Saturday, November 11, 2006

Belajar Hidup!

BELAJAR HIDUP!

MAZMUR 112



Berita teologis: Mazmur 112 membayang-bayangi 111 baik dalam pola akrostik serta kecermatan dalam menggemakan diksi maupun frase. Hanya saja, perikop ini tidak lagi mengidungkan karya-karya agung Allah, tetapi merupakan deskripsi dari suatu bentuk kehidupan yang seharusnya didambakan oleh komunitas beriman.

Bentuk dan Konteks Sastra

Mazmur ini dapat digolongkan ke dalam mazmur hikmat. Sebuah mazmur hikmat “sepenuhnya berisi mengenai refleksi-refleksi saleh” (Hermann Gunkel). Kegunaan mazmur seperti ini adalah mengajar umat atau bersifat instruksional. Isi dan teologi menjadi lebih utama ketimbang masalah-masalah analisis bentuk (form critical) maupun analisis ibadah (cult critical). Maka, mazmur ini merupakan stimulus untuk penafsiran teologis serta historis.

Kitab Mazmur dapat dibagi menjadi 5 bagian besar: I (1–41), II (42–72), III (73–89), IV (90–106), dan V (107–150). Kita dapat mengamati bahwa I–III nampaknya adalah karya editorial yang amat cermat, ditandai oleh mazmur-mazmur rajawi yang diletakkan dengan rapi (ps. 2 di awal I, ps. 72 di akhir II, dan 89 di III). Nampaknya dapat kita simpulkan bahwa I–III mendokumentasikan kegagalan trah Daud dalam memenuhi kovenan yang sedemikian nyata pada kehancuran Yerusalem pada tahun 587 SM dan disusul dengan pembuangan. I–III menghendaki tanggapan, dan tanggapan ini ditawarkan oleh proklamasi kemerajaan Allah yang merupakan berita utama dalam bagian IV-V.

Bagian IV dibuka dengan deklarasi bahwa perteduhan Israel yang sejati adalah Allah saja (90:1). Monarkhi Israel bukan trah Daud, tetapi YHWH. Mazmur 107, sebagai introduksi V, merupakan proklamasi kasih setia Allah—respons atas gugatan pemazmur dalam 89:50. Merentangkan sampai 118, kita mengamati unit redaksional dengan melihat keterkaitan sastra antara 107:1; 118:1, 29. Semuanya bertema eksodus, tetapi bahasa ini cocok juga untuk menjelaskan kembalinya Israel dari pembuangan. Ini adalah awal mula pembaruan: pribadi umat, ibadah dan politik. Jika demikian, kita melihat perikop ini merupakan bagian dari tanggapan atas I–III.

Konteks Historis-Teologis

Allah memperbarui. Allah memulihkan. Demikian tema teologis kepulangan dari pembuangan. Namun, kondisi tetap tidak sama seperti zaman keemasan. Cukup banyak orang yang turut pulang (539 SM). Bait Allah pun didirikan kembali (515 SM). Autonomi pemerintahan dimiliki hanya sejangka waktu sekitar abad ke-2 SM. Dinasti Daud tak pernah berdiri lagi.

Kondisi ini meneruskan krisis teologis yang pada akhirnya mengharuskan umat memiliki pemahaman baru mengenai Allah dan keberadaan mereka di bawah otoritas ilahi. Bentuk final Mazmur—bila sejalan dengan konteks historis tidak kurang dari abad I SM—mengimplikasikan niat dari para editor yang berkubang dalam dialog teologis dalam menghasilkan perspektif-perspektif baru mengenai kedaulatan Allah dan penderitaan manusia. Tindakan Allah mengimplikasikan kesetiaan manusia.

Rancang Bangun Ekspositori


PENDAHULUAN

Dewasa ini marak sekali wacana mengenai pengembangan diri. Kita tidak mengalami kesulitan untuk menjumpai literatur mengenai the secrets of a happy life maupun pembangunan karakter. Dari kupasan yang bersifat filosofis sampai mistis, dari dunia Barat sampai Timur, para penulis berlomba menyajikan karya yang—dalam istilah majalah Tempo—“enak dibaca dan perlu.” Semua bermuara pada satu hal, tentang bagaimana seseorang hidup lebih baik.

Apakah rahasia hidup yang lebih baik? Iman Kristen tidak menjawab dengan konsep, tapa brata maupun berlaku asketis, bukan principle-centered, tetapi God-centered.

PENJELASAN

Rahasia hidup bahagia (ay. 1). Mazmur 112 dimulai dengan sesuatu yang mengakhiri 111, “orang yang takut akan TUHAN” (bdk. 111:10) yang sejajar dengan “yang sangat suka kepada segala perintah-Nya.” Mereka ini bukan orang yang ketakutan oleh sebab keangkeran Sang Ilahi, tetapi adalah orang-orang yang dengan sukacita mengerti bahwa di sinilah rahasia yang benar dari kehidupan yang sepenuhnya dijumpai. Bahwa hidup yang penuh sukacita hanya berakar pada ketaatan di dalam Allah. God-centered life!

Perhatikan dengan lebih seksama. Banyak kata dan frase dalam 111 yang semula dikenakan bagi Allah dan karya-karya-Nya, sekarang dikenakan kepada manusia. Ay. 3 dan 9, “kebajikannya (their righteousness) tetap untuk selama-lamanya” merupakan gema dari “keadilan-Nya (His righterousness) tetap untuk selama-lamanya” di 111:3. Keperkasaan (upright) orang percaya (ay. 2) dan keteguhan hati (ay. 8) berkaitan dengan 111:8 tentang titah Allah yang kokoh (established). Lebih-lebih, “pengasih dan penyayang orang yang adil” membayang-bayangi kesempurnaan TUHAN sebagai pengasih dan penyayang (ay. 4). Orang yang takut kepada Tuhan pastilah memiliki pola hidup yang ilahi.

Buah hidup yang berpusatkan Allah (ay. 2–3). Anak cucu perkasa di bumi bermakna memiliki pengaruh di dalam komunitas. Mereka akan diberkati dengan harta dan kekayaan. Yang dimaksud di sini bukan semata-mata kekayaan hidup rohani. Tetapi juga kemakmuran materi dan kepemilikan harta benda yang melimpah. Apakah mazmur ini melegitimasi “teologi kemakmuran”? Sama sekali tidak. Sebab mazmur ini dengan cermat menekankan aspek komunal. Seseorang tidak tinggal seorang diri tetapi bersentuhan dengan orang lain. Janji ini bukan ditujukan kepada satu orang ataupun satu keluarga, akan tetapi bagi komunitas. Kemakmuran adalah milik komunitas yang berpaut kepada Allah. Berita ini penting pada era pascapembuangan. Pembuangan bukan kata akhir bagi Israel. Allah akan mengembalikan mereka, memulihkan kota, Bait Allah (Yes. 44:28) dan mendirikan kembali pemerintahan yang berdiri di atas shalom (Yer. 29:11).

Kualitas hidup yang berpusatkan Allah (ay. 4–5, 9a.) Allah itu pengasih dan penyayang, sebab itu orang yang percaya kepada Dia pun berkarakter pengasih dan penyayang (atau “pemurah,” bdk. 37:21). Umat beriman nampaknya diajak melakukan sebuah mission impossible. Ketika hidup susah (“di dalam gelap”), mereka membawa penguatan serta pengharapan (“terang”) bagi orang lain. Mereka dapat menjadi terang yang demikian oleh sebab Allah pun dijelaskan sebagai “terang Israel” (Yes. 10:17). Umat yang demikian akan berbaik hati, memberikan pinjaman tanpa menetapkan bunga (Kel. 22:25; Im. 25:35–37), serta melakukan pekerjaannya dalam integritas—kemanunggalan antara ucapan dan tindakan, konsep dan aksi. Mereka tidak akan menahan-nahan untuk tidak membagi-bagikan miliknya kepada orang miskin (ay. 9).

Inilah prinsip etika dalam PL, “Seperti Allah telah lakukan, sekarang lakukan juga!” Tuhan Yesus juga mengingatkan para murid, “Haruslah kamu menjadi sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat. 5:48). Mission impossible, bukan? Terlalu ideal! Tetapi misi ini akan selamanya menjadi misi yang menantang. Dunia kita semakin tercabik-cabik. Para penguasa semakin jaya, sementara si lemah semakin terdesak dan tergusur, kaum “berada” mendikte para hina papa. Mazmur ini menantang umat Allah untuk tidak tenang sebelum beranjak dari tempat duduk. Segera!

Perlindungan orang yang hidup berpusatkan Allah (ay. 6–8, 9b). Kenyamanan yang dijumpai sebagai akibat dari percaya kepada Allah. Anne Johnson Flint, seorang penyair Kristen, menulis dalam baris pertama What God Hath Not Promised, “God hath not promised sun always shines.” Kadang-kadang, mendung datang menutupi sang surya. Bahtera kehidupan tidak selalu berada di dalam keteduhan Samudera Pasifik. Kadang-kadang, ia harus melintas di Samudera Atlantik di mana badai kapan saja dapat datang menyerang.

Tetapi orang yang percaya, yaitu orang yang beriman atau tetap loyal kepada Allah (hasid). Kata hasid mengingatkan kita kepada kesempurnaan Allah, hesed—sifat Allah yang kekal tidak berubah dalam mengikatkan diri kepada umat meski umat telah hilang kepercayaannya kepada Allah. Keberimanan umat akan selalu merupakan derivasi kesetiaan Allah kepada umat—kept in steps in the Spirit of God. Umat beriman memiliki kekuatan di dalam dirinya, bukan oleh gagah dan kuatnya, tetapi di dalam Allah. Mazmur 3:4 tertulis, “Tetapi Engkau, TUHAN, adalah perisai yang melindungi aku, Engkaulah kemuliaanku dan yang mengangkat kepalaku.”

Para lawan hanya bisa melihat dan iri ketika mereka melihat buah serta jaminan yang diberikan Allah bagi orang yang hidup berpusatkan Allah (ay. 10). Tetapi, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka akan sakit hati, lalu hancur dan binasa. Para lawan berdiri dalam pertentangan diametris dengan umat beriman. Mereka adalah orang yang menolak untuk “takut kepada Allah.” Jelas sekali dalam kitab Taurat, Nabi-nabi maupun Mazmur, pengingkaran terhadap Allah dan karya-Nya merupakan bentuk pemberontakan.

PENUTUP

Orang-orang Kristen juga terisap dalam arus pencarian kebahagiaan sejati. Buku-buku sejenis Chicken Soup for the Soul adalah konsumsi yang paling digemari. Mengapa demikian? Nampaknya para Kristen pun telah kehilangan arah mengenai pemahaman spiritualitas yang benar sebagai peretas jalan menuju hidup yang bahagia. L. Gregory Jones, yang sekarang menjabat Dekan di Fakultas Divinitas di Universitas Duke, AS, mengatakan bahwa orang Kristen cenderung memilih sprititualitas yang populer, yaitu bentuk spiritualitas yang mengabaikan penancapan pilar-pilar iman digantikan dengan pengalaman-pengalaman pragmatis (“bagaimana baiknya” dan “apa gunanya”). Yang penting hasilnya buatku baik. Betapa banyak jemaat yang mencari kenyamanan ibadah, suasana yang diolah sedemikian rupa sehingga seseorang bisa release, lepas-bebas. Semua ini menguak spiritualitas yang terkekang dalam kenyamanan pribadi.

Mencermati kondisi negeri pertiwi yang secara tak langsung disindir oleh langgam campursari gubahan Manthou’s Cucak Rowo, “Jamane, jamane, jaman edan . . . wong tuwa rabi perawan”, alias tidak tahu malu, bagaimana mungkin seorang Kristen hidup nyaman dengan spiritualitas populer seperti itu. Bangsa ini tidak lebih baik kondisinya daripada sebuah umat yang terbuang. Firman Tuhan jelas mengatakan kondisi ini akan berlangsung terus bila bangsa tidak berbalik kepada Tuhan. Bagaimana mungkin kondisi ini dikalahkan? Allah harus melakukan sesuatu, dan Ia sudah melakukannya. Di dalam diri komunitas beriman bak kaum remnant kala itu.

Spiritualitas, kata pemazmur, dapat dirangkum menjadi hidup yang berpusatkan Allah. Bukan pietisme yang sempit. Tetapi hidup kesalehan yang berangkat dari anugerah Allah. Allah telah menyediakan kelimpahan bagi umat percaya, karena itu umat beriman dipanggil untuk menyediakan kelimpahan bagi orang lain. Paulus mengutip Mazmur 112:9 di dalam 2 Korintus 9:9 untuk memotivasi Kristen untuk memberi dengan sukarela. Hidup sebagai Kristen adalah hidup yang berbagi. Sama seperti Allah telah berbagi, kita pun berbagi. Sukacita kehidupan itu menjadi milik kita! Amin.

TERPUJILAH ALLAH!

4 comments:

  1. i totally agree.
    Seringkali orang memilih spiritualitas yang dangkal dan sempit karena:
    a.Itu lebih gampang, gak perlu mikir susah-susah.
    b.Itu lebih menyenangkan.
    c.Dan itu memang yang diajarkan (baik secara sadar maupun tidak sadar) oleh para pengkhotbah yang hanya mampu melihat sesuatu secara dangkal dan sempit... karena mungkin waktu kuliah teologi dulu tidak dilatih dan/atau diijinkan utk berpikir keluar dari boks pengajaran dan tradisi kampus :)

    btw, your writings make me remember the time when we (you, me, Om and Moseh) had a very interesting and hilarious discussion with Aseng. I miss those moments and those people. :)

    ReplyDelete
  2. Yeah . . . I miss those moments too. But to be back to the "box"? Oh, oh, weleh-weleh, piye maning. Nah masalahnya dulu tuch kita diajar untuk cuma "jadi pengkhotbah" sih. Ya kan?? Jadi, kita sukanya masuk sekolah teologi ya karena pingin keren di mimbar. Akibatnya, gampang saja: ngopi khotbahnya kawan yang kelihatan "greng" di mimbar. Sekarang aku mulai lagi deconstruct pemikiran itu, masak sih tugas khotbah di mimbar itu panggilan yang agung? Nah dari sejarah ternyata nggak lho. Itu kan munculnya dari tradisi Evangelical yang memang terpengaruhi oleh para pengkhotbah dari gerakan Puritan dan lebih gawat lagi masuknya Arminianisme-Methodisme macam Finney. Menggali-gali lagi sejarah teologi, apa yang kita TIDAK PERNAH PEROLEH di seminari yang konon Reformed itu pemahaman yang cukup mengenai Liturgi. Lho, bukankah para reformator itu juga para liturgists, to? Lihat saja Luther, Zwingli, Bucer, Calvin, Bullinger, dan yang dilupakan Johannes Oeccolampadius. Coba, Kawan bandingkan, homiletika dapat 6 SKS, plus jam-jam tambahan, Liturgika dapat 2 SKS--itu pun kalau masih ada sekarang. Tuobat buanget, liturgi masih dianggap sebagai susunan mata acara ibadah. Piye ini jal???

    ReplyDelete
  3. kelihatannya itu semua karena hal yang hakiki dan substansial sudah dicampuradukkan dengan yang sebaliknya. Hal itu tambah parah karena ditambah dengan tuntutan untuk menerima segala sesuatu yang diajarkan sebagai baku dan mutlak, tanpa menyisakan celah untuk berpikir dan mengevaluasi kembali apa yang sedang berlaku (padahal berpikir bukan kejahatan kan? thus said romo Magnis..)

    Anyway, dari semua ini, menurut saya yang paling 'menderita' adalah kehidupan berteologi para mahasiswi/alumnae sekolah teologi itu. Memang di jajaran akademis kita semua dapat kesempatan dan pelajaran yang sama, tapi dibalik itu saya sering mendapati ada tuntutan samar bagi para mahasiswi untuk lebih memperhatikan hal2 seperti penampilan di depan umum, sikap manis a.k.a submisif pasif. Coba ingat-ingat, pernah gak dulu ada kajian kritis Teologia Feminis? Jangankan feminisme, kesetaraan gender aja gak pernah diutak atik.

    Alhasil ketika terjun ke dalam masyarakat, banyak dari putri-putri Sion ini memang jadi manis penampakkannya tapi submisif dan pasif betul. Saya belum berani mengambil kesimpulan karena belum ada penelitian tentang hal ini, tapi mungkinkah tempat hamba Tuhan perempuan di kebanyakan gereja hanya menjadi "konco wingking" belaka? (btw, bagi para chauvinists yang kebetulan baca tulisan ini, jangan kebakaran jenggot dulu...monggo ikut diskusi...hehehehe)

    All in all Yok, setelah melamun tentang masalah yang centang perenang ini, aku pikir hal yang mutlak adalah perubahan. Basmi kebutaan, kedangkalan dan kesempitan pikir dalam segala aspek dan bentuk. Kalau tidak kekristenan hanya menjadi bayang-bayang saja, bukan lagi terang dunia.

    any other opinion, anyone?

    ReplyDelete
  4. Wow, si Om kok dibawa-bawa? Apalagi jenggotnya sampai dibakar lagi??? Hehehe . . . Sis, baca di posting yang terakhir, ya, biar ini jadi seru aku lepas dari comment ini. Bersemangat neech . . .

    ReplyDelete