Tuesday, October 24, 2006

Encountering Again the God We Never Knew

Encountering Again the God We Never Knew:
Memikirkan Kembali “Perumpamaan Anak yang Hilang”
(Luk. 15:11–32)

Diedit dan diperluas dari Siaran Radio Ichtus
23 September 2004 pukul 05.30 WIB


PENDAHULUAN

1. Banyak kisah tentang anak durhaka. Bukan barang baru, bukan pula kabar yang susah didapat. Apalagi dewasa ini, hampir tiap hari kita dapat mengakses kisah-kisah kedurhakaan seorang anak terhadap orangtua dari penjuru-penjuru dunia.

2. Ambil contoh dongeng rakyat dari Tanah Padang, “Malin Kundang si Anak Durhaka”:
- tersebutlah seorang janda miskin dengan satu orang anaknya laki-laki
- merantau ke negeri orang, sukses, punya istri cantik
- kembali ke tanah kelahirannya
- malu mengakui ibu kandungnya yang tua renta dan miskin papa tiada berharta
- akhirnya, Malin dikutuk menjadi batu untuk selama-lamanya.

3. Kisah kedurhakaan juga pernah diungkapkan oleh Yesus dalam sebuah perumpamaan di Lukas 15:11-32. Tetapi, begitu berbeda dengan kisah Malin Kundang:
- tersebutlah seorang bapa yang berharta dengan dua anak
- anak kedua minta bagian warisan dan merantau pula ke negeri orang
- bukannya sukses, si anak ini bangkrut dan rela jadi budak yang memberi makan babi
- teringat rumah ayahnya, berhasrat pulang ke rumah
- disambut oleh ayah dengan mesra dan pesta pora
- maka, timbullah iri hati si kakak.

4. Itulah perbedaannya. Adakah persamaannya? Ya, keduanya adalah anak durhaka.

Kedurhakaan yang pertama bermuara dengan kutukan dari orangtua.

Kedurhakaan yang kedua dengan penerimaan kembali dari orangtua.


ORIENTASI

5. “Hei, tunggu dulu, Bung!”, protes Sobat-sobat kepada saya. “Si bungsu dulu durhaka. Tapi ia kini bertobat. Ia menyesali perbuatannya. Ia sudah berbalik dari cara hidup yang lama.”

6. Baiklah. Saya tidak akan menyalahkan Sobat sekalian. Sebab demikianlah sering kita dengar dari mimbar, bahwa kisah ini bertutur tentang kembalinya anak yang hilang. Atau, masih ada lagi yang memberi judul bapa yang penuh kasih. Bapa yang sabar dan setia menanti.

7. Pagi ini, saya ingin mengajak Sobat berpikir sekali lagi, apakah si bungsu benar-benar bertobat? Jangan-jangan, selama ini kita telah menjinakkan karakter dasar si bungsu dan menjadikannya hero dalam diri kita! Terbukti, para Kristen di banyak tempat sering mengidentikkan perjalanan hidup dan kisah pertobatan mereka dengan si bungsu itu.

8. Mungkin agak mengagetkan Sobat sekalian, tapi semakin saya mempelajari teks ini, saya semakin melihat karakter si bungsu adalah seorang anak manusia yang benar-benar durhaka. Ia tidak pernah bertobat. Dan di pelabuhan perbincangan kita nanti, kita akan berjumpa dengan sesosok Allah yang tidak seperti biasanya kita dengar bilamana teks ini dikhotbahkan. Kita akan berjumpa kembali dengan Allah yang tidak kita kenal!


DESKRIPSI

Seperti apakah kedurhakaan si bungsu?


I. KEDURHAKAAN PERTAMA

9. Mari kita perhatikan terlebih dahulu ayat 12. Di zaman Yesus, anak ini telah menggoreskan sejuta aib bagi keluarga:

1. Ia menghina ayahnya dengan meminta bagian warisan sebelum waktunya. Adalah suatu kekejian buat seorang anak meminta bagian warisan sementara ayahnya masih segar bugar. Si bungsu memperlakukan si ayah seolah sudah meninggal.

2. Ia memutuskan talian persaudaraan dengan kakaknya. Tanah adalah harta keluarga dan menentukan status suatu keluarga di dalam masyarakat. Maka, dua orang bersaudara tinggal dalam satu tanah setelah kematian sang ayah adalah resolusi yang dipilih. Sebab hal ini menjaga martabat keluarga bila memiliki tanah yang utuh. Sebaliknya, tanah yang terbagi merendahkan martabat keluarga.

3. Ia segera menjadikan keluarganya target kritikan masyarakat. Ia sendiri akan dibuang, dianggap paria-candala, tetapi lebih dari itu ia pun telah mempermalukan ayahnya di depan publik. Masyarakat akan mencibirkan bibir ketika berjumpa dengan sang ayah. Ayah macam apa yang memperbolehkan anaknya minta bagiannya, mengurangi status sosial-ekonomi dan merendahkan kakaknya? Ayah macam ini akan dibodoh-bodohkan oleh masyarakat.


II. KEDURHAKAAN KEDUA

10. Lalu pergilah ia ke negeri yang jauh (ayat 13–16). Perhatikan kembali kelakuannya:

1. “Ia memboroskan hartanya” (Yunani dieskortisen, Inggris wasted); dan “hidup berfoya-foya” (Yunani zoa asotos, Inggris self destructing living). Kedua kata ini sering diasosiasikan dengan hidup seksual yang tak terkendali. Ia hidup mengumbar hawa nafsu. Si bungsu bergaya hidup kelas tinggi, bak selebritis yang berprinsip tiada hari tanpa pesta pora yang dibumbui seks.

2. Ketika kelaparan melanda, ia bangkrut dan mengurus babi. Pikirkan ini, seorang Yahudi mengurus babi! Kitab Talmud orang Yahudi menulis, “Terkutuklah orang yang memberi makan babi, dan terkutuklah orang yang akan mengajar anaknya Hikmat Yunani.” Si bungsu pada akhirnya memberi makan babi, sementara ia pun bekerja bagi orang asing!

Dobel durhaka! Dobel terkutuk! Itulah keadaan si bungsu sekarang ini.


III. KEDURHAKAAN KETIGA

11. Mari perhatikan ayat 17–19. Apa yang terjadi selanjutnya? Sobat, tahukah Anda jikalau orang sezaman Yesus sudah bisa menebak lanjutan kisah ini?

12. Si bungsu pasti pulang kembali! Pada waktu itu, orang-orang sudah begitu akrab dengan cerita Yahudi tentang anak bungsu. Mereka menebak, si bungsu pasti yang akan menjadi jagoan. Lihat Habel. Pandanglah Ishak. Perhatikan Yakub, dan anak favoritnya Yusuf. Anak-anak bungsu yang pergi jauh lalu kembali dengan kisah gemilang jaya wijaya dengan harta dan ternak melimpah.[1] Jadi . . . ? Ah, benar khan . . . si bungsu pasti kembali ke rumah! Pasti si bungsu jera! Pasti si bungsu sadar! Pasti si bungsu bertobat!

13. Hei, tunggu dulu! Anda akan terkejut dengan penuturan Tuhan Yesus. Baca baik-baik ayat-ayat tadi! Kita berjumpa dengan ungkapan saleh, “Aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap Bapa.” Tetapi perhatikan motivasi di balik itu, “Betapa banyaknya orang-orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan!”

14. Ternyata, pertobatan si bungsu hanyalah “pertobatan dapur nasi ayam.” Cuman karena ia lapar! Dalam bayangannya yang ada adalah bagaimana supaya tidak kekurangan makanan.

Tripel durhaka! Bahkan bayangan orang di zaman Yesus bahwa si bungsu ini bertobat pun meleset! Anak bungsu itu bukan pahlawan!

( A P L I K A S I )

15. Teramat banyak contoh pada zaman kita ini, para Kristen yang ke gereja hanya untuk sepiring nasi. Sebab gereja menyediakan pelayanan diakonia. Sebab gereja memberi pelayanan ekstra. Sebab di gereja tersedia hadiah dan segala iming-iming yang menarik hati, dengan khotbah-khotbah yang menjanjikan kelimpahan harta dan kekayaan kepada anak cucu keturunan ketujuh.

16. Tak sedikit pula orang menjadi Kristen semata-mata untuk mendapat kesembuhan. Orang makin terbiasa dengan pengajaran bahwa Tuhan berkenan kepada orang yang sehat. Tuhan menghendaki anak-anak-Nya sehat. Jika anak-anak-Nya sakit, pasti ada suatu dosa yang belum beres. Maka, pergilah ke gereja, jadilah orang Kristen . . . maka engkau akan disembuhkan.

17. Bahkan tak jarang pula seorang Kristen mengambil keputusan untuk melayani Allah oleh karena masalah perut. Bayangkan, Sobat sekalian, sebenarnya menjadi hamba Tuhan lebih mudah ketimbang bekerja yang lain. Penghasilan lebih pasti. Jaminan masa depan bukan persoalan. Fasilitas lux—paling tidak sedikit lebih tinggi daripada rata-rata milik jemaat.

18. Inilah kondisi keberagamaan kita. Kita menyanyi, kita menaikkan pujian yang gegap gempita. Kita membaca firman dan kita mendengarkan khotbah . . . semua demi kita pribadi! Kita menerima sesuatu yang ingin kita dengar. Kita menolak yang tidak menyenangkan hati!


IV. KEMURAHAN YANG MENGEJUTKAN

19. Tampillah kembali kini sang ayah (ayat 20–24).

Kira-kira apa yang pendengar harapkan dari sang ayah? Tindakan yang penuh wibawa, terhormat; kasih sayang . . . o jelas, tetapi juga kebenaran! Ingat Sobat sekalian, si ayah hidup di dunia Yahudi yang menjunjung harkat dan kedudukan laki-laki.

20. Tetapi apa yang dilakukannya? Betapa mengejutkan sikap dan tindakan sang ayah:

1. Ia berlari-lari—ini tindakan membuang martabat!

2. Ia menciumi si bungsu itu—kata Yunani yang dipakai menegaskan ciuman penuh kasih sayang dan gairah, seperti yang dilakukan oleh suami dan istri (Yunani katephilēsen)

3. Ia menyuruh memakaikan jubah terbaik—mungkin jubah pestanya sendiri

4. Ia memakaikan cincin—tanda identitas dan otoritas

5. Ia menyuruh memakaikan sandal—bahwa si bungsu bukan menjadi orang upahan tetapi dilayani oleh para hamba

6. Ia menyembelih seekor anak lembu tambun—tanda kesukaan besar bak kedatangan seorang gubernur provinsi

7. Ia memaklumkan diadakan pesta yang sangat meriah—tanda penerimaan kembali.

Sang ayah mengesampingkan kehormatannya. Ia membuang posisinya, kedudukannya di mata masyarakat. Ia bertindak kini seperti seorang ibu—mencium, memberi pakaian dan memberi makan.

21. Berita Yesus ini revolusioner. Ia membalikkan pemahaman patriakhal Yahudi. Ia menampilkan citra Allah sebagai seorang ibu. Anda tahu? Berita Yesus ini telah menggagalkan kehormatan laki-laki dan digantikan oleh citra perempuan yang pada waktu itu merupakan shame, kehinaan bagi zaman-Nya.

22. Yesus tidak mengkhotbahkan sesuatu yang dinanti-nantikan oleh massa. Ia berani mengkhotbahkan sesuatu yang berbeda dari pemimpin-pemimpin di zamannya. Suatu ketabuan bagi masyarakat, itulah yang Ia beritakan.

23. Kini Sobat kiranya paham, bukan si bungsu itu yang bertobat. Ini tindakan belas kasihan sang bapa semata-mata! Sang bapa tampil sebagai pahlawan!


V. KEDURHAKAAN TERBUNGKUS KESALEHAN

24. Kisah ini belum berhenti di sini. Kini tampillah si sulung (ayat 25–30).

25. Ia datang dari tempat kerja dan meledaklah kemarahannya. Mungkin kemarahan ini tersulut oleh kepedihan dan dendam yang mengkonglomerat selama bertahun-tahun (lih ay. 29–30). Oleh sebab persaudaraan sudah dihancurleburkan oleh si bungsu. Si sulung tampil memprotes ayahnya, “Kepadaku belum pernah diberikan seekor anak kambing.” Dalam tradisi Yahudi, seorang anak sulung berhak atas dua pertiga bagian harta milik keluarga.

26. Di hadapan bapanya ia menuntut bahwa selama hidupnya belum pernah ia menuntut hak dan bagiannya. Ia bekerja keras. Beda dengan anak durhaka itu! Perhatikan, ia memakai kata “anak bapa.” Bukan “saudaraku.”

27. Nampaknya ia saleh. Tetapi tak kurang si sulung tampil sebagai seorang durhaka. Adalah benar bahwa ia telah bekerja keras membanting tulang. Adalah benar bahwa ia belum pernah menuntut harta. Tapi kemudian:
- Ia memperlakukan diri sebagai seorang budak. Ia setia. Tetapi lihat, ia sedang berpikir tentang pekerjaan keras, ketaatan dan upah.
- Ia membandingkan ketaatannya dengan ketaatan orang lain. Ia toh lebih baik jika dibandingkan dengan si bungsu itu!

(A P L I K A S I )

28. Bukan rahasia juga bahwa banyak orang yang mengaku Kristen memiliki konsep seperti ini. Saya taat, saya patuh, saya melayani Tuhan . . . supaya hidup saya lancar-lancar selalu. Saya membaca firman, saya berdoa, saya rajin bersekutu, saya datang ke kebaktian doa tiap-tiap pagi supaya saya terhindar dari celaka. Jadi intinya, jika saya taat dan patuh, Tuhan akan memberi kepada saya berkat. Semakin saya bekerja keras, upah saya semakin banyak.

29. Dan, tak sedikit orang yang kemudian menuding orang lain yang tidak bekerja sekuat dia, dan yang tidak melayani sehebat dia. “Daripada dia, saya lebih baik!” Saya bisa berkhotbah, saya mampu bermain musik, saya pandai menyanyi. Saya bisa ini, saya bisa itu, dan sebagainya. Teringatlah saya akan perkataan seorang dosen saya. Beliau bergelar doktor filosofi. Pernah dalam suatu sesi perkuliahan beliau berkata, “Saudara, siapa tahu yang nanti dekat dengan tahta Allah itu malah Pak Kebun kita, satpam kita [yang bukan Kristen], saya dan Saudara nanti cuma nungguin WC-nya surga!” Saya tertegun, Sobat!

30. Di hadapan Tuhan, kesalehan, ketaatan dan kerja keras untuk Tuhan Yesus sekalipun tidak akan mendapatkan balasannya. Berhati-hatilah, ini kedurhakaan yang dibungkus rapi dengan jargon-jargon kesalehan dan pietisme individualistik!


VI. KEMURAHAN SEKALI LAGI

30. Apa tanggapan sang ayah? (ayat 31–32)

Sang ayah menyapa, “Anakku.” Betapa beda! Si sulung menganggap diri sebagai budak, sang ayah tetap menyapa dia sebagai anak. Si sulung merendahkan diri, sang ayah mengangkatnya kembali.

Sang ayah berkata, “Segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.” Bukan hanya dua pertiga, tetapi semua!

Sang ayah merekonsiliasi hubungan yang sudah putus, “Adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”

31. Si sulung tanpa sadar memisahkan diri dari ikatan keluarga. Di dalam diri dan hatinya sendiri, tertutuplah kesadaran tentang jati diri sebagai anak bapa. Kemurahan bukan diusahakan. Kemurahan dianugerahkan.


IMPLIKASI

32. Total depravity (“Kerusakan total”)

Manusia sudah rusak total. Sebagaimana diberitakan dalam Roma 3:10–18, “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak . . . Tidak ada seorang pun yang mencari Allah . . . Rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.”

Sesungguhnya, tak seorang pun yang mampu datang kepada Tuhan. Kehendak bebas manusia pun gagal untuk dapat memilih berbalik kepada Allah. Pilihan manusia berdosa adalah berdosa . . . atau . . . berdosa! Kebaikan antarmanusia memang mungkin dikerjakan. Tetapi kebaikan seperti itu tak pernah dicatat sebagai kebaikan yang mengurangi kejahatan manusia. Segala kebaikan yang manusia upayakan tetap mengarah semakin menjauh dari Allah. Maka, mungkinkah manusia seperti ini berputar haluan dan mencari wajah Allah?

Martin Luther berkata, “Manusia pada dasarnya adalah tanpa takut, kasih dan kepercayaan kepada Allah. Ia tanpa kebenaran, cenderung hanya kepada kejahatan, dan buta secara rohani, mati dan seorang musuh Allah” (Shorter Cathecicm Q. 95).

33. Religion of works vs. religion of faith (“Beragama oleh perbuatan vs. beragama oleh iman”)

Jika manusia tak mungkin mencari Allah, maka kehidupan saleh dan ketaatan juga bukan ukuran untuk mendapatkan kemurahan Allah. Kehendak dari dalam diri pribadi untuk berusaha mencari wajah Allah sebenarnya dilambari oleh motivasi penyenangan diri sendiri. Bahkan, hasrat agar diri kita mencapai surga tak lebih daripada suatu bentuk polesan egoisme dan egosentrisme. Mari kita perhatikan, baik kenyamanan diri sendiri maupun pietisme individualistik bukanlah tanda agama yang benar!

Agama yang benar adalah agama yang dilandasi oleh iman. Darimana iman itu? Bukankah setiap manusia pada dasarnya tak pernah mencari Allah? Bukan tangan kita yang menggapai Allah Bapa, tetapi tangan Bapa yang merangkul kita!

Martin Luther melanjutkan perkataannya, “Menurut Kitab Suci, aku ini pada dasarnya buta secara rohani, mati, dan seorang musuh Allah; karena itu aku tidak dapat percaya di dalam Yesus Kristus, Tuhanku, dengan akal dan kekuatanku sendiri atau datang kepada-Nya . . . Roh Kudus yang memanggilku oleh Injil . . . Oleh Injil itu aku diterangi dengan karunia-karunia-Nya, yaitu, Ia memberi aku pengetahuan yang menyelamatkan terhadap Yesus, Juruselamatku, sehingga aku yakin dan percaya, bersukacita dan aman di dalam Dia” (Shorter Cathecism Q. 164–166).

34. Justification through faith alone (“Pembenaran hanya melalui iman”)

Bahwa status kita berubah di hadapan Allah. Bukan lagi manusia berdosa, tetapi orang-orang yang diterima oleh Allah. Bukan lagi target penghukuman kekal, tetapi menjadi pewaris-pewaris janji Bapa. Bahwa melalui iman yang adalah anugerah itu, Allah mendeklarasikan pembebasan kita. Pengampunan diberikan!

35. The wideness of God’s mercy (“Betapa lebarnya kemurahan Allah”)

Allah bukan sekadar Allah yang sabar menanti berbaliknya manusia. Perhatikan Kitab Kejadian. Bukan manusia yang sadar dan kemudian mencari Allah. Tetapi Allahlah yang bertindak! He is the God who acts! Nuh dipilih. Abraham dipanggil. Orang seburuk Yakub diberi anugerah besar sebagai Israel. Jika Allah adalah Allah yang sabar menanti, maka sampai akhir sejarah dunia takkan pernah seorang pun datang kepada-Nya!

Betapa lebar kemurahan Allah! Dialah yang lari menjumpai kita. Dialah yang berinisiatif mengadopsi kita. Dia pula yang menerima kita. Bukan oleh kehendak kita. Bukan oleh kesadaran kita. Bukan oleh ketaatan kita. Semata-mata oleh bela rasa-Nya kepada kita dan anugerah-Nya yang berani memandang kita apa adanya. Di mata dunia, Allah seperti ini bodoh! Ia kehilangan kehormatan-Nya. Ia kehilangan martabat-Nya. Tapi itulah Allah yang diberitakan Kitab Suci. Itulah Allah yang mengosongkan diri.

Kenalkah Sobat sekalian Allah yang seperti itu? Jumpailah Dia kembali! Kini, hiduplah sebagai anak-anak-Nya. Pada hari ini, marilah kita mempersembahkan hati kepada Allah. Dengan tepat dan tulus. Demi kemuliaan-Nya selama-lamanya.

TERPUJILAH ALLAH!

[1]Meskipun Habel mati, tetapi Allah mengganti Habel dengan kelahiran Set yang kemudian menurunkan anak-anak yang akan menerima perjanjian dari Allah.

No comments:

Post a Comment