Thursday, October 26, 2006

Memperoleh Kesia-siaan (Matius 13:44-46)

MEMPEROLEH KESIA-SIAAN
MATIUS 13:44–46


Diedit dari naskah khotbah tanggal 29 Februari 2004
di GKMI Gloria Patri


PENDAHULUAN

Søren Kierkegaard pernah menulis buku berjudul Purity of Heart is to Will One Thing. Kemurnian hati ialah menghendaki satu hal. Satu hal. Tetapi, siapa yang masih melakukan ini? Kita hidup dalam budaya dan zaman yang telah kehilangan daya untuk memilih. Kita dibombardir oleh alternatif-alternatif. Suatu kebudayaan yang telah kehilangan fokus! Satu kali kita membuat keputusan berdasarkan pertimbangan dan alasan yang benar, dan kali berikutnya kita takut tentang bagaimana pandangan orang kepada kita. Kadang-kadang kita menerjang prinsip hidup yang kita tetapkan untuk diri kita.

Seringkali kita terjebak dengan benda-benda yang sebenarnya kita tidak perlu. Tetapi toh kita beli. Maksudnya, bukan untuk dipakai, tetapi untuk memberi kesan kepada orang yang tidak kita sukai bahwa kita ini lebih. Kita ini mampu. Kita dibuat malu untuk mengenakan pakaian atau mobil sampai barang-barang itu rusak. Kita terus menjaga penampilan prima dan modis supaya kita tidak dianggap ketinggalan zaman. Zaman sudah berubah. Iri hati kita sebut sebagai semangat yang tak padam. Ketamakan kita sebut penghematan. Keserakahan kita sebut produktifitas.

Sekaranglah masanya untuk kita sadar bahwa mengekor dunia yang sakit menyebabkan kita sakit. Terus terang saja, kita kehilangan pusat hidup ilahi. Di tengah-tengah dunia yang seperti inilah kita perlu mendengar kata-kata Tuhan Yesus, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat. 6:33). Yesus mengajar kita untuk menghendaki satu hal. Kerajaan Allah!

MENGALAMI KERAJAAN ALLAH

Tatkala seseorang mengalami Kerajaan Allah, secara otomatis hidupnya bukan hanya berubah di luar, tetapi juga di dalam. Karakter pasti berubah. Perhatikan kata-kata Kristus, tidak ada sesuatu pun yang boleh mendahului Kerajaan Allah. Maka, kerendahan hati dan hidup sederhana akan kita dapatkan manakala kita mengalami sendiri kehadiran Kerajaan Allah dalam hidup ini.

Søren Kierkegaard pernah ditanya mengenai bagaimana seseorang dapat memperoleh Kerajaan Allah. Apakah seseorang mendapatkan suatu pekerjaan yang pas supaya menampakkan perilaku yang terpuji? Jawabnya, tidak. Kita pertama-tama harus mencari Kerajaan Allah. Lalu, apakah kita harus menyerahkan semua harta kita untuk memberi makan orang-orang miskin? Dan jawabnya lagi, tidak, kita pertama-tama harus mencari Kerajaan Allah. Baiklah, kemudian mungkin kita perlu segera pergi ke luar dan mengotbahkan kebenaran bahwa seseorang perlu pertama-tama mencari Kerajaan Allah? Sekali lagi jawaban yang sama kita dengar, tidak. Kita pertama-tama harus mencari Kerajaan Allah. Kierkegaard menyimpulkan, “Maka di satu sisi saya tidak melakukan apa-apa. Ya, di satu sisi tidak ada sesuatu pun di hadapan Allah. Belajarlah untuk diam. Diam ini adalah permulaan pertama, yaitu untuk mencari Kerajaan Allah.”

Kierkegaard mengerti satu hal. Kerajaan Allah harus dicari. Tetapi aktivitas tidak akan pernah membuat seseorang mengerti kehadiran Kerajaan Allah dalam kehidupannya. Segala sesuatu bisa dikerjakan untuk mencari Kerajaan Allah. Tetapi ia tidak akan pernah ditemukan. Mengapa? Karena Kerajaan Allah adalah anugerah. Kerajaan Allah adalah pemberian. Kerajaan Allah adalah kasih karunia Allah.

ANEH!

Maka, ketika saya membaca kembali perikop ini, saya menemukan kejanggalan. Dua kisah ini sejajar. (1) Seseorang menemukan sesuatu yang berharga. (2) Ia pergi menjual hartanya. (3) Ia kembali membeli sesuatu yang berharga itu. Pertanyaan saya, apakah kedua orang itu benar-benar telah menemukan sesuatu yang berharga dengan benar?

Mari kita perhatikan lebih dekat lagi masing-masing perumpamaan tersebut. Dalam perumpamaan tentang harta terpendam, si penemu semula jelas bukan pemilik ladang itu! Ketika ia menemukan harta, apa yang seharusnya dilakukan? Benar, menyerahkannya kepada pemilik ladang itu. Tetapi kenyataannya? Ia menimbunnya kembali. Wah, ini skandal amoral. Alkitab kemudian berkata, ia sangat bersukacita dan menjual segala hartanya lalu kembali untuk membeli ladang tersebut. Ladang tersebut sekarang menjadi hak miliknya. Tetapi, apakah harta itu pun menjadi miliknya? Hukum Yahudi menyatakan, harta itu harus diserahkan kembali kepada pemilik ladang yang semula. Jadi ia tidak berhak atas harta itu.

Tentang mutiara, sekarang orang ini adalah pedagang mutiara. Suatu kali ia menjumpai mutiara yang sangat indah. Ia ingin memilikinya. Lalu semua mutiara yang ia punya ia jual untuk mendapatkan mutiara yang satu itu. Tetapi apa nilai mutiara itu? Apakah ia kaya? Potensial kaya! Tetapi sebenarnya di tangannya mutiara itu sudah kehilangan nilainya. Sebagai pedagang ia harus menjualnya. Tetapi ketika ia menjualnya, berarti ia kehilangan harta yang berharga.

Betapa ironis! Mereka merasa mendapatkan harta, padahal harta itu bukan miliknya. Mereka merasa memiliki sesuatu yang berharga, padahal sesuatu itu sudah kehilangan nilai.

Yang lebih parah, di sini muncul dua masalah: (1) Tuhan Yesus mengajarkan nilai etis-moral yang tidak benar; (2) Tuhan Yesus menentang sendiri pengajaran Kerajaan Allah adalah anugerah. Sebagai orang Kristen kita mungkin akan berkata, “Yang Tuhan Yesus pentingkan di sini adalah betapa sukacitanya orang yang menemukan harta yang sangat berharga itu.” Masalahnya, apakah dibenarkan sukacita itu melampaui nilai etis-moral yang tinggi? Dengan dasar apa kita mengatakan Tuhan Yesus lebih menekankan sukacita daripada etika-moralitas?

Mari kita simak baik-baik. Tuhan Yesus tidak memberi komentar terhadap tindakan kedua orang ini, bukan? Jadi, Tuhan Yesus meninggalkan komentar itu kepada kita. Jikalau kita percaya bahwa setiap pengajaran Tuhan Yesus sempurna dan tidak bercacat, maka Tuhan Yesus pun pasti tidak pernah mengabaikan aspek moral yang tinggi. Maka terhadap dua perumpamaan ini, sebenarnya Kristus pun tidak setuju dengan tindakan kedua orang itu.

BUKAN USAHAMU!

Di mata Kristus, kita tidak mengusahakan apa pun untuk mendapatkan Kerajaan Allah. Sekalipun kita menjual harta kita; sekalipun kita meninggalkan segala sesuatu . . . demi Kerajaan Allah, kita tidak akan memperolehnya! Ini punya relevansi untuk masa kini. Seorang jemaat merasa telah banyak berbuat untuk Allah. Ia rajin menyerahkan perpuluhan. Ia menjadi donatur terbesar bagi pembangunan gereja. Ia menjadi pendukung utama proyek-proyek utama gereja. Suatu saat, usahanya mundur dan terus mundur. Sampai akhirnya bangkrut. Ungkapan yang muncul dari mulutnya adalah, “Tuhan, aku sudah berbuat banyak bagi Engkau; mengapa engkau tidak melancarkan usahaku?” Ia merasa telah menjadi donatur bagi Allah. Ia merasa telah mempersembahkan segala hal bagi pekerjaan Kerajaan Allah. Ia merasa Kerajaan Allah sudah ada di tangannya. Ia merasa berhak mengatur Allah.

Kristus akan menentang orang-orang seperti ini. Kalau kita meninggalkan segala sesuatu demi memiliki Kerajaan Allah, kita justru akan kehilangan! Waspadalah, Kerajaan Allah bukan diusahakan. Kerajaan Allah adalah anugerah. Meskipun diberikan, Kerajaan Allah itu tetap milik Allah. Kita diberi tumpangan oleh Allah. Tuhan Yesus sendiri berkata di pembukaan Khotbah di Bukit, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Mat. 5:3). Siapakah orang miskin? Bukankah mereka yang membutuhkan belas kasihan? Bukankah mereka pengemis yang meminta-minta derma?

Pekerjaan kita adalah menanti belas kasihan Allah. Tanpa Allah turun dan menunjukkan belas kasihan kepada kita, niscaya kita tidak akan pernah masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Tetapi kita tahu, Allah di dalam Kristus turun menjangkau kita. Allah sendiri yang mengangkat kita menjadi warga Kerajaan Allah. Kita diberi harta yang indah. Kita dihadiahi mutiara yang berharga. Tetapi itu bukan hasil usaha kita. Bukan pula pekerjaan kita. Itu anugerah Allah semata-mata. Karena itu jangan ada seorang pun yang memegahkan diri di hadapan Allah!

Maka sekarang kita tahu perkataan Kristus, “Carilah dahulu Kerajaan Allah.” Saya diingatkan oleh lagu Sekolah Minggu,

Ke gunung tinggi, kunaik, naik, naik mencari damai;
Ke lembah curam, kuturun, turun, turun mencari damai;
Tapi akhirnya damai, tak kudapapatkan,
Kecuali hanya dalam Yesus Tuhan.

Ini benar sekali. Kita dahulu memang berusaha mencari, tetapi kita tidak pernah mendapatkan. Yesus Kristus Tuhan, pemimpin Kerajaan Allah itu adalah wujud nyata dari anugerah Allah—diberikan untuk kita. Kerajaan Allah adalah belas kasihan Allah.

SEKARANG, HIDUPLAH!

Ketika kita disadarkan oleh besarnya anugerah Allah, mari menjadi warga Kerajaan Allah yang taat dan tunduk patuh. Warga Kerajaan Allah yang rendah hati dan berani berkata, “Aku sadar kelemahanku”; bahkan, “Aku berani mengakuinya.” Hidup di dunia yang menyajikan selebriti membuat kita tanpa sadar meniru gaya hidup mereka. Akhirnya, kita berusaha bagaimana tampil sesempurna mungkin, dan menutupi kekurangan-kekurangan kita di mata manusia. Siapa sih kita? Mengapa kita sibuk mendandani yang luar, tetapi membiarkan sampah berserakan di hati kita?

Warga negara Kerajaan Allah yang hidup sederhana. “Aku cuman butuh ini. Aku tidak butuh yang lain.” Artinya, kita punya prioritas hidup, kita punya visi hidup. Gereja yang kehilangan arah sesungguhnya adalah buah dari warganya yang tidak memiliki visi hidup.

Mari kita mengerjakan sesuatu oleh sebab memang ada gunanya. Bukan oleh statusnya. Milikilah barang sebab memang bermanfaat, bukan karena prestise. John Wesley menulis, “Saya membeli barang yang paling awet dan dapat saya jangkau. Saya tidak membeli perabot, kecuali yang perlu sekali dan murah.” Jangan supaya dilihat orang, tetapi oleh sebab kita butuh.

Mari kita menjauhkan diri dari segala hal yang mengakibatkan kecanduan. Hampir semua hal bisa membuat kita kecanduan. Bagaimana kita mencermati orang yang kecanduan? Perhatikanlah gejolak-gejolak yang tidak beraturan. Koran pun dapat membuat kecanduan. Ada seorang mahasiswa yang begitu panik karena kehilangan korannya. Ia berpikir, bagaimana dia dapat memulai harinya tanpa koran. Lalu ia melihat koran pagi di serambi rumah tetangga. Ia kemudian mulai merancang-rancang bagaimana dapat mengambil koran itu dan mencurinya. Ia sedang kecanduan dengan koran.

Mari kita menjauhkan diri dari apa pun juga yang menjauhkan kita dari Kerajaan Allah. Pekerjaan, kedudukan, status, jenjang karir, keluarga, sahabat dapat mengalihkan fokus perhatian kita. George Fox mengingatkan, “. . . ada bahaya dan godaan bagi Anda, yang menarik perhatian Anda kepada bisnismu, dan menutupi perhatian Anda dengan hal itu; sehingga Anda tidak dapat melakukan apa pun untuk pelayanan bagi Allah . . . dan pikiran Anda akan masuk ke dalam benda-benda, bukan melampaui benda-benda.” Jangan sampai kita hidup di dalam benda. Tetapi harus di atas benda.

Inilah hidup rohani yang sesungguhnya. Menghayati Kerajaan Allah sebagai anugerah. Bukan sebagai pengorbanan dan usaha pribadi. Hidup sebagai warga Kerajaan Allah di dalam kerendahan hati dan kesederhanaan. AMIN.

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment