Tuesday, October 24, 2006

Gereja Limbung

GEREJA LIMBUNG:
TANGGAPAN ATAS “AKU CINTA MURIA”


Marry the fashion of the present generation
only to find yourself a widower in the next one

(“Kawinilah gaya generasi ini dan engkau temukan dirimu
sendiri menjadi seorang duda pada generasi berikutnya”)


Pendahuluan

Menyimak tulisan Setio Boedi, saya menangkap keluhuran cinta terhadap GKMI. Ya, tersimpan beribu asa dan sejuta cita-cita akan masa depan GKMI. GKMI di masa depan, masih adakah? Tentu keluhuran cinta seperti ini beranjak dari keprihatinan yang mendalam akan kondisi yang melanda gereja-gereja kita. Baiklah saya membuat peta permasalahan yang diajukan Boedi terlebih dahulu.

Pertama, keprihatinan mendalam terhadap kondisi gereja kita saat ini, terutama di kalangan kaum muda. Jika Pdt. Charles Christano sering diundang berceramah di hadapan pemuda-pemudi GKMI dengan tajuk “Aku Cinta Muria”, nampaknya sekarang tak pernah lagi ceramah dalam genre ini diadakan.

Kedua, para pamong yang menjadi wakil gereja lokal pada persidangan sinode selama ini tidak banyak (jika bukan sama sekali tidak) menaruh perhatian dalam menggagas masa depan kaum muda GKMI. Waktu dan tenaga banyak tercurah untuk memutuskan hal-hal yang bersifat organisatoris bin teknis bin verbal.

Ketiga, kenyataan banyaknya jemaat yang sering berpindah gereja. Tambah lagi, hamba Tuhan pun demikian meskipun tahu bahwa pengajaran gereja itu berbeda dengan gereja sebelumnya.

Keempat, relevansi kecintaan terhadap GKMI di tengah “persaingan” (Boedi memakai kata “kemajemukan”) gereja.

Semua problem di atas bertitik tolak dari fenomena yang terjadi, alias kenyataan yang diamati di lapangan. Tetapi di balik semua poin di atas saya, selaku seorang teolog gereja amatiran, menangkap sinyal-sinyal ekklesiologi (doktrin tentang gereja) yang amat serius.

Setelah membaca dan merenungkan tulisan Boedi ini, tumbuhlah suatu beban moral dalam diri saya untuk menjawabnya dari sudut teologis. Harapan saya, kiranya kita akan bergandengan tangan demi gereja kita. Dari lubuk hati yang paling dalam tulisan ini saya buat; tak lain adalah ungkapan tulus yang bersemi dari kemurnian asa terhadap tubuh Kristus yang di dalamnya saya dilahirkan, dibaptis sebagai seorang percaya, di dalamnya saya menerima edifikasi, dan di dalamnya saya menerima panggilan sebagai seorang pelayan Firman Allah.

Dahulu Bukan Ini atau Itu, Sekarang?

Saya teringat buku klasiknya Walter Klaassen, Anabaptism: Neither Catholic nor Protestant[1] dan bukunya Paul M. Lederach, A Third Way.[2] Pada intinya, Anabaptisme merupakan alternatif yang layak dipertimbangkan dalam kancah pertentangan Katolisisme dan Reformasi kala itu. Reformasi radikal yang dikumandangkan oleh para pelopor gerakan Anabaptis, yang klimaksnya pada diri Menno Simons, hendak memberi jalan tengah (atau bahkan jalan yang sama sekali baru) perihal menjadi murid Kristus yang sejati. Bukan masalah doktrin, tetapi gaya hidup seperti Yesus Kristus.

Seiring menggelundungnya sang kala, ternyata sejarah mencatat bertumbuhnya gerakan pentakosta dan kharismatik. Patut diperhitungkan pula kejayaan dari gerakan-gerakan yang bernaung di bawah payung besarnya sampai-sampai jumlah pengikutnya menyaingi dua tradisi besar di atas, bahkan mengalahkan jumlah pemeluk Anabaptis-Mennonite. Pertanyaannya kini adalah, apakah Anabaptis-Mennonite juga termasuk bernaung di bawahnya? Naga-naganya tidak. Jika demikian, maka judul Klaassen perlu direvisi menjadi Neither Catholic nor Protestant nor Pentecostal-Charismatic. Serta mungkin juga judul Lederach menjadi A Fourth Way.

Pertanyaan maha penting selanjutnya adalah, lalu apa? Baiklah pertanyaan ini juga kita tanyakan kepada GKMI yang kita cintai. Apakah GKMI itu? Yang jelas GKMI bukan gereja Katolik, bukan GKI atau HKBP, bukan pula JKI atau Bethany. Lalu apa? Dalam suatu ceramah di acara Kempa Sinode tentang jati diri Mennonite, yang saya sering dengar melalui kaset dokumentasi tatkala saya masih duduk di bangku kelas 6 SD dan masih saya simpan sampai sekarang, Pdt. Charles Christano menyatakan bahwa GKMI bukan mau berada di tengah-tengah, sebab posisi di tengah belum tentu jelas. “Yang benar bukannya ‘bukan ini atau bukan itu’, tapi ‘ya ini, ya itu.’” Saya yakin Pdt. Charles hendak memakai pola pikir both-and, yang menolak alam pikir Barat yang sering kali menonjolkan dialektika either-or. Memang pola pikir pertama tadi merupakan kekhasan dunia Timur.

Tetapi, kalau benar GKMI sungguh-sungguh “ya ini, ya itu”, saya pun mengindera adanya bahaya yang besar. GKMI sendiri tidak jelas dengan jati dirinya, alias ya ada Katoliknya, ya ada GKI-nya, ya ada Bethanynya. Sampai-sampai seorang teman di Kudus membuat satu istilah “Mennorematik”—Mennonite-Reformed-Kharismatik.

Lebih lanjut, penjelasan lain yang saya sering terima adalah bahwa GKMI itu alkitabiah, yaitu bahwa setiap pengajaran harus berdasarkan Alkitab. Tapi justru muncul banyak problem di sini. Pertama, baik Katolik maupun Reformed maupun Kharismatik mengaku mereka juga mendasarkan pengajaran dari Kitab Suci. Katolik yang dahulu kita kritik sebagai pihak yang menenggelamkan Kitab Suci dalam lautan tradisi-tradisi mistik, dengan konstitusi Dei Verbum yang diputuskan di Konsili Vatikan II pada tahun 1965 sekarang mengharuskan setiap warga jemaatnya untuk membaca dan mempelajari Alkitab secara pribadi serta menggalakkan program melek-Alkitab. Meski secara kasuistis memang masih banyak warga jemaatnya yang buta Alkitab (termasuk para klerusnya), namun jika kita timbang-timbang, bukankah buta-Alkitab terjadi juga di gereja Protestan, Kharismatik dan Mennonite?

Kedua, bahkan bidat pun mengaku mendasarkan pengajaran mereka pada Kitab Suci. Ambil contoh Sekte Hari Kiamat dan Gereja Advent Hari Ketujuh. Mereka juga mengaku mendasarkan pemahaman pada Kitab Suci sehingga berani menyimpulkan bahwa Kristus akan datang pada jam dan hari atau bulan dan tahun yang pasti.

Ketiga, alkitabiah diidentikkan dengan banyak membuka Alkitab atau ”pokoknya ada ayatnya dalam Alkitab.” Banyak kali terjadi ”pemerkosaan” tanpa sadar terhadap ayat-ayat Alkitab yang dilakukan oleh para hamba Tuhan—tanpa terkecuali rohaniwan-rohaniwati GKMI. Ayat yang seharusnya tidak berbicara A kemudian dikutip dan diartikan A.

Keempat, jika memang GKMI berdasarkan Alkitab semata-mata, mengapa banyak varian teologi dalam tubuh gereja kita? Singkat kata, siapa rohaniwan ideal—artinya menurut asas alkitabiah tadi—yang mewakili teologi GKMI? Jika si A, pertanyaan baliknya adalah apakah si A dalam keseluruhan konsep berpikirnya mewakili teologi Anabaptis-Mennonite yang asli. Jika memang GKMI berdasarkan Alkitab semata-mata, mengapa kurang dari 5 orang rohaniwan GKMI yang selama ini saya dengarkan khotbahnya selalu konsisten dan setia dalam memberitakan teks suci?

Silakan disurvai, dalam doktrin akhir zamannya saja tidak ada satu kata sepakat dari para pemuka kita. Bahkan yang mengejutkan saya, pengakuan iman GKMI yang tercantum dalam buku Tata Dasar dan Tata Laksana Sinode GKMI terperosok dalam doktrin spekulatif ”Masa Antara (Tenggang Waktu)” atau intermediate state yang intinya seorang yang mati belum langsung masuk ke surga.[3] Tersirat di sini surga sebagai realitas yang belum diberikan tatkala seorang Kristen meninggal.

Setelah saya melayangkan surat kesanggupan saya untuk melayani di GKMI Gloria Patri, suatu kali seorang hamba Tuhan berbicara dengan saya di depan gedung gereja. ”Saya membaca kok Anda mengatakan teologinya bukan Mennonite.” Tersirat di balik pernyataan itu ”Bukankah GKMI itu gereja Mennonite dan Anda lahir di gereja Mennonite?” Saya menjawab, ”Saya sendiri sampai sekarang tidak menemukan siapa suara yang mewakili teologi Mennonite.” Beliau malah menjawab, ”Ya, saya menyadari itu, sebab saya pikir kalau si A [beliau sebut seorang rohaniwan senior] menyampaikan khotbah atau ceramah belum tentu mengacu kepada literatur orang-orang Mennonite. Saya pun demikian, kadang-kadang susah menemukan penulis Mennonite.” Lalu, GKMI itu apa?

Bentuk Ekklesiologi Kita Sendiri?

Pemahaman doktrin yang beragam tersebut pada akhirnya melahirkan pola-pola bergereja yang juga beragam. GKMI yang asli itu mana? Apakah GKMI-GKMI[4] yang tertua: Kudus, Jepara dan Pati sampai sekarang masih menjadi kiblat GKMI-GKMI yang lain? Tidak juga. Kenyataannya, masing-masing gereja boleh mengembangkan pola kegerejaan dan service yang partikular sekali. Contoh sederhana saja, kelima GKMI yang sudah dewasa di Semarang (Semarang, Gloria Patri, Sola Gratia, Progo dan Lampermijen) punya corak yang sama sekali berbeda. Belum lagi kita berbicara tentang GKMI-GKMI di luar Semarang. Partikularitas inilah yang semakin mengaburkan mana GKMI yang benar-benar GKMI.

Mari kita memikirkan implikasinya. Jika seorang remaja yang bertumbuh di GKMI Gloria Patri kemudian bersekolah di Bandung, akankah ia pergi ke GKMI Bandung? Tanpa niatan untuk mendiskreditkan GKMI Bandung, remaja ini terbiasa beribadah di gereja yang megah gedungnya, dengan iringan band yang lengkap dan fasilitas nyaman. Di Bandung gedung gerejanya kecil dan sangat jauh, terpencil di daerah sepi lagi pinggiran kota sehingga susah dijangkau oleh anak muda. Tak perlu kita heran jika ia lebih mencari gereja yang minimal selevel dengan gereja asalnya, atau gereja yang lebih besar. Urusan doktrin? Sama sekali tidak menjadi soal (penyebabnya lihat bab di atas). Demikian pun halnya dapat terjadi pada anak Sola Gratia yang merantau ke Surabaya. Akankah ke GKMI Surabaya? Bagaimana kelak tatkala ia balik ke kandang selepas studinya?

Kembali berbicara secara filosofis. Tahun lalu (2003) diadakan seminar mengenai pelayanan di Hotel Griptha, Kudus. Pdt. Charles Christano sebagai salah satu pembicara utama mengungkapkan kalimat yang sangat mengejutkan saya, ”Saya setuju dengan gagasan mengenai komunitas yang dipikirkan sinode. Sebab kebenaran itu bukan milik seseorang. Kebenaran adalah milik komunitas. Suatu pengajaran benar jika diputuskan oleh komunitas.” Demikian pun kalimat yang sama pernah diucapkan oleh Pdt. Timotius Adhi Dharma. Saya mengerti maksud para pamong ini. Kedua pamong yang saya sangat hormati dan kagumi karena kepiawaian masing-masing tadi memang hendak menghidarkan gereja dari monopoli kebenaran oleh seorang hamba Tuhan. Namun, menelusur dampak lebih lanjut dari penuturan mereka berdua tak kurang gawatnya.

Pertama, teori retorika mengungkapkan bahwa keterandalan seseorang merangkai kata dan menyusun kalimat akan mampu mempengaruhi opini publik. Adolf Hitler berkata, ”Ucapkan kebohongan seratus kali, ia akan berubah menjadi kebenaran.” Kebenaran yang diyakini oleh seseorang bukan tidak mungkin mempengaruhi keyakinan seluruh warga komunitas. Kebenaran pribadi dapat menjadi kebenaran massa. Apalagi ditambah penampilan yang menarik dan kharisma yang mempesona atau kemampuan personal approach yang andal. Bukan tidak mungkin suatu saat pengajarannya menjadi milik seluruh komunitas gereja lokal.

Kedua, epistemologi (dasar pengetahuan bahwa sesuatu adalah benar) kita menjadi amat sangat situasionistik—tergantung situasi dan kondisi setempat. Dari segi ekklesiologi terjadi kerancuan tentang konsep komunitas gereja lokal sebagai komunitas penentu kebenaran. Berarti, yang dianggap benar dan baik oleh GKMI Gloria Patri belum tentu dianggap benar dan baik oleh GKMI Bahtera Hayat, sebab kedua GKMI mempunyai latar hidup dan gerak komunitas yang berbeda. Pertanyaan saya adalah, lalu apa yang mengikat kedua gereja? Kerancuan semacam ini akan berimbas pada penanganan kasus-kasus penyimpangan pengajaran yang terjadi di GKMI-GKMI. Di satu gereja dan gereja lain tidak sama (baca: tidak konsisten) resolusinya. Yang sangat mungkin dilakukan oleh sinode untuk menyelesaikan kasus-kasus semacam ini adalah meminta bantuan para rohaniwan senior yang dipandang mumpuni. Dan kebanyakan kasus yang akan ditangani adalah bila kasus itu telah membuat komunitas bergolak hingga tak ada kedamaian di dalam kehidupan bergereja. Tetapi selama komunitas itu dapat menerima pengajaran sang hamba Tuhan, the show must go on!.

Ketiga, kita membuat pengertian sendiri tentang standar penentu kebenaran yaitu pada komunitas lokal tanpa menempatkannya pada kerangka pikir yang tepat. Kebenaran yang Allah wahyukan dijumpai melalui dua media, yaitu Alkitab sebagai kesaksian ultimat terhadap Sang Firman, dan Gereja am (Gereja Kristen yang menyejarah) yang hidup dan bergerak di atas fondasi pengajaran Tuhan Yesus Kristus dan yang diturunkan oleh para rasul-Nya. Gereja yang hidup pada satu zaman tertentu dipastikan benar/tidak atau ortodoks/heretik bilamana bersesuaian dengan iman Gereja am. Kita percaya bahwa Mennonite bernaung dalam tradisi Gereja am, namun sayang, banyak GKMI acuh tak acuh dengan pengajaran Anabaptis-Mennonite dan tradisi Kristen yang diimani oleh Gereja di sepanjang zaman tersebut untuk mengoreksi pengajaran dan kebergerejaannya.

Minder Wardegheit?

Inilah penyakit yang menjangkiti kebanyakan gereja kita, secara pribadi dan komunal! Mengapa kita tidak semaju gereja-gereja yang baru? Solusi yang kita pikir dapat mengejar ketertinggalan kita adalah mencomot apa yang kita anggap baik dari mereka dan menerapkannya di gereja kita. Fasilitas musik diperlengkap. Gedung diperindah. Kenyamanan ditingkatkan. Sayangnya, model yang kita tiru ternyata sudah melesat dengan inovasi terbaru dan tercanggih. Kita mencoba mengejar lagi, ternyata tetap saja ketinggalan.

GKMI harus jujur. Selama ini perbincangan yang masuk ke forum rapat majelis (selain urusan surat masuk dan maintenance) adalah bagaimana supaya suasana kebaktian menarik. “Kok tidak bisa seperti Gereja X yang enak sekali suasanya ibadahnya!” kata seorang mantan majelis kepada saya. Sementara kita sendiri belum menemukan bentuk yang kita yakini pas dan memiliki dasar teologis yang kuat, kita sudah melirik ke yang lain yang lebih meriah dan hendak segera diadopsi cara dan pola yang berlaku di sana bagi gereja kita.

Intinya, jangankan anak mudanya, lha wong ternyata para seniornya sendiri mengalami disorientasi terhadap gerejanya sendiri. Jadi multikomplekslah masalah yang sedang kita hadapi. Baik golongan senior maupun junior tidak memiliki keyakinan dan kepercayaan bahwa gereja kita baik, bahwa kita cukup dengan gereja kita, bahwa rohani kita dikenyangkan oleh pemberitaan firman dan tata ibadahnya, dan bahwa kita berkomitmen tinggi untuk membangun gereja agar lebih baik lagi.

Untuk mengurangi rasa minder ini, dalam pengamatan saya, banyak kali kita menghibur diri dengan kesuksesan yang kita sudah capai. GKMI berhasil membuat banyak bidang pelayanan yang berdampak sosial luas. GKMI berhasil membuat Christopherus, ICHTHUS, PIPKA, YPPS, mengutus seorang wakilnya hingga menjadi rektor di UKDW, Ketua di STT Cipanas, Dekan Fakultas Teologi UKSW, dll. Tetapi mari kita menalar secara dekonstruktif. Apakah para tokoh yang berhasil membangun yayasan-yayasan dan menempati kedudukan penting di institusi pendidikan memang mewakili GKMI dan membangun GKMI di pos-pos mereka masing-masing? Ataukah sebaliknya, mereka yang berhasil dan sukses dalam pos-pos itu kebetulan bergereja di GKMI? Kejayaan dan monumen itu bersifat personal dan bukan representasi GKMI. Banyak proyek berhasil dibangun, tetapi ternyata sedikit—dan semoga bukan tidak ada sama sekali—kontribusinya untuk pembangunan GKMI sendiri.

Saya khawatir, jika keprihatinan yang luhur ini dilontarkan dalam persidangan raya nanti, feed back yang akan diterima adalah polesan dangkal yang ujung-ujungnya yaitu kiat-kiat praktis dan pragmatis untuk menarik massa muda sebanyak-banyaknya agar masuk ke persekutuan, tanpa pernah menyentuh akar masalahnya, tanpa menyadari kebengkokan kita selama ini. Sebab, kemungkinan besar solusi yang akan dikemukakan ialah bagaimana mempermak pola ibadah dan fasilitas ibadah! Jika demikian, kita tidak akan sembuh dari minder wardegheit yang kita sedang derita.

GKMI 20 Tahun Mendatang

Kita tentu mendambakan suatu kebangunan rohani kembali terjadi di GKMI—ya, kebangunan yang mengundang banyak massa untuk datang kepada Kristus; kebangunan yang diikuti oleh peledakan jumlah orang percaya. Saya hendak bercerita satu kisah kebangunan rohani yang sungguh-sungguh terjadi. Pada tanggal 8 Juli 1741, seorang pendeta dari Congregational Church of Northampton berkhotbah di Enfield. Kota ini belum pernah tersentuh oleh kebangunan rohani. Jonathan Edwards berkhotbah dengan judul Orang Berdosa di Tangan Allah yang Murka. Menakjubkan sungguh dampaknya! Pada akhir khotbah tersebut banyak orang “berlutut dengan keinsafan akan dosa dan bahaya yang mengancam mereka.” Bahkan sebelum khotbah berakhir, telah terdengar ratapan dan jerit tangis dari sejumlah anggota jemaat yang menyesali dosa mereka, dan sebagian lainnya bahkan berteriak, “Apa yang harus kulakukan supaya diselamatkan?” Hingga tahun 1743, Edwards dan rekan-rekannya dapat menyaksikan betapa banyak orang, jumlahnya bahkan sampai ribuan, yang hidupnya telah diubahkan dan dipertobatkan dengan penuh pengharapan.[5] Edwards bukan pengkhotbah yang mendemonstrasikan mukjizat, kesembuhan ataupun pengurapan api surgawi. Ia seorang pengkhotbah yang sakit-sakitan. Seringkali ia membawakan khotbahnya dengan duduk di kursi oleh sebab kondisi fisik yang lemah. Tetapi pada zamannya Amerika mengalami era yang disebut the Great Awakening, Kebangunan Besar, yang mengubah hidup puluhan bahkan ratusan ribu Kristen dan mengubah wajah kebudayaan Amerika.

GKMI boleh bertambah jumlahnya. Tetapi yakinkah kita bahwa jumlah yang bertambah ini sungguh-sungguh kebangunan rohani yang benar? Jika GKMI masih seperti ini, dan belum “berbalik kembali ke jalannya” (tema Sidang Raya XXIV), maka relakah kita jika banyak orang masuk ke GKMI dan diajar sesuatu yang salah? Jika GKMI tetap puas dengan pola bergereja lama yang tidak jelas, maka apabila suatu kali memang terjadi peledakan jumlah pengunjung gereja, beranikah kita mengatakan bahwa GKMI sudah mengalami kebangunan rohani yang benar? Jonathan Edwards, dalam buku yang sama memberikan lima tanda Allah sedang berkarya luar biasa dalam suatu kebangunan rohani:
1. Ketika penghormatan kepada Yesus yang sejati semakin meningkat
2. Ketika kerajaan Iblis diserang (dosa dihancurkan, hidup kudus dicari dan diupayakan)
3. Ketika orang-orang semakin mengasihi Kitab Suci
4. Ketika manusia dipimpin dari kesalahan menuju kebenaran
5. Ketika kasih kepada Allah dan sesama semakin bertambah.

Saya pun merindukan kebangunan rohani terjadi di GKMI. Tetapi saya lebih merindukan datangnya kebangunan yang benar. Problem pertama yang harus segera ditangani adalah, kembalikan khotbah-khotbah tentang salib di gereja, dan marilah kikis khotbah-khotbah yang berisi janji-janji serta nubuat-nubuat palsu! Khotbah yang meninggikan Allah dan Kristus adalah satu-satunya khotbah yang terbukti mampu menggerakkan suatu kebangunan rohani yang benar.

Maka, rohaniwan-rohaniwan GKMI harus menuntut diri dan mengkhotbahkan kembali berita-berita Kitab Suci. Mari kita mengurangi untuk terus berpikir tentang bagaimana khotbah yang relevan dengan zaman ini, dengan memperbanyak ilustrasi dan guyonan. Tinggikan Kristus yang tersalib dan yang bangkit. Tinggikan Allah yang disaksikan Alkitab dalam khotbah-khotbah kita. Kembali kita perlu menuntut diri dan belajar baik-baik untuk membuat sebuah khotbah yang bermutu. Mari kita memperkaya isi khotbah dengan makanan sehat dan doktrin yang kuat. Sebab barangsiapa berkawin dengan generasi ini hanya akan ditinggal sebagai duda atau janda di era berikutnya!

Kedua, selain isi khotbah, hamba-hamba Tuhan pun perlu belajar ilmu retorika. Dalam berkhotbah, para pendeta dan penginjil kharismatik tidak memusingkan isi dan penafsiran, tetapi mampu menarik massa oleh sebab gaya retorika yang menawan dan penampilan yang mempesona. Nampaknya perlu ada program upgrading yang dikelola oleh sinode tentang bagaimana cara berkhotbah yang baik. Program ini seyogyanya diharuskan bagi para rohaniwan GKMI yang sudah melayani selama 7 tahun, dan perlu mengikutinya kembali setelah 7 tahun lewat.

Ketiga, untuk kondisi GKMI yang terlanjur “agak liar” seperti sekarang ini, perlu dipikirkan adanya konsolidasi dan keterbukaan untuk berubah ke arah yang khas GKMI tetapi sesuai dengan kesaksian firman Tuhan. Sebab jika saat ini kita berpikir tentang GKMI, maka kita pun sulit sekali menemukan satu GKMI yang benar-benar GKMI. Tentang apa yang saya maksudkan dengan “khas” ini, nampaknya hanya persidangan yang sanggup menjawabnya.

Keempat, untuk kondisi seperti sekarang konsolidasi di atas nampaknya sulit dilakukan (termasuk juga oleh sebab independensi gereja lokal). Maka, yang jelas harus ada satu model pelayanan di aras lokal yang digarap secara serius dan sungguh-sungguh, sehingga model ini nanti akan menjadi panutan bagi yang lain. Model ini akan bertambah kuat jika dikerjakan bukan hanya di satu GKMI tetapi merupakan suatu jaringan antargereja.

Kelima, puji Tuhan! Sebab pihak sinode sudah mulai berpikir mengenai upaya pembinaan dan pemberdayaan kaum muda GKMI agar memiliki jati diri yang jelas dan keprihatinan mengenai makna hidup bergereja. Saat ini sudah dibentuk, hanya saja ada satu kendala yang memaksa tim ini belum dapat berkarya. Tim ini bertujuan membentuk sebuah generasi (bukan lagi pribadi-pribadi yang menonjol) di masa datang dan memiliki dampak panjang bagi kelangsungan GKMI.

Keenam, GKMI sangat lemah dalam menangani pelayanan anak-anak. Bahkan GKMI Kudus sebagai gereja tertua pun belum cukup serius menangai pelayanan terhadap generasi-generasi penerus masa depan GKMI. Komitmen guru dalam mengajar nampaknya minim. Jika seseorang mau menjadi guru sekolah minggu saja sudah alhamdulillah, dan syaratnya ialah jangan menuntut waktu dan tenaga lebih dari yang sudah disediakan oleh seorang guru yaitu mengajar dalam tempo satu setengah jam di ruang sekolah minggu sebulan sekali! Mari kita perhatikan, berapa GKMI yang memberlakukan adanya kelas persiapan mengajar bagi guru sekolah minggu?

Ketujuh, GKMI juga harus mulai menginvestasikan dana untuk pengembangan SDM di jenjang S1 dan memperhatikan SDM-SDM yang sedang menuntut ilmu. Perhatian kepada mereka jauh lebih penting! Saya sangat sedih jika melihat para mahasiswa teologi dari GKMI yang “diperalat” dalam persidangan-persidangan sinode sebagai tukang ketik yang nglembur sampai larut malam, tapi tidak ada timbal baliknya baik dari gereja-gereja yang hadir, sinode, apalagi gereja tempat asalnya. Nasib mereka pun jarang disinggung dalam persidangan sinode. Maksud sinode maupun gereja-gereja kita ialah dengan banyak kali muncul di forum-forum umum mereka dapat dikenal (atau lebih tepat memperkenalkan diri kepada) GKMI-GKMI. Tetapi efektivitasnya? Hanya segelintir orang saja, bukan? Toh dalam praktik begitu banyak GKMI yang mencari tenaga rohaniwan justru bukan berasal dari GKMI. Maka jangan heran jikalau banyak potensi muda GKMI yang enggan kembali ke gerejanya maupun ke GKMI lain oleh sebab pola seperti ini, sementara ladang tetangga mengundang mereka dengan penuh antusias dan kehangatan.

Penutup

Saya setuju dengan Setio Boedi bahwa kecintaan terhadap GKMI harus dimulai dari sekarang. Tetapi saya pun mengajukan suatu redefinisi terhadap istilah “cinta” itu sendiri. Bahwa cinta harus membuat kita berubah. Ah, maksud saya bukan berubah yang dulu beribadah tanpa band sekarang mulai menabung untuk membeli band lengkap. Bukan itu! Saya tidak berbicara superficial. Saya tidak berbicara tentang pola kuno dan pola modern. Saya tidak berbicara cara lama dan kiat-kiat baru untuk menarik massa. Tetapi saya berbicara tentang mengkristalkan apa sih GKMI itu sebenarnya sehingga kita perlu mencintai GKMI.

Langkah pertama untuk cinta adalah sadar diri. Jika memang perjalanan GKMI sampai sekarang sudah okay, tidak adalah yang perlu diubah. Namun jika memang kita sudah melenceng dari kebenaran, bukankah kita perlu mengadakan revolusi yang tanpa granat dan besi—Bung Karno menyebut ini sebagai revolusinya Nabi Isa As? Menggapai bintang di langit perlu dilambari oleh suatu ambeg ber budi bawa leksana, berbudi luhur bijaksana serta berpikir keras tajam tentang langkah-langkah ke depan.

Sebuah pekerjaan rumah yang besar! Masa depan GKMI justru sekarang berada di tangan semua pemimpin umat, baik gembala jemaat, rohaniwan maupun majelis. Kegagalan seorang pemimpin adalah manakala ia tidak dapat mempersiapkan penggantinya. Kegagalan gereja adalah manakala ia tidak mampu mempersiapkan generasi masa depan. Jadi, kegagalan masa depan adalah kegagalan masa ini. Mau berkawin dengan semangat zaman generasi sekarang ini? Buktikan di generasi berikutnya. Akhirulkalam, cinta GKMI? Siapa takut! Mari kita berbenah bersama-sama! (081004)

[1]Edisi ketiga (Kitchener: Pandora, 2001).

[2](Scottdale: Herald, 1980).

[3](Semarang: Sinode GKMI, 2001), 178.

[4]Gereja dan Sinode kita sering melanggar kaidah bahasa dengan mengulang huruf dalam singkatan penjamakan, yaitu GGKMI. Padahal pengecualian ini hanya boleh dipakai untuk Undang-undang Dasar (UUD) untuk membedakan dengan Urusan Dagang (UD). Suka atau tidak, dan meskipun agak boros tempat, maka singkatan yang benar adalah GKMI-GKMI.

[5]Gary Benfold dalam prakata dalam buku Jonathan Edwards, Allah Sedang Berkarya: Tanda-tanda Kebangunan Rohani Sejati (penerj. The Boen Giok; Surabaya: Momentum, 2004), xi.

3 comments:

  1. Yup, persoalan identitas memang menjadi serius di tengah kepelbagaian dan persaingan antar gereja. Ada beberapa jalur untuk melihat identitas gereja : jalur pemahaman masa grassroot, jalur pemahaman pendeta, dan jalur dokumentasi hasil persidangan. Tetapi, masalahnya tiga jalur ini bisa saja tidak berujung pada satu jalan. So? Kembali ke zaman Hakim-hakim : masing-masing melakukan apa yang benar di matanya? :) btw, numpang nanya apa arti ortodoksi radikal di bagian atas blog? kesannya kok rasa fundamentalis :)

    ReplyDelete
  2. Wow...sy bs ngerasa, you love GKMI so much, right?? Saya jadi inget ayat yang dipake Tuhan ngegosok sy untuk ngaca diri bertaun-taun lalu. Pertanyaan Tuhan Yesus pada Petrus, "Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari semua ini?"(john 21:15-17),sy kira kudu trus-trusan kita tanya pada diri kita. Bukan hanya bertanya doang, tapi coba cari jawabannya sendiri sambil ngaca diri secara jujur. Waktu semua orang, rohaniawan senior kek, rohaniawan amatiran kek, majelis kek, aktifis kek secara jujur ngaca diri dengan pertanyaan dahsyat TUhan Yesus ke Petrus, kita bisa temukan apa akar semua masalah. Sampe hari ini ni.. saya masih yakin banget semua akar masalah, entah itu di gereja atau di luar gereja, akarnya adalah jawaban dan respon terhadap pertenyaan itu. Cinta DIA ato nggak? Ngutamain DIA ato nggak?Teramat cinta pada gereja kayaknya juga bisa mengalahkan cinta kita pada-NYA. Teramat cinta terhadap gaya tertentu juga pasti bisa ngalahin cinta kita pada-NYA. Teramat cinta pada kenyamanan, ketenangan udah pasti bisa ngalahin cinta kita pda-NYA. Tapi waktu semua orang bertekad bareng-bareng mau cinta DIA LEBIH DARI APAPUN, so.. seharusnya kita mau rendah hati dan lemah lembut,duduk bareng-bareng dengan hati nurani yang murni kata Paulus, untuk temukan seperti apa yang Tuhan mau lewat Gereja-NYA, toh.. Gereja punya DIA. O ia.. saya sedih banget menemukan banyak Hamba TUhan saat ini yang tidak lagi menemukan hadirat TUhan dalam Saat Teduh pribadinya. boro-boro menemukan hadirat TUhan dalam Saat Teduh, wong.. inget Saat Teduh juga untung. haahhhh... mengerikan sekali.. Gereja, Hamba TUhan, Majelis harus bertanya pada diri sendiri, apakah mereka mencintai Yesus lebih dari apapun? Dan kalo mau mencintai DIA, maka respon selanjutnya nggak bisa nggak, harus rela menyesuaikan hidup dengan isi hati-Nya. Dan salah satunya penyesuaian itu, harus mau berubah dan bertumbuh. Bukankah Cinta selalu butuh pembuktian ??

    ReplyDelete
  3. salute.... :)
    buah pikiran yang cukup jujur-menarik
    dan saya rasa, persoalan yang diketengahkan tidak hanya dihadapi oleh GKMI saja, tetapi menjadi pergumulan banyak gereja, termasuk yang mainstream.
    salam kenal yach
    smg, kita bisa saling memperkaya melalui topik2 ini

    Soli Deo Gloria

    ReplyDelete