Saturday, November 11, 2006

(The Matrix) Membagi Kebajikan



MEMBAGI KEBAJIKAN, MEMBAGI HIDUP

“Everything that has a beginning, has an end.” [?]
(Oracle dalam The Matrix Revolutions)



MANA YANG . . . .

Trilogi film The Matrix mencapai klimaksnya dengan peluncuran The Matrix Revolutions. Memang, tidak mudah memahami alur ceritanya. Seseorang yang menyaksikan volum ketiga tanpa dua volum sebelumnya akan cukup kebingungan. Bahkan, mengikuti alur cerita volum ketiga ini pun dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. Sekali saja menyaksikan, seseorang hanya akan terkagum-kagum dengan efek khusus yang dirancang apik dan canggih.

Secara ringkas, trilogi The Matrix adalah biografi (tentu saja fiktif!) dari seorang pemuda bernama Neo (diperankan oleh Keanu Reeves). Semula, ia adalah seorang pemuda yang cukup tertutup; dunianya sehari-hari adalah komputer dan internet. Suatu kali, ia diundang untuk terjun ke dalam sebuah misi di dunia maya (virtual world) jaringan serat optik. Neo benar-benar masuk ke dalam dunia serat optik yang disebut the Matrix. Tugasnya ialah, bersama-sama Trinity dan Morpheus mengganjal niat serakah satu program kriminal yang dinamai Smith.

Dalam volum ketiga ini muncullah peran seorang nenek bernama Oracle. Ia memiliki daya linuwih yaitu pirsa sadurunging winarah. Ia maha tahu. Mungkin bagi Wachowski Bersaudara selaku penulis cerita sekaligus sutradara, Oracle merupakan personifikasi Allah yang menjadi manusia. Tapi kiranya para pembaca waspada, film ini tidak berkarakteristik Kristen! Ia menuturkan satu kalimat yang kemudian menjadi subjudul The Matrix Revolutions, “Segala sesuatu yang berawal, punya akhir juga.” Di penghujung film, Neo akhirnya mati. Mati sebagai pemenuhan “nubuat” Oracle. Mati sebagai seorang pahlawan bumi. Mati sebagai seseorang yang memberikan dirinya untuk perdamaian “dunia.” Mission accomplished!

Nampaknya, film ini oke-oke saja. Bahkan, tak sedikit orang yang memuji keberanian Neo yang berani goes where no human has ever dared to go before, “pergi ke mana tak seorang pun berani.” Memang, itulah kesimpulan bila seseorang menyaksikan volum ketiga saja. Sekilas, mirip sekali dengan kisah kasih Kristus dalam Alkitab—dengan rela mengurbankan diri untuk kebaikan orang lain, bahkan dunia. Tepat benar bila kita pun berkata nilai-nilai yang tersirat di volum tiga ini konservatif dan luhur. Tetapi jika kita cermat, apakah Neo adalah seseorang yang menghidupi keutamaan “rela berkurban”? Kita pasti berkesimpulan lain bila mencermati dua volum yang terdahulu. Kita akan menjadi ragu apakah Neo, Trinity dan Morpheus bisa membedakan kebenaran dan kesalahan, kebajikan dan kebatilan.

Kita makin menyadari bahaya film ini bila menyimak anggapan dasarnya di volum pertama yang melandasi ketiga trilogi.

Persepsi : Dunia kita sehari-hari, siang dan malam, adalah nyata.
Realitas : Dunia seperti itu adalah sebuah dongeng, suatu tipuan yang dijungkirbalikkan oleh mesin-mesin dahsyat dari intelegensi palsu yang mengontrol kita.

Kita tidak akan pernah dapat memilah mana yang nyata, mana yang palsu. Itulah sebabnya, ketika Neo masuk ke dunia maya tadi, penonton dibuat bingung terhadap mana dunia yang sesungguhnya dan mana dunia rekaan. Penonton pun akan bingung dengan karakter Neo.

Sabda Oracle ditujukan kepada Neo. Tapi secara tak langsung ditujukan pula kepada penonton. Setiap manusia memiliki awal. Ia pun memiliki akhir. Ia hidup di dunia yang tidak mempermasalahkan benar-salah, bijak-batil. Jadi, untuk apakah manusia hidup? Nampaknya, keputusan diserahkan kepada para pemirsa. Sayang beribu sayang, oleh sebab penonton sudah dibuat bingung, jawaban terpendek dan termudah yaitu, “Mbuh!” Awas, relativisme dan filsafat pascamodernisme kental dalam film ini!

Trilogi The Matrix bisa jadi merupakan cerminan budaya dan semangat zaman ini. Manusia didesak untuk menjadi gamang. Takut dan khawatir dalam bertindak bijak untuk memilih kehidupan yang bajik. Visi hidup adalah kekosongan.

INVESTASI KEKEKALAN

Iman Kristen mengajarkan kekekalan jiwa manusia. Jangan keliru, jiwa manusia memang memiliki awal. Jiwa manusia memang diciptakan. Tapi urusan belum usai ketika manusia mati. Ungkapan terhadap kematian adalah, seperti yang Dietrich Bonhoeffer tuturkan beberapa saat sebelum menjalani eksekusi, “I’m beginning a new life” (“Aku sedang memulai satu kehidupan yang baru,” 9 April 1945). Ada kehidupan di balik kematian.

Allah sendiri mencipta kita bukan tanpa maksud dan tujuan. Allah punya visi! Yaitu, bahwa kita hidup memuliakan Allah dan menikmati persekutuan dengan-Nya selama-lamanya. Simaklah, Allah tidak hanya menghendaki persekutuan ketika kita masih hidup di dunia. Allah merancang sebuah persekutuan yang kekal. Dalam pada itu, Allah pun mendesain kita supaya hidup memuliakan Dia.

Kendati berpikir tentang kekekalan, berpikir tentang apa yang harus kita kerjakan hari ini saja sering bimbang. Raymond Edward Brown (alm.), seorang pakar teologi biblika, menuliskan refleksi kehidupan di salah satu buku terakhir yang ia tulis,

“Kita telah menjadi was-was sepanjang hidup kita untuk melindungi diri kita dengan rekening-rekening bank, kartu kredit dan investasi, dan memproteksi masa depan kita dengan rencana-rencana hidup sehat, asuransi jiwa, sekuritas sosial, dan rancangan-rancangan pensiun. Namun, akan datang satu waktu manakala tak satu pun uang kas atau pekerjaan-pekerjaan “plastik.” Tak satu pun dukungan manusia akan menemani seseorang ke dalam kubur; dan persahabatan manusia berhenti di kubur itu. Seseorang masuk seorang diri.” (A Retreat with John the Evangelist.)

Benar sekali, semua orang ingin bahagia. Hanya, kebahagiaan sering kita takar dengan mempunyai sesuatu. Makin banyak kita punya, kita makin berbahagia. Tetapi, terjadi penumpulan di sisi lain, yaitu daya untuk memisahkan kebahagiaan dengan kecemasan. Hidup adalah masalah kini dan di sini. Setelah itu selesai. Hidup berarti bagaimana memenuhi kebutuhan sampai tutup usia. Maka, hidup adalah untuk kerja. Prioritas hidup dicurahkan untuk pemenuhan kini dan di sini. Itulah makna hidup, kata beberapa orang.

Sebaliknya, dalam iman Kristen kita hidup melampaui kegamangan. Kita memiliki kepastian. Kepastian akan jaminan untuk bersama-sama Allah dan kepastian bagaimana kita harus hidup. Kita memiliki awal. Tetapi mata kita jauh memandang kepada kekekalan persekutuan akbar dalam Dia. Realitas adalah hidup masa kini dan hidup yang akan datang. Masa kini terus mengajukan pertanyaan, bagaimana dan untuk apa kita hidup? Masa yang akan datang bertanya, seperti apa hidup kita kelak? Seseorang perlu memiliki visi hidup.

HIDUP BAGI ALLAH

Visi hidup dapat dimiliki hanya jika kita memiliki pola hidup God-centered, Allah pusat hidup kita. Meneliti Mazmur 112, kita akan menemukan sifat-sifat manusia yang sebelumnya kita jumpai dalam Allah. Patut disimak, Mazmur 112 erat terkait dengan Mazmur 111. Dalam 111 diterangkan sifat dan tindakan Allah, dalam 112 dijabarkan sifat dan tindakan umat. Ayat 3 dan 9, “kebajikannya (their righteousness) tetap untuk selama-lamanya” adalah gema dari “keadilan-Nya (His righteousness) tetap untuk selama-lamanya” (111:3). Lebih-lebih, “pengasih dan penyayang orang yang adil” membayang-bayangi kesempurnaan TUHAN sebagai pengasih dan penyayang (111:4). Jadi, kita tahu sekarang, setiap orang yang menempatkan Allah sebagai pusat, sifat-sifat Allah pun nyata dalam hidupnya.

Kebajikan atau keadilan (Ibrani tsedaqah; Inggris righteousness) bertitik tolak dari kesetiaan Allah Israel. Allah telah mengikatkan diri-Nya dengan nenek moyang Israel dalam “kovenan” (ikatan perjanjian). Tsedaqah menegaskan kesetiaan kepada kovenan itu. Allah tidak akan melupakan umat-Nya. Allah akan tampil membela umat-Nya.

Jika umat Allah juga menyandang predikat “bajik” atau “benar-adil” (righteous), maka umat pun perlu memiliki kesetiaan yang sama. Kesetiaan kepada Allah. Di samping itu, kesetiaan kepada sesama. Karakter yang terbangun adalah “di dalam gelap” (112:4)—yaitu, ketika hidup ini sulit—orang-orang yang hidup berpusat pada Allah akan membawa “terang”—yaitu, penguatan dan pengharapan—kepada orang lain, kepada “orang benar” (the upright). Siapa yang dimaksud? Yaitu sesama dalam komunitas beriman, mereka yang berusaha untuk tetap setia kepada TUHAN. Ingatkah kita bahwa Allah Israel juga disebut “Terang” (Yes. 10:17)?

Lebih lanjut, akan bersemi juga sifat welas asih (Mzm. 112:5). Mereka akan memberi pinjaman tanpa mengharapkan bunga (bdk. Kel. 22:25; Im. 25:35–37), serta melakukan pekerjaan dengan integritas. Jika welas asih dan integritas bertemu, maka tak segan-segan umat Allah berbagi hidup dengan orang-orang miskin di sekitarnya (Mzm. 112:9).

Menarik sekali. Sifat Allah mengalir dalam kehidupan umat-Nya. Umat yang hidup bagi Allah juga hidup bagi sesama. Tetapi jangan keliru, umat hidup bagi sesama oleh sebab pertama-tama mereka mengenal Allah dan mereka menyadari identitas diri yang sebenarnya. Tidakkah kemudian kita mengingat perkataan Kristus, “Haruslah kamu menjadi sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat. 5:48)? Tuhan kita menegaskan prinsip etika Perjanjian Lama, “Seperti Allah sudah perbuat, perbuatlah juga sekarang!”

Terlalu ideal? Mungkin! Tetapi, hidup dalam dunia yang terkotak-kotak dan terkutub-tekutub, dalam mana yang lemah menjadi semakin lemah dan “si punya” mendikte si papa dengan utang dengan bunga mencekik leher, Mazmur ini memiliki sesuatu yang penting untuk dituturkan (R. Davidson, The Worship of God, 1998:371).

Mata yang memandang jauh kepada kekekalan akan mengoreksi hidup sekarang. Kita tidak hidup untuk hidup itu sendiri. Kita hidup bagi Allah. Kita menyandang sifat Allah. Kita bertindak seperti Allah sudah bertindak.

PRESENTE!

Dalam The Matrix Revolutions, akhir hidup Neo adalah sebagai seorang altruis. Seorang altruis memiliki cara pandang tidak mementingkan diri sendiri. Ia akan mengabdikan diri demi kebaikan orang lain. Sikap dan tindakannya tidak menguntungkan diri sendiri. Bahkan seringkali membahayakan diri sendiri. Semua dikerjakan demi manfaat yang dapat dikecap orang lain.

Tidak sedikit orang yang memuja altruisme. Alih-alih religiositas dan spiritualitas yang mandul, orang memilih hidup altruistik. Tetapi pertanyaan balik bagi para altruis, mengapa memilih altruis? Apa tujuannya? Apa gol akhirnya? Apakah mengurbankan diri bagi orang lain selalu benar dan baik?

Tapi, penghargaan perlu diberikan. Orang-orang yang konon kabarnya hidup bagi Allah teramat sering justru hidup untuk diri sendiri. Pemahaman iman disempitkan menjadi semangat menutup diri.

Ambil contoh, tata ibadah atau liturgi Paskah. Kita beriman kepada Kristus yang bangkit. Tapi sayang, Kristus yang bangkit dikotakkan dalam pemahaman iman yang sempit: Kristus bangkit dan mati untuk kita, titik. Dalam liturgi, kita memuja Kristus sebagai pembela kita. Paling banter, liturgi mau meyakinkan kita bahwa kita mempunyai jaminan keselamatan dan hidup yang kekal.

Sejenak kita menilik hari-hari ketika skuadron kematian beroperasi di negara-negara seperti Argentina atau El Salvador: para Kristen membangun sebuah tata ibadah yang dramatis untuk merayakan iman mereka, pengharapan mereka dan ketakutan mereka. Pada liturgi, seseorang akan membaca nama-nama orang yang dibunuh atau hilang, dan untuk tiap nama seseorang dari antara jemaat akan berseru Presente!, “Di Sini!” Tatkala jemaat berkumpul di hadapan Allah, orang-orang yang musnah-terhilang sesungguhnya presente. Jemaat berseru presente terhadap segala yang dunia (termasuk kita!) lupakan, namun yang Allah ingat.

Liturgi mencerminkan kehadiran kita di dunia. Liturgi yang menitikberatkan pada manfaat bagi komunitas iman tok menyiratkan pola hidup yang tertutup dari lingkungan kita. Kehadiran kita di dunia tidak hanya selepas “Kepada Allah B’ri Puji” sampai kembali mengidungkan Gloria Patri. Kehadiran kita di dunia juga sejak kita menaikkan Gloria Patri sampai dengan “Kepada Allah B’ri Puji.”

Maksudnya, jangan kita membuat dikotomi! Ibadah Kristen bukan hanya dari Gloria Patri sampai dengan “Kepada Allah B’ri Puji.” Demikian juga Kehidupan bukan hanya dari “Kepada Allah B’ri Puji” sampai kembali lagi Gloria Patri. Kita harus mengingat, ibadah kita dibuka dengan “Mulia bagi Bapa, Anak dan Roh Kudus.” Kehidupan dimulai dengan segala makhluk memberi pujian bagi Allah Trinitas. Baik ibadah dan kehidupan sehari-hari merupakan keberadaan kita presente sebagai sarana pemuliaan Allah.

Inilah visi hidup kita, bahwa kita memandang jauh kepada kekekalan, kepada persekutuan akbar bersama Trinitas yang Agung. Inilah misi hidup kita, bahwa kita hidup bagi Allah dan presente di dunia. Dengan demikian, bukan A-Mild yang “bikin hidup lebih hidup.” Kita menjadi lebih hidup oleh sebab hidup kita punya makna. God has acted. So must you!

Dari mana Anda mulai? Dari tempat Anda membaca esai ini! Presente!

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment