Thursday, November 9, 2006

Jadikan Aku Alat Perdamaian-Mu!

JADIKAN AKU ALAT PERDAMAIANMU!

2 Korintus 5.18-19


Pengampunan. Pendamaian. Dua konsep penting yang menjadi bagian kehidupan dan spiritualitas orang Kristen. Namun juga wilayah-wilayah yang teramat sulit bagi mereka yang tertekan oleh kekerasan dari pihak lain. Mampukah orang seperti ini menjadi pengampun?

Pengampunan menjadi bagian dalam ibadah kita. Kita menaikkan permohonan ampun, dan Allah mengampuni kita. Kita selalu diingatkan bahwa kita hidup dalam teritorial kuasa pengampunan Allah bagi kita. Kemudian kita juga diimbau untuk mengikuti teladan Yesus, mengampuni orang yang bersalah kepada ktita.

Sebagai orang percaya, Yesus adalah pola hidup perdamaian kita. Ketika kita dikhianati, kita mengalami amarah dan perasaan pahit lagi getir. Kita bergumul dengan rasa nyeri dan pengampunan. Semakin besar tekanan atas kita, semakin besar pula luka-lukanya, dan makin sulit untuk berdosa sama seperti Yesus, “Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Kiranya kuasa spiritualitas orang-orang yang diampuni Allah benar-benar hidup dalam hati kita, sehingga kita pun dapat mengupayakannya dalam kehidupan dengan sesama, khusunya manakala hubungan itu dikoyakkan oleh karena konflik dan pertikaian.

Mitos-mitos Pengampunan

Dalam pada itu, hendaklah kita memikirkan ulang pemahaman kita akan pengampunan dan rekonsiliasi. Sebab, tak jarang konsep mengenai hal ini tidak tepat sehingga menghambat jalan menuju penyembuhan. Simaklah beberapa mitos (cerita yang dipercaya, namun sebenarnya tidak benar) rekonsiliasi.

Mitos 1. Mengampuni berarti melupakan.
Cobalah bertanya kepada mereka yang mengalami tekanan kekerasan yang besar. Efek kekerasan itu permanen. Kesembuhan tersedia justru dengan mengingat kekerasan itu, bukan melupakannya.

Mitos 2. Mengampuni berarti nrimo kekerasan.
Sikap pasif! Ini tidak benar. Tindakan yang salah tidak dapat dibenarkan ataupun diterima. Semua bentuk pelecehan—fisik, emosional serta seksual—tidak boleh ada di dalam keluarga.

Mitos 3. Mengampuni itu otomatis.
Kita harus sadar, kecenderungan kita sebagai manusia adalah menanggapi kekerasan dengan kekerasan pula. Jika kamu menyakiti saya, saya pun akan menyakiti kamu. Refleksi dibutuhkan sebelum kita mengambil tindakan terhadap kekerasan yang telah kita terima.

Mitos 4. Mengampuni itu cepat dan peristiwa sekali saja.
Kebanyakan manusia mengalami pengampunan sebagai sebuah proses. Memag dapat muncul cepat bagi segelintir orang. Namun pada umumnya, pengampunan muncul setelah suatu periode panjang.

Mitos 5. Mengampuni berarti hubungan kembali seperti dulu.
Pengampunan berbeda dengan pendamaian. Pengampunan berarti si penerima kekerasan telah dapat melewati segala perasaan luka. Hal ini belum tentu berarti bahwa hubungan kembali dijalin.

Menggarap Kembali Mitos-mitos Pengampunan

Dengan melakukannya, kita membangun prinsip-prinsip pemahaman mendasar mengenai pengampunan dan pendamaian.

1. Kita perlu percaya bahwa “mengenang” itu adalah bagian penting untuk mengampuni.
Ungkapan “Mengampuni itu melupakan” itu bohong. Mungkin hal itu didasarkan pada ketidaknyamanan kita atas kenyerian dan derita, sulitnya menerima emosi kemarahan dan kebencian, dan penyangkalan bahwa hal-hal tersebut adalah renspons yang wajar dari perlakuan tidak adil. Teramat sering para penderita dibungkam dengan perkataan, “Ampuni dan lupakan!” yang sesungguhnya orang yang mengatakan itu tidak mau mendengarkan keluh kesah lebih lanjut dari penderita.

Kita yang mau menolong penderita harus menguji motif-motif dalam diri kita yang sering memaksakan agar proses itu berjalan cepat. Hal ini tidak boleh terjadi. Kita harus berusaha untuk tinggal bersama derita itu. “Ampuni dan lupakan!” tidak pernah cocok untuk menguatkan penderita pelecehan dan kekerasan dalam keluarga. Kesembuhan mereka bergantung kepada “mengenang.” Kita harus mendukung para penderita tatkala mereka belajar untuk hidup dengan kenangan pahit dari pengalaman hidup masa lalu mereka.

Orang yang melakukan kekerasan juga harus mengenang juga. Pemulihan mereka bergantung kesediaan mereka untuk kembali mengingat dan bertanggung jawab atas tindakan itu, dan mengenali dampak pelecehan yang mereka telah lakukan terhadap korban.

2. Kita perlu percaya bahwa menamai pelecehan sebagai dosa dan tidak dapat diterima merupakan bagian penting untuk mengampuni.
Para penderita harus menerima kenyataan bahwa mereka telah disakiti. Sebagai saksi, kita harus menyatakan keyakinan kita bahwa pelecehan sama sekali tidak dibenarkan dalam keluarga Kristen. Kita harus mampu memilah dengan saksama antara mengampuni dengan pembenarkan kekerasan itu.

3. Kita perlu percaya bahwa amarah, kebencian, dan kepahitan dengan sendirinya mengikuti pelecehan.
Para penderita mempunyai hak untuk mengalami perasaan-perasaan di atas dan juga hak untuk mengungkapkan derita mereka. Kita menempatkan tanggung jawab atas kekerasan itu bukan kepadanya tetapi kepada si pelaku pelecehan.

4. Kita perlu percaya bahwa pengampunan merupakan sebuah proses.
Kesembuhan adalah suatu proses yang panjang. Demikian pula dengan pengampunan. Sesungguhnya pengampunan adalah satu bagian dari kesembuhan. Ada banyak kondisi yang membuat pengampunan itu mungkin dilakukan. Komunitas orang percaya (gereja) memainkan peran besar untuk menyediakan kondisi tersebut, dan hal ini benar-benar butuh usaha dan waktu.

Para penderita perlu mengalami keadilan sebagai bagian dari proses penyembuhan itu. hal ini terjadi ketika kisah si penderita mengenai pelecehannya didengarkan dan dipercayai, ketika kesempatan disediakan bagi kesembuhan, dan ketika si pelaku dipanggil untuk menyatakan pertanggungjawaban.

Pemberian uang jaminan (restitusi) adalah satu langkah yang sangat penting untuk terciptanya keadilan. Si pelaku menyerahkan sejumlah uang kepada korban, hal ini adalah simbol konkret dari kesediaan si pelaku untuk menerima tanggung jawab atas kekerasan yang telah ia lakukan. Hal ini dapat dilakukan oleh gereja bagi terwujudnya keadilan bagi mereka yang tertindas.

5. Kita perlu percaya perbedaan antara pengampunan dan pendamaian.
Pengampunan mendahului pendamaian. Pendamaian mungkin saja mengikuti pengampunan, atau bisa saja tidak. Pengampunan—restorasi hubungan keluarga yang adil dan saling menghargai—belum tentu terwujud, atau bahwa belum tentu sehat.

Tindakan kita untuk mengampuni muncul secara konkret dalam ruang dan waktu yang spesifik. Kita tidak dapat memutar kembali jam dan menyingkirkan pelecehan yang telah dialami seseorang. Mungkin jalinan kedua pihak itu tidak akan pernah sama seperti dahulu.

Allah Menyembuhkan dengan Berbagai Cara
Banyak penderita yang memilih satu waktu untuk terpisah dari si pelaku pelecehan dan baginya hal itu sangat penting untuk menuju kesembuhan. Sebagai mediator, kita harus berjalan bersama-sama si korban ketika mereka menentukan langkahnya dalam keterkaitan dengan si pelaku.

Seorang korban mungkin mengampuni si pelaku, tetapi si pelaku menolak mengakui kesalahan yang dilakukan. Jalan menuju harmoni tentu terhambat. Si korban kemudian bisa jadi mengalami pendamaian dalam hati tanpa mengalami pendamaian hubungan.

Si pelaku mungkin mengalami pengampunan Allah dan dapat mengampuni dirinya sendiri. Tetapi korbannya bisa jadi masih bergulat dengan kenyerian, kebencian dan tak dapat membuka diri bagi hubungan dengan orang lain. Si pelaku mengalami pendamaian di dalam hatinya, dengan berharap suatu kali si korban akan berpikir untuk berbaikan dengan dirinya. Para pelaku yang mengakui kesalahan mereka dan mendemonstrasikan kesediaan mereka untuk berbalik dari dosa mereka membuka jalan bagi pendamaian.

Dalam sepanjang waktu, haruslah diingat bahwa kekerasan itu menghancurkan hubungan perjanjian. Si korban jangan sampai dipersalahkan untuk hal ini.

Dalam rentang beberapa waktu, baik korban maupun pelaku harus bersiap untuk menjalin perdamaian. Ketika hal ini terjadi, Puji Tuhan! Sebab anugerah kesembuhan diberikan. Kita tidak boleh berasumsi bahwa hal ini harus pasti terjadi kapan saja, dan kemudian mendorong diri kita dan orang lain untuk menjalaninya. Sebaiknya, dengan menyadari perlunya suatu proses penyembuhan, kita menerima anugerah Allah pada masa dan tempat yang Allah mau kerjakan daya kesembuhan itu.

TERPUJILAH ALLAH!

(leNin_10Nov06)

No comments:

Post a Comment