Tuesday, October 24, 2006

Berdamai dengan Perbedaan

BERDAMAI DENGAN PERBEDAAN:
Refleksi Roma 2:1–16


Konteks Historis-Teologis

Orang-orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat Allah yang benar. Meski tak lagi mengalami pembuangan Babel, mereka toh belum sepenuhnya merasakan pemulihan. Kondisi ini menumbuhkembangkan eskatologi Yudaisme: di hari-hari yang terakhir, seperti berita para nabi PL, mereka akan dipulihkan oleh Allah. Pada masa Paulus, mereka tengah menantikan restorasi akhir yang di dalamnya termaktub “pembenaran” (justification) atau “pembelaan” (vindication) umat Allah, serta pemusnahan bangsa-bangsa kafir. Eskatologi inilah yang mengendalikan wawasan dunia (worldview) Yudaisme.

Siapa yang termasuk umat Allah? Yaitu orang Yahudi yang taat kepada covenant charter, yaitu Torah. Mereka yang taat akan dibela oleh Allah. Awas! Ini bukan “Pelagianisme”: moral yang tinggi dan ketaatan kepada hukum agama demi meraih keselamatan. Iman PL dan keyakinan Yudaisme bukan seperti ini. Mereka tidak melakukan “pekerjaan Taurat” supaya diselamatkan oleh Allah. Gambaran Yudaisme sebagai agama legalis merupakan karikatur. Gulungan kitab Qumran yang sudah diterbitkan, khususnya 4QMMT, menjelaskan bahwa “pekerjaan hukum Taurat” adalah segala sesuatu yang mendefinisikan identitas Israel yang benar dalam mengantisipasi masa akhir, yaitu: pengudusan Sabat, hukum makanan dan sunat. Dengan menjaga pekerjaan-pekerjaan Torah, mereka berharap Allah melihat kesiapan hati umat-Nya sehingga bersegera menghadirkan Kerajaan Mesias di muka bumi.

Konteks Sastra

Perikop kita ini justru dengan gamblang mengatakan bahwa Allah mengadili menurut perbuatan seseorang. “Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya” (Rm. 2:6) dan “orang yang melakukan hukum Taurat yang akan dibenarkannya” (2:13). Bandingkan dengan Roma 14:10–12 dan 2 Korintus 5:10. Dalam kerangka pre-text dogmatik, ayat-ayat ini diasumsikan sebagai tujuan ideal yang Allah tetapkan melalui pemberian Taurat, yang tak mungkin dicapai oleh seorang pun. Hukum Taurat menjadi ukuran universal tuntutan kekudusan Allah. Manusia di dalam keberdosaan Adam tidak pernah sanggup mengerjakannya. Tetapi, kalau kita jujur terhadap teks dan menelitinya, jelas sekali bukan itu maksud Paulus.

“Penghakiman menurut perbuatan” menjelaskan apa bedanya umat Allah dengan pemeluk agama-agama kafir. Bagi Paulus, pembeda ini tidak diperoleh lewat hukum-hukum Sabat, makanan dan sunat, tetapi oleh hal yang “tidak dapat dilakukan oleh hukum Taurat” yaitu bahwa seseorang telah berada di dalam Kristus Yesus hanya oleh karya Roh Kudus (Rm. 8 dan 10). Jadi, dalam hal ini Paulus tidak sekadar bicara tentang soteriologi—bagaimana seseorang diterima sebagai umat Allah, tetapi justru ekklesiologi—siapa umat Allah sebenarnya.

Rancang Bangun Refleksi

I

Disadari atau tidak, orang Kristen sering membaca jati dirinya dari sudut pandang budaya asal. Ada ragam orang Kristen yang begini, “Saya Kristen, tetapi saya juga orang Batak. Sebagai orang Batak, wajar saja kalau saya punya temperamen keras!” Orang Jawa senada juga! Tak jarang kita menjumpai orangtua melarang keras anaknya menikah dengan suku lain. Kecurigaan dan sentimen antarsuku belum hilang dari kehidupan bergereja di negeri kita. Meski Kristen, suku kita tetap kita pandang lebih tinggi daripada yang lain. Benar, tidak?

Tetapi awas, jangan sampai Rasul Paulus mendengarnya. Sebab bagi sang rasul, menjadi Kristen berarti hidup melampaui batas-batas ras, kelas sosial, intelegensi, kekayaan, dsb. Gereja adalah umat manusia yang baru, dan konsekuensinya, garis pembatas yang berhubungan dengan etnis, sosial dan kultural tidak relevan lagi. Prinsip kehidupan umat Allah jangan diletakkan pada tradisi kesukuan dan warna kulit yang tak mungkin dapat diubah.

II

Mari kita menilik Surat Roma. Di sinilah Paulus membangun ekklesiologi. Seperti apa? Paulus mengaitkan ekklesiologi dan eskatologi. Eskatologi tidak semata-mata berhubungan tentang kiamat, rapture (pengangkatan) atau Armageddon! Pada waktu itu kaum Yahudi menanti-nantikan datangnya takhta penghakiman Allah di dalam Mesias.

Di hadapan pergelaran akbar itu, Allah akan bertindak sebagai Hakim. Kaum Yahudi percaya, mereka akan berdiri di satu sisi dan kaum non-Yahudi di sisi lainnya. Apa yang akan terjadi? Allah akan “membenarkan” orang Yahudi (atau “membela”), dan menghancurleburkan musuh-musuh umat Allah. Apa arti “pembenaran” atau “pembelaan”? Yaitu Allah mendeklarasikan siapa umat perjanjian yang benar. Bagaimana caranya? Paulus menjawab sesuai mindset yang di pikirannya, yaitu bahwa Allah akan membela mereka yang di dalam hatinya terukir hukum-hukum Tuhan (bdk. Ul. 30:11–14).

Berbicara mengenai hukum Tuhan (Torah), kaum Yahudi segera berkata, “Kamilah umat Allah yang benar, sebab kami memiliki tanda-tanda kesetiaan kepada Torah: Sabat, makanan dan sunat!” (lih. ay. 17–24). Tetapi Paulus menentangnya. Israel sebagai bangsa telah sepenuhnya terpotong dari keberpihakan Allah. Pemulihan yang mereka damba-dambakan belum kunjung tiba. Sedapat-dapatnya mereka menunjukkan tanda umat Allah, mereka toh masih hidup dalam dosa. Karena itu, bukan kaum ini yang akan dibela oleh Allah.

Lalu siapa? Paulus mengajak pembacanya berpikir. Umat yang benar tentu ditandai oleh perjanjian baru yang diteguhkan dalam hati mereka, yaitu umat yang menggenapkan sabda pamungkas hamba Allah Musa (Ul. 30), nubuat Yeremia (9:25–26; 31) dan Yehezkiel (ps. 36). Jadi, bukan lagi berdasarkan ras, darah, suku atau garis-garis batas yang dibuat manusia. Jika kita mengikuti alur pikir Paulus, proses ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh Torah.


III

Bagaimana umat itu terbentuk? Paulus mengajak pembaca berpikir kembali dan tidak segera memberi jawab sampai pasal 8:1–17. Era Mesianik itu telah tiba! Allah telah membela umat-Nya. Kapan? Di dalam kebangkitan Yesus orang Nasaret dari antara orang mati. Ia dideklarasikan sebagai Israel yang benar—Israel yang setia kepada Allah. Yesus adalah Mesias, pemimpin Israel. Mesias Yesus inilah pokok penantian Yahudi yang tengah berada dalam pembuangan. Benar himne gerejawi,

Sungguh Kerajaan Allah di bumi tak kalah,

Yesus yang bangkit dilantik menjadi Kepala.
Ia menang, g’lap pun menjadi terang!
Lihatlah fajar menyala!

Bukan itu saja. Roh Allah juga berkarya di dalam diri sekumpulan orang. Roh ini memberi kehidupan baru kepada umat tersebut sehingga mereka menjadi milik Mesias. Inilah yang tidak dapat dikerjakan oleh Torah! Lahirlah kini Israel baru! Inilah umat yang akan diluputkan dari penghukuman (8:1). Mengapa? Pertama, Allah telah menjatuhkan hukuman atas dosa ke atas tubuh Mesias Yesus; dan kedua, Allah bekerja di dalam Roh-Nya untuk memberi kehidupan, yang mematikan semua perbuatan dosa dan taat pada pimpinan Allah.

Inilah kaum yang tekun berbuat baik sesuai Torah, yang suatu hari kelak akan dianugerahi kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan (2:7). Inilah umat yang dibenarkan oleh Allah sebab “perbuatan baik” mereka (ay. 13). Awas! Sekali lagi, bukan perihal menjadi moralis sejati, atau doktrin proto-pelagianisme—seseorang dapat meraih keselamatan dengan usaha sendiri atau melalui moralitas yang tinggi. Paulus berbicara tentang siapa umat Allah yang benar: Mereka yang menjadi milik Mesias Yesus oleh karya Roh Kudus!


IV

Mari sekarang kita pikirkan implikasi-implikasinya. Pertama, Allah setia kepada perjanjian-Nya. Allah itu adil (dikaios) dan tidak dapat menipu diri-Nya sendiri. Keadilan ini memutuskan mana umat-Nya yang benar dan mana yang bukan. Ia bertindak demi kekudusan nama-Nya untuk umat yang Ia kasihi. Tetapi ingat, keadilan selalu seiring sejalan dengan kasih. Keadilan Allah adalan “kasih dalam tindakan.” Sebagai Pencipta dan Pemrakarsa perjanjian, Allah sendiri memanggul tugas penataan dunia yang mengerang kesakitan dan menantikan pemulihan, di dalam dan melalui Mesias Yesus dan Roh. Kepada Allah yang seperti ini, kita melabuhkan pengharapan tertinggi.

Kedua, kita dapat membaca motif Paulus ketika berbicara tentang Gereja. Rasul menekankan persatuan antara Yahudi dan non-Yahudi di dalam Kristus. Karakteristik umat Allah yang benar tidak terletak pada tanda-tanda kesetiaan terhadap Torah yang diturunkan kepada Israel sebagai bangsa yang beragama. Demarkasi umat Allah itu kini terletak pada Kristus dan karya Roh Kudus yang mengumpulkan kaum beriman di sepanjang abad dan di segala tempat.

Ketiga, Gereja pada hakikatnya meretas batas-batas etnisitas, dan kemulti-etnisan gereja merupakan tanda kesembuhan dunia dan penataan ulang kosmos. Hal ini mensyaratkan Gereja untuk tidak membaca jati dirinya melalui kebiasaan dan tata nilai kesukuan, tetapi tata nilai Kerajaan Allah yang universal. Jelas di sini bahwa Gereja itu pasti inklusif dan toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang dibawa sejak lahir. Misi Gereja tidak boleh ditujukan hanya kepada satu golongan ras, budaya dan kelas sosial. Maka, Gereja seharusnya menjadi penentang utama terhadap pelaksanaan apartheid, diskriminasi ras, perang antarsuku, dan berani menjadi pelopor perdamaian dunia.

Sebagai pertimbangan praktis, bagaimana tanggapan Anda ketika putra/putri Anda hendak menikah dengan seseorang dari etnis yang berbeda? Beberapa orang akan berkata, “Yaa [keluhan]. . . menikah itu kan banyak pertimbangannya, masalah ini dan itu; ya bibit, ya bebet, ya bobot!,” kata orang Jawa. Bukan hanya boleh atau tidak boleh menurut Alkitab!” Andaikata Anda berbagian dengan iman rasul Paulus dan tata nilai Kerajaan Allah, mungkinkah Anda setuju dengan jawaban di atas? Aahh . . . memang susah menjadi manusia!

TERPUJILAH ALLAH!

Pustaka Acuan

Dunn, James D. G. The Theology of Paul the Apostle. Grand Rapids: Eerdmans, 1997.

Witherington III, Ben. Jesus, Paul and the End of the World: A Comparative Study in New Testament Eschatology. Downers Grove: InterVarsity, 1992.

Wright, N. T. “New Perspectives on Paul.” Makalah yang dibawakan dalam 10th Edinburgh Dogmatics Conference. Edinburgh: Rutherford House, 25–28 Agustus 2003.

Wright, N. T. What Saint Paul Really Said. Grand Rapids: Eerdmans; Cincinnati: Forward Movement, 1997.

No comments:

Post a Comment