Tuesday, November 14, 2006

Boeat Grc

Rekan seperjuanganku Grc,

Wah, kata orang Jawa, comment Anda di blog “Belajar Hidup!” sangat nggegirisi, alias bikin orang miris dan gentar sekali! Buat saya, jangankan putri, putranya saja kan ya dituntut seperti itu. Masih ingat pesan untuk turun pada jam kantor dan segala yang harus dikenakan dalam jam kantor itu, supaya kelak DI GEREJA dst., dst.? Wow, luar biasa. Yang cukup menggelikan, yang berpesan tidak pernah melayani gereja dalam tempo yang lama. Bukan saja itu, kalau kita mengejar argumentasinya kan pasti jatuhnya pada masukan dari pihak gereja-gereja. Cuma pertanyaan saya sejak dahulu: gereja mana dulu? Dan bagaimana tuntutan itu bisa terjadi?

Ah, saya kok ingin meruntut adanya suatu vicious circle! Kalau gereja sampai seperti itu, dari mana pula asalnya? Mengapa ada sponsor yang berpesan, tapi ternyata di baliknya ada sponsor dan ada sponsor dan ada sponsor ad infinitum? Bagaimana mungkin di dalam gereja berlaku subkultur dan sub-subkultur, yang bila didekonstruksi asalnya toh dari "percetakan" itu juga. Lho, jadi mitos itu kan bikinan sendiri, dan diwariskan turun temurun sebagai pusaka adi luhung!

Bicara tipologi Richard Niebuhr, bukankah CHRIST FROM CULTURE yang terjadi, dan bagi saya kok lebih dari itu: CHRIST SUBMITTED TO CULTURE (bikinan sendiri)? Cobalah kita ingat, pernahkah diajar merefleksikan CHRIST AGAINST CULTURE? Apalagi sampai kepada prasaran Niebuhr sendiri mengenai CHRIST TRANSFORMS CULTURE. Pokoknya jadi anak manis saja di tempat pelayanan.

Mengapa kok tidak ada perubahan? Bagaimana mungkin wong kita ini tidak diajak berpikir teologis? Bepikir teologis berbeda dengan berpikir biblisis. Bila kekuatan kita hanya mampu mengutip dan menjajar ayat sebagai norma-norma, itu biblisis. Berpikir teologis akan membuat kita sadar ada sesuatu yang sedang terjadi, dan ini tidak boleh terjadi terus, sehingga bagaimana teologi berperan dalam merombak konteks itu.

Tapi kita pun tahu, si anak manis sudah berusaha berteologi. Bahkan trinitarian teologi! Doktrin trinitariannya menarik! Pertama, doktrin Allah yang menjadikan segala sesuatu self-sufficient. Tak disadari, kalau Allahnya cukup dengan diri-Nya, ya anak-anak-Nya cukup dengan dirinya. Yang tersirat (dan yang terjadi) kan begitu. Kalau keduanya self-sufficient, mengapa perlu ada perubahan? Kedua, Kristologi "salib" melankolis kan dapat membuatnya berurai air mata, "Kasihan ya Tuhan Yesus, disiksa begitu kok nggak membalas, ya?" Lah kalau Tuhannya digituin diam saja, para pelayan kan perlu mengikut dan meneladani? Dan bila diteruskan, kalau orang lain diperlakukan tidak adil, maka para pelayan itu yang wajib menghibur mereka dan mengingatkan mereka pada penderitaan Kristus. Ketiga, Roh Kudusnya menguatkan di tengah derita, dan apa pun yang didakwakan diterima saja, sebab Roh Kudus kan menjadi Penghibur kita. Ya, ya, trinitarian theology in action juga, bukan?

Tapi Kekristenan seperti itu sungguh merupakan candu! Bagaimana dengan ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan penghisapan atas orang-orang lemah yang menjadi konteks real kita di Dunia Ketiga? Tumpul teologi kita untuk membedah borok-borok masyarakat. Teologi secara tak langsung telah menjadi cemoohan meski paling banyak dipelajari dengan digelarnya seminar-seminar doktriner. Tapi coba yang keluar di mimbar: paling isinya ya memberikan penghiburan kepada yang sedang menderita. Orang diberi janji-janji manis. Alias, orang yang tertindas dibuat lupa dengan deritanya supaya jangan sampai sadar dengan penderitaannya. Sebab dengan dia menjadi sadar, akan bangkitlah orang itu dan geliat orang tertindas tentu tidak menyukakan kaum yang established!

Betapa tumpul pula misi kita. Kita hidup dalam dunia yang kejam. Tetapi berita mimbar dan bahkan artikel akademis mengenai misi dan keterlibatan Kristen mengenai masalah sosial terlalu berani menyimpulkan bahwa kondisi seperti ini adalah akibat seseorang tidak mengenal Allah dan dosa. Sebab itu, seseorang harus menerima Kristus terlebih dahulu, maka semua kesungsangan akan berakhir. Benarkah? Bukankah para mafioso itu pun Kristen dan mereka memberikan persembahan dalam jumlah besar? Betapa mudahnya analisis sosial kita dan menyamaratakan apa yang terjadi sebagai akibat dosa. Benarkah orang yang mengenal Kristus kemudian selalu menjadi agen perubahan?

Bila kembali membuka halaman-halaman depan Alkitab, akhirnya saya harus berkesimpulan bahwa Allah pun diberitakan bertindak reaktif (atau responsif) dengan kondisi di luar. Perhatikan kala tohu wa bohu. Bukankah kemudian Allah menata kosmos dari kondisi itu? Apakah Allah tidak tahu sebelumnya? Allah tahu, tetapi bagi kaum Yahwist-Elohist, tidak ada minat untuk memikirkan di balik apa yang Allah nyatakan dalam penciptaan. Kalaupun kita beranjak bahwa Allah itu self-sufficient, tetapi apakah Allah tidak memiliki masa depan, dalam artinya ada sesuatu yang “berubah” di dalam kehidupan Allah? Bukankah berita Wahyu Allah yang mencipta, dan aktif dalam ciptaan itu pada akhirnya bersekutu dengan ciptaan, yang secara konseptual dapat saya sebut sebagai the-en-panism? (Bukan pan-en-theism!) Saya makin setuju bahwa God’s being is in his becoming, karena Allah becoming God + new creation, di mana Allah akan memenuhkan seluruh bumi dengan diri-Nya sendiri. Poin saya adalah adanya progres di dalam Allah!

Allah berproses!? Ini lain perkara. Bagi saya Tidak! Ia adalah Subjek. Subjek yang punya rancang bangun. Ia tahu apa yang akan terjadi, tetapi apa yang akan terjadi tidak sama dengan apa yang dulu terjadi. Relasi-Nya dengan Israel dan relasi-Nya dengan Mesias Yesus jelas berbeda. Allah tinggal dalam waktu sambil Ia pun berada di luar waktu.

Kalau Allah saja mempunyai becoming, maka saya makin setuju untuk adanya sesuatu yang saya sebut dalam artikel saya eine Umgestaltung von grundaus! Perombakan sampai ke akar-akarnya. Jadi Feminisme dan kesetaraan? Mengapa tidak? Perjuangan pembebasan? Mengapa tidak? Sikap anti terhadap agresi Israel? Anti imperialisme Amerika Serikat? Oo, ada yang makin terusik dengan pertanyaan-pertanyaan lain.

Jadi Kawanku, bagi para teolog dan pelayan jemaat, nampaknya sudah waktunya kita meninggalkan keyakinan “Gnostik gadungan” yang sebenarnya sudah berpuluh-puluh tahun menjadi bagian teologi kita. Kita perlu kembali kepada Yesus Sejarah. Kita perlu menggali filosofi Alkitab mengenai “sejarah.” Kita perlu menegakkan teologi kreasionisme. Itupun kalau kita merindukan terjadinya perombakan paradigma untuk zaman kita: untuk berbicara mengenai sains, keadilan, kesetaraan, pengentasan kemiskinan.

Tetapi marilah kita mengingat: “pasar” kita sekarang ini menghendaki khotbah-khotbah yang therapeutic! Berita mimbar yang memotivasi dan memompa semangat. Khotbah yang diambil dari buku-buku motivator ulung dan model-model how to. Kutipan-kutipan yang menggairahkan dan ilustrasi-ilustrasi kehidupan Chicken Soup.

Kalau kita siap, konkuensinya sedang mengintip: menjadi seperti Yohanes yang berseru-seru di padang gurun. Sendirian. Dan, tidak laku jual!

Nah, kawan-kawan, marilah kita terbuka untuk bertukar pendapat. Ini era keterbukaan.

Hasta la victoria siempre!

TERPUJILAH ALLAH!

7 comments:

  1. pointmu tentang Christ dan Culture menarik Yok. Aku pikir sebetulnya sejarah gereja udah menunjukkan betapa kita mudah sekali terjebak dgn hal-hal yang sebetulnya adalah buatan sendiri tapi kemudian mengklaim hal itu sebagai sesuatu yang mutlak.

    masih ingat gak ketika orang-orang kristen eropa abad lalu menggambarkan Tuhan Yesus sebagai orang dari bangsa Aria (ganteng,tinggi, putih, pirang :)

    Bukankah 'pembaratan'ini juga adalah salah satu bentuk inkulturasi yang dilalukan sak karepe dhewe?

    Dan kita pada akhirnya tahu apa yang terjadi ketika orang-orang eropa ini menjadi misionaris dan datang ke asia dengan keyakinan bahwa pemahaman mereka adalah satu-satunya versi yang tepat. Orang-orang Asia yang masuk kristen seakan tercabut begitu saja dari akar bangsa dan tanah airnya. Dalam konteks Indonesia, bukankah orang-orang kristen indo kemudian kerap dicurigai dan dijuluki antek-antek kumpeni atau belanda coklat/sipit?

    pada akhirnya kita memang harus membangun sikap kritis terhadap segala sesuatu yg ada ditengah-tengah kita, khususnya pada yang menebarkan aura self-sufficient dan established. Kita perlu berani merombak apa yang memang perlu dirombak! Merubah apa yang harus diubah!

    Perombakan atau perubahan ini tidak gampang karena kita harus kembali melihat kekristenan secara obyektif (bukan sekedar untuk apa, melainkan juga asal-usul dan akan menjadi apa kekristenan pada masa mendatang).

    Perubahan ini juga tidak nyaman karena menuntut kerelaan untuk learn, relearn and unlearn. Apakah kita sudah siap?
    (Saya sering sedih jika melihat lulusan teologia yang pasif, pasrah, tidak pernah mempertanyakan apapun juga. bagaimana mau maju? Dibalik sikap mempertanyakan ada rasa ingin tahu, dan bukankah rasa ingin tahu adalah salah satu kodrat manusia? secara ekstrim bisa dikatakan bila manusia tidak lagi mempertanyakan apa-apa, dia sudah berhenti jadi manusia.)

    Perubahan juga alot karena menuntut pemikiran kritis yang tajam membedah segala sesuatu. You and I know that pemikiran kritis TIDAK AKAN pernah jadi populer. I mean, Socrates dipaksa minum racun karena dia kritis toh?

    Tapi Tuhan kita adalah Tuhan yang membawa perubahan ekstrim ke dalam dunia meskipun itu dilalukan dalam rentang waktu dan pergulatan panjang. Jadi mengapa kita tdk berani mengikuti jejak-Nya?

    ReplyDelete
  2. heheheheheh aku lupa nulis nama...

    ReplyDelete
  3. Mengapa tidak berani mengikuti jejak-Nya? Lhooo, ya beda secara kualitatif, to? Dia itu kan Tuhan, kita ini manusia.

    Bayinya Bang Moshe beberapa kali sungsang di perut sang istri--itu harus diputar balik oleh sang bidan. I mean, orang nggak bakalan seneng yang sungsang!

    Tapi bagaimanapun aku tetap setuju, Kristus itu datang mendirikan THE UPSIDE-DOWN KINGDOM! (mengutip Donald G. Kraybill yang bukunya sudah diterjemahkan oleh BPK, KERAJAAN YANG SUNGSANG)

    ReplyDelete
  4. apakah selalu kita harus bermusuhan dengan zaman ini? apakah memang pilihannya adalah menikah atau tidak menikah dengan zaman ini? apakah selalu mereka yang menikah dengan zaman ini harus bersiap menjadi duda/janda? apakah menjadi duda/janda itu lebih buruk daripada menjadi perawan/perjakan tua nan kesepian?

    ReplyDelete
  5. Dear Mr/Ms NN, tentu bukan "either-or" saja pilihannya, tapi apa "both-and" menjawab? Nampaknya tidak. Ada pilihan tawaran yang lain, jalan ketiga, "neither-nor," yaitu tidak perlu menikah tetapi menikmati zaman ini. Tidak perlu berkomitmen, tetapi nyaman-bahagia dengan zaman. Kata seorang tokoh gereja (bukan teolog), "mengikut arus tanpa terbawa arus."

    Tipologinya? Maafkan hamba mengungkapkan ini, ... Yehezkiel 33, yang saya usahakan untuk mencari ameliorasinya (padanan yang lebih halus) tapi tidak mendapatkan: "teologi lokalisasi." Namun, bagaimana kita merenungkan Luk. 7.31; 9.41; 11.29-32, 50, 51; 17.25; 21.32; Rm. 12.2; Flp. 2.15; Ibr. 3.10?

    Menjadi duda/janda bukan pilihan lho, kalau memang berakhir dengan komitmen, yaitu karena meninggal dunia. Tetapi coba, Sobat, bila karena diputus di tengah jalan karena pasangan hidup itu punya WIL dan PIL? Saya persilakan Anda mungkin berkenan mengungkapkan satu contoh siapa orang yang berkawin dengan zaman, yang tidak ditinggalkan oleh zaman, tetapi mampu mengubah zamannya.

    Ada monografi yang bagus, Kawan, dari Raymond C. Ortlund, God's Unfaithful Wife: A Biblical Theology of Spiritual Adultery. New Studies in Biblical Theology 1 (Downers Grove: InterVarsity, 1996), yang dulu juga diterbitkan oleh W. B. Eerdmans dengan judul Whoredom: A Biblical Theology of Adultery. Ortlund merentang kasus "Israel" (lama dan baru) dari Kejadian s.d. Wahyu mengenai tipologi pernikahan untuk relasi Allah-umat. Nah, nanti mungkin kesimpulan kita berujung sama.

    Terima kasih karena respons Anda mempertajam arah perbincangan ini. Bukankah indahnya berteologi itu juga nyata dalam keberanian untuk terjun dalam dialektika, bukan?

    Mari berjuang bersama demi terwujudnya Gereja Tuhan yang utuh dan satu.

    ReplyDelete
  6. Apakah menikah dengan semangat zaman ekuivalen dengan meninggalkan Tuhan? Apakah tetap jomblo di tengah semangat zaman membuktikan kesetiaan kepada Tuhan? Bukankah Tuhan bukan saja Tuhan masa lalu, dan masa depan, tetapi Tuhan masa kini?

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun, Anda benar. Karena itu, Tuhan tidak pernah menjadi Tuhan masa kini bila bukan Tuhan masa lalu dan Tuhan masa depan. Dan ternyata Tuhan pada masa kini selalu menampilkan diri sebagai the Wholly Other, dan perjumpaan Tuhan dengan umat baik secara eksistensial maupun komunal selalu dialektik. Anda mendukung apa yang saya katakan, Kawan.

    ReplyDelete