Monday, October 30, 2006

Tunas di Pembuangan

TUNAS PENGHARAPAN DI PEMBUANGAN




YA ALLAH! APA YANG DAPAT ENGKAU KATAKAN?

Bagaimana kita menghayati pengharapan di tengah-tengah kepedihan? Sebuah doa anggitan (gubahan) seorang Tamil menjadi cermin bagi kita.


Apa yang Hendak Engkau Katakan, ya Allah?
Beritahu kami, ya Tuhan, apa yang ada di pikiran-Mu

Dekade-dekade kehidupan untuk kebun teh kami telah beri
Dekade-dekade ke depan kami curahkan kini;
Tahun-tahun ini kami perjuangkan hak-hak kami,
Namun jerih lelah ini membawa kehampaan bagi kami
Tentang semua ini, apa yang Engkau katakan?
Beritahu kami, Tuhan, apa yang Engkau pikirkan?

Bak barang-barang impor kami dibawa ke dermaga-dermaga ini,
Bak barang-barang tiada nilai kami kini kembali;
Namun bagi kemakmuran tanah ini peluh tercurah dari pori-pori kami,
Kini tanpa hak kami berkumpul di kamp-kamp.
Melihat ini, apa yang Engkau katakan, ya Allah?

Mereka membujuk kami dengan janji kehidupan baru
Namun semua yang kami lihat adalah kubur;
Semua pengharapan kami musnah sudah, simpanan uang habis ---
Dan hidup menjadi kesia-siaan.
Kini, apa yang dapat Engkau katakan, ya Allah?
Beritahu kami, Tuhan, apa yang telah Engkau rancangkan!
(P. Mookan)[1]


Kata-kata yang terlahir dari kepedihan jiwa dan hidup yang menderita. Bangsa Tamil di Sri Langka akrab dengan konflik-konflik ras. Kerja keras bertahun-tahun hanya bermuara pada tragedi. Pengharapan dan impian telah menjadi keping-keping yang berserakan. Sebuah doa dalam keadaan seperti ini? Ah, pastilah doa yang penuh keputusaan, bahkan bisa jadi permohonan untuk mengakhiri hidup yang nelangsa.

Tapi bukan! Bukan doa keputusasaan. Bukan permohonan untuk menghentikan semua ratap tangis yang akan segera menyusul. Sang pekerja perkebunan Tamil mencari sinar terang pengharapan dari Allah yang menebus. Allah itulah yang sanggup memelihara. Allah yang hidup, Allah yang mendengar dan menyelamatkan. Pengenalan yang dewasa akan Allah bisa terbit dari pergulatan iman pribadi dalam suatu konteks komunitas yang sedang bergumul dengan penderitaan.


MASIH TERBUANG!

Marilah kita tempatkan kisah hidup kita di dalam kisah hidup Yesus sang Mesias dan orang-orang sezaman-Nya. Bila mereka ditanya, “Di manakah kalian?” Mereka akan menjawab, “Kami masih di pembuangan.” Israel memang sudah kembali dari pembuangan Babel, namun warta agung yang diberitakan oleh para nabi belum sepenuhnya tergenapi. Israel masih tetap tercampak di bawah kuasa kafir, mesias belum hadir, dan yang lebih parah Allah Israel belum kembali ke Gunung Sion. Pada zaman Yesus, tidak ada satu pun tulisan yang dapat disejajarkan dengan 1 Raja-raja 8:10-11, “Ketika imam-imam keluar dari tempat kudus, datanglah awan memenuhi rumah TUHAN, . . . sebab kemuliaan TUHAN memenuhi rumah TUHAN.” Raja Salomo mendirikan bangunan yang megah di atas Gunung Sion, dan shekinah, yaitu kehadiran YHWH yang agung mulia, mendiami Bait itu.

Shekinah Allah ternyata tidak terus-menerus hadir. Shekinah itu pernah meninggalkan Bait-Nya. Yehezkiel 10:4 menyatakan, “kemuliaan TUHAN naik dari atas kerub dan pergi ke atas ambang pintu Bait Suci” dan semakin trenyuh kita membaca ayat 18, “kemuliaan TUHAN pergi dari ambang pintu Bait Suci dan hinggap di atas kerub-kerub.” Hukuman demi hukuman pun datang bertubi-tubi, sampai akhirnya umat Allah diangkut ke Babel. 587 SM Yerusalem jatuh ke tangan musuh! Tuhan telah membiarkan umat-Nya terbuang. Sesungguhnya, Yerusalem dan Yehuda demikian membuat Allah murka sehingga Ia mencampakkan mereka dari hadapan-Nya (bdk. 2Raj. 24:20). Bukankah dengan perkataan lain, Allah tidak hanya mengizinkan, tetapi membuang umat-Nya? Apabila umat Allah memang kedapatan berdosa, bukankah kasih sayang itu Allah tunjukkan dengan disiplin yang tegas, bahkan terkadang menyakitkan?

Pengharapan Israel justru tumbuh di masa pembuangan. Mereka bersandar pada janji Allah sendiri. Dalam Yehezkiel 43:1-2, kemuliaan TUHAN kembali ke dalam Bait Suci-Nya. Demikian pula dalam Yesaya 52:8, “. . . [S]ebab dengan kasat mata mereka melihat kembalinya YHWH ke Sion” (terjemahan bebas).

Namun yang sangat mengherankan, meskipun mereka sudah kembali dari pembuangan oleh sebab dekrit Raja Koresh (538 SM), namun toh mereka belum merasa bahwa pembuangan sudah berlalu. Dalam doa para Lewi seusai tembok Yerusalem dan Bait Allah kedua dibangun kembali, dinyatakan, “Inilah kami, budak-budak sampai sekarang—budak-budak di tanah yang Engkau dulu berikan kepada nenek moyang kami . . . Hasilnya yang melimpah diserahkan bagi raja-raja yang Engkau telah tetapkan (set over) atas kami oleh karena dosa-dosa kami. Mereka berkuasa atas tubuh kami dan atas ternak-ternak kami dengan sekehendak hati mereka, dan kami dalam kesesakan besar” (Neh. 9:36-37; terjemahan bebas). Bahkan jauh setelah itu, beberapa tulisan bahkan menyebut peristiwa kembalinya mereka dari pembuangan itu sebagai buah sulung dari peristiwa yang sama pada masa yang akan datang (lih. kitab deuterokanonika Tobit 15:6-7 dan 2Makabe 1:27-29). Umat Allah juga kembali akan mengecap pembuangan.

Maka, meskipun Israel secara geografis telah kembali ke tanah perjanjian, kondisi terbuang itu masih belum sepenuhnya hilang tuntas. Janji-janji itu belum terpenuhi. Bait Allah belum sempurna dibangun. Mesias belum datang. Orang kafir belum ditundukkan, belum juga mereka pergi berziarah ke Sion untuk belajar Taurat. Israel masih berkompromi dan hidup bergelimang dosa.


SUDAH DEKAT

Era Bait Allah kedua (pasca pembuangan s.d. 70 M) dengan demikian masih dianggap sebagai “masa murka.” Mereka sama sekali tidak menganggap hal ini sebagai problem psikis belaka. Namun demikian, tak seorang pun orang Yahudi yang bahwa Allah Israel akan membiarkan umat-Nya selamanya berada di bawah penindas-penindas kafir. Janji pembebasan di atas tetap ya dan amin. Bila Allah berbuat ini, maka benarlah tuduhan bangsa-bangsa bahwa Allah Israel tak lebih dari suatu allah primordial, yang sedang bertanding dengan ilah-ilah lain, dan Ia kalah di medan laga. Ini masalah “kesetiaan Allah pada kovenan” (ikatan perjanjian). Di dalamnya terletak tsedaqah Allah Israel, yaitu “kebenaran-keadilan” Allah. Bila Allah Israel benar-benar benar-adil, kapan dan bagaimanakah Ia bertindak untuk menggenapi janji-janji kovenan-Nya?[2] Inilah jawabannya:

(1) Allah Israel benar-benar akan menggenapi kovenan. Pengharapan ini tak pernah dilupakan.[3]
(2) Buah daripadanya adalah peneguhan kembali tatanan ilahi di seluruh dunia.[4]
(3) Kesesakan Israel pada masa kini harus dipahami dalam kerangka kesetiaan kovenan, yaitu sebagai penghukuman oleh karena dosanya.[5]
(4) Allah tidak aktif pada masa kini, dalam arti Ia menunda penggenapan janji-Nya ialah untuk memberi waktu agar semakin banyak orang yang bertobat; jika Ia bertindak sekarang, bukan hanya anak-anak kegelapan tetapi juga sejumlah anak-anak terang akan turut dihancurkan. Sebagai akibat dari penundaan ini, mereka yang tidak bertobat akan “dikeraskan hatinya” sehingga, ketika waktunya tiba, penghukuman mereka akan dipandang adil.[6]
(5) Kewajiban bagi para umat perjanjian adalah bersabar dan setia, menjaga kovenan dengan segenap kekuatan, bersandar kepada Allah untuk bertindak dengan segera dan pada akhirnya membela mereka.[7]

Dua pokok iman berdiri di belakang pemahaman di atas. (1) “Pembenaran” (justification) yaitu penyelamatan umat dan penghukuman para kafir, serta (2) “eskatologi” yaitu bahwa sejarah umat Allah akan bergerak menuju momentum puncak, yaitu masa ketika segala sesuatu diperbarui. Israel menghidupi kisah tersebut. Hanya ada satu Allah, satu Allah yang benar di seluruh dunia, dan masa depan tidak jauh dari sekarang, yang di dalamnya Allah yang benar akan menyatakan diri-Nya, mengalahkan kejahatan dan menolong umat-Nya.
Oleh kisah ini pula muncul kemudian para “pembela Tuhan.” Para pengikut Rabbi Shammai yang dikenal revolusioner dengan antusias mewujudnyatakan pengharapan ini. Semangat bagi Taurat. Mereka tidak akan duduk manis dan pasif menanti. Dalam pandangan mereka, Allah yang benar telah dicemarkan kehormatan-Nya oleh orang-orang kafir. Padahal, kemuliaan-Nya menuntut bahwa para kafir, para penyembah berhala, akan menerima bagian yang layak bagi mereka. Karena itu, Allah perlu menunjukkan keagungan yang melampaui kuasa apa pun. YHWH pasti bertindak. YHWH akan menjadi raja seluruh dunia.

Jika kita hendak melihat gambaran masa kini ke-giat-an bagi Taurat, mari kita menyimak peristiwa Tel Aviv pada 4 November 1995. Yitzak Rabin ditembak oleh Yigal Amir. Siapakah Amir? Ia dilaporkan adalah seorang “mahasiswa hukum.” Nah, jangan kita mengerti sebagai mahasiswa fakultas hukum seperti di negeri kita. Amir adalah seorang yang dididik untuk belajar Taurat. Dalam beberapa laporan yang diliput, ia didukung oleh rabbi-rabbi di Israel dan Amerika. Menurutnya, Rabin adalah seorang pengkhianat. Mengatasnamakan perdamaian, Rabin telah bersiap untuk menjual simbol teragung dari nenek moyang Israel, yaitu tanah perjanjian.

Memahami Amir dalam konteks hidup Yesus, posisi ini sangatlah logis. Ia tidak gila. Ia tahu bahwa ia benar. Ia tahu bahwa ia benar. Seluruh tanah Israel, termasuk Pesisir Barat Sungai Yordan (“Yudea dan Samaria”) adalah milik Israel, sebab demikian yang dinyatakan oleh Taurat. Mereka yang mengkompromikannya, meski sekadar pura-pura, tetap dianggap apikorsim, para pengkhianat. Giat bagi Taurat menurut Amir adalah bertindak sebagai agen Allah, untuk menjauhkan Israel dari penyelewengan, mempertegas kehadiran kerajaan Allah, dan membebaskan Israel dari kuk kekafiran.[8]

Bagaimana caranya? Orang Yahudi sendiri harus menunjukkan bahwa Allah telah meraja dalam kehidupan umat. Allah hadir dan menyatakan diri-Nya dalam Taurat-Nya. Untuk itu, orang Yahudi harus taat kepada Taurat. Ketaatan kepada Taurat ini akan mempercepat penggenapan janji Allah. Supaya Israel patuh kepada Taurat, ia harus dituntun. Atau lebih tegas lagi perlu didesak. Propaganda dijalankan sampai mengambil bentuk-bentuk “kekerasan kudus.” Giat bagi Allah, giat bagi Taurat, serta giat untuk menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi.


WARTA BAIK

Ya . . . , tapi kapan? Tuntaskah kepedihan bila dijawab dengan ke-giat-an bagi Taurat? YHWH akan kembali dan bertahta, umat pun akan kembali dari pembuangan. “Warta baik” (Injil) bagi Israel adalah berita yang telah lama dinanti, berita pembebasan dari penindasan.

Namun, orang-orang Yunani ternyata memiliki pengertian lain tentang “warta baik.” Yaitu berita kemenangan besar, atau kelahiran seorang kaisar. Datangnya seorang kaisar menyatakan janji kedamaian, suatu permulaan yang baru bagi dunia. Dalam sebuah inskripsi dari tahun 9 SM tertulis,

"Pemeliharaan yang menata segenap kehidupan kita, yang menunjukkan perhatian dan antusias, telah menitahkan kesudahan yang paling sempurna bagi hidup manusia, dengan memberikan kepadanya Agustus, dengan memperlengkapi dia dengan keutamaan sebagai seorang pelindung bagi manusia, . . . seorang juruselamat bagi kita dan semua orang yang lahir setelah kita, untuk menghapuskan perang, dan menciptakan tatanan di mana-mana . . . ; hari lahir seorang allah [Agustus] adalah permulaan warta gembira bagi dunia yang telah datang kepada manusia melalui dia."

Kita tidak perlu mempertentangkan keduanya. Sebab, pemberitaan nabi Yesaya (khususnya ps. 40-55), Allah yang naik tahta berarti turun tahtanya ilah-ilah kafir; tentang kejayaan Israel dan dikalahkannya Babel; datangnya Sang Raja-Hamba dan hadirnya kedamaian serta keadilan. Jika dan manakala YHWH menetapkan seseorang menjadi penguasa yang benar, wakil-Nya yang benar di dunia, semua kuasa yang berdiri di balik kerajaan-kerajaan ditentang. Memberitakan YHWH sebagai raja berarti mengumumkan kaisar bukan raja. Kemenangan atas seluruh dunia ada di tangan-Nya.

Kapan? Kiranya perkataan rasul Paulus dalam Roma 1:1-5 menjawab masalah kita,

"Dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul dan dikuduskan untuk memberitakan Injil Allah. . . . tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita . . . ."

Sebuah warta tentang Allah, satu Allah yang benar, Allah yang mengilhami para nabi, termaktub dalam sebuah warta tentang Yesus. Sebuah kisah kehidupan real manusia: hidup, mati dan bangkit. Di dalam Dia ini Allah yang hidup dan benar menjadi raja dunia. Bagi Paulus, inilah kisah Injil, warta baik bagi seluruh dunia.

Bila kita menilik silsilah Yesus dalam Matius 1:1-17, dua kali kata “pembuangan” kita jumpai. Tepat sebagai titik pusat yang memisahkan empat belas keturunan yang mengantar Israel ke pembuangan, dan empat belas keturunan yang mempersiapkan kelahiran sang Mesias. Silsilah ini sangat mungkin bertujuan memaparkan bahwa pembuangan belum berakhir hingga Mesias itu datang. Injil Allah ialah berita mengenai kedatangan Mesias.

Dalam literatur Yahudi pasca PL, tunas yang dari keturunan Daud merupakan berita sentralnya. Umat Allah sedang menanti berlalunya pembuangan, tetapi mereka tetap yakin bahwa “tongkat pemerintahan tidak akan beranjak dari Yehuda sampai ia datang yang berhak atasnya.” Frase “sampai ia datang” (akhri hou elthÄ“) kerap kali dikutip sebelum era Perjanjian Baru sebagai penantian panjang atas penggenapan janji itu. Kita menjumpai penggenapannya di Galatia 3:19, bahwa hukum Taurat ditambahkan oleh karena dosa-dosa umat, sampai datang (akhris hou elthÄ“) keturunan yang dimaksud oleh janji itu.
Di dalam Kristus, YHWH bertindak. Yesus diberi gelar “Tuhan” dan pewaris segala sesuatu. Ia adalah Anak Allah (gelar kerajaan, lih. Mzm. 2 dan 89). Ia adalah satu-satunya yang menundukkan bangsa-bangsa kafir dan di dalam Dia umat Allah yang benar dimerdekakan.


YA ALLAH, ENGKAU SUDAH LAKUKAN!

Ketika sahabat Tamil kita berkata, “Mereka membujuk kami dengan janji kehidupan yang baru, namun semua yang kami lihat adalah kubur,” nada pahit jelas tersirat. Sebuah memori destruktif yang menghancurkan kehendak dia untuk berjuang demi masa kini yang lebih baik serta visi masa depan yang lebih cerah. “Kehidupan baru” mungkin hanya ilusi seorang Tamil miskin yang telah meninggalkan rumahnya dan menyusur pantai mencari peri kehidupan yang lebih baik. Pengharapan dikhianati, dan ia harus berjumpa dengan kenyataan-kenyataan diskriminasi ras dan agama. Lengkap sudah pengalaman dia sebagai seorang yang mengalami pembuangan.

Namun, sahabat kita tidak mengutuk masa lalunya. Ia melakukan sesuatu yang melampaui luka-lukanya. Ia kembali kepada Allah dan mencurahkan seluruh isi hatinya kepada Allah. “Beritahu kepada kami, ya Allah, apa yang dapat Engkau katakan?” Gugatan kepada Allah? Mungkin! Kemarahan kepada Sang Ilahi? Bisa jadi. Tetapi alamat yang tepat sudah ia datangi.

Apabila ia membenamkan kisah hidupnya di dalam kisah hidup Yudaisme pada era Bait Allah yang kedua, ia akan berjumpa dengan Allah yang bukan hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi memiliki Seseorang untuk diberikan. Seseorang yang menggenapi janji pembebasan. Seseorang yang merestorasi kehidupan. Ia memang akan melihat kubur, tetapi sebuah kubur yang kosong!

Melampaui pengharapan pribadi, pengharapan ini milik dunia. Sebab Allah meraja juga atas komunitas dan atas ciptaan. Kesetiaan Allah pada kovenan-Nya tetap ya dan amin. Belum terwujud secara sempurna. Tetapi Allah sudah melakukannya.

TERPUJILAH ALLAH!


KEPUSTAKAAN TAMBAHAN:

Brown, Raymond E. Introduction to New Testament Christology. New York: Paulist, 1994.

Newman, C. C., ed. Jesus and the Restoration of Israel: A Critical Assessment of N. T. Wright’s Jesus and the Victory of God. Downers Grove: InterVaristy, 1999.

Sanders, E. P. The Historical Figure of Jesus. London: Penguin, 1993.

Wright, N. T. The New Testament and the People of God. Minneapolis: Fortress, 1992.

--------. Jesus and the Victory of God. Minneapolis: Fortress, 1997.

[1]Dikutip dari For the Dawning of the New, J. Abayasekera dan D. P. Niles, ed. (Singapura: Christian Conference of Asia, 1981), 29 oleh C. S. Song, Jesus the Crucified People (New York: Crossroad, 1990), 35.
[2]Pertanyaan ini yang hendak dijawab oleh literatur apokaliptik, seperti: Ezr. 9:6-15; Neh. 9:6-38, khususnya ay. 8, 17, 26-27, 32-33; Dan. 9:3-19, khususnya ay. 4, 7, 11, 16, 18; seluruh bagian Yes. 40-55. Catatan bagi pecinta kajian PB. Masalah ini melatari kajian-kajian dalam “pencarian ketiga Yesus Sejarah” (third quest) dan “perspektif baru tentang Paulus.” Penulis sendiri mengacu kepada pemikiran E. P. Sanders dalam Jesus and Judaism (Philadelphia: Fortress, 1985); Paul and Palestinian Judaism (Philadelphia: Fortress, 1977) dan The Historical Figure of Jesus (London: Penguin, 1993). Studinya atas Yudaisme nampaknya adalah salah satu karya terbaik, yaitu Judaism: Practice and Belief, 63 BCE–66 CE (Philadelphia: Trinity Press International, 1992)
[3]Seperti dalam Dan. 9:16; Neh. 9:8; Yl. 2:15-32.
[4]Mis. Yes. 40-55; Dan. 7; Tobit 13-14.
[5]Dan. 9 (khususnya LXX). Bdk. Rat. 1:18; Yeh. 9:15; Neh. 9:33; Ul. 27-32; 2Mak. 7:38; 12:6.
[6]Mis. 2Mak. 16:12 dab.; Kebijaksanaan Salomo 12:9 dab., 15; Sirakh 5:4, dsb.
[7]Dijabarkan khususnya dalam 2Barukh (44 dan 78) dan 4Ezra (7; 8; 10 dan 14).
[8]N. T. Wright, What Saint Paul Really Said: Was Paul of Tarsus the Real Founder of Christianity? (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 28-29.

No comments:

Post a Comment