Tuesday, November 21, 2006

Transklusivisme, Alternatif bagi Pluralitas?

TRANSCLUSIVISM:
SEBUAH ALTERNATIF BAGI WACANA THEOLOGIA RELIGIONUM?



OBSERVASI AWAL

Dalam pengamatan saya, perbincangan mengenai theologia religionum, “teologi mengenai agama-agama,” telah mencapai titik jenuh. Betapa tidak, wacana ini selalu berputar-putar pada perdebatan siapa yang menjadi pusat: Sang Real, Allah, atau Kristus, yang ditipekan sebagai pluralisme, inklusivisme dan partikularisme/eksklusivisme. Yang jelas, dari tipologi tersebut berkembang cabang dan ranting pemahaman mengenai teologi agama-agama, entah “partikularisme terbuka” atau “singularisme” dsb. Dari masalah tersebut, kemudian ditarik implikasi mengenai siapa yang diselamatkan, dan apakah ada kebenaran dalam agama-agama lain, bagaimana dengan dictum Ciprian extra ecclesiam nulla salus—di luar gereja tidak ada keselamatan.

Namun, berhasilkah semuanya itu? Tergantung siapa yang berbicara. Masing-masing pasti mengemukakan posisinya sebagai yang paling tepat. Namun ketika penulis menarik diri dan melihat “dari luar” perdebatan, toh pada akhirnya semua pihak dan tokoh yang berdiri di baliknya kokoh dengan pandangan masing-masing. Sebutlah, bagi seorang partikularis, nama John Hick tak pernah absen untuk menjadi sasaran tembak. Namun patutlah diakui, hal ini tidak menyelesaikan masalah.

Lebih lanjut, apakah yang telah dihasilkan dari perdebatan mengenai siapa yang diselamatkan, apa yang menjadi pusat, dan adakah kebenaran dalam agama-agama lain? Lagi-lagi harus diakui bahwa tiap-tiap agama memiliki sistem berpikirnya sendiri, yang dibangun dari keyakinan-keyakinan pengendali (control beliefs) yang mustahil diperdamaikan. Jadi, mungkinkah kita bertanya apakah dalam agama lain ada kebenaran? Tergantung pula dengan apa yang dimaksud dengan kebenaran. Bila dipahami sebagai korespondensi dengan kenyataan, dalam hemat saya, hal ini akan bermuara kepada nihilisme, sebab dalam agama terdapat konsep korespondensinya masing-masing dan tidak mungkin sepenuhnya menangkap teori korespondensi di agama lain.

Beberapa pakar menyadari hal itu, dan akhirnya meninggalkan teologi dan beralih kepada etika. Doktrin memecah belah, kebaikan mempersatukan. Demikian ungkap mereka. Tetapi prinsip apa yang melandasi hubungan ini? Yaitu persamaan hak asasi sebagai manusia. Namun solusi ini pun tidak memuaskan karena masih meninggalkan pertanyaan-pertanyaan prinsipal doktriner.


SEBUAH PROPOSAL

Hipotesis: Wacana pluralisme didominasi oleh paradigma dikotomis agama Kristen vs. agama-agama lain, dan hal inilah yang menyebabkan pembicaraan mengenai teologi agama-agama tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan. Paradigma ini perlu diubah menjadi narasi Kristen vs. neo-imperialisme.

Dalam menempuh hal ini perlu adanya suatu pemetaan ulang, dengan mengingat pula bahwa sekarang ini pembagian dunia bukanlah Barat-Timur, tetapi Utara-Selatan. Dalam bukunya The Next Christendom: The Growth of Global Christianity (New York: Oxford University Press, 2001), Philip Jenkins menyatakan bahwa secara demografis Kekristenan di Utara yang makin surut didominasi oleh paham pluralis, sedangkan Kekristenan di Selatan yang berkembang dengan pesat menumbuhkan ortodoksinya sendiri dan “fanatisisme” dalam artian tertentu. Di sisi lain, Belahan Utara didominasi oleh negara makmur, sedangkan Belahan Selatan didominasi oleh kemiskinan, penindasan dan diskriminasi.

Menyadari konteks kita di Indonesia, saya semakin yakin bahwa wacana pluralisme dalam tataran ideologis yang kita warisi dari para teolog di Belahan Utara jelas sukar untuk dikerjakan di dalam konteks pergumulan di sini. Kita tidak tahu siapa saja yang diselamatkan Allah. Bahkan kita yang mewarisi tradisi Reformed yang mengakui hasil persidangan Sinode Dort di Belanda (1619) dengan TULIP-nya, kita toh tidak mungkin sepenuh-penuhnya tahu (agnostic) siapa saja yang masuk ke dalam jangkauan kaum pilihan Allah. Hal ini tetap misteri bagi kita, dan merupakan hak prerogatif Allah. Kebenaran ini tidak kita buang, tetapi malah menolong kita untuk merumuskan satu alternatif pandangan.

Dengan memikirkan semua ini, saya mencoba menyimpulkan alternatif pandangan yang saya sebut sebagai transclusivism, yang merupakan kependekan dari transhistorical inclusivism. Ini bukan inklusivisme klasik mengenai Allah sebagai pusat, dengan Kristus kosmiknya yang memungkinkan orang di luar Kristen juga diselamatkan. Inklusivisme ini historis, berarti terjadi dalam ruang dan waktu—dalam ciptaan sebagai panggung pentas kemuliaan Allah; dan lebih dari itu bersifat trans atau melampaui histori. Istilah “transhistori” sebagaimana saya jabarkan dalam artikel “FIRDAUS YANG TERHILANG?: SUATU STUDI PERBANDINGAN MENGENAI KRISTOLOGI DAN IMAJI PENCIPTAAN BARU DALAM INJIL YOHANES DAN “INJIL” TOMAS,” yang akan diterbitkan oleh jurnal Veritas.

Penemuan ini didorong oleh penyelidikan atas eskatologi apokaliptik, khususnya dalam PB yang sedemikian detail diungkapkan dalam Kitab Wahyu. Hendaklah Kitab Wahyu tidak dimengerti sebagai nubuatan mengenai kiamat saja, tetapi apa yang Allah sedang dan akan kerjakan dalam sejarah dan ruang-waktu semesta. Maka, dari sini saja jelas bahwa keselamatan itu bukan siapa akan masuk surga.

Serta, bila lebih khusus kita memperhatikan Wahyu, pergolakan yang diketengahkan adalah Kerajaan Allah melawan Babel, Naga dan Binatang Besar. Kerajaan Allah menantang Imperium Global pada zaman itu. Hal ini melandasi perjuangan kita sebagai umat Kerajaan Allah, bahwa perjuangan kita pun melawan kuasa yang mengglobal.


HASIL TRANSCLUSIVISM

Kita tidak akan meneruskan perdebatan yang tidak akan berujung mengenai pluralisme-inklusivism-partikularisme. Tetapi di sisi lain, kita pun akan terhindar dari besikap ateologis, dan beralih kepada etika semata, oleh sebab transclusivism berpijak dari narasi Alkitab mengenai Kerajaan Allah dan perjuangan gereja dalam kuasa penyertaan Allah dan Sang Mesias. Kekristenan akan menampilkan sikap world-embracing dan world-transforming.

Uraian secara komprehensif sedang dalam penelitian.

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment