Friday, October 27, 2006

MENIMBANG-NIMBANG AJARAN (Bagian 4)

Penafsiran dan Awamisme



ITU KAN TAFSIRANMU!

Kalimat pendek ini sering muncul. Yang tersirat:

“Yang ini tafsiranku.”

“Ini yang Allah katakan sendiri kepadaku.”

“Ya, ada beragam cara untuk mengerti teks ini.”

“Tafsiran kita sama-sama benar.”

Beragam metode, Ya! Tetapi beragam pandangan tentang satu teks yang sama, dan tak jarang pandangan yang satu bertolak belakang, apakah dimungkinkan? Nanti dulu. Contoh sederhana, ketika Anda melihat apel, apa dimungkinkan kawan Anda yang normal dalam penglihatan dan mengerti bahasa Indonesia, menyebutnya sebagai “jeruk”?

Saya tidak yakin, beragam metode akan membuat beragam konklusi yang sama sekali berbeda. Sebagai seseorang yang bergairah untuk mengerti Alkitab sebaik-baiknya, saya suka berdiskusi dengan rekan-rekan sejawat. Kami berbeda dalam metode. Tetapi pada akhirnya, kami sepakat dalam hal yang sama dan esensial. Ada seorang rekan yang ahli dalam bidang historis kritis. Dia sering memakai pendekatan ini. Saya berjalan dari rute yang berbeda, biasanya dari sudut pandang sosio-kultural dan worldview zaman Alkitab. Atau misalnya ketika kami berbicara mengenai teologi Paulus, di Roma 3.22-26, pistis Christou, saya memegang terjemahan “kesetiaan Kristus,” tetapi ada rekan yang percaya seperti halnya LAI TB menerjemahkan, “iman dalam Kristus.” Tetapi ujung-ujungnya, kami sampai kepada kesimpulan ini bersumber dari kasih setia Allah perjanjian saja.

Jika demikian, bukan banyak arti dalam satu bagian Alkitab. Ini doktrin relativisme! Mana yang benar? Ya sama-sama benar. Mari kita waspada, ketika kita tidak sependapat, pandangan Anda mungkin salah; pandangan saya juga mungkin salah. Kedua-duanya bisa sama-sama salah. Tetapi tak mungkin kedua-duanya sama-sama benar pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Arti atau makna pasti tunggal. Tetapi aplikasi atau signifikansi bisa beragam.

Apakah kita, dengan demikian, tidak boleh menafsirkan Alkitab secara pribadi? Boleh. Inilah prinsip yang diperjuangkan oleh para reformator. Mengapa Alkitab diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa? Supaya dapat dimengerti oleh setiap orang percaya. Namun, hak untuk menafsirkan Alkitab harus dibarengi dengan tanggung jawab untuk menafsirkannya secara akurat. Penafsiran pribadi tidak berarti bahwa tiap-tiap orang Kristen bebas untuk mencari-cari apa yang tidak ada di dalam Alkitab.

Untuk itu, seperti yang telah dikemukakan di depan, kita harus menilik orang-orang yang telah mendahului kita dalam menafsirkan Alkitab. Bila ketika menafsir Anda sampai kepada suatu kesimpulan yang bertolak belakang dengan pemikir-pemikir dalam sejarah iman Kristen selama 2000 tahun ini, Anda perlu berhati-hati, jangan-jangan tafsiran Anda termasuk ajaran bidat, dan Anda harus berani untuk menanggalkan tafsiran itu, segera!

Hendaklah kita waspada. Kita berpotensi menjadi orang-orang yang bersalah karena mendistorsi berita Alkitab. Mendistorsi Alkitab bukan hal sepele. Sebab hal itu juga berarti memberontak kepada Sang Penulis Agung dan Roh kebenaran yang menginspirasikan seluruh isi Kitab Suci.


CUMA AWAM, KOK!

Pelayanan mempersatukan. Doktrin memecah belah. Benarkah? Bukankah yang benar bila kita lihat secara keseluruhan, gaya hidup kita mengikuti sistem kepercayaan? Alasan kita dalam berbuat sesuatu, itulah doktrin. Jadi, doktrin selalu mendahului tindakan. Tapi kan, saya ini “awam”?!

Simak kata-kata Luther hampir 500 tahun yang lalu, yang nampaknya memprediksi apa yang terjadi sekarang ini, di zaman kita.

“Pada hari-hari ini, orang-orang pada umumnya berkata, ‘Apa yang harus aku lakukan? Aku ini cuma awam dan bukan teolog. Aku tidak tahu menahu soal teologi. Bagaimana aku tahu mana yang benar dan yang salah? Aku pergi ke gereja, mendengarkan apa yang pendeta katakan, dan kepadanya aku percaya.’”[1]

Bagi Luther, seorang awam pun perlu belajar pokok-pokok teologi alkitabiah. Lanjutnya,

“Aku tidak memperbolehkan cinta-kasihku menjadi begitu bermurah hati dan bertoleransi kepada ajaran yang salah Ketika iman dan ajaran sedang dibicarakan dan ternyata dalam bahaya, bukan kasih atau kesabaran yang memerintah . . . Sebab suatu kehidupan yang bercela tidaklah menghancurkan Kekristenan, tetapi melatihnya. Sedangkan, ajaran yang bercacat dan iman yang salah merobohkan segala sesuatu. Maka, ketika hal ini yang sedang jadi pokok pembicaraan, bukan toleransi ataupun kemurahan yang memerintah, tetapi murka, pembelaan dan penghancurleburan—sesungguhnya, hanya dengan Firman Allah sebagai senjata kita.”

Luther mendefinisikan seorang bidat sebagai “seseorang yang sesuka hatinya sendiri dalam hal-hal yang berkenaan dengan Allah, seorang rekan yang nyentrik yang tahu sesuatu yang lebih baik dan memilih jalannya sendiri ke surga, yaitu jalan yang tidak dilalui oleh orang-orang Kristen kebanyakan.”

Tetapi, orang-orang ini memiliki kuasa dan mukjizat, lho?! Lebih lanjut Luther berkata,

“Apabila bujuk rayu dan kegelapan sekali kali memulai murka dan penghakiman Allah (yang kita takutkan akan terjadi setelah zaman kita), dan Ibulis mulai menampilkan tanda-tanda melalui sejumlah nabi palsu dan mungkin menyembuhkan seorang sakit, tidak diragukan bahwa engkau akan melihat banyak orang mendesakkan hal tersebut, pemberitaan firman dan peringatan tidak akan ada lagi . . . Sebab dalam mereka yang tidak memiliki cinta pada kebenaran, Iblis akan berkuasa dan menjadi kuat . . . Maka, bila ajaran-ajaran [dari nabi-nabi palsu] ini bertolak belakang dengan doktrin utama dan pokok-pokok iman tentang Kristus, kita harus berani menghadapi mereka dan tidak memberi perhatian ataupun penerimanaan meskipun ia mendemonstrasikan mukjizat-mukjizat setiap hari.”

Jadi, sekalipun seseorang “awam,” yaitu tidak pernah mengenyam pendidikan teologi secara formal dan tidak ditahbiskan sebagai pelayan Allah dalam gereja, kita harus berani mengambil sikap dua hal. Pertama, menegakkan disiplin pengajaran. Yaitu dengan melestarikan kemurnian ajaran di mimbar-mimbar gereja dan kelas-kelas pemuridan. Orang-orang yang mempropagandakan kesesatan di antara jemaat, dan ternyata menolak untuk dikoreksi harus diperingatkan dengan tegas dan tidak diberi hak untuk mengajar jemaat.

Kedua, berani berkonfrontasi dengan ketidakbenaran. Kebenaran tidak takut diserang. Seseorang yang telah dinobatkan sebagai nabi pada masa kini, Earl Paulk, membuat sistem pertahanan diri demikian, “Seorang nabi tidak boleh dihakimi.” Demikian pula Paul Crouch, pimpinan Trinity Broadcasting Network, berkali-kali mengutuki pihak-pihak yang mencoba mengonfrontasi nabi-nabi palsu.

There are those who spend a lifetime—we call the apologists—they spend their whole lives apologizing for the Scripture. They spend their whole lifetime defending the orthodoxy of the doctrines of the church and, as I said a while ago, what is orthodox to them is what is in agreement with their opinion of what the Bible says . . . You can spend a lifetime gazing at the orthodoxy of the church and let a world go straight to hell and never hear the message of Jesus Christ.[2]

Betapa naif kedengarannya, bahwa para apolog adalah orang yang mempertahankan “pendapat” mereka pribadi. Padahal sejarah gereja membuktikan bahwa para apolog adalah merekayang memperjuangkan “berita Injil Yesus Kristus” yang autentik dan semurni-murninya.

Sebaliknya. Ajaran yang benar akan berani menghadapi kritikan. Sebab kebenaran itu mencengkeram sedemikian dalam sehingga tidak akan mudah digoyahkan. Tiap-tiap jemaat hendaklah mencintai ajaran yang benar dan dapat memilah-milah, ajaran yang benar dari yang tidak benar.


BERTUMBUH DALAM KEMEROSOTAN

Awamisme dalam Kekristenan membuat kita tidak mawas akan konteks kita di Indonesia. Disadari atau tidak, semangat pan-Islamisme, segala sesuatu harus Islam, semakin diserukan. Sejumlah golongan mendesakkan syariat Islam ke berbagai daerah. Perjuangan mereka melalui politik nampaknya lancar sebab mereka telah mempersiapkan sumber daya manusia sejak lama. Investasi dana besar-besaran untuk menempa generasi-generasi hijau yang mampu menempati posisi-posisi strategis.

Sementara awamisme di dalam gereja menjurus penafian terhadap kebenaran. Emosi dan berita-berita bombastis-triumfalistik mengenai kemenangan, kejayaan, janji-janji kemakmuran dan berkat selalu diperdengarkan. Dan, jemaat menantikan itu! Gereja terlena dan meninabobokan jemaat, tanpa memahami tantangan kita kian berat! Marilah kita bercermin mengenai kondisi di gereja modern.

Pertama, kebenaran diganti dengan pilihan pribadi

Wong sama-sama Kristennya dan sama-sama menyembah Tuhan Yesus, lho ya!” demikian kata banyak orang. O ya? Apakah kita menyembah Tuhan yang sama? Padahal di zaman kita ini, kebenaran itu menurut ukuran pribadi. Jika Anda memiliki kebenaran, simpanlah kebenaran itu untuk Anda sendiri. Sebagai warga gereja yang baik, simpanlah kebenaran itu baik-baik.

Banyak pemikir Kristen yang menganalogikan zaman ini seperti seorang wasit. Di zaman pramodern, seorang wasit akan berkata, “Dalam pertandingan bulutangkis, ada raket, pemain dan shuttle cock, dan saya menyebut demikian karena memang semua itu ada dalam pertandingan.” Di zaman modern, seorang wasit berkata, “Dalam pertandingan, ada raket, pemain dan shuttle cock, dan saya menyebut demikian karena saya melihat semua itu dalam pertandingan.” Sedangkan pada zaman pascamodern, wasit akan berkata, “Dalam pertandingan, ada raket, pemain dan shuttle cock, dan semua itu ya terserah seperti kata saya.”

Lho kok terserah? Ya, menurut kata saya. Menurut selera saya. Itulah zaman kita. Pengajaran pada zaman sekarang pun menurut selera saya. Bolehlah kita samakan dengan pelanggan-pelanggan Allah. Selama Allah menyediakan yang memenuhi selera, saya akan terus “membeli dagangan” Allah. Kalau tidak lagi, saya akan pindah ke Allah yang lain, demikian seterusnya ad infinitum.

Kedua, kebenaran diganti dengan sensualitas

Konsekuensi logis dari kebenaran yang diganti dengan selera adalah bergesernya pijakan rasionalitas kepada sensualitas. Penalaran sudah terlampau berat bagi orang pada zaman sekarang. Segala sesuatu kini diukur dari persepsi singat dan tindakan segera. Apa yang kelihatan di mata, yang dirasakan dan yang diinginkan, itulah yang dinantikan. Apa yang mudah, cepat dan murah itulah yang dikejar. Pragmatisme dengan demikian telah menjadi kaisar adidaya!

Demikian hal ini berimplikasi kepada pengambilan keputusan etis. Bila beberapa tahu lalu kita menjumpai sticker terpampang di bagian belakang mobil “Jika rasanya enak dan baik, lakukanlah!” maka sekarang lebih lagi, “Jika rasanya enak dan kelihatan baik, maka itu benar!”

Manusia telah egosentris, cinta diri, berpusatkan pada si AKU. Bila ada orang yang mau berbicara mengenai kebenaran, orang lain akan segera mencibirkan bibir, “Siapa sih kamu?”

Ketiga, kebenaran diganti dengan mistisisme

Spiritualitas laris di mana-mana. Teologi tidak laku. Doktrin diganti dengan berpengalaman dengan Allah. Kalau orang tidak lagi percaya adanya kebenaran yang objektif tetapi persepsi pribadi semata, maka wajarlah bila persepsi-persepsi itu berkontradiksi satu dengan yang lain. “Tafsiran kita sama-sama benar!” Ini kebenaranku. Itu kebenaranmu. Jika aku mengalami ini sebagai yang benar menurutku, maka kamu mau apa?

Maka, orang berlomba-lomba mendapatkan sebanyak mungkin pengalaman dengan Allah. Boleh kita katakan, di mana ada pengalaman, di sana berjubel orang mau melihat. Di mana ada demonstrasi pengalaman atau kesaksian pengalaman, orang langsung mempersepsi, “Ah . . . ini dia. Kekristenan yang bukan teoritis!”

Tidak perlu mengherankan Anda. Pengikut Shri Satya Sai Baba, tokoh mistik Hindu dari India itu, sudah lebih dari 6 juta orang, tersebar di seluruh dunia (6 kali lipat dari jumlah orang Anabaptis-Mennonite sedunia). Karena dia memiliki segudang pengalaman. Deepak Chopra, M. D. adalah muridnya, sekarang ini menerapkan kebatinan Timur untuk menerapi pasien-pasiennya.

Coba sekarang, mari membandingkan dengan “hamba-hamba Kristus” yang menceritakan pengalaman yang wah dan hah: beberapa waktu yang lalu Toronto Blessing, sekarang A Trip to Hell!, curahan api dari surga, transformasi global yang disertai nubuatan-nubuatan (yang terbukti banyak meleset daripada digenapi). Lho, jadi mereka ini?


JADI . . .

Ya! Zaman ini menggeser kebenaran dengan selera, pilihan-pilihan pragmatis serta pengalaman subjektif. Adakah yang mencari Allah dengan kesungguhan hati? Perlu sekali lagi kita mendengarkan perkataan Tuhan kita, “Ketika orang banyak mengerumuni-Nya, berkatalah Yesus: ‘Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menghendaki suatu tanda, tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus’” (Luk. 11.29).

Orang-orang di zaman Yesus menantikan tanda-tanda ajaib. Mereka menantikan yang wah dari Yesus. Tetapi tanda yang Tuhan mau mereka memfokuskan pandangan adalah tanda yang paling humble, kematian dan kebangkitan-Nya sebagai Mesias yang sejati. Yesus memberitakan salib dan vindikasi terhadap diri-Nya sebagai yang utama. Bukan menurut selera orang banyak yang mencari Dia. Ah, Tuhanku benar-benar payah dalam marketing! Bukankah Dia sedang dikerumuni para pelanggan-Nya?

Maka Tuhan menegurku, “Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?” (Luk. 18.8).

TERPUJILAH ALLAH!

leNin_281006

[1]Dalam Ewald M. Plass, What Luther Says (St. Louis: Concordia, 1959) 637.
[2]Paul Crouch, “Praise-A-Thon,” Trinity Broadcasting Network, November 10, 1987.

No comments:

Post a Comment