Monday, November 20, 2006

Tuhan, Adakah Engkau di Masa Kini?

TUHAN, APAKAH ENGKAU ADA PADA MASA KINI?


Seseorang berkata kepadaku, Tuhan bukan Allah masa lalu. Tuhan bukan Allah masa depan. Tuhan tidak ada pada masa lampau. Tuhan tidak ada pula ada masa depan. Tetapi Tuhan ada pada masa kini.

Namun, benarkah? Benarkah Engkau itu ADA pada masa kini? Apakah benar-benar ada MASA KINI? Bukankah masa kini segera berlalu ketika aku memikirkan MASA KINI? Tatkala kurenungkan berapa satuan waktu untuk masa kini, sedetikkah? Bukankah masa itu akan segera menjadi masa lampau pada detik berikutnya?

Itu berarti Engkau segera berada di MASA LAMPAU. Dan, kalaupun aku percaya kepada-Mu, bukankah Engkau hanya ada di MASA DEPAN, dalam pengharapanku saja? Jadi, bagaimana mungkin lidahku sanggup mengatakan yang masa kini?

St. Augustinus telah mengatakan ini di hadapan-Mu, ya Allah. Di hadapan-Mu, ya . . . Hanya di hadapan-Mu saja, yang ada adalah THE ETERNAL NOW. Bagi-Mu tiada masa lalu. Bagi-Mu tiada pula masa depan. Tetapi bagiku? O . . . kiranya ketika aku hendak bermenung sejenak, ternyata tidak ada masa kini, sebab masa kini segera menjadi masa lampau. Bagiku hanya ada masa lampau. Bagiku hanya ada masa depan.

Aku tak mempunyai masa kini!

Maka kuingat sabda-Mu, "Sebab untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Tampak tersirat Engkau Tuhan ada pada masa kini. Tetapi apakah demikian? Engkau menawan perhatianku pada kalimat ucapan-ucapan yang menyertainya, peringatan akan segala tindakan-tindakan-Mu di masa lampau. Dengan mengingat masa lampaulah aku memiliki keberanian hidup di masa depan.

Demikian pula hatiku tertarik dengan ucapan penetapan Perjamuan Tuhan, yang selalu memakai kata-kata, "Setiap kali kamu memakan/meminumnnya, menjadi PERINGATAN akan kesengsaraan Tuhan." Apakah ini sekadar memorial? Bagiku lebih daripada itu. "Peringatan" adalah menghadirkan masa lalu pada masa “sekarang,” yaitu pada SATUAN WAKTU di mana umat-Mu melakukan ibadah korporat. Tetapi seterusnya kalimat penetapan itu berlanjut dengan “sampai Ia datang kembali.” Sekali lagi, masa lampau dan masa yang akan datang kujumpai. Dan ternyata, itulah perspektif yang membentuk “masa kini.”

Di hadapan-Mu, Tuhan, sekarang aku tak berani lagi mengatakan memiliki masa kini. Sebab, Engkau tidak ada pada masa kini. Bila demikian, bagaimana mungkin aku berani untuk hidup pada masa kini? Apalagi, untuk hidup seturut masa kini!

Ya Tuhan, sekali lagi Engkau menyatakan kepadaku betapa aku menjadi seorang yang kesepian! Aku ditinggal seorang diri. Bahkan oleh masa kini! Aku mau hidup untuk masa kini, tetapi masa kini segera berlalu daripadaku. Aku mengejar dan terus mengejar masa kini yang masih menjadi masa depan. Kegigihanku untuk meraih masa kini tak kunjung surut. Aku mencoba, dan gagal! Takkan pernah aku dapat meraihnya.

Maka, bagaimanakah Engkau menjumpaiku dalam “masa kini”? Engkau memperkenalkan kepadaku sebagai Yang Kukenal sekaligus Yang Tidak Kukenal. Engkau adalah Sang Pokok Sukacita, sekaligus Sang Misteri. Engkaulah mysterium fascinosum tetapi Engkau pula mysterium tremendum. Engkau menjumpaiku sebagai “Yang Sama Sekali Lain” (The Wholly Other). Engkau seperti yang kuharap, sekaligus seperti yang luput dari dugaan. Namun kukenal satu hal saja, Engkau tak mungkin bertindak menyimpang dari kebenaran kesejatian-Mu.

Ya Tuhan, Engkau menunjukkan kepadaku bahwa Allah yang kupercayai adalah Allah yang berbeda dengan zaman ini. Karena itulah dalam sejarah kukenal, Engkau mengutus orang-orang yang menjadi terasing bagi dunia. Nabi-nabi-Mu, bahkan Putra-Mu dan para rasulnya. Mereka adalah cemoohan dunia, kebodohan bagi dunia. Bahkan Engkau memilih orang-orang seperti St. Athanasius yang berdiri di hadapan dunia, dan menantang dunia, Athanasius contra mundum! Bukankah seluruh Gereja pada zaman itu hampir-hampir membenarkan ajaran Arius? Bagaimana mungkin mereka semua ini menjadi orang-orang yang sedemikian berani bagi-Mu?

Ya Allah, pada “masa kini” itu yang ada adalah pergolakan, pergumulan, dialektika. Maka . . . “kini” . . . siapakah yang akan menjadi teman seperjalananku?

TERPUJILAH ALLAH!

3 comments:

  1. "Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?
    Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.
    Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku" (Mzm. 139:7-10).
    What have u got from this psalm, Prof?

    ReplyDelete
  2. Just because we are overwhelmed by the ETERNAL NOW. His is present, not ours.

    ReplyDelete
  3. Again and again, Om, those verses are dialectic, aren't they? God IS encountering US by means of showing that He is the OTHER.

    ReplyDelete