Monday, November 13, 2006

Permenungan Sejarah GKMI Kudus

PERMENUNGAN DARI SEJARAH GKMI KUDUS


PENDAHULUAN

Menilik sejarah tak ubahnya seperti mengamati jam bandul. Bandul terayun ke ujung yang satu, dan ke ujung yang lain. Namun justru ayunan ke sana dan ke sini itu menunjukkan jam itu masih berfungsi dengan normal. Andaikata bandul tak lagi terayun, maka jam pastilah sudah purna tugas, alias rusak.

Sejarah, dan secara khusus sejarah GKMI Kudus, juga seperti itu. Pengalaman terayun ke sana dan ke mari telah berlangsung 86 tahun, dan nampaknya ayunan itu tak kunjung berhenti pada tahun-tahun mendatang. Delapan puluh enam tahun bukan masa yang singkat!

Membuka kembali lembaran-lembaran sejarah GKMI Kudus akan membangkitkan kebanggaan kita sebagai bagian komunitas beriman, seumpama memiliki jam bernilai seni tinggi yang hingga kini tetap berfungsi. Ayunan bandul itu dulu telah dinikmati oleh nenek-moyang kita. Kini, kitalah yang mewarisinya. Makin bertambah usia, makin berhargalah jam bandul tersebut. Asalkan kita, sebagai generasi keempat, kelima, keenam dan seterusnya dari GKMI Kudus, memiliki tekad untuk menjaga langkah-langkah GKMI dalam jalur yang ditetapkan oleh Tuhan Gereja.

AYUNAN-AYUNAN PERTAMA

Lahirnya GKMI bermula dari seorang Tee Siem Tat. Sebagai pedagang dan pengusaha yang berhasil, Pak Tee memiliki pengaruh yang besar atas sanak-famili dan koleganya. Berkat pertolongan Tuhan yang besar atas hidupnya, Pak Tee menyerahkan diri menjadi anak Tuhan, dan pada panggal 6 Desember 1920 bersama orang-orang terdekatnya sehingga berjumlah 25 orang, diadakanlah sakramen Baptis Kudus. Peristiwa ini terjadi di Jl. Panjunan 9 Kudus.

Kelompok para petobat baru ini dikenal sebagai Kelompok Kristen Tionghoa Kudus. Dalam periode berikutnya, Pak Tee menyadari betapa minimnya bantuan keuangan dari badan misi terhadap pelayanan di kelompok ini. Tetapi dengan masalah ini, Kelompok Kristen Tionghoa Kudus cepat dewasa dalam masalah keuangan maupun pengaturan-pengaturan persekutuan. Jadi, dalam menata persekutuan, kelompok isi telah mandiri.

Pengorganisasian kemudian dilaksanakan. Pada tanggal 27 September 1925, dalam pertemuan umum, diputuskan pembentukan organisasi jemaat atau calon majelis. Dua tahun kemudian, pemerintah Hindia Belanda mengakui tanggal itu adalah tanggal berdirinya Jemaat Kristen Mennonite Tionghoa, yang dalam bahasa Belanda disebut Chineesche Doopsgesinde Christengemeente.

Menurut kebiasaan yang berlaku di gereja-gereja, peristiwa pengorganisasian persekutuan dan pemilihan majelis jemaat perdana inilah yang seharunya dipakai sebagai landasan tanggal berdirinya sebuah gereja. Namun, Kelompok Kristen Tionghoa Kudus yang dipimpin oleh Pak Tee—yang kelak dikenal sebagai Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) memilih dan menetapkan hari jadinya sebagai gereja dewasa pada upacara pembaptisan pertama pada tanggal 6 Desember 1920 tersebut.

Pak Tee adalah pribadi yang berprinsip tegas dan kritis. Karena semangat kristis itulah, Pak Tee tidak mau cepat-cepat menjadi Kristen. Ketika Alkitab menjadi semakin terbuka, dan Firman itu telah menawan Pak Tee dengan segala keindahannya, dengan jujur kelompok baru ini semakin bingung dengan maraknya corak Kekristenan. Alkitabnya satu, tetapi mengapa teramat banyak aliran dalam agama Kristen? Menyadari kenyataan ini, Pak Tee dan kawan-kawan malahan semakin bergiat untuk mempelajari Alkitab dan menjadikannya buku utama pedoman ajaran. Kekritisan dan keterbukaan untuk diajar merupakan keutamaan lain yang dimiliki oleh GKMI tatkala dilahirkan. Alkitab menjadi pedoman pokok keyakinan dan pengajaran.

Selanjutnya, gereja yang kecil itu menahbiskan Pak Tee sebagai tua-tua pertama, dalam upacara penahbisan pada tahun 1927, bersama dengan Bp. Oei Tjien Gie dari Mayong. Baik Pdt. Tee dan Pdt. Oei masih menjalankan usaha sebagai pedagang dan pengusaha pada waktu itu.

Makin gereja berkembang, makin besar pula tuntutan pelayanan. Kepemimpinan berganti. Pdt. Tee digantikan oleh Pdt. Tan King Ien, sang menantu, yang ditahbiskan pada tanggal 23 Februari 1936. Demikian pun menyusul putra Pdt. Tee, Bp. Tee Jan Poen, ditahbiskan menjadi pendeta pembantu pada tanggal 30 Januari 1940, delapan bulan sebelum Pdt. Tee meninggal dunia († 2 Oktober 1940). Dalam pembaringan, menanti waktu tatkala Tuhan memanggilnya, Pdt. Tee berpesan kepada Pdt. Tan King Ien Pdt. Tee Jan Poen serta Bp. Tee Jan Siang berdasarkan Injil Yohanes 21.15, “Djagalah anak kambing-Koe.”[1]

Perkembangan persekutuan Kelompok Kristen Tionghoa Kudus, atau Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee sangat cepat. Mereka telah memiliki tempat ibadah yang adalah sebuah rumah kecil di Jl. Panjunan 74-78. Namun bangunan itu tak dapat lagi menampung banyaknya jemaat yang beribadah. Dengan mendesaknya kebutuhan tempat ibadah, maka pada tanggal 5 Oktober 1941, Ny. Tee Siem Tat (Sie Djoen Nio) memulai proses pembangunan gedung gereja kedua dengan peletakan batu pertama. Gedung yang baru ini letaknya di sebelah utara gedung gereja pertama. Pembangunan itu cepat dijalankan, sehingga pada tanggal 23 Desember 1941, gedung gereja itu diresmikan.

Berkembangnya jemaat, berkembang pula paradigma (cara pandang) pelayanan gereja. Dibutuhkan seorang rohaniwan yang mengenyam pendidikan teologi secara formal demi menjawab tantangan, dan dapat menggembalakan jemaat secara purna waktu (full time). Maka, sekitar pertengahan tahun 1941 diundanglah Pdt. Pouw Peng Hong dari misi Christian Missionary Alliance yang pernah melayani di Gereja Kemah Injil di Indonesia, Makassar. Pelayanannya berjalan hanya sekitar tujuh bulan karena di awal tahun 1942 Pdt. Pouw mengundurkan diri dan kembali ke Jakarta. Pdt. Tan King Ien harus kembali menjabat tugas rangkap untuk mengurus perusahaan keluarga, penggembalaan serta kondisi yang serba sukar karena Perang Dunia II. Pada tahun 1949, Pdt. Tee Jan Poen mengundurkan diri atas permintaan pribadi.

Oleh karena perkembangan di sekitar Gunung Muria, Pdt. Tan King Ien dibebastugaskan dari kepemimpinan GKMI Kudus. Menjelang akhir tahun 1951, GKMI Kudus mengundang Pdt. Liem Liong Tjoen dari Makassar dan melayani sampai Maret 1959.

AYUNAN-AYUNAN KEDUA

GKMI Kudus, dengan demikian, mengalami masa-masa vakum gembala jemaat. Tetapi mengapa GKMI Kudus tetap maju terus? Pertama, tentu karena tangan pemeliharaan Tuhan Gereja; namun kedua, sambutan warga jemaat yang adalah kaum “awam” untuk bergiat membangun pelayanan, sekalipun tidak memiliki pemimpin yang tertahbis. Semangat dan kecintaan kaum awam terhadap pekerjaan pelayanan di gereja Tuhan menjadi daya dorong kemajuan jemaat GKMI Kudus.

Hal ini dapat dibuktikan dengan kegerakan kaum awam di Gereja-gereja Tionghoa di sekitar Gunung Muria, yang pada waktu itu lebih dikenal sebagai Gereja Kristen Kudus, Gereja Kristen Jepara dan Gereja Kristen Pati. Pada masa raya Natal tiba (sekitar tahun 1950-1957), jemaat di Gereja Kristen Kudus yang memiliki mobil hanya delapan keluarga. Namun semangat pelayanan mereka sedemikian tinggi sehingga menyediakan mobil mereka untuk turut mengambil bagian di kebaktian Natal Gereja Kristen Jepara atau Pati, misalnya melalui pelayanan paduan suara. Sehingga, dalam sekali masa raya Natal, jemaat dapat mengikuti perayaan Natal empat sampai lima kali di kota-kota lain. Betapa erat jalinan kerja sama antargereja pada masa itu, yang dimotori oleh kegerakan kaum awam yang tidak ditahbiskan.

Semangat kaum awam dalam membangun pelayanan juga nampak jelas dengan cikal bakal lembaga-lembaga milik GKMI Kudus, baik Yayasan Badan Pendidikan Masehi (YBPM) serta Yayasan Kesehatan Kristen (YKK). Dimulai dengan dibukanya TK dan SD pada bulan Agustus 1954, YBPM pun terbentuk. Sedangkan YKK berasal dari sebuah balai pengobatan kecil di kompleks gereja, yang dimulai pada tanggal 10 Juni 1964, dan lima tahun kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Mardi Rahayu yang diresmikan pada tanggal 25 Januari 1969.

Bandul perjalanan gereja itu pun mengayun kembali, dengan langkah yang sangat radikal. Pada tahun 1960, GKMI Kudus menerima Pdt. Soedarsohadi Notodihardjo sebagai gembala sidang. Pak Darso berasal dari suku Jawa, dan benar-benar merupakan putra asli GITJ Kudus, yang sealiran dengan GKMI. Dapatlah disimpulkan, GKMI Kudus merupakan gereja Tionghoa yang paling dini membuka diri terhadap kepemimpinan rohani dari suku lain.

Dalam tahun-tahun sesudah itu, Pak Darso sebagai pemimpin harus menghadapi dampak dari situasi politik negara yang kian memanas. Beberapa anggota dan tokoh GKMI Kudus difitnah, dan dicurigai terlibat dalam partai yang kelak akan dinyatakan terlarang. Jiwa besar pun Pak Darso tunjukkan. Dengan keberanian yang luar biasa, Pak Darso menghadap aparat yang berwenang dan berkata, “Mereka bukan PKI, karena mereka adalah jemaat saya. Kalau mereka PKI, maka tangkap saya dulu.” Pak Darso menggembalakan GKMI Kudus sampai tahun 1970, sebab waktu itu GKMI Mlonggo memintanya menjadi gembala sidang.

Segera, Pdt. Liem Liong Tjoen diundang untuk melayani GKMI Kudus, dan berlangsung sampai tahun 1972. GKMI Kudus kembali vakum gembala. Memang pada waktu itu, Bp. Sudiharto (alm.) menjadi hamba Tuhan, namun GKMI Kudus tidak memiliki gembala jemaat. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Pdt. Mesakh Krisetya, yang kala itu menjabat sebagai rektor Akademi Kristen Wiyata Wacana, diundang sebagai pendeta konsulen selama dua tahun. Pada tahun 1974, GKMI Kudus mengalami masa kelam dan hitam pekat dengan peristiwa perpisahan dengan saudara-saudara dalam satu tubuh. Pak Darso diminta kembali ke Kudus untuk melayani di YKK. GKMI Kudus mengalami masa-masa yang tidak mudah: kevakuman gembala jemaat, kemunduran yang sangat besar dalam kehidupan bergereja, serta trauma yang hebat akibat perpecahan. Berbagai upaya untuk mendapatkan pemimpin coba dilakukan. Hasilnya? Nihil!

AYUNAN-AYUNAN KETIGA

Pada tanggal 21 Oktober 1976, Pdt. Charles Christano diteguhkan sebagai gembala jemaat. Sebelum memimpin jemaat di Kudus, Pak Charles menjabat sebagai Ketua Sinode GKMI. Pada masa-masa inilah GKMI Kudus mengalami pemulihan.

Dalam periode ini, peran aktif kaum awam tak dapat dikatakan kecil. Sebut saja masalah penanganan cabang-cabang GKMI Kudus dan kelahiran Komisi Remaja Metanoia. Dalam masa-masa ini, Sdr. Bastian Yosin (kala itu lebih akrab dipanggil “Kak Yosin”), yang baru saja dipanggil dari Pos PI Kalirejo ke induk (1976), memiliki kerinduan untuk membuka pelayanan bagi kaum remaja. Bersama Bp. Hermawan (alm.), Kak Yosin mengumpulkan kaum awam yang memiliki semangat sama untuk melayani remaja, yaitu: Bp. Solaiman Budi Widjaja, Ibu Lidya Mindayani dan Bp. Mulyoprakosa, dan pada tanggal 28 Februari 1979 terbentuklah Komisi Remaja GKMI Kudus, dengan ketua pertama Sdr. Teguh Wijaya. Komisi Remaja GKMI Kudus turut memelopori kelahiran komisi-komisi remaja di GKMI lain. Di kemudian hari, G.I. (Guru Injil) Julius Rampen memberi nama komisi ini Metanoia, yang berarti “pertobatan”; dengan buletinnya yang diberi nama Epistole oleh Pdt. Charles masih terbit hingga saat ini. Epistole berarti “surat edaran.”

Pada tahun 1978, tempat ibadah di GKMI Kudus terasa tidak lagi mampu menampung lebih banyak jemaat yang rindu berbakti. Majelis Jemaat periode 1977-1978 bersepakat untuk tidak merenovasi gedung yang sudah ada, tetapi membuka cabang di wilayah Timur kota Kudus. Kemudian, pada bulan Februari 1978, dibuka kebaktian cabang GKMI Kudus di Jl. Tanjung 28, yaitu rumah dr. Budi Mulyono. Acara itu dihadiri oleh sekitar 40 orang.

Pada tanggal 22 April 1979 dibentuklah Panitia Cabang yang terdiri dari Bp. Gesang Tjahjono, Bp. David Budiono (alm.), Bp. Suwandi Halim, Bp. Suharto dan Bp. Teofilus Liong. Pada pertengahan September 1980, Panitia Cabang dikembangkan menjadi Panitia Persiapan Rayonisasi GKMI Kudus Timur, yang terdiri atas: Bp. Gesang Tjahjono, Bp. Suwandi Halim, Bp. Suharto, Bp. Sie Khoen Swan, Bp. Lazarus Leimena, Bp. Sugiarto Sanadji, Bp. Tohar Budi Santosa, Ibu Yoe Sik Nio, Ny. Sunarto dan Ny. Ong Gian Nio.

Selain itu dibentuk pula Panitia Pengadaan Gedung Gereja Rayon Timur yang terdiri dari Bp. Yusuf, Bp. Suwitono, Bp. Silas, dengan mengemban mandat untuk merealisasikan pengadaan bangunan ibadah. Pada tahun 1980 itu juga, panitia berhasil membeli tanah seluas 1700 m2 dan bekas gedung Panti Marhaen di Jl. P. Diponegoro 9 Kudus, seharga Rp. 60.000.000, 00.

Atas dukungan Ibu Kumala Dewi, maka bekas gedung Panti Marhaen itu direnovasi seperlunya untuk menjadi tempat kebaktian. Pelaksana proyek adalah Bp. Daud Darmawan Karunia (alm.). Pada tanggal 10 Oktober 1980, GKMI Kudus Rayon Timur diresmikan. Sejak saat itu, kehadiran jemaat yang beribadah juga meningkat. Pada tanggal 8 Februari 1981, anak-anak Sekolah Minggu Rayon Barat beserta Cabang Sekolah Minggu Kliwon dipindahkan tempat ibadahnya ke Rayon Timur.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah GKMI, pada tanggal 3 Mei 1981 Majelis Jemaat untuk periode 1981-1983 yang terdiri atas Majelis Jemaat Rayon Barat, Timur dan Pusat, diteguhkan. Setahun kemudian, istilah Rayon Barat dan Rayon Timur diubah menjadi Rayon I dan Rayon II. Pembagian rayonisasi bukan dimaksudkan untuk otonomi (berdiri sendiri-sendiri). Majelis Rayon I dan Rayon II secara periodik bergiliran tugas. Sehingga, Majelis Rayon I melayani ibadah di Rayon II, demikian pula sebaliknya. Dua tempat ibadah, namun dengan semangat kebersamaan.

Pada tanggal 2 Februari 1986 dilantik Panitia Pembangunan GKMI Kudus Rayon II yang diketuai oleh Bp. Rakhmat Abadi (alm.) untuk membangun pastori, lokal Sekolah Minggu, guest house dan aula. Perancang sekaligus pelaksana proyek diserahkan kepada Bp. Daud D. K. Pada tanggal 6 Desember 1987, bertepatan dengan HUT ke-67, bangunan-bangunan tersebut diresmikan. Kemudian, pada tanggal 9 Oktober 1988 dilaksanakan Kebaktian Pengucapan Syukur Sewindu Rayonisasi sekaligus peneguhan Bp. Mikha Joedhiswara sebagai Guru Injil di GKMI Kudus.

Mengenai gedung GKMI Rayon I, atau gedung gereja kedua, dengan terpaksa harus dipugar oleh karena perluasan jalan K. H. Wahid Hasyim. Antara batas jalan dengan pintu utama gereja begitu sempit. Maka, tepat pada HUT GKMI Kudus ke-75, tanggal 6 Desember 1995 dilaksanakan penuangan lantai dasar pembangunan gedung gereja ketiga. Gedung pertama dan kedua harus dirobohkan. Dalam rancangan panitia pembangunan, penampang gereja kedua akan dipertahankan dalam bangunan penunjang yang akan dibangun di belakang gedung kebaktian utama (dahulu aula). Semula proyek ini direncanakan berjalan satu tahun, namun karena berbagai kendala termasuk huru-hara perusakan dan pembakaran banyak gedung gereja, maka proyek pembangunan berkali-kali mengalami pelambatan. Akhirnya, pada tanggal 6 Desember 1997, gedung GKMI Kudus yang ketiga diresmikan. Sedangkan gedung penunjang belum dapat diselesaikan oleh karena krisis ekonomi yang hebat tengah melanda Indonesia kala itu sehingga mengakibatkan melonjaknya harga-harga bahan bangunan.

Dalam dekade 1989–1998, mengingat perkembangan jemaat yang pesat di GKMI Kudus Rayon II, yang mencapai 700 orang dan pengunjung kebaktian rata-rata 500 orang dalam dua kebaktian, maka dibutuhkan satu gedung yang lebih luas lagi. Maka, pada pertengahan 1998 dibentuklah Panitia Pembangunan GKMI Rayon II dengan tugas: Membangun Kembali Gedung Gereja Rayon II dengan saranan penunjangnya serta mengadakan pastori di luar area gedung gereja.

Akhirnya, pada tanggal 13 Februari 2005 diadakan peletakan batu pertama pembangunan kembali GKMI Rayon II di Jl. P. Diponegoro 9 Kudus, dan dipersembahkan penggunaannya bagi ibadah umat Allah di GKMI Kudus pada tanggal 6 Desember 2007.

AYUNAN-AYUNAN KEEMPAT

Generasi pemimpin rohani yang selanjutnya menerima tongkat estafet kepemimpinan gerejawi dari Pdt. Charles Christano. Kebaktian emiritasi atas Pak Charles diadakan pada tanggal 6 Februari 1999. Para rohaniwan di GKMI Kudus, yang dikenal dengan Collegium Pastorale (Kerekanan Penggembala) pada saat ini terdiri: Pdt. Kristianus Karsu (gembala koordinator), Pdt. Mikha Joedhiswara, Pdt. Rudiyanto, Pdt. Jan Willem Leander (chaplain Yayasan Kesehatan Kristen dan R. S. Mardi Rahayu), Pdt. Sukarli Seiya Sehary (cabang Gulang), Pdt. Sunarto (cabang Pare), Pdm. Priyo Binuko Budi Sambodo (cabang Ngandong), Pdm. Cahyo Setiabudi (cabang Kaliwungu); ditambah dengan tenaga-tenaga orientasi: Bp. Hadi Cahyono Trisasongko (paduan suara dan musik gereja), Bp. Moses David Livingstone (Yayasan Badan Pendidikan Masehi), Sdri. Setyowati (Sekolah Minggu) dan Sdr. Nindyo Sasongko (Pemuda dan Remaja), Bp. Heru Himawan (cabang Kalirejo). GKMI Kudus saat ini menerima mahasiswa praktik dari STT Cipanas, Sdr. Yusak Manuputty (persekutuan Muria Indah).

GKMI dimulai dengan 25 jiwa. Saat ini, menurut data 1 November 2006, jumlah jemaat dewasa di GKMI Kudus mencapai 2053 jiwa, dengan 1504 jiwa di dalam kota, dan 549 jiwa di luar kota dan luar negeri. Dari 1054 yang tinggal di dalam kota, 784 jiwa tercatat sebagai anggota di wilayah Rayon I, dan 720 jiwa di wilayah Rayon II.

Kita telah saksikan berliku-likunya sejarah GKMI: suka-duka, manis-getir, canda-air mata. Akan tetapi, bukankah semua ini menunjukkan betapa dinamisnya GKMI menapaki langkah-langkahnya? Dan lebih daripada itu, bukankah pengalaman-pengalaman di masa lampau dan sampai hari ini sesungguhnya menujukkan telah sedemikian besar pemeliharaan Tuhan Gereja atas umat-Nya? Maka, kiranya setiap komponen yang ada di GKMI Kudus bersedia bergandengan tangan, bukan hanya mengagumi sejarah, tetapi mengobarkan kembali keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh para leluhur iman dan pendiri GKMI Kudus, hebatnya perjuangan para pendahulu yang demi keutuhan GKMI Kudus serta kemajuannya.

Sejarah GKMI Kudus belum usai. Kita ternyata tak hanya menjadi pengamat, tetapi juga berayun bersama bandul jam yang makin lanjut usia itu. Sesungguhnya generasi kita ini pun turut menuliskan sejarah GKMI Kudus, pada masa kini dan masa yang akan datang. Soli Deo Gloria! Demi kemuliaan Allah semata-mata! (NSrev1511061500)

TERPUJILAH ALLAH!



[1]Nampaknya Pak Tee akrab dengan Alkitab PB Terjemahan Klinkert Melayu Rendah (1863), yang menuliskan, “Djagalah sama anak kambingkoe” (Amsterdam: Nederlandsch Bijbelgenoutschap, 1863). Sebagai perbandingan yang mirip, dalam Terjemahan Klinkert Melayu Tinggi (1870) tertulis, “Gombalakanlah anak-kambingkoe.

2 comments:

  1. Hallo,

    Saya baru membaca sebagian dari tulisan anda tentang sejarah GKMI Kudus. Menarik juga! Saya yang menulis TUNAS YANG TUMBUH. Di bagian terakhir anda menyebut Alkitab berbahasa Melayu terjemahan Klinkert dari tahun 1863. Sesungguhny Klinkert tersebut melayani sebabai missionaris Mennonite di Jepara beberapa tahun lamanya sebagai kawan sekerja Pieter Jansz, yang menterjemahkan Alkitab kedalam bahasa Jawa. Salam hangat Lawrence Yoder

    ReplyDelete
  2. Shalom,

    Saya tertarik pada perkembangan cabang-cabang GKMI, bagaimana jika diulas juga secara detil baik foto gereja cabang2 GKMI maupun sejarah dan tokoh2 "pejuang" dlm masa-masa itu. Terimakasih.

    Salam Kasih, Florence

    ReplyDelete