Tuesday, December 5, 2006

Jatung Hati Proklamasi

JANTUNG HATI PROKLAMASI:
SEBUAH TEOLOGI PEWARTAAN FIRMAN


PENDAHULUAN

Apakah yang membedakan ibadah Gereja Kristus (yang saya maksud bukan sebuah institusi gereja) dengan semua lembaga agama yang ada di dunia ini? Satu saja, yakni dalam ibadah: Firman Allah dan ketetapan-ketetapan Allah diberitakan di dalam ibadah. Pernahkah Anda memikirkan hal itu? Pemberitaan atau memproklamirkan firman adalah panggilan (vokasi) Gereja Tuhan di sepanjang sejarah.
[1] Di mana saja umat berkumpul untuk beribadah, mereka sedang bersekutu di sekeliling Firman. Dengan demikian, Firman menjadi pusat ibadah, dan umat selalu merindukan firman yang diberitakan.[2] Oleh sebab itu, Gereja dan pemberitaan firman tak mungkin diceraikan. Gereja tanpa khotbah,[3] dengan sendirinya, bukanlah Gereja milik Kristus. Gereja yang salah berkhotbah, atau mengkhotbahkan berita yang lain, adalah bidat!

Menyadari sentralitas firman dalam kehidupan kaum beriman, maka dalam esai ini penulis akan menggali jantung hati khotbah.
[4] Tujuan esai ini adalah agar kita semakin memahami hakikat, dasar, tujuan bentuk dan cara memproklamirkan firman dengan benar.

Tunggu dulu. Benar menurut siapa? Bukankah begitu banyak gereja yang berbeda pahamnya? Kita menjawab, benar menurut prinsip-prinsip Kitab Suci dan pengajaran yang kita pegang selaku pewaris-pewaris tradisi Reformasi. Dengan berpikir seperti ini, kita akan terhindar dari sikap pragmatis: “Yang penting, khotbah ini menghibur saya,” dan sejenis itu. Sebelumnya, kita perlu menganalisis secara kritis gaya khotbah yang banyak terjadi di gereja-gereja dewasa ini.


LIMA GAYA KHOTBAH KONTEMPORER

Pernahkah Anda bertanya kepada seseorang, atau mungkin diri sendiri, khotbah apa yang Anda senangi? Saya menemukan beberapa tipe berkhotbah kontemporer.

Gaya Ayatisme

Sebagian jemaat gemar dengan khotbah yang mengutip banyak ayat, yang menjajar beragam ayat dari Alkitab, PL dan PB. Semakin banyak ayat yang dikutip oleh pengkhotbah, maka khotbah itu dianggap semakin alkitabiah. Kata orang-orang golongan ini, sang pengkhotbah tidak mengkhotbahkan pikirannya, atau doktrinnya sendiri, tetapi benar-benar dari kebenaran firman Tuhan. Poin-poin dalam khotbah didasarkan pada ayat-ayat di sana sini. Mungkin dari Kejadian sampai Wahyu! Bahkan, tiap-tiap kalimatnya merupakan sambungan dari ayat satu ke ayat yang lain.

Sekilas memang nampak alkitabiah. Tetapi membedah lebih jauh, justru khotbah seperti ini sangat membahayakan pertumbuhan iman jemaat. Pertama, khotbah akan dianggap benar “asal ada ayatnya.” Tak peduli apakah ayat yang dikutip benar-benar bermakna seperti yang dikhotbahkan atau tidak, tetapi akhirnya toh jadi dianggap benar karena ada buktinya dari Alkitab. Kedua, dasar apa yang dipakai sang pengkhotbah dalam menjajar ayat? Ia juga memakai “doktrin” atau “pikiran” yang tersembunyi di balik khotbahnya, dan memakai ayat-ayat itu sekadar untuk membenarkan pikiran pribadi. Hati-hati, pola ayatisme ini telah melahirkan banyak bidat dalam sejarah iman Kristen.

Gaya Pengalamanisme

Khotbah dipenuhi dengan kisah-kisah nyata yang dialami oleh pengkhotbah atau orang Kristen yang lain. Khotbah seperti ini sangat menyentuh emosi dan perasaan pendengar. Dari yang lucu hingga yang mengharubirukan hati. Bukan teori doank, katanya, tetapi pengalaman nyata yang menjadi bagian hidup orang percaya di era modern yang serba sulit. “Hidup itu sudah sulit, jadi khotbah mbok jangan sulit-sulit.” Ayat Alkitab memang menjadi pembuka dan penutup khotbah, tetapi sepanjang khotbah dipenuhi dengan anekdot. Pengkhotbah tenggelam dalam menuturkan kisah-kisah a la Chicken Soup yang menjadi tulang dan daging khotbahnya. Permainan emosi ini yang membuat kita tidak perlu heran, bila di akhir khotbah ada panggilan altar, maka banyak orang yang maju, karena ingin mendapatkan pengalaman yang sama.

Membangunkah gaya khotbah seperti ini? Justru sebaliknya, hal ini membuat banyak orang Kristen menjadi frustrasi! Orang memang senang mendengar kisah-kisah yang membangkitkan perasaan, perasaannya dipompa agar meluap keluar, seolah-olah ia ditarik masuk ke hutan rimba nan mencekam pengalaman orang lain, dan kemudian ingin mendapatkan hal yang sama dengan yang diceritakan itu. Tetapi pada akhirnya kecewa berat, sebab itu adalah pengalaman orang lain, dan bukan pengalaman hidupnya secara pribadi. Katakanlah seandainya “saya” mengalami apa yang ia alami, misalnya kedukaan yang memilukan, belum tentu keputusan yang ia sudah ambil cocok untuk situasi “saya.” Jelaslah kini, gaya khotbah ini bukan khotbah yang alkitabiah.

Gaya Moralisme

Khotbah dengan titik tolak nilai-nilai moral dan norma-norma iman. Gaya ini biasanya mengangkat satu tokoh Alkitab sebagai dasar, lalu merefleksikan kehidupan si tokoh untuk masa kini. mereka menjadi teladan moral kehidupan orang percaya masa kini. Bisa saja yang diambil adalah kisah hidup bapa leluhur iman (Abraham, Ishak, dsb.), para nabi dan sahabatnya (Elia, Elisa, Barukh, dsb.), serta terutama adalah hidup dan keteladanan Tuhan Yesus.
[5] Biasanya dikemukakan bagaimana sang tokoh bergulat dengan iman, dengan keputusan-keputusan berat yang seharusnya ia ambil, dengan konteks zaman yang berat pada waktu itu.

Selain hal di atas, gaya khotbah seperti ini senang dengan mengemukakan kutipan ajaran-ajaran Yesus sebagai yang normatif. Apa yang Yesus perintahkan, dan apa yang Yesus larang untuk dilakukan. Lakukan ini dan jangan itu, itulah inti khotbah.

Bagaimana sikap kita? Pertama, Alkitab dipandang tak ubahnya seperti kumpulan biografi tokoh ternama tempo doeloe yang kebetulan masuk orang beriman yang patut diteladani langkah-langkah hidupnya. Tetapi cobalah membaca buku biografi orang terkenal lainnya, baik Kristen ataupun bukan, kita pun akan menemui liku-liku hidup yang sangat berat. Gaya khotbah naratif yang marak pada akhir-akhir ini cenderung menjurus kepada naratif-tokoh sehingga ujung-ujungnya adalah keteladanan moral.

Kedua, di sisi lain Alkitab menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Perdata. Isinya adalah serentetan aturan ini dan itu dengan pahala ini dan itu. kekristenan akan kehilangan jantungnya sebagai iman yang berpijak pada ductum “anugerah semata-mata” dan digantikan dengan agama yang “legal-formal.” Padahal, kita mengikut Yesus Kristus bukan karena Ia adalah Guru moral yang agung, tetapi oleh sebab pengakuan iman yang bersumber dari Roh Kudus bahwa Yesus adalah Tuhan, dan bahwa Ia adalah satu-satunya Juruselamat dunia.

Gaya Ilhamisme

Dalam gaya ini, karena khotbah merupakan ilham Roh dan bukan karya manusia, maka pengkhotbah tinggal menunggu apa yang mau disampaikan kepada jemaat-jemaat. Ia tak perlu mempersiapkan khotbahnya baik-baik. Sebaliknya, ia perlu banyak berdoa, supaya Roh Kudus sendiri berbicara secara langsung kepadanya. Bahkan dalam keyakinannya, teks Alkitab sudah dipersiapkan oleh Roh Kudus dan akan ditunjukkan Roh Kudus ketika akan naik mimbar. Pengkhotbah tinggal meminta, Roh Kudus akan memberi tahu.

Jika pemahaman ini benar, maka: Pertama, gereja tak membutuhkan lagi sekolah teologi. Apalagi kita percaya bahwa Alkitab itu sudah jelas dan mampu dipelajari dalam bimbingan Roh Kudus (perspecuity). Sekolah teologi terlalu banyak mengajarkan teori dan itu berarti untuk sebagian orang dianggap para calon hamba Tuhan diajar untuk mengandalkan kekuatan manusia. Kedua, jemaat tidak pernah belajar memahami Alkitab secara utuh lewat khotbah yang ekspositori, sebab khotbah ini sangat memeras waktu dan pikiran untuk mempersiapkannya baik-baik. Ketiga dan yang paling berbahaya: Jemaat diajar bahwa pada hari ini Allah masih memberikan “inspirasi” baru, yang langsung dan dapat didengarkan, sehingga wahyu Allah di dalam Alkitab masih belum cukup.
[6]

Gaya Plusisme

Khotbah saja belum cukup. Perlu plus-plus, yaitu tambahan-tambaha extravaganza yang serba wah! dan hah! sehingga jemaat semakin tertarik untuk menikmati suasana ibadah. Ibadah plus bintang tamu ibu kota. Ibadah plus hiburan yang menyegarkan hati-hati yang sedang penat. Ibadah plus permohonan janji-janji berkat. Ibadah plus demonstrasi karunia-karunia istimewa dari Roh (mukjizat, kesembuhan, bahasa asing, tertawa dalam roh, dsb.). Ibadah plus doorprize. Ibadah plus suasana cafe di dalam gedung gereja. Apanya yang salah? Buktinya toh ada: Pengunjung gereja bertambah, persembahan naik, jemaat puas dan bertambah semangat melayani. Jadi, tanpa plus-plus di atas, tak mungkin gereja menjadi berkembang.

Benarkah pemahaman ini? Dasar pemikiran yang melahirkan gaya ini adalah pola marketing dan pragmatisme. Mentalitas di balik itu adalah “yang penting kelihatan hasilnya” dan “yang penting saya mendapatkan sesuatu di gereja” atau “yang penting gereja tidak monoton.” Bahaya sekali. Sebab, tidak ada kebenaran yang melandasi pemikiran tersebut. Padahal, ada banyak penipuan yang fundamental. Pertama, umat tidak berkumpul di sekeliling Firman, dan mendengar Sabda yang murni diberitakan, tetapi firman plus entertainmen. Kedua, ibadah dan khotbah telah menjadi sama saja dengan hiburan akhir pekan setelah seminggu kerja berat. Ketiga, gereja telah sama seperti perusahaan yang memakai strategi pemasaran untuk menarik pelanggan sebanyak-banyaknya. Sebenarnya di sini jemaat tidak lagi berharap kepada suara Allah melalui firman-Nya!


PREACHING SEEKING UNDERSTANDING
[7]

Atau, “khotbah mencari pengertian.” Dalam bagian ini, kita akan mencoba menelusuri hakikat khotbah, atau jantung hati khotbah. Di sini, kita juga akan melihat kaitan yang erat antara doktrin dan khotbah. Bagaimana menempatkan khotbah dalam kerangka iman yang utuh?

Khotbah sebagai Bagian Sejarah Suci

“Sejarah Suci” (Jerman Heilsgeschichte) dalam Alkitab mengikuti suatu pola pembabakan yang jelas sekali, yaitu: Penciptaan, Dosa, Anugerah, Hukum, Panggilan sebagai Terang dan Konsumasi (akhir zaman). Dalam Kitab Yesaya terdapat pola Dosa, Anugerah dan Pembaruan Panggilan. Surat Roma pun mengikuti pola yang sama: Dosa, Anugerah dan Persembahan Diri. Gereja-gereja Reformasi juga mengikuti patron yang sama, tercermin dengan gamblang dalam Katekismus Heidelberg (1563): Guilt, Grace, Gratitude. Pola Sejarah Suci ini melambari tata ibadah Gereja Reformasi.

Penciptaan --> Dosa --> Anugerah --> Hukum --> Panggilan --> Konsumasi

Pujian kpd Allah --> Pengakuan dosa --> Berita Anugerah --> Petunjuk Hidup Baru --> Respons --> Doksologi (pemuliaan)

Di manakah tempat pemberitaan firman? Yaitu pada Hukum. Dengan perkataan lain, khotbah adalah pemberian Hukum dan Tata Kehidupan bagi umat Allah yang telah menerima anugerah. Dalam hal isi, maka suatu khotbah harus memberikan petunjuk bagaimana jemaat hidup sebagai ciptaan baru di dalam Kristus, dan menuntun jemaat untuk mengambil respons secara pribadi maupun korporat untuk melayani Allah. Beberapa Gereja dalam tradisi Reformasi bahkan masih menekankan bentuk khotbah yang ketat, dengan mengikuti patron dasar dari Kitab Yesaya dan Surat Roma:

Teguran Dosa --> Anugerah --> Persembahan Diri

Dalam yang pribadi yang mengampu tugas mulia pemberitaan firman, maka pengkhotbah sedang berdiri sebagai wakil Allah untuk menyampaikan ketetapan dan peraturan hidup umat Allah, Israel yang baru. Ia menjadi juru bicara atas nama Allah Tritunggal. Kewibawaan yang diterima seorang pengkhotbah bukan berasal dari Majelis Jemaat atau sejumlah jemaat yang kaya raya, bukan bula cara pandang dan sambutan massa terhadap isi khotbahnya, tetapi dari Allah yang telah memberikan firman-Nya. Sehingga, tanggung jawab seorang pengkhotbah ialah harus menyampaikan firman sebagai petunjuk hidup baru dengan semurni-murninya. Singkatnya, proklamasi firman pada dasarnya adalah bagian dari peristiwa-keselamatan Sejarah Suci itu sendiri.
[8]

Khotbah sebagai Partisipasi Umat dalam Kehidupan Trinitas

Bersekutu dengan Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah inti keselamatan. Hal ini jelas ditegaskan dalam Efesus 1.3-14, bahwa Allah memilih kita untuk menjadi kudus dan tak bercarcat, serta menjadi anak-anak-Nya (1.4-5); Yesus Kristus menebus dan menganugerahkan pengampunan dosa bagi kaum pilihan (1.7); dan Roh Kudus menerapkannya. Selain itu, dalam Matius 28.19 juga dikemukakan bahwa seseorang dibaptis “dalam” nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Secara harfiah adalah “ke dalam,” (Yunani eis), yang berarti seseorang yang menerima baptis diisapkan ke dalam persekutuan Allah yang kekal. Bapa adalah Allah di atas kita. Putra adalah Allah bersama kita. Roh Kudus adalah Allah di dalam kita. Maka, kehidupan Kristen yang benar adalah meninggikan Allah Bapa, berpusatkan Kristus, dan dihidupkan serta diberdayakan oleh Roh Kudus.

Bagaimana khotbah membawa orang percaya ke dalam persekutuan dengan Allah? Yaitu bahwa melalui pemberitaan firman:

Allah Bapa ditinggikan dan dimuliakan di dalam proklamasi firman;

Yesus Kristus, Sang Putra Tunggal dan Juruselamat, menjadi pusat proklamasi firman;

Roh Kudus mengangkat hati orang percaya untuk menyambut proklamasi firman.

Perhatikan kebenaran ini. Allah berada di tempat yang jauh tinggi, dan Ia akan semakin ditinggikan di dalam pemberitaan firman. Tetapi kita yang rendah, yang hina dina, yang penuh dosa, dengan memandang kepada kurbah Kristus yang sempurna sebagai pusat proklamasi, diantar untuk masuk menghadap tahta Allah yang suci dalam kuasa Roh Kudus.

Implikasinya, khotbah bukan semata-mata paparan ilustrasi kehidupan orang percaya. Ukuran khotbah bukan manusia, tetapi Allah. Betapa serius pemahaman bahwa di dalam proklamasi firman ketiga Pribadi Trinitas berkarya secara aktif!

Khotbah sebagai Sarana Anugerah

Khotbah bukanlah pekerjaan yang dengan perantaraannya seseorang diselamatkan. Kita menolak pandangan bahwa berkhotbah dengan sendirinya mendatangkan keselamatan (Latin ex opere operato), juga bukan tindakan imam atau pendeta dalam berkhotbah itu pasti mendatangkan nikmat surgawi (ex opere operantis). Sebab itu, Gereja-gereja Reformasi tidak memuja khotbah ataupun pengkhotbahnya sebagai pihak yang memiliki urapan yang lebih tinggi daripada orang lain.

Sebaliknya kita percaya, bahwa melalui khotbah, maka Allah di dalam Kristus membuat efektif rencana agung keselamatan (Latin ex praedicare Deus in Christo operato).
[9] Allah memilih, dan pemilihan itu menjadi efektif ketika Allah memanggil kaum pilihan-Nya melalui khotbah. Sebab di dalam pemberitaan firmanlah, seseorang—dengan pertolongan Roh Kudus—menyadari kedalaman rencana Allah yang telah memberikan Kristus sebagai Juruselamat dunia. Di dalam khotbahlah seseorang berjumpa dengan Kristus Sang Penebus dosa yang menggenapkan janji Allah Bapa sejak kekekalan. Hal ini segera menyiratkan dengan serius bahwa doktrin pemilihan bertolak belakang dengan doktrin takdir di dalam Islam. Allah yang telah memilih kaum-Nya, menjadi Pengantar mereka untuk bersembah sujud kepada Kristus. Allah yang sama yang mengantar kita untuk bertumbuh di dalam anugerah dan pengudusan yang sebenarnya.

Sebab itu, dalam pemberitaan firman, beban dan tanggung jawab tidak dikenakan ke atas pundak pengkhotbah semata-mata. Tugas pemberitaan ini juga menjadi tanggung jawab setiap pendengar dan jemaat secara keseluruhan. Baik yang berkhotbah maupunyang mendengar memiliki beban yang sama. Jemaat yang mendengarkan khotbah seharusnya berpartisipasi dalam proklamasi firman itu dengan: (1) semakin mengenal Yesus Kristus; (2) menerima anugerah yang Ia tawarkan; (3) menanggapi panggilan-Nya dengan ketaatan dan kepatuhan yang mutlak.
[10] Ketiga hal ini dapat terjadi hanya melalui topangan dan dorongan yang kuat, bahkan irresistible (tak dapat ditolak) dari Roh Kudus.

Khotbah sebagai Proklamasi Iman

Khotbah yang sejati akan memproklamirkan bahwa kita ini adalah milik Kristus dan bukan milik dunia. Secara pribadi kita dikuasai oleh Kristus. Secara korporat, setiap gerak dan langkah kita berpusatkan Kristus. Berarti, tidak ada sesuatu yang lain yang dapat memiliki kita selain Kristus. Dalam ucapan Abraham Kuyper, “Tidak ada satu area dalam kehidupan ini di mana Kristus tidak berseru, ‘Ini milik-Ku!’” Berarti, tidak ada sesuatu yang lain yang dapat memiliki kita selain Kristus. Inilah hakikat menjadi ciptaan baru, yang dicipta dalam Kristus (Ef. 2.10).

Khotbah harus mengundang jemaat untuk mengambil komitmen dan/atau memperbarui komitmen kepada Tuhan Yesus Kristus. Serta, proklamasi firman membuka undangan bagi setiap warga jemaat untuk masuk dalam persekutuan umat kovenan (artinya: yang diikat oleh perjanjian Allah yang kekal), yaitu tubuh Kristus, Gereja yang sejati.

Komitmen seperti ini serta merta merupakan pengakuan di hadapan dunia bahwa kita telah menerima anugerah Allah di dalam Kristus dan sekarang giliran kita untuk mempersembahkan diri kepada Allah dengan wujud nyata: (1) hidup baru dalam kemuridan yang radikal; (2) hubungan baru dengan sesama; (3) kepekaan baru terhadap karunia Allah di dalam diri, serta karunia orang lain, yang akan melengkapkan pelayanan; (4) keterlibatan baru dan aktif dalam kegiatan penebusan Kristus di dalam dunia, dengan siap menjadi penatalayan yang bertanggung jawab kepada Allah yang empunya langit dan bumi.


KESIMPULAN

Akhir kata, sebagai Gereja Kristus kita harus menancap di atas Batu Karang yang kokoh! Dasar khotbah adalah Alkitab sebagai kesaksian bagi Firman Allah yang hidup dan benar, Yesus Kristus. Sebagai kesaksian Firman, Alkitab tidak mungkin khilaf atau salah dalam mengajarkan kebenaran-kebenaran iman Kristen kepada jemaat. Setiap pengajarna dari Alkitab adalah benar dan memiliki dampak yang besar bagi kehidupan pribadi-pribadi yang dimiliki oleh Kristus (bdk. 2Tim. 3.16, 17).

Pengakuan terhadap Alkitab sebagai kesaksian Firman Allah yang hidup tidak berarti bahwa pengkhotbah memiliki kebebasan untuk mengutip ayat dengan sembarangan. Seorang pengkhotbah harus berhati-hati dalam hal ini! Setiap ayat yang dikutip harus disertai dengan keyakinan bahwa ayat itu memang bermakna sama seperti maksud pengkhotbah. Mentalitas “asal ada ayatnya” bukan cara yang benar untuk memahami Kitab Suci.

Atas pemahaman ini, kita tahu bahwa berkhotbah berbeda dengan berpidato. Dalam berpidato, pembicara boleh dengan bebas merangkai pikiran hingga menawan dan memikat hati pendengar. Sebaliknya, seorang pewarta firman terikat mutlak dan harus tunduk kepada teks suci. Ia harus mempertangungjawabkan teks yang menjadi dasar pemberitaan. Pertanggungjawaban terhadap teks diwujudkan dengan mempelajari teks itu dengan hati-hati, saksama, mempersiapkan naskah khotbah dan berdoa untuk tugas yang mulia itu. ia dilarang keras untuk memasukkan pikiran-pikiran subjektif dan naif yang tidak dibingkai oleh pengajaran yang bertanggung jawab pula. Mewartakan Kitab Suci perlu disertai keyakinan bahwa melalui Roh-Nya Tuhan Yesus Kristus hadir di dalam perkumpulan jemaat, mengundang mereka untuk menerima anugerah-Nya serta memanggil mereka untuk patuh kepada-Nya.

Atas dasar ini pula, kita mendapatkan tujuan pewartaan firman. Tujuan pewartaan adalah menguraikan firman sejelas-jelasnya dan semurni-murninya sehingga jemaat berjumpa secara pribadi dengan Sang Firman. Pada akhirnya, jemaat yang mendengar pewartaan ini akan mengambil repons secara pribadi. Pengkhotbah adalah pelayan firman Allah, dan oleh karena itu firman harus diuraikan dengan bahasa yang sederhana dan gamblang, yaitu bahasa yang dimengerti oleh jemaat.

Dari dasar dan tujuan di atas, kita dapat menentukan bentuk pewartaan firman yang alkitabiah, yaitu menguraikan Alkitab dengan setia, yang kita kenal sebagai “khotbah ekspositosi.” Indikasi paling jelas dari khotbah ekspositori terdapat dalam Nehemia 8.4, 8.

[Ezra] membacakan beberapa bagian daripada kitab [Taurat] itu di halaman depan pintu gerbang Air dari pagi sampai tengah hari di hadapan laki-laki dan perempuan dan semua orang yang dapat mengerti. Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu.

Bagian-bagian daripada kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga pembacaan dimengerti.

Bagaimana dengan cara mewartakan firman? Hendaknya setiap orang Kristen mawas dan sadar bahwa cara dan gaya membawakan khotbah tidak boleh menawan pikiran orang hingga terkagum-kagum kepada sosok kharismatis serta pembawaan diri dari sang pengkhotbah. Sekali lagi, pewarta firman adalah pelayan firman. Ia tunduk kepada otoritas firman Allah, dan ia hanya diperbolehkan menyampaikan pesan Allah kepada jemaat: teguran, pengampunan, penghiburan, pengajaran, dsb. Bukan berarti bahwa seorang pewarta firman tidak boleh belajar teknik-teknik retorika dan sastra serta pembawaan diri yang baik. Perlu memang, tetapi bukan itu prioritas utama! Tugas utama seorang pewarta adalah menjelaskan dengan seterang-terangnya pengajaran Kitab Suci, sehingga oleh kuat kuasa Roh Kudus, hati jemaat diangkat untuk memandang kemuliaan Allah dan Kristus yang meraja atas segenap alam raya. Ia akan menjadi pewarta yang baik jika berdiri atas nama Allah dan hidup dalam integritas di hadapan Allah dan manusia.


PENUTUP

Kita telah melihat bahwa pewartaan firman bergandengan tangan dengan pengajaran yang kuat. Hakikat khotbah adalah menjadi bagian yang integral dari peristiwa-keselamatan, sebagai partisipasi dalam kodrat Trinitas, sebagai sarana anugerah, dan sebagai proklamasi iman. Hakikat ini mensyaratkan bahwa khotbah berdiri di atas dasar yang kuat, yakni Alkitab sebagai kesaksian Firman Allah. Sebagai kesimpulan, kita perlu menelisik perkataan Heinrich Ott, seorang teolog dogmatika Reformed terkemuka dari Jerman. Dalam buku Dogmatik und Verkündigung ia menulis sebagai berikut,

Harus diakui bahwa dogmatik merupakan nurani dari khotbah dan bahwa khotbah, sekali lagi, adalah jatung hati dan jiwa dari dogmatika. Agar dapat berkhotbah dengan baik, sang pengkhotbah harus terlibat dalam refleksi dogmatik; sedangkan teolog dogmatika, supaya dapat mengajarkan dogmatika dengan baik dan lurus, harus menyadari bahwa ia bekerja dengan maksud seperti halnya berkhotbah dan perlu menghayati misi khotbah, meskipun ia tidak naik mimbar setiap Minggu. Jikalau seorang pengkhotbah begitu saja menyerahkan pemikiran dogmatika kepada pakarnya, ia akan menjadi pengkhotbah yang butuk, seorang pengkhotbah tanpa hati dan nurani. Juga, seorang teolog dogmatika yang membiarkan pengkhotbah dengan tugas-tugas praktisnya di gereja, ia akan menjadi pengajar yang buruk; sekali lagi ia akan menjadi seorang pakar dogmatika yang tak berhati dan tak bernurani.
[11]

Singkat kata, seorang pewarta firman harus juga pecinta doktrin dan pengajaran yang benar. Sebaliknya, seorang pecinta doktrin ataupun pengajar doktrin harus suka dengan pemberitaan firman dari atas mimbar gereja. Bila hal ini terwujud, akan berkembang suatu hubungan timbal-balik yang harmonis. Seorang pengkhotbah juga seorang dogmatikus. Dari hubungan ini akan bersemi dua penekanan yang harus dipertahankan dalam berkhotbah: Pertama, khotbah harus selalu setia kepada Pewahyuan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus, dan kedua, khotbah Kristen harus dapat dimengerti dan dicerna oleh jemaat, serta bersentuhan dengan problematika hidup pendengarnya. Intinya, khotbah merupakan pembahasaan ulang kebenaran-kebenaran kuno untuk masa kini dan di sini.

TERPUJILAH ALLAH!


Ditulis ulang berdasarkan makalah yang disampaikan dalam Semi-Lokakarya Pengkhotbah Awam
“Khotbahkanlah Firman!” pada hari Minggu, 18 September 2005
di GKMI Kudus



[1]Sejak berdirinya, Gereja Kristen menempatkan proklamasi (kata benda Yunani kērugma) dalam posisi sentral. Berdasarkan tindakan memproklamirkan (kata benda kērussen), yang dipercayakan kepada seorang proklamator (kata benda kērux), maka proklamasi dapat dipahami dalam artian “tindakan memproklamirkan,” ataupun “isi proklamasi.” Tentang apa? Yaitu bahwa Allah di dalam Kristus telah menjadi manusia, dan Allah telah mengkomunikasikan Kehadiran Agung ini dengan bahasa manusia, kata-kata yang dipahami oleh manusia. Jadi, gereja-gereja pada zaman sekarang juga perlu untuk memperhatikan baik isi maupun cara berkhotbah. Lih. Maria Harris, Fashion Me a People: Curriculum in the Church (Louisville: Westminster John Knox, 1989), 127.
[2]Dalam Pedoman Ibadah Gereja Presbiterian (PCUSA), dinyatakan dengan tepat bahwa Gereja mengakui Alkitab sebagai Firman Allah yang tertulis, yang memberikan kesaksian kepada Pewahyuan-Diri Allah. Di mana firman itu dibaca dan diberitakan, Yesus Sang Firman Hidup hadir melalui kesaksian Roh Kudus dalam diri orang percaya. Oleh sebab alasan inilah maka membaca, mendengarkan, mengkhotbahkan dan menghormati Firman menjadi pusat ibadah Kristen. (Lih. “Centrality of Scripture,” dalam Book of Order 2004-2005 [t.k.: The Office of General Assembly, 2004], W-2.2001).
[3]Dalam makalah ini, penulis memakai “khotbah” dan “pewartaan firman” saling menggantikan.
[4]Istilah “teologi” bukan merupakan konsumsi kaum elitis yang bergelar S. Th. atau yang di atasnya. Teologi yang benar dan lurut justru memberi alasan prinsipal atau pijakan fundamental Kristiani mengapa kita melakukan “hal ini” dan bukan “hal itu.” Teologi, yang boleh dipahami sebagai suatu kajian atau studi (logia) tentang Allah (Theos), bukan sekadar sederetan wacana pemikiran abstrak. Teologi akan selalu mencari kaitan yang erat antara apa yang kita pahami dengan dunia tempat hidup kita, yakni dunia yang real. Teologi erat kaitannya dengan spiritualitas dan kedewasaan rohani. Sebab itu, semua orang Kristen pasti berteologi. Atau, semua orang Kristen adalah teolog! Baik pendeta maupun jemaat. Klerus maupun awam. Oleh sebab itu, semua yang kita lakukan seharusnya memiliki pijakan yang jelas berdasarkan apa yang kita percayai. Teologi sesederhana itu.
[5]Perhatikanlah ketika gereja memasuki masa raya Natal atau Paskah. Khotbah-khotbah mimbar hampir selalu dipenuhi teladan Keluarga Kudus (Yusuf, Maria dan Bayi Yesus) dan orang-orang di sekitarnya; dan bagaimana penderitaan berat yang telah dialami Yesus diekspos sehingga mampu membangkitkan emosi yang berbelas kasihan kepada Yesus yang menderita.
[6]Gereja yang bernaung dalam tradisi Reformasi percaya bahwa inspirasi—Allah mengilhami orang-orang percaya dengan kebenaran-kebenaran hakiki—telah lengkap saat kanon Alkitab (PL dan PB) ditutup. Setelah itu, tidak ada lagi wahyu baru! Allah tidak lagi membukakan diri-Nya dengan cara yang sama sekali baru selain yang telah tercantum dalam Alkitab. Yang terjadi kemudian yaitu bahwa melalui Roh Kudus, Allah menerapkan kata-kata dalam Kitab Suci ke dalam hidup orang percaya supaya semakin hari semakin serupa dengan Kristus. Maka, kita menolak ajaran bahwa wahyu masih terus diberikan hingga hari ini.
[7]Anselmus dari Canterbury, Inggris, yang hidup kira-kira tahun 1033-1109, pernah mencetuskan kalimat yang terkenal hingga sekarang, yaitu fides quaerens intellectum, “iman yang mencari pengertian.” Dengan dictum ini, Anselmus hendak menegaskan bahwa kehidupan Kristiani juga mengedepankan praksis intelektual. Iman harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Iman yang berani tampil di hadapan publik! Meminjam kalimat tersebut, kita juga perlu menelusur bahwa khotbah pun perlu memiliki landasan pertanggungjawaban yang kokoh, dan pengkhotbah tahu alasan mengapa pemberitaan firman harus bersifat umum.
[8]Hal ini ditekankan oleh Otto Webber, Foundations of Dogmatics, tr. Darrel L. Guder (2 vol.; Grand Rapids: Eerdmans, 1983), 2.585.
[9]Bdk. Weber, Foundations, 2.584.
[10]“Hearing the Word,” dalam Book of Order W-2.2010.
[11]Dikutip dalam Geoffrey Wainwright, Doxology—The Worship of God in Worship, Doctrine and Life: A Systematic Theology (New York: Oxford University Press, 1980), 177.

No comments:

Post a Comment