu golongan yang dekat dengan kutub sekular—biasanya disebut Liberalisme, dan kutub religius—Konservatisme. Kubu Liberal bersikap skeptis terhadap pokok-pokok doktrin Kristen (trinitas, ketuhanan Kristus, otoritas Alkitab), dan mendekatkan diri pada nilai-nilai moral universal manusia, sementara kubu Konservatisme mengembangkan polemika dan apologetika untuk menangkal mentalitas kompromistis. Semua literatur gerejawi diarahkan untuk mendukung posisi masing-masing kubu.

Literatur dalam Era Pascamodern. Era “setelah Modern” ini dicirikan oleh semakin pudarnya kutub-kutub manusia. Perang Dunia I dan II, serta Holocaust yang menimpa hampir enam juta orang Yahudi di bawah kekuasaan Adolf Hitler membuat orang-orang sadar, bahwa jikalau manusia diberi kebebasan tanpa batasan, maka manusia akan menghancurkan diri sendiri dan lingkungan kehidupannya. Cara pandang “Ini dan bukan Itu” (either-or) telah menghasilkan penghisapan manusia atas manusia lainnya. Pengetahuan, kata filsuf pascamodern Michel Foucault, lahir dalam konteks penindasan. Pihak yang berhak mengatakan kebenaran adalah kaum yang berkuasa atau golongan mayoritas. Pengetahuan dan politik bagai dua sisi sebuah koin. Ia menggugat, dengan dasar apa masyarakat membenarkan pendapat seseorang yang berkuasa atau pendapat mayoritas? Siapa manusia yang dapat mengklaim kebenaran? Kesimpulannya, tidak ada seorang pun yang dapat mengklaim kebenaran sebagai miliknya!

Gereja menghadapi tantangan yang tidak dapat dianggap enteng. Gereja pun tidak dapat mengklaim kebenaran! Kebenaran juga dapat diperoleh di luar gereja. Allah dapat dijumpai di dalam agama-agama lain. Prinsip-prinsip kehidupan yang sejati juga tersimpan dalam bidang-bidang lain. Untuk mengalami Allah, seseorang dianjurkan untuk belajar dari keyakinan-keyakinan lain. Perhatikan apa yang terjadi di dalam kehidupan berjemaat. Bukan perkataan “Semua agama dan keyakinan itu sama di mata Tuhan,” yang meresahkan; tetapi yang lebih mengejutkan adalah ungkapan-ungkapan sejumlah aktivis gereja, “Tidak semua yang duniawi itu dosa,” atau “Kita harus mengikut arus tanpa terbawa arus!” Ungkapan tersebut sebenarnya menyingkap satu kenyataan bahwa gereja bukan satu-satunya pembentuk spiritualitas jemaat. Maraknya literatur dalam berbagai disiplin ilmu dan bidang kehidupan yang sangat mudah diakses kian memperjelas kenyataan ini. Literatur rohani terbitan gereja bukan satu-satunya pilihan jemaat.

Dari tiga data dan survei singkat di atas, nampaknya media cetak rohani kian lama kian terdesak sampai ke sudut ruangan. Minat belajar orang Kristen di negeri ini sangat kecil, sementara itu bentuk-bentuk kehidupan jemaat telah banyak diwarnai oleh bidang-bidang atau media lain. Dalam kondisi seperti ini, media cetak ditantang untuk mengambil langkah: gulung tikar, atau berpikir dari sudut marketing.

Maksudnya, jika media cetak masih tetap mau bertahan (jangan dahulu berpikir untuk memajukan!) maka media cetak harus mengikuti selera masyarakat. Demands (permintaan) akan bertambah bila selera massa terpenuhi. Media cetak, dengan demikian, tidak lagi berfungsi sebagai pembentuk pola pikir jemaat; sebaliknya, dinamika masyarakat dan jemaat yang menentukan bentuk media cetak supaya diterima. Kemudian, media cetak juga dituntut untuk memikirkan segmentasi. Siapakah pembacanya? Apa latar belakang pendidikannya? Apa latar sosialnya? Bagaimana cara pandangnya? Bagaimana teologinya? Untuk kelompok sosial seperti ini, tulisan siapa dan bentuk apa yang seharusnya tampil dalam penerbitan?

Beban ini bertambah berat dalam konteks pembaca begitu beragam. Sebut saja teologi yang sama sekali berbeda, dan posisi pengajaran yang bersapta-warna pelangi. Topik-topik teologis tertentu diminati segelintir jemaat, dan sebagian besar lagi akan cenderung bersikap acuh tak acuh dan segera memberi penilaian negatif. Pada akhirnya, laporan-laporan beritalah yang diminati.

MENEMUKAN KEMBALI TITIK PUSAT

Jadi, bagaimana sekarang? Literatur rohani telah melintasi zaman. Dari zaman kegelapan Pramodern yang memakainya sebagai alat kekuasaan para pejabat gereja, melalui zaman skeptisisme dan rasionalisme Modern yang mempertanyakan otoritas gereja, dan memasuki zaman kecemasan Pascamodern yang tidak mempercayai lagi kebenaran mutlak, media cetak kini perlu menemukan spiritualitas untuk zaman yang akan tiba. Penulis menyebut zaman itu “Pasca-pascamodern,” atau “Setelah Pascamodern.” Zaman ini dicirikan oleh pengharapan.

Mungkinkah media cetak mengantisipasi zaman Pasca-pascamodern itu? Itu berarti, media cetak harus mampu memberikan pengharapan bagi warga jemaat. Pengharapan yang dibutuhkan oleh jemaat. Tapi bukan menurut selera jemaat, sebab yang disukai belum tentu dibutuhkan, atau baik untuk pertumbuhan. Pengharapan ini kita dapatkan ketika kita kembali melihat cita-cita Allah Sang Khalik ketika Ia menciptakan alam raya.

Narasi penciptaan bertujuan satu, yaitu agar kemuliaan Allah dinyatakan di atas alam raya dan seluruh makhluk mengagungkan Dia. Namun tujuan ini diinterupsi oleh hadirnya dosa dalam diri manusia yang dicipta sebagai mahkota ciptaan sekaligus mitra Allah. Kemuliaan Allah ditarik. Apakah Allah gagal? Tidak! Allah memiliki rencana agung keselamatan akan akan diwujudkan atas ciptaan, yaitu dinyatakannya kembali kemuliaan Allah sebagai Raja atas ciptaan. Jauh di ujung sejarah dunia, Allah akan menghadirkan Kerajaan-Nya, yang di dalamnya setiap lutut bertelut dan semua lidah mengaku kebesaran-Nya. Di sanalah persekutuan yang sejati dan kekal akan terjadi antara Allah dan umat-Nya.

Sebagian orang, bahkan para teolog dan lulusan seminari masih menganggap bahwa Kerajaan Allah sama dengan surga di awan-awan nan jauh di sana. Tetapi, nampaknya bukan itu yang disaksikan Alkitab. Mohon, Wahyu 21 dan 22 bukan menerangkan suatu surga tempat kita nanti tinggal setelah kita dibangkitkan dan diangkat dan diundang masuk! Perikop ini merupakan gambaran agung dari klimaks ciptaan baru! Bukan “negeri di awan”! Tetapi suatu pemulihan sepenuh-penuhnya tata ciptaan. Itulah kosmos. Itulah langit baru dan bumi baru. Suatu tatanan baru di bawah pemerintahan Mesias Yesus!

Filipi 2.5–11 menyatakan bahwa Kristus adalah “rupa Allah” (ay. 6), yang merendahkan diri, dan karena itu ditinggikan. Jangan dulu menyimpulkan bahwa kita harus mengikut jejak hidup Kristus. Sebab, di ayat 10, tatkala Kristus ditinggikan, maka segala yang di langit dan di atas bumi dan di bawah bumi meninggikan Kristus. Sungguh akan bertolak belakang dengan Kitab Suci bila segala sesuatu akan bertelut dan meninggikan kita! Di balik perikop yang terkenal ini, terdapat kisah dua manusia. Adam pertama dan Adam kedua (Kristus). Nicholas Wolterstorff dari Universitas Yale menerangkan, “rupa Allah” sesungguhnya menyiratkan kekuasaan manusia atas seluruh bumi, yang di dalamnya Allah memberikan amanat untuk mengelola dan membangun bumi, untuk membangun peradaban yang manusiawi dan untuk menciptakan kebudayaan yang memuliakan Allah.[3] Adam pertama gagal memenuhi mandat budaya ini! Tetapi, oleh karena kepatuhan Adam kedua (Kristus), maka sekarang kekuasaan itu sepenuhnya diserahkan kepada Adam kedua, dan di bawah kaki-Nya, seisi alam raya menaikkan puja dan sembah. Mesias Yesus adalah Tuhan!

Pengakuan terhadap ketuhanan Mesias Yesus ditandai dengan kelahiran suatu umat manusia baru, suatu komunitas yang percaya kepada-Nya, oleh kuasa Roh Kudus, yang dicirikan oleh kasih (perhatikan Flp. 2.5!). Tetapi pengakuan ini juga terlihat jelas dengan hadirnya suatu kebudayaan yang memanusiakan manusia sebagai wujud nyata bahwa Allah dimuliakan di dalam kebudayaan itu. Saling mengasihi dan membangun kebudayaan baru adalah karakteristik komunitas Mesias Yesus. Implikasinya, gereja sebagai komunitas baru harus memutuskan, apakah Yesus Kristus adalah Tuhan atas segala sesuatu atau bukan Tuhan sama sekali!

LALU . . . .

Apa relevansinya bagi peran media cetak berperan dalam pembinaan warga jemaat? Meski berat tantangan yang dihadapi, namun media cetak tetap memiliki nilai-nilai strategis. Pertama, media cetak perlu memiliki visi dan misi yang berpadanan dengan isi hati Allah. Visi media cetak adalah menjadi pelopor hadirnya Kerajaan Allah, dan misinya adalah untuk membangun komunitas baru yang mewujudnyatakan kasih dan suatu kebudayaan alternatif yang memuliakan Allah—suatu kebudayaan yang menundukkan diri di hadapan Mesias Yesus dan yang berjuang demi pemerdekaan manusia.

Kedua, langkah-langkah strategis untuk mencapai isi hati Allah tersebut adalah dengan menanamkan perspektif Kristen dalam semua segi kehidupan. Pascamodernisme membuka kearifan bahwa realitas bukan data mentah yang siap ditemukan. Realitas didekati dengan perspektif penafsir. Media cetak harus berani mendekati semua aspek kehidupan dari perspektif iman Kristen: dari psikologi sampai ekonomi, dari politik sampai teknologi, dari ateisme sampai pluralisme. Tujuannya yaitu supaya setiap aspek kehidupan itu benar-benar diterangi oleh kebenaran Kristus, sehingga tak seorang Kristen pun yang akan berkata, “Tidak semua yang duniawi itu dosa.”

Ketiga, dalam konteks filsafat pendidikan humanisme kontemporer, media cetak harus berani memberikan alternatif. Media memang bukan untuk mendikte pembaca untuk melakukan A, B, C. Namun demikian, panggilan media cetak adalah memperhadapmukakan jemaat kepada keputusan-keputusan konkret yang mereka harus ambil andaikata mereka harus bersikap sebagai ciptaan baru yang bertanggung jawab, penuh kasih dan untuk memenuhi mandat budaya.

To the vision of imaging God
by pursuing culture for love’s sake
and to give that vision concreteness!

(Nicholas P. Wolterstorff)


TERPUJILAH ALLAH!



[1]Yang masih hangat bagi pembaca Berita GKMI yaitu edisi Agustus 2005 yang mengangkat tajuk "Misteri Dunia Orang Mati." Di dalamnya terdapat 6 artikel tentang eskatologi, doktrin akhir zaman. 5 artikel oleh hamba Tuhan GKMI, dan 1 oleh penulis tamu. Yang patut kita cermati, dari kelima penulis lokal yang tidak diragukan kalibernya, nampaknya sulit untuk ditelusur mana ajaran GKMI tentang akhir zaman. Dengan kata lain, siapa yang mewakili pandangan GKMI? Kalau kita semakin cermat menganalisis, tesis tulisan yang satu telah dimentahkan dan digagalkan oleh tesis satu tulisan yang lain.
[2]Bisa berarti “barang cetakan,” sekumpulan tulisan yang menyangkut suatu pokok bahasan.
[3]Nicholas P. Wolterstorff, Educating for Life: Reflections on Christian Teaching and Learning (eds. G. G. Stronks dan C. W. Joldersma; Grand Rapids: Baker Academic, 2002), 153.

No comments:

Post a Comment